Ads

Kamis, 28 April 2016

Si Tangan Sakti Jilid 021

Lu Sek telah tiba di tempat sunyi itu pagi-pagi sekali. Matahari belum nampak di langit timur, akan tetapi sinarnya telah menerangi langit itu dan cuaca sudah mulai terang. Keruyuk ayam jantan hanya terdengar kadang-kadang, tidak sesering tadi, akan tetapi burung masih ramai berkicau membuat persiapan untuk berangkat kerja mencari makan hari itu.

Pada tengah-hari saja, tempat ini jarang dikunjungi orang. Apalagi orang luar, bahkan orang-orang Thian-li-pang sendiri kalau tidak mempunyai keperluan yang penting sekali, merasa segan datang ke tempat ini. Seolah-olah ada hukum tak tertulis dan terucapkan bahwa daerah ini merupakan daerah pantangan. Itu adalah daerah liar di mana terdapat sumur yang dahulu pernah menggegerkan Thian-li-pang.

Sumur itu pernah dijadikan hukuman atau siksaan oleh nenek moyang Thian-li-pang. Bahkan seorang tokoh besar Thian-li-pang telah dibuang hidup-hidup di dasar sumur oleh para suhengnya sendiri, demikian menurut dongeng yang dikenal oleh para murid Thian-lipang.

Tokoh besar itu dibuntungi kaki tangannya dan dibuang ke sumur itu. Namun dia tidak mati-mati, dan seringkali terdengar teriakan dan lolongnya yang mengerikan. Tokoh rahasia ini amat sakti dan akhirnya, tokoh sakti ini menjadi guru dari Yo Han yang pernah tinggal di Thian-li-pang sehingga Yo Han akhirnya menjadi tokoh yang dianggap pemimpin besar Thian-li-pang, yang mengubah jalur Thian-li-pang yang tadinya menyeleweng dan sesat.

Dan biarpun telah dikabarkan bahwa kakek sakti yang bernama Cu Lam Hok itu telah mati, namun tempat itu masih dianggap keramat. Sumur yang telah ditutup oleh para tokoh besar Thian-li-pang untuk membunuh kakek buntung itu, kini dianggap sebagai tempat yang dihuni iblis dan hantu. Bahkan ada murid Thian-li-pang yang berani bersumpah bahwa dia pernah mendengar lolong dan pekik mengerikan itu keluar dari dalam sumur yang sudah ditutup itu.

Tempat ini amat sunyi. Karena para murid Thian-li-pang sendiri menganggap tempat itu angker dan keramat, maka tempat itu jarang dijamah tangan dan tidak terpelihara sehingga di situ tumbuh alang-alang dan semak belukar yang membuat tempat itu kelihatan semakin menyeramkan.

Biarpun ia seorang ahli silat tingkat tinggi yang tangguh dan tak pernah mengenal takut, namun diam-diam Lu Sek merasa bulu tengkuknya meremang kalau ia teringat akan dongeng menyeramkan dari tempat itu. Ia mulai menyesal mengapa ia menyanggupi sutenya untuk berlatih silat di tempat seperti itu?

Akan tetapi, ia tidak terlalu menyalahkan sutenya yang biasa berlatih di tempat ini karena untuk melatih kedua ilmu simpanan guru mereka yang hanya diajarkan kepada mereka berdua, guru mereka berpesan agar kalau mereka berlatih ilmu Tok-jiauw-kang dan Kiam-ciang, mereka harus berlatih di tempat tersembunyi agar tidak kelihatan oleh murid-murid lain dan menimbulkan perasaan iri. Ia sendiri selalu berlatih di dalam kamar yang tertutup dan memang tidak begitu menyenangkan berlatih di kamar tertutup, tidak seperti di tempat terbuka seperti ini.

Apalagi untuk melatih kedua ilmu itu, ia harus mengerahkan tenaga sinkang yang amat kuat dan ini membuat tubuh menjadi panas dan banyak mengeluarkan keringat, apalagi kalau latihan di kamar tertutup yang pengap.

Ia berhenti, menengok ke sekeliling. Sumur mengerikan itu masih nampak tembok bibirnya, di antara semak-semak dan di sekitar sumur itu masih terdapat banyak batu-batu besar, agaknya kelebihan batu-batu yang dipakai untuk menutup sumur. Mengerikan!

“Ouw-sute....!”

Ia memanggil sambil memandang sumur itu, seolah-olah ia mengharapkan sutenya itu akan muncul keluar dari sumur tua itu. Ia tahu bahwa masih ada sumur ke dua yang tertutup semak belukar sama sekali, beberapa ratus meter dari situ, akan tetapi sumur ke dua ini lebih menyeramkan lagi karena belum tertutup dan merupakan lubang gelap hitam tak kelihatan dasarnya dan kabarnya mengandung hawa beracun dan menjadi tempat tinggal ular-ular berbisa.

Tiba-tiba ia terbelalak dan merasa bulu tengkuknya dingin meremang. Ia memandang ke arah sesosok bayangan yang benar-benar muncul dari sumur itu! Perlahan-lahan sosok bayangan itu bangkit berdiri tanpa mengeluarkan suara, berdiri tegak seperti iblis yang datang untuk membalas dendam, haus darah! Lu Sek mentertawakan diri sendiri. Ia seorang pendekar gagah perkasa, tidak takut dan tidak percaya kepada segala macam ketahayulan!

“Sute, engkaukah itu?” serunya dan ia pun melangkah maju agak mendekat.

Bayangan itu meloncat dan ternyata dia benar Ouw Seng Bu. Karena cuaca belum terang benar, dan kemunculannya tepat di belakang sumur itu, maka tentu saja membuat ia berkhayal melihat iblis sendiri keluar dari dalam sumur yang sudah tertutup. Akan tetapi, ketika Seng Bu melangkah maju mendekat dan ia dapat melihat wajahnya, Lu Sek mengerutkan alisnya.

“Ouw-sute, engkaukah itu?” kembali ia bertanya.

Memang ia mengenali sutenya, akan tetapi sinar mata sutenya itu, senyum pada mulut sutenya itu. Betapa asing dan aneh baginya. Belum pernah selama ini ia melihat sinar mata dan senyum seperti itu pada wajah Ouw Seng Bu. Sinar mata yang mencorong seperti mata binatang buas, penuh kebengisan dan kekejaman. Dan senyum itu! Mengerikan sekali. Senyum itu demikian dingin penuh ejekan, membuat Lu Sek merasa tengkuknya dingin dan bulu kuduknya meremang. Akan tetapi, bayangan khayal menyeramkan itu membuyar ketika ia mendengar suara sutenya,

“Lu-suci, aku sudah menunggumu sejak tadi.”

“Ouw-sute, kenapa tergesa-gesa? Matahari juga belum muncul, baru nampak sinarnya saja.”

“Suci, latihan kedua ilmu simpanan dari suhu ini merupakan ilmu yang hanya diajarkan kepada kita berdua. Murid lain tidak boleh mempelajarinya, bahkan suheng Lauw Kin juga tidak diajari kedua ilmu itu. Maka, sebaiknya kalau kita latihan secara tersembunyi. Di tempat ini sunyi, juga pagi-pagi seperti ini, belum ada anggauta Thian-li-pang yang keluar. Amat baik kalau kita berlatih sekarang, Suci. Aku ingin agar dapat menguasai Tok-jiauw-kang dan Kiam-ciang sepenuhnya. Agar aku dapat paham benar, sebaiknya kalau kita melatih dua macam ilmu itu sekaligus. Bagaimana, Suci?”

“Baiklah. Akan tetapi kita harus berhati-hati. Kedua macam ilmu pukulan ini amat berbahaya dan dapat mendatangkan luka beracun atau bahkan kematian. Kita tidak boleh kesalahan tangan. Nah, aku sudah siap, engkau mulailah!” kata Lu Sek sambil memasang kuda-kuda yang kokoh kuat.






Ouw Seng Bu tersenyum dan kembali Lu Sek merasa bulu tengkuknya meremang dan terasa dingin. Senyum itu sungguh aneh dan tidak wajar, seperti senyum iblis!

“Suci sambutlah seranganku ini!”

Tiba-tiba Seng Bu menyerang dengan pukulan tangan miring dan terdengar suara bersiut dibarengi angin dahsyat. Itulah Kiam-ciang (Tangan Pedang). Ilmu ini membuat tangan yang memukul itu seperti sebatang pedang saja, dapat membuntungi anggauta badan lawan, bahkan dapat menyambut senjata tajam lawan seperti sebatang pedang!

Melihat betapa pukulan yang menyambar itu amat dahsyat, Lu Sek cepat mengelak. Akan tetapi begitu tangan kiri Seng Bu yang menyambar itu luput, tangan kanannya sudah meluncur ke arah dada sucinya dan ketika terpaksa Lu Sek menangkis serangan tangan Seng Bu mencengkeram dada. Kembali ada angin menyambar dan itulah sebuah jurus Tok-jiauw-kang yang amat ampuh!

“Ihhh....!!” Lu Sek berseru kaget “Sute, gerakanmu sudah hebat,” dan karena serangan sutenya ini benar-benar amat kuat ia berseru kaget, akan teramat berbahaya, juga tidak sopan karena mencengkeram ke arah dadanya tapi kembali ia merasa ngeri melihat sutenya.

Sinar mata sutenya yang demikian aneh, Tidak begitu seharusnya dalam latihan. Tidak sopan namanya. Akan tetapi masih menganggap bahwa sutenya tidak sengaja, maka ia pun cepat mengelak lalu balas menyerang dengan Kiam-ciang yang dikombinasikan dengan cengkeraman Tok-jiauw-kang. Akan tetapi tentu ia menahan dan membatasi tenaganya agar jangan sampai melukai sutenya yang ia tahu belum begitu sempurna menguasai kedua ilmu itu!

Akan tetapi, semua serangannya ternyata dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Seng Bu, dan pemuda itu membalas lagi semakin lama semakin dasyat!

“Duk-duk-plakkk!”

Tiga kali beruntun kedua tangan mereka saling bertemu ketika terpaksa Lu Sek menangkis serangan sutenya yang amat dasyat, dan karena ia membatasi tenaganya, akibatnya ia terdorong dan terhuyung ke belakang.

“Sute, gerakanmu sudah hebat dan amat kuat!”

Ia berseru kaget, akan tetapi kembali ia merasa ngeri melihat sinar mata sutenya yang demikian aneh, mencorong dan senyumnya semakin menakutkan. Bahkan tanpa mengeluarkan kata apa pun, sutenya kini meloncat ke depan dan menerjang lagi dengan dasyat.

Lu Sek semakin kaget. Sutenya menyerangnya dengan Kiam-ciang atau Tok-jiauw-kang, akan tetapi dengan tenaga yang dahsyat dan sama sekali bukan orang yang sedang mengajaknya berlatih. Sutenya menyerangnya seperti orang yang berkelahi, menyerang sungguh-sungguh, dengan pukulan-pukulan maut! Terpaksa ia mengerahkan tenaganya untuk memukul mundur sutenya. Ketika sutenya memukul ke arah dadanya dengan Kiamciang, ia pun mengerahkan seluruh tenaga dan menangkis dengan gerakan Kiam-ciang pula.

“Wuuuttt.... desss....!!”

Dua tenaga bertemu melalui pukulan tangan miring dan akibatnya, tubuh Lu Sek terjengkang dan tentu ia terbanting roboh kalau saja tidak cepat membuat gerakan bergulingan. Ketika ia meloncat bangun, ia merasa napasnya agak sesak dan ia memandang kepada sutenya dengan mata terbelalak.

“Sute, kau....”

“Lu-suci, kita belum selesai latihan. Sambut seranganku ini!” katanya dan tanpa memberi kesempatan lagi kepada Lu Sek, Seng Bu sudah menerjang lagi dengan pukulan kombinasi antara Kiamciang dan Tok-jiauw-kang (Cakar Beracun).

“Hemmm....!”

Kini Lu Sek menjadi marah. Kiranya sutenya ini benar-benar hendak memamerkan kepandaiannya dan biarpun ia terkejut menyaksikan kemajuan sutenya, namun ia merasa lebih unggul dan ia pun tidak mau kalah. Apalagi, ia adalah menjadi ketua Thian-li-pang. Bagaimana ia sampai dapat dikalahkan seorang pembantunya, juga sutenya yang minta petunjuk dalam ilmu silat darinya? Lu Sek kini mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan kedua ilmu itu sebaik mungkin.

Terjadilah serang-menyerang yang hebat dan seru. Memang harus diakui oleh Seng Bu bahwa dalam hal penggunaan kedua ilmu itu, dia masih kalah mahir dibandingkan sucinya. Kalau dia hanya mempergunakan kedua ilmu itu tanpa menambah tenaga mujijat yang dihimpunnya melalui latihan ilmu rahasia Bu-kek-hoat-keng, jelas dia tidak akan mampu menandingi sucinya.

Akan tetapi, setiap kali beradu lengan, diam-diam dia mengerahkan tenaga mujijat itu dan selalu sucinya terpental dan terhuyung ke belakang. Karena kalah tenaga, maka Seng Bu dapat menutupi kekalahannya dalam kemahiran memainkan kedua ilmu itu, bahkan kini dia yang mendesak hebat!

“Desss....!!”

Kembali kedua tangan mereka saling bertemu dan kembali Lu Sek terpental dan terjengkang, dengan dada terasa makin sesak. Dan pada saat itu, Seng Bu sudah meloncat ke depan dan mengirim tamparan susulan dengan Kiam-ciang ke arah kepala sucinya yang masih belum sempat bangun.

“Sute, kau....!” Lu Sek mengangkat tangan menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Plakkk!”

Tubuhnya terdorong dan bergulingan, dan dari mulutnya keluar darah, dadanya terasa nyeri.

“Ouw-sute, apa yang kau lakukan ini?” bentak Lauw Kin yang tiba-tiba sudah berada di situ.

Melihat tunangannya terdesak bahkan muntah darah, tentu saja Lauw Kin terkejut dan marah sekali. Dia memang sudah merasa curiga kepada Seng Bu kemarin, maka pagi ini dia sengaja datang ke tempat itu untuk melihat keadaan tunangannya. Dan ternyata kekhawatirannya terbukti. Dalam berlatih melawan Seng Bu, agaknya tunangannya terluka, dan latihan itu agaknya menjadi perkelahian yang sungguh-sungguh.

“Dia.... dia menjadi gila....!” kata Lu Sek yang sudah dapat bangkit kembali.

“Ouw-sute, apa yang kau lakukan ini? Kenapa engkau melukai ketua kita?” kembali Lauw Kin menegur Ouw Seng Bu dengan alis berkerut.

Tiba-tiba Seng Bu tertawa dan kedua orang itu saling pandang, merasa ngeri. Itu bukan tawa manusia waras! Mirip tawa iblis, atau tawa orang sinting.

“Heh-heh-ha-ha-hah....! Engkau boleh maju sekalian, Lauw-suheng. Atau engkau tidak berani? Takut berlatih melawan sutemu seperti Lu-suci? Heh-heh-heh, ketua dan wakil ketua Thian-li-pang begini pengecut! Sungguh tidak pantas!”

Lauw Kin dan Lu Sek terbelalak, terkejut dan heran, akan tetapi juga marah sekali. Gila atau tidak, Ouw Seng Bu ini sungguh merupakan seorang murid yang murtad!

“Ouw-sute, sadarlah! Sudah gilakah engkau?”

Bentak Lu Sek marah, akan tetapi karena ia tadi melihat kenyataan betapa lihai sutenya ini, ia kini sudah siap waspada dan sudah meraba gagang pedangnya, sedangkan Lauw Kin meraba gagang goloknya.

“Ha-ha-ha, berani atau takut, tetap saja aku akan menyerang kalian! Nah, sambutlah ini!”

Dia sudah menyerang lagi dengan tamparan-tamparan Kiam-ciang. Karena maklum betapa serangan itu amat berbahaya, Lu Sek meloncat ke belakang, diikuti Lauw Kin dan mereka kini sudah mencabut pedang dan golok.

“Ouw-sute, sadarlah! Atau terpaksa kami akan menghadapimu dengan senjata. Engkau dapat merupakan bahaya besar bagi Thian-li-pang kalau tidak mau sadar dan berubah gila!”

Ouw Seng Bu tersenyum dan sekali ini bukan hanya Lu Sek yang merasa ngeri, juga Lauw Kin memandang dengan terbelalak karena dia pun tidak lagi mengenal sutenya dengan senyum seperti itu.

“Kalian mencabut senjata? Bagus, bagus! Kesempatan bagiku untuk menguji kepandaianku sendiri. Nah, sambutlah seranganku dengan senjata kalian, heh-heh-heh!”

Sambil tertawa-tawa Ouw Seng Bu sudah menyerang lagi, akan tetapi kedua orang kakak seperguruannya itu terkejut dan terheran bukan main karena kini gerakan sute mereka itu sama sekali berlainan dengan gerakan ilmu silat yang pernah mereka pelajari. Gerakan itu aneh sekali dan nampaknya seperti gerakan yang kacau, gerakan pesilat yang mungkin gila!

Karena maklum betapa besar bahayanya kalau sute yang gila ini dibiarkan saja, Lu Sek sudah meloncat ke depan menyambut serangan itu dengan pedangnya, dengan maksud merobohkan sutenya, menangkap atau kalau perlu membunuhnya. Lu Sek yang memiliki gerakan ringan dan cepat itu, sudah memutar pedang dan meloncat ke depan, menyambut gerakan kedua tangan sute yang seperti hendak mencakar itu dengan sambaran pedangnya!

“Wuuut.... singgg....! Krakkk....!”

Pedang itu bertemu dengan jari tangan kanan Seng Bu dan pedang itu patah-patah, kemudian tangan kiri Seng Bu menampar ke depan dengan jari tangan terbuka, bukan gerakan Kiam-ciang, melainkan gerakan aneh. Angin yang panas sekali menyambar ke arah dada Lu Sek dan wanita itu mengeluarkan jerit tertahan, tubuhnya roboh dan tak bergerak lagi. Ketika Lauw Kin memandangnya, dia terbelalak dengan wajah pucat melihat betapa tunangannya itu telah tewas dalam keadaan tubuh menghitam seperti hangus terbakar!

“Kau.... jahanam.... kau membunuhnya....!” Lauw Kin menjadi marah dan sedih sekali.

Dengan nekat dia maju menggerakkan goloknya, menerjang maju dan menyerang Seng Bu dengan cepat sekali.

“Bagus, memang engkau harus pergi untuk selamanya agar tidak menjadi penghalang bagiku!” bentak Seng Bu dan dia menyambut golok itu dengan kedua tangannya.

Tangan kirinya begitu saja, dengan jari terbuka, menerima golok itu dan mencengkeramnya. Bukan main hebatnya jari-jari tangan itu karena begitu kena dicengkeram, golok itu pun patah-patah dan remuk! Kemudian, tangan kanan Seng Bu sudah memukul ke depan. Dada Lauw Kin terkena tamparan itu dan dia pun terjengkang dan tewas seketika di dekat mayat tunangannya dengan tubuh hangus pula.

Ouw Seng tertawa bergelak seperti seekor binatang buas, akan tetapi hanya sebentar karena kemudian sikapnya itu berubah kembali. Dia tidak tertawa lagi, juga sinar matanya tidak liar dan mulutnya tidak mengandung senyum iblis. Dia nampak tenang dan termenung berdiri memandang ke arah dua mayat suheng dan sucinya yang telah dibunuhnya. Pikirannya bekerja, penuh kelicikan. Dia sudah berhasil membunuh ketua dan wakil ketua Thian-li-pang. Hanya ada satu lagi pengganjal yang akan menjadi penghalang dia memimpin Thian-li-pang, yaitu gurunya sendiri, Lauw Kang Hui!

Kakek itu tentu tidak akan tinggal diam kalau mendengar betapa kedua orang murid tersayang itu tewas, apalagi kalau tahu bahwa dia membunuh mereka, pikirnya. Kalau penghalang yang tinggal seorang ini disingkirkan, siapa lagi yang akan berani dan mampu menghalanginya menjadi ketua Thian-li-pang? Tak lama kemudian, di pagi hari buta itu, dia sudah mengetuk pintu kamar Lauw Kang Hui.

Seperti biasa, kakek ini sejak pagi sekali sudah terbangun dan sudah duduk samadhi. Mendengar ketukan pintu, hatinya merasa tidak senang. Siapa berani demikian lancangnya mengganggu samadhinya di pagi hari seperti itu?

“Siapa?” tanyanya, suaranya halus namun mengandung ketidak sabaran karena merasa terganggu.

“Suhu, teecu ingin melaporkan hal yang amat penting dan gawat!” terdengar suara Seng Bu dari luar, juga lirih akan tetapi dapat didengar jelas oleh orang pertama Thian-li-pang itu.

“Masuklah, pintunya tidak terkunci.” kata Lauw Kang Hui. Seng Bu masuk dan berlutut di depan gurunya.

“Seng Bu, ada apakah engkau sepagi ini menggangguku dari samadhi?”

“Maaf, Suhu. Telah terjadi sesuatu dengan suci Lu Sek dan suheng Lauw Kin. Marilah Suhu tengok sendiri dan melihat keadaan mereka”.

“Hemmm, ada apa dengan mereka?”

“Mereka.... ahhh, teecu khawatir sekali, Suhu. Marilah, kita ke sana dan Suhu melihat sendiri!” kata Seng Bu sambil bangkit dan keluar dari kamar itu.

Tentu saja Lauw Kang Hui menjadi heran dan tertarik, lalu dia bangkit dan mengikuti muridnya. Dia menjadi semakin heran ketika muridnya itu pergi ke tempat sunyi yang dikeramatkan, yaitu di daerah yang terdapat sumur yang dahulu dipakai sebagai tempat menghukum kakek Ciu, yaitu mendiang supeknya (uwa gurunya).

Lauw Kang Hui mengerutkan alisnya.
“Seng Bu, kenapa engkau mengajakku ke tempat ini?”

Dia merasa tidak enak juga melihat ke arah dua buah sumur itu, yang sebuah tertimbun batu, yang sebuah lagi tersembunyi di balik semak belukar dan tempat ini merupakan tempat yang mengerikan.

“Lihatlah, Suhu.” kata Seng Bu dan dia berhenti tak jauh dari semak yang menyembunyikan sumur ke dua yang masih belum ditimbuni apa-apa.

Lauw Kang Hui menghampiri dan dia terbelalak memandang kepada tubuh dua orang muridnya yang rebah telentang dengan muka, leher dan tangan menghitam seperti arang!

Kakek itu mengeluarkan suara tertahan, berjongkok untuk memeriksa mereka, makin heran dan terkejut ketika mendapat kenyataan. bahwa mereka tewas oleh pukulan beracun yang tidak dikenalnya.

“Apa yang telah terjadi? Siapa yang telah membunuh mereka?” tanyanya sambil berdiri dan memandang Seng Bu dengan muka agak pucat dan mata terbelalak.

Dan tiba-tiba dia melihat perubahan pada wajah yang tampan itu. Sepasang mata pemuda itu mencorong liar, dan senyum aneh berkembang di bibirnya, senyum iblis!

“Mereka mengajak teecu berlatih silat dan mereka roboh terpukul oleh teecu,” katanya dengan nada suara mengejek walaupun kata-katanya masih menghormat.

Sepasang mata kakek itu semakin dilebarkan dan dia mengamati muridnya itu dari kepala sampai ke kaki.

“Tidak mungkin! Engkau tidak akan mampu mengalahkan mereka, apalagi memukul mati seperti ini!”

“Hemmm, kalau Suhu tidak percaya, boleh Suhu buktikan sendiri. Apalagi mereka, Suhu pun tidak akan mampu menandingiku dan aku dapat membunuhmu dengan mudah.”

Tentu saja kakek itu menjadi marah bukan main.
“Engkau telah gila!” teriaknya marah.

“Dan engkau akan mati bersama mereka!” kata Seng Bu dan dia pun kini sudah menggerakkan kaki tangannya menyerang gurunya sendiri.

Lauw Kang Hui kini sudah menjadi marah sekali. Dua orang muridnya tersayang tewas, padahal mereka baru saja dia angkat menjadi ketua dan wakil ketua. Kalau tadinya dia masih tidak percaya bahwa Seng Bu yang membunuh mereka, bukan saja karena dia tahu betapa tingkat kepandaian Seng Bu masih kalah dibandingkan Lu Sek juga tidak ada alasan mengapa pemuda ini harus membunuh suci dan suhengnya, kini tiba-tiba dia teringat.

Ketua dan wakil ketua dibunuh! Ini berarti bahwa Seng Bu merasa iri dan ingin merebut kedudukan ketua! Akan tetapi, dia tidak sempat berpikir lagi karena melihat Seng Bu berani menyerangnya, dia cepat mengerahkan tenaga dan menangkis, dengan maksud sekali tangkis dapat merobohkan dan menangkap murid yang agaknya tiba-tiba menjadi gila itu.

“Dukkk....!!”

Lauw Kang Hui mengeluarkan gerengan kaget dan marah ketika benturan lengan itu membuat dia terhuyung ke belakang! Seng Bu sendiri hanya tergetar saja, namun dapat mempertahankan kuda-kudanya. Ini tidak mungkin, pikirnya! Akan tetapi, pemuda itu menyeringai dan kini melakukan gerakan yang aneh, lalu menerjang lagi ke depan, tangan kirinya menyambar. Hawa pukulan yang panas sekali menerjangnya! Kakek itu cepat menyambut dengan kedua tangannya.

“Desss....!!”

Dan sekali ini, dia terjengkang! Sambil mengerahkan seluruh tenaganya, Lauw Kang Hui meloncat bangun berdiri dan memandang kepada murid itu dengan mata hampir tidak percaya.

“Ilmu.... siluman apakah itu....?” Saking herannya dia bertanya, keheranan yang melampaui kemarahannya.

“Ha-ha-heh-heh-heh, Suhu, engkau selalu memuji-muji Yo Han dengan ilmu Bu-kek Hoat-keng! Nah, inilah Bu-kek Hoat-keng! Bukan hanya Yo Han yang menguasainya, aku pun telah menguasainya dan kalau dia berani muncul, akan kuhancurkan kepalanya. Sekarang, bersiaplah untuk menemani suci Lu Sek dan suheng Lauw Kin!”

Lauw Kang Hui marah bukan main dan dia pun mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kepandaiannya, bahkan melakukan gerakan ilmu silat Tokjiauw-kang dan Kiam-ciang yang sudah mencapai tingkat tinggi.

Maklum bahwa kalau dia mengandalkan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya dari kakek itu, dia tidak mungkin akan menang, maka Seng Bu segera memainkan ilmunya yang didapat dengan rahasia di dalam sumur, yaitu ilmu Bu-kek Hoat-keng yang dipelajarinya secara ngawur dan terbalik-balik.

Dan memang hebat bukan main ilmu ini. Ilmu Bu-kek Hoat-keng yang aslinya, seperti yang dikuasai Yo Han, sudah merupakan ilmu ajaib, memiliki daya atau pengaruh yang aneh, yaitu selain gerakannya aneh dan lihai, mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, kalau ada lawan, betapapun lihainya, menyerang dengan kemarahan dan kebencian dalam hati, maka serangan itu akan membalik dan menghantam si penyerang sendiri!

Kini, ilmu aneh yang dipelajari secara ngawur dan terbalik oleh Seng Bu itu, memberinya ilmu yang luar biasa kejamnya, walaupun pengaruh ilmu itu membalik kepada dirinya, membuat dia kalau sedang kumat seperti orang gila, atau lebih tepat seperti iblis sendiri.

Lauw Kang Hui adalah seorang datuk yang sudah memiliki tingkat tinggi dalam ilmu silat. Jarang ada tokoh mampu menandinginya. Akan tetapi sekarang, bertanding mati-matian melawan muridnya sendiri, dia mulai terdesak setelah mampu bertahan sampai lima puluh jurus. Kedua lengan sudah terasa panas seperti dibakar setelah beberapa kali bertemu dengan lengan Seng Bu. Dia merasa menyesal, mengapa tadi tidak membawa golok besar, senjata andalannya. Sejak melepaskan kedudukan ketua Thian-li-pang dan bersamadhi, dia sudah menyingkirkan golok itu, maka tadi ketika pergi ke tempat ini, dia pun tidak membawa senjata.

“Heh-he-heh, Lauw Kang Hui, sekarang engkau mati!” kata Seng Bu, sikapnya sama sekali berubah dan tidak lagi menyebut suhu.

Lauw Kang Hui menjadi nekat dan dia pun mengerahkan seluruh tenaganya, menerjang ke depan.

“Hyaaaaattt....!!” bentaknya dan suara gerengannya seperti seekor binatang buas yang terluka.

Seng Bu tersenyum mengejek. Ketika kedua tangan gurunya yang mendorong itu meluncur ke arah dadanya, tiba-tiba dia merendahkan diri hampir berjongkok sehingga kedua tangan Lauw Kang Hui menyambar lewat atas kepalanya dan pada detik itu juga, tangan kiri Seng Bu sudah mencuat ke depan, menghantam dengan telapak tangannya ke arah dada Lauw Kang Hui.