Ads

Selasa, 26 April 2016

Si Tangan Sakti Jilid 011

Pada saat itu, Cia Ceng Sun merasa penasaran juga. Belum pernah dia dikalahkan oleh seorang wanita dalam pertandingan silat, dan kini dia sama sekali tidak mampu mengalahkan gadis ini, bahkan mendesak pun tidak mampu. Dia merasa penasaran sekali dan tiba-tiba dia melompat ke depan lalu menyerang dengan kedua lengan diluruskan dan kedua tangan terbuka mendorong ke depan dengan jurus Pat-bua-twi-san (Atur Pintu Tolak Gunung), kedua kaki terpentang dan lutut ditekuk, kedua tangan lurus mendorong ke arah lawan sambil mengerahkan tenaga sin-kang. Ini merupakan serangan yang mengandalkan tenaga sakti dan hawa dorongannya saja mampu membuat lawan terlempar.

Akan tetapi melihat serangan ini, Siangkoan Eng tidak mengelak atau menangkis, melainkan meloncat pula ke depan, membuat gerakan yang sama dan menyambut serangan itu dengan dorongan kedua tangan pula, dengan kedua kaki terpentang dan ditekuk lututnya. Kedudukan mereka persis sama, dan kini dua pasang tangan yang terbuka itu saling bertemu.

“Plakkk!”

Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat! Keduanya seperti tergetar dan terguncang karena pertemuan tenaga sin-kang itu, akan tetapi keduanya dapat bertahan!

Mereka saling pandang dalam jarak dekat, hanya terpisah juluran lengan. Mereka dapat saling merasakan hawa panas yang keluar dari tubuh masing-masing, dan keduanya tersenyum. Mereka seperti sedang bercanda atau bercumbu dengan cara yang aneh. Keduanya saling dorong, akan tetapi Siangkoan Eng sengaja membatasi tenaganya sehingga mereka seimbang dan dua pasang telapak tangan itu seperti melekat dan tidak dapat dipisahkan lagi.

Banyak di antara para tamu yang memandang dengan hati berdebar tegang. Adu tenaga seperti itu amatlah berbahaya bagi yang kalah! Salah-salah dapat merenggut nyawa seorang di antara mereka. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa hal ini tidak mungkin terjadi karena sebenarnya tenaga sin-kang Siangkoan Eng lebih kuat sehingga gadis ini dapat mengatur dan mengendalikan adu tenaga itu.

Kalau tenaga mereka seimbang, memang dapat berbahaya. Dan agaknya Cia Ceng Sun juga menyadari, bahwa sebetulnya dia kalah kuat. Buktinya, gadis itu nampak santai saja dan tidak nampak khawatir seperti dia, maka dia pun kini tersenyum dan maklum bahwa keadaan mereka tidak berbahaya karena gadis itu menguasai tenaga mereka. Jantung pangeran ini berdebar ketika melalui telapak tangan itu dia merasakan suatu kehangatan dan kelembutan yang membuat kedua pipinya menjadi kemerahan.

Pada saat itu nampak Yo Han cepat naik ke tempat pertandingan itu dan tanpa ragu-ragu lagi dia menengahi, menggunakan kedua tangannya mendorong di tengah-tengah, ke arah dua pasang tangan yang saling tempel.

“Cukup, harap kalian mundur?”

Katanya dan dari dorongannya muncul tenaga yang amat dahsyat, yang membuat Siangkoan Eng dan Cia Ceng Sun terdorong mundur sampai tiga langkah dan dengan sendirinya tempelan dua pasang tangan itu terlepas, namun tidak mendatangkan bahaya kepada keduanya.

Mereka hanya merasa kedua lengan mereka tergetar dan mereka terdorong hawa pukulan yang dahsyat. Diam-diam Cia Ceng Sun terkejut dan memandang kepada Yo Han dengan sinar mata penuh kagum.

“Siangkoan Siocia, terima kasih atas pelajaran yang kau berikan kepadaku,” katanya sambil memberi hormat kepada gadis itu.

Siangkoan Eng membalas dan tersenyum.
“Cia-kongcu, engkaulah yang telah memberi pelajaran kepadaku. Terima kasih.”

Kini Cia Ceng Sun menghadapi Yo Han dan setelah mereka saling pandang penuh perhatian, pangeran itu berkata,

“Sobat, engkau hebat. Terima kasih.”

Lalu dia kembali ke tempat duduknya, meninggalkan Yo Han yang kini berdiri di situ, berhadapan dengan Siangkoan Eng. Gadis ini mengerutkan alisnya dan nampak marah, akan tetapi pada saat itu, ayahnya berkata dengan suara yang dalam.

“Eng Eng, engkau mundurlah, biar aku sendiri menghadapi sobat muda itu.”

Kiranya ketua Pao-beng-pai ini sudah waspada dan tadi melihat gerakan Yo Han. Dia tahu bahwa puterinya memiliki tenaga sin-kang yang sudah kuat, dan tahu pula bahwa puterinya tadi mengalah terhadap pemuda she Cia itu sehingga biarpun mereka nampaknya mengadu tenaga sin-kang, namun puterinya dapat mengendalikan tenaga mereka dan keadaan keduanya sama sekali tldak berbahaya.

Lalu muncul pemuda yang lain itu, yang dengan sekali dorong saja mampu membuat kedua orang itu terdorong mundur ini berarti bahwa pemuda yang baru muncul ini memiliki kekuatan sinkang yang amat hebat, yang dapat sekaligus melawan kekuatan Siangkoan Eng dan Cia Ceng Sun yang bergabung menjadi satu! Maklum akan hal ini, Siangkoan Kok dapat menduga bahwa pemuda yang baru muncul ini lihai sekali dan mungkin puterinya tidak akan mampu menandinginya, maka dia sendiri akan maju. setelah puterinya mundur, dia pun bangkit dan melangkah maju menghadapi Yo Han.

Dua orang laki-laki itu berdiri berhadapan dalam jarak empat meter. Yo Han bersikap angkuh dan dingin dan sikap ini merupakan pelaksanaan dari siasat yang sudah direncanakannya. Untuk dapat mencari jejak penculik puteri bibinya, dia harus berkecimpung di dalam dunia kangouw, bergaul dengan golongan sesat dan bersikap seperti seorang pemuda sesat pula, atau setidaknya seorang pemuda yang memusuhi keluarga besar para pendekar terutama sekali memusuhi ayah dan ibu anak yang diculik itu. Itulah sebabnya dia bersikap seperti seorang pemuda yang tinggi hati, dingin dan kejam, sikap seorang pemuda golongan sesat!

Setelah saling pandang beberapa lamanya, melihat pemuda itu sama sekali tidak mau menghormatinya, Siangkoan Kok mengerutkan alisnya dan dengan suaranya yang mengguntur dia berkata,

“Sobat muda! Engkau datang ke sini, berarti engkau adalah tamu kami. Nah, perkenalkan namamu dan katakan mengapa engkau usil tangan mencampuri adu ilmu yang dilakukan puteri kami tadi?”






Yo Han mengangguk dan dengan sikap congkak dia pun berkata,
“Pangcu, aku sudah mendengar bahwa engkau adalah pangcu dari Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Kok. Pertemuan ini memang kupergunakan sebagai kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang sehaluan dan juga segolongan. Dan aku belum memperkenalkan nama, karena memang aku menunggu kesempatan terakhir ini untuk bicara kepada seluruh saudara segolongan yang kini berkumpul di sini!”

Sikap yang congkak ini membuat Siangkoan Kok semakin senang, akan tetapi juga membuat dia ingin sekali tahu siapa pemuda ini dan apa maunya.

“Hemmm, baiklah, kau perkenalkan diri dan katakan apa kehendakmu datang ke sini. Kalau memang beralasan kami mau menerimanya, akan tetapi kalau engkau hanya ingin mengacau, jangan salahkan kami kalau terpaksa kami akan membunuhmu!”

Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok kembali duduk di kursinya. Semua orang memandang dengan hati tegang kepada Yo Han yang kini berdiri seorang diri di atas panggung yang tadi dipergunakan untuk mengadu ilmu silat.

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring,
“Dia bocah iblis dari Thian-li-pang itu!”

Semua orang menengok dan yang berteriak itu adalah tosu Pek-lian-kauw, Kui Thian-cu yang tadi dikalahkan Siangkoan Eng dalam pertandingan. Dia sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya dan menuding-nuding ke arah Yo Han. kiranya tosu Pek-lian-kauw ini masih ingat kepada Yo Han yang kurang lebih tiga tahun yang lalu pernah dia jumpai di perkumpulan Thian-li-pang, yaitu ketika dia berkunjung ke sana bersama rekannya, Kwan Thian-cu.

Belum juga gema suara Kui Thiancu hilang, terdengar seruan nyaring yang lain,
“Tosu dari Pek-lian-kauw harap jangan menghina pemimpin kami! Saudara sekalian, perkenalkanlah, pemuda perkasa ini adalah pemimpin dari kami Thianli-pang yang telah menyerahkan kedudukan ketua kepada ketua kami yang sekarang!”

Semua orang menengok dan melihat bahwa yang bicara adalah seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun. Dan laki-laki itu tidak peduli kepada semua orang, melainkan kini dari tempat duduknya menghadap ke arah Yo Han dan memberi hormat sambil berkata,

“Yo-taihiap, maafkan kelancangan saya. Saya Thio Cu dari Thian-li-pang diutus ketua Lauw untuk mewakili Thian-li-pang hadir di sini.”

Yo Han tidak mengenal orang itu, akan tetapi kini dia tahu bahwa Thio Cu itu tentu seorang tokoh Thian-li-pang, maka dia pun mengangguk dengan sikap yang angkuh.

Siangkoan Kok memandang kepadanya.
“Orang muda, harap cepat perkenalkan diri dan nyatakan apa kehendakmu di sini.” katanya.

Yo Han memandang ke empat penjuru, lalu menghadap pihak tuan rumah dan berkata sambil membusungkan dada.

“Cuwi (Anda Sekalian), dengarkan aku memperkenalkan diri. Namaku Yo Han dan seperti dikatakan Paman Thio Cu dari Thian-li-pang tadi, aku adalah seorang pimpinan Thian-li-pang akan tetapi aku tidak mau memegang kedudukan ketua dan kuserahkan kepada Paman Lauw Kang Hui. Aku lebih senang merantau untuk melaksanakan tugasku yang teramat penting. Kalau tosu Pek-lian-kauw itu merasa tidak suka kepadaku, hal itu tidak aneh karena aku pernah melarang Thian-li-pang untuk bekerja sama dengan Pek-lian-kauw.

Kurasa, Thian-li-pang sama dengan Pao-beng-pai, yaitu sekelompok patriot yang menentang penjajah Mancu, bukan kelompok penjahat yang menggunakan kedok perjuangan untuk berbuat jahat. Aku sendiri pun bukan orang bersih, tapi aku pantang mengganggu rakyat jelata. Hendaknya Cuwi ketahui bahwa aku tidak mewakili siapapun, ayah ibuku sudah tiada. Ayahku bernama Yo Jin dan ibuku tentu Cuwi sudah mengenalnya. Ia bernama Ciong Siu Kwi, berjuluk Bi Kwi.”

Terdengar seruan di sana-sini karena nama Bi Kwi pernah menggemparkan seluruh dunia persilatan. Bi Kwi (Setan Cantik) terkenal sebagai seorang tokoh yang aneh dan kejam.

“Hemmm, Yo Han, kami ingat bahwa Bi Kwi dahulunya memang tokoh kangouw yang terkenal, murid Sam Kwi (Tiga Setan), akan tetapi kemudian ia membalik dan bergabung dengan mereka yang menamakan diri pendekar-pendekar, memihak orang Mancu!” teriak Siangkoan Kok dan terdengar banyak suara membenarkan.

“Itu hanya kabar bohong, Siangkoan Pangcu (Ketua Siangkoan)! Aku sebagai anaknya yang lebih tahu. Ayahku tewas, ibuku juga tewas membunuh diri, semua itu gara-gara mereka yang menamakan diri pendekar-pendekar keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir dan keluarga Lembah Naga. Aku mendendam kepada mereka, terutama aku membenci sekali kepada bekas bibi guruku, adik seperguruan mendiang ibu yang bernama Can Bi Lan berjuluk Siauw Kwi!

Can Bi Lan itulah yang telah membujuk sucinya, yaitu ibuku, untuk bergabung dengan mereka, dan Can Bi Lan sendiri menjadi isteri pendekar Suling Naga Sim Houw! Aku ingin mengajak mereka yang menentang pemerintah Mancu untuk tidak saja menentang pemerintah itu, juga untuk membasmi para antek Mancu, terutama sekali Can Bi Lan dan suaminya, Sim Houw!”

Yo Han bicara dengan semangat berapi-api, matanya mencorong seolah dia marah besar dan amat membenci nama-nama yang baru saja dia sebutkan. Inilah siasatnya. Dia ingin melacak jejak penculik puteri bibinya itu dengan cara mendekati orang-orang kang-ouw dan bersikap seolah dia memusuhi suami isteri yang kehilangan anaknya itu.

Kembali suasana menjadi gaduh setelah dia berhenti bicara. Para tamu saling bicara sendiri dan karena sebagian besar di antara mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang memang tidak suka kepada para pendekar dari tiga keluarga itu, maka kebanyakan di antara mereka setuju dengan pendapat Yo Han. Akan tetapi, ada pula yang terkejut mendengar hal itu dan di antara mereka adalah para wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Juga Pangeran Cia Sun diam-diam terkejut sekali.

Pemuda itu merupakan bahaya bagi kerajaan keluarga kakeknya! Justeru kerajaan di bawah pimpinan kakeknya selalu ingin mendekati para pendekar dan para tokoh kang-ouw untuk memanfaatkan kekuataan.mereka, pemuda ini malah menghasut. Dia sendiri pun tadinya selain ingin menambah pengetahuan, ingin pula menyelidiki sampai berapa jauhnya gerakan Pao-beng-pai yang kabarnya merupakan perkumpulan yang hendak menentang pemerintah Mancu.

“Amitohud....!!”

Tiba-tiba terdengar suara halus dan seorang pendeta berkepala gundul yang usianya sudah enam puluh tahun maju menghadapi Yo Han. Dia adalah seorang di antara utusan Siauw-lim-pai yang merasa penasaran sekali ketika mendengar bahwa Yo Han hendak membasmi keluarga Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Naga.

“Orang muda, engkau masih begini muda, akan tetapi sungguh tinggi hati dan sombong. Bagaimana mungkin engkau akan menghadapi para pendekar sakti dari ketiga keluarga itu? Pula, mereka adalah pendekar-pendekar sakti yang bertindak demi membela mereka yang tertindas dan menentang kejahatan, sama sekali bukan antek pemerintah. Pinceng (aku) peringatkan agar engkau berhati-hati kalau bicara. Kami adalah sahabat baik dari para pendekar itu.”

“Siancai....! Apa yang dikatakan Lo Kiat Hwesio dari Siauw-lim-pai memang benar sekali. Pemuda ini terlalu sombong dan lancang mulut. Kami dari Kun-lun-pai juga merupakan sahabat para pendekar itu dan pinto (aku) tidak suka mendengar ada orang menghina mereka. Mereka bukan antek pemerintah!”

Semua orang menengok dan yang bicara itu adalah seorang tosu (pendeta To) berusia lima puluh tahun lebih yang tinggi kurus dan barjenggot panjang,

“Kalau orang muda she Yo tidak manghentikan bualannya, pinto Ciang Tojin dari Kun-lun-pai pasti tidak akan tinggal diam saja!”

Yo Han menoleh pula kepada tosu itu, kemudian dia tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, kiranya Lo Kian Hwesio dari Siauw-lim-pai dan Ciang Tojin dari Kun-lun-pai membela para pandekar itu. Mereka itu jelas antek Mancu, bahkan Pendekar Super Sakti sendiri masih mempunyai hubungan keluarga dengan Kerajaan Mancu. Dia pun menikah dengan puteri Mancu! Pantas kalau Ji-wi (Kalian Berdua) membela, karena bukankah selama ini kuil-kuil Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai menjadi makmur berkat bantuan pemerintah Mancu? Sayang sekali, Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang besar itupun kini menjadi kecil karena diperbudak orang-orang Mancu.”

“Keparat, betapa sombongnya engkau!”
.
Bayangan berkelebat dan tosu Kun-lunpai itu sudah berada di depan Yo Han, berjajar dengan Lo Kian Hwesio. Kalau hwesio Siauw-lim-pai itu memegang seuntai tasbih hitam yang matanya besar-besar, tosu itu memegang sebatang tongkat berbentuk ular yang tingginya sepundak dan besarnya sepergelangan tangan.

Melihat mereka berdua, Yo Han sengaja tertawa lagi.
“Ha-ha-ha, kalian mau apa? Jangan dikira aku takut menghadapi kalian berdua. Kalian boleh maju berdua mengeroyok aku, kalau aku kalah, aku tidak akan banyak mulut lagi dan akan pergi dari sini. Kalau kalian kalah, jangan kalian ribut mencampuri urusanku lagi!”

Dua orang pendeta itu terpancing kemarahan mereka karena Yo Han sengaja menghina Siauw-lim-pai dan Kun-lunpai sehingga mereka lupa bahwa tidaklah pantas bagi mereka dua orang tua yang berkedudukan tinggi mengeroyok seorang pemuda! Namun, kemarahan memang membutakan kesadaran dan mendengar tantangan itu, hwesio dan tosu itu semakin marah.

“Omitohud, bocah sombong ini agaknya perlu disadarkan dengan kekerasan, To-yu!” kata hwesio itu dan dia pun mendahului tosu Kun-lun-pai, menggerakkan tasbih di tangannya menyerang Yo Han.

Tosu itu pun menggerakkan tongkatnya dan memukulkannya ke arah tubuh Yo Han, seperti seorang ayah yang marah-marah dan hendak menghajar anaknya yang bandel.

Yo Han memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya untuk menarik perhatian, terutama sekali perhatian penculik puteri bibinya atau setidaknya yang tahu akan peristiwa itu, dan agar dia dipercaya dan ditarik sebagai sekutu mereka. Maka, begitu menghadapi serangan kedua orang ahli silat kelas tinggi sebagai tokoh-tokoh partai persilatan besar, dia pun meloncat ke belakang, kemudian ketika kedua orang lawannya maju mengejar, dia pun mengerahkan tenaga yang didapat dari Bu-kek Hoat-keng dan mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut mereka.

Bukan main kagetnya kedua orang tua itu ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari kedua tangan pemuda itu bagaikan badai. Mereka berusaha menyambut dengan dorongan tangan kiri yang disertai pengerahan tenaga sin-kang. Pertemuan antara dua hawa pukulan yang amat dasyat terjadi dan akibatnya, kedua orang tua itu terdorong dan terjengkang roboh!

Tentu saja hal ini membuat semua orang terkejut. Bahkan Siangkoan Kok sendiri terbelalak. Dia tahu betapa lihainya tokoh Siauw-lim-pai dan tokoh Kun-lun-pai itu, akan tetapi dalam segebrakan saja mereka roboh oleh pukulan jarak jauh yang dahsyat!

Tiba-tiba terdengar suara lantang,
“Ah, tidak salah lagi. Dia adalah Sinciang Taihiap yang pernah menggemparkan perbatasan barat!”

Semua orang menengok dan ternyata yang bicara itu adalah seorang laki-laki tua yang berjubah pendeta dan dia bukan lain adalah Hoat Cin-jin, tokoh Go-bi-pai!

“Pinto pernah mendengar bahwa nama Pendekar Tangan Sakti yang tak pernah memperlihatkan mukanya itu adalah Yo Han yang pernah membantu para pendeta Lama di Tibet meredakan pemberontakan!”

Kini semua orang memandang lagi kepada Yo Han dan mereka tertegun. Mereka sudah mendengar kebesaran nama Sin-Ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti) yang menggemparkan di barat itu, seorang pendekar yang tidak pernah mau memperlihatkan mukanya sehingga hanya dikenal namanya saja.

Juga Siangkoan Kok sudah pernah mendengar nama Sin-ciang Tai-hiap, maka kini dia memandang kepada Yo Han dengan penuh selidik. Sedangkan tokoh Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tadi terpaksa mengakui kekalahan mereka dan mereka kembali ke tempat duduk masing-masing.

Siangkoan Kok kini maju menghampiri Yo Han.
“Saudara Yo Han, benarkah engkau yang berjuluk Sin-ciang Tat-hiap!” tanya ketua Pao-beng-pai itu.

Yo Han menghadapi pria tinggi besar yang gagah perkasa itu.
“Memang benar, Pangcu. Akan tetapi orang terlalu membesarkannya. Aku bukan seorang pendekar seperti tiga keluarga besar itu! Aku hanya ingin menyadarkan orang-orang kang-ouw yang tersesat mengganggu rakyat, agar mereka itu tidak memusuhi rakyat melainkan memusuhi pemerintah Mancu dan antek-anteknya. Pernahkah Pangcu mendengar aku membunuh seorang kang-ouw? Seperti yang dilakukan para angauta tiga keluarga besar itu?. Tidak, yang kumusuhi bukanlah orang-orang kang-ouw melainkan pemerintah Mancu dan antek-anteknya. Karena itulah maka aku sengaja datang ini untuk bekerja sama dengan orang-orang seperjuangan dan sehaluan.”

Banyak di antara para tamu, orang-orang kang-ouw yang sudah mendengar akan sepak terjang Sin-ciang Tai-hiap, senyambut ucapan itu dengan gembira. Hanya mereka yang merasa dekat dengan keluarga para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Naga saja yang memandang dengan wajah muram. Pemuda itu sungguh merupakan bahaya bagi para pendekar, terutama mereka yang tidak menentang pemerintah Mancu.

Sedangkan Siangkoan Kok merasa gembira bukan main. Inilah orang yang akan menjadi sekutu yang amat berguna baginya.

“Yo-sicu (orang gagah Yo), sudah lama kami mencari seorang sekutu yang baik dan agaknya engkaulah orangnya. Hayo aku masih merasa penasaran kalau tidak mengukur sendiri kekuatanmu, walaupun tadi engkau telah memperlihatkan tenagamu yang dahsyat. Kami akan suka sekali menjadi kawan seperjuanganmu, Sicu, akan tetapi lebih dahulu aku ingin menguji kekuatanmu. Bersediakah engkau?”

“Hemmm, aku mendapatkan kehormatan besar sekali kalau Pangcu dari Pao-beng-pai suka memberi petunjuk kepada aku yang muda dan bodoh,” kata Yo Han. “Nah, Pangcu, aku sudah siap.”

“Bagus, aku pun hanya ingin mengukur tenagamu saja, Sicu. Sambutlah doronganku ini!”

Berkata demikian, ketua Pao-beng-pai itu menekuk kedua lututnya dengan kaki terpentang, lalu kedua lengannya melakukan dorongan lurus ke depan yang dimulai dari bawah pangkal lengan, kedua tangan terbuka, jari-jari tangan agak ditekuk dan dari kedua telapak tangannya itu menyambar hawa pukulan dahsyat yang mengeluarkan bunyi berciut dan mengandung hawa dingin!

Maklum bahwa dia menghadapi serangan pukulan jarak jauh yang amat dahsyat dan berbahaya, Yo Han Juga cepat menekuk kedua lutut dan seperti tadi ketika menyerang dua orang pendeta, dia pun mengerahkan tenaga dari Bukek Hoat-keng dan dari kedua telapak tangannya menyambar hawa pukulan yang tidak kalah hebatnya.

Dua tenaga yang tidak nampak bertemu di antara mereka dan nampak tubuh mereka tergetar hebat. Yo Han sengaja tidak menyerang, hanya mempertahankan ketika tenaga lawan mendorongnya, dan ketua Pao-beng-pai itu merasa betapa dorongannya bertemu dengan perisai yang kokoh kuat seperti batu karang! Dia kagum bukan main, lalu mengerahkan seluruh tenaganya, mendorong dan dari mulutnya terdengar suara menggereng.

Yo Han tetap mempertahankan. Biarpun tenaga lawan itu kuat sekali, kalau dia menggunakan Bu-kek Hoatkeng dan balas menyerang, dia merasa yakin akan mampu mengatasi lawan. Namun bukan itu yang dikehendakinya. Maka, dia pun hanya mempertahankan dan biarpun kedua kakinya tetap memasang kuda-kuda, namun tubuhnya terdorong dan kedua kaki itu tergeser ke belakang sampai tiga kaki!

Melihat ini, ketua Pao-beng-pai semakin kagum. Jarang ada tokoh persilatan mampu menahan dorongannya itu, dan melihat betapa pemuda itu tidak sampai mengangkat kaki, tidak terjengkang melainkan hanya kedua kakinya tergeser ke belakang dalam keadaan kuda-kuda yang sama, hal ini saja membuktikan betapa kuatnya pemuda itu. Dia pun segera berseru,

“Cukup!” dan keduanya menarik tenaga masing-masing.

Siangkoan Kok agak terengah karena tadi dia mengerahkan seluruh tenaga. Yo Han cepat membuat pernapasannya memburu agar jangan diketahui orang bahwa dia lebih kuat.

“Hebat, engkau masih muda sudah memiliki tenaga yang hebat, Sicu! Cukuplah, biar lain kali saja kita berlatih silat. Engkau cukup berharga untuk menjadi sekutu kami. Mari Yo-sicu, silakan duduk di atas bersama kami. Dan engkau juga, Cia-sicu. Engkau pun sudah mampu menandingi puteri kami, berarti engkau juga cukup berharga dan layak untuk duduk di tempat kehormatan dan semeja dengan keluarga kami!”

Ketua itu gembira bukan main bahwa di antara para tamunya tardapat dua orang pemuda sepertu Cia Ceng Sun dan Yo Han. Tinggal pilih saja untuk menjadi calon mantu. Keduanya sama tampannya dan sama gagahnya. Yo Han tentu saja lebih kuat, akan tetapi Cia Ceng Sun lebih berwibawa dan terpelajar.

Pesta pertemuan itu pun dimulai dengan meriah. Yang duduk di atas sebagai tamu-tamu kehormatan adalah tokoh besar dunia kang-ouw termasuk para tokoh Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Gobi-pai dan Bu-tong-pai. Akan tetapi mereka itu duduk di meja lain, sedangkan Yo Han dan Cia Ceng Sun duduk semeja dengan Siangkoan Kok, isterinya dan puterinya.

Kalau sikap Cia Ceng Sun sopan santun dan sungkan seperti seorang pemuda yang diharuskan duduk semeja dengan nyonya dan nona rumah, Yo Han menyesuaikan diri dengan perannya sebagai seorang berandalan kang-ouw. Dia acuh saja, bahkan bersikap agak dingin! Sikap seorang pemuda kang-ouw yang tinggi hati.

Mula-mula Siangkoan Eng juga kagum bukan main melihat kelihaian Yo Han, apalagi nama besarnya sebagai Pendekar Tangan Sakti, akan tetapi karena sikapnya itu, maka perhatian gadis itu lebih banyak tertuju kepada Cia Ceng Sun yang bersikap ramah, manis dan pandai membawa diri. Bahkan ibunya pun lebih suka kepada Cia Ceng Sun daripada kepada Yo Han.

Karena mereka duduk semeja, mau tidak mau Yo Han terpaksa berkenalan pula dengan Cia Ceng Sun. Ketua Paobeng-pai sambil makan minum dan mendengarkan musik dan nyanyian, mencoba untuk mengorek keterangan tentang riwayat kedua orang pemuda yang menarik hati itu.

Cia Ceng Sun menceritakan bahwa dia seorang yatim piatu yang menerima harta warisan yang banyak dari mendiang orang tuanya yang hartawan di utara, dan sejak kecil dia suka mempelajari ilmu silat dari siapa saja sehingga tidak mempunyai guru tertentu.

“Guru saya banyak sekali, akan tetapi bukan guru tetap. ilmu silat apa saja saya pelajari, dan untuk itu saya telah menghamburkan hampir semua harta peninggalan ayah.”

Tentu saja dia berbohong. Yang tidak bohong adalah bahwa dia memang mempelajari ilmu-ilmu silatnya dari banyak guru, tanpa ada guru tetap.

“Sampai sekarang pun, saya merantau untuk menambah pengetahuan dan meluaskan pengalaman.” tambahnya.

Ketika Yo Han ditanya, dia mengaku bahwa dia juga yatim piatu seperti telah diceritakannya tadi. Tentang ilmu silat, dia katakan bahwa dia mewarisi ilmu-ilmu ibunya, dan juga dia mempelajari ilmu silat dari para tokoh Thian-li-pang di Bukit Naga.

“Tadinya, aku dipilih untuk menjadi ketua, akan tetapi karena aku tidak suka terikat, aku lalu menyerahkan kedudukan itu kepada suhengku Lauw Kang Hui.” Dia mengakhiri ceritanya.

Siangkoan Kok memandang kagum.
“Jadi Lauw Kang Hui adalah suhengmu? Pantas saja engkau lihai. Kami pernah mendapat kehormatan bertemu dengan dua orang tokoh Thian-li-pang yang sakti, yaitu Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tokong “

Yo Han mengangguk.
“Mereka adalah guru-guruku dan kini mereka sudah meninggal dunia.”

Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan tidak mengherankan kalau sebentar saja, nampak keakraban antara Cia Ceng Sun dan Siangkoan Eng. Kebetulan Cia Ceng Sun duduk di sebelah gadis itu, dan Siangkoan Eng juga bukan seorang gadis pemalu, sehingga mereka pun becakap-cakap membicarakan ilmu silat. Dari sikap dan pandang mata gadis itu, Yo Han saja dapat mengerti bahwa gadis itu tertarik kepada Cia Ceng Sun yang tampan dan gagah. Apalagi orang tua gadis itu, mereka tentu saja mengetahui.

Dalam pesta perjamuan itu, selain memperkenalkan diri, Pao-beng-pai juga menawarkan kerja sama dengan semua pihak yang menentang penjajah Mancu, tidak peduli mereka itu dari golongan hitam atau putih, dari kelompok mana pun.

“Untuk mengusir penjajah dari tanah air, satu-satunya cara adalah bersatu padu di antara seluruh golongan. Kalau kita bersatu padu, kita akan menjadi kuat dan pemerintah penjajah pasti dapat kita tumbangkan!” demikian antara lain ketua Pao-beng-pai berkata kepada para tamunya.

Pertemuan itu dibubarkan dengan kesan yang baik bagi para tamu. Pao-beng-pai mereka akui, bahkan semua orang tahu bahwa Pao-beng-pai dipimpin oleh keluarga yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Semua tamu meninggalkan rumah besar di perkampungan Pao-beng-pai di Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) itu. Kecuali Yo Han dan Cia Ceng Sun! Dua orang pemuda ini menerima undangan khusus dari pihak pimpinan Pao-beng-pai untuk tinggal selama beberapa hari di situ dengan alasan agar perkenalan semakin menjadi akrab.

Tentu saja hal ini amat menggembirakan hati Yo Han karena dia memang ingin sekali memperoleh keterangan tentang penculik puteri bibinya yang dia harapkan dapat mendengar dari perkumpulan itu.

Juga Cia Ceng Sun merasa girang. Dia melihat bahwa Pao-beng-pai merupakan bahaya besar bagi pemerintahan kakeknya, maka sebagai seorang pangeran, dia berkewajiban untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam agar dia memperoleh bahan untuk membuat pelaporan sehingga pemerintah dapat diselamatkan dan para pemberontak ini dapat dibasmi. Hanya ada sebuah hal yang membuat hati pangeran ini gelisah. Yaitu Siangkoan Eng! Dia merasa menyesal sekali mengapa seorang gadis seperti itu menjadi puteri kepala pemberontak!

Dua orang pemuda itu masing-masing memperoleh sebuah kamar di bagian belakang, kamar yang cukup mewah. Dan biarpun mereka mendapatkan kamar sendiri, namun kedua pemuda itu maklum bahwa diam-diam pihak keluarga tuan rumah selalu mengikuti gerak-gerik mereka.

Beberapa orang selalu memasang mata kalau mereka berada di dalam kamar. Hal ini membuat keduanya berhati-hati dan tidak berani sembarangan bertindak, juga mereka maklum bahwa betapapun ramahnya sikap keluarga tuan rumah, namun agaknya mereka masih belum percaya benar.