Ads

Rabu, 30 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 045

Matahari telah naik tinggi ketika rombongan tujuh orang itu berhenti di depan sebuah bangunan yang berada di puncak sebuah bukit. Tempat itu jauh dari dusun dan nampak sunyi, walaupun di kaki bukit tadi terdapat yang ditinggali orang-orang suku Tibet dan ada pula suku Miao.

Sian Lun sadar dan begitu membuka mata dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di punggung kuda, menelungkup dan melintang di depan seorang laki-laki tinggi besar yang menunggang kuda itu, dia tahu bahwa dia dibawa pergi dan hatinya merasa lega. Tentu sumoinya telah mendengar teriakannya tadi sebelum dia ditotok pingsan dan sumoinya tidak mau mendekati tempat yang sudah dipasangi jebakan berbahaya itu. Biarlah, biar dia dibunuh sekalipun, asal sumoinya selamat, dia ikut girang.

“Suheng....!”

Sian Lun menengok ke kiri dan terkejut bukan main. Dia terbelalak dan tidak mampu mengeluarkan suara. Lehernya seperti dicekik dan dadanya seperti hendak meledak. Kiranya Sian Li juga telah tertangkap seperti dia! Diikat kaki tangannya, ditelungkupkan di punggung kuda dan sama sekali tidak berdaya. Sungguh celaka!

Melihat wajah suhengnya menjadi pucat dan matanya terbelalak, Sian Li tersenyum!
“Suheng, kita belum mati!” katanya dan ucapan ini membesarkan hatinya.

Benar juga. Mereka masih hidup dan selama mereka masih hidup, dia tidak boleh putus asa! Kalau mereka ditawan dan tidak dibunuh, hal itu hanya berarti bahwa para penawan mereka tidak menghendaki kematian mereka. Sementara ini, bahaya maut masih jauh dan masih ada harapan bagi mereka berdua untuk mencari jalan membebaskan diri.

Sian Li memberi isyarat dengan kedipan mata lalu memejamkan matanya, dan Sian Lun mengerti, maka dia pun tidak mau bicara lagi. Lebih baik mengumpulkan tenaga untuk bersiap-siaga, di mana ada kesempatan mereka akan membebaskan diri.

Rombongan itu memasuki pekarangan rumah, kemudian dua orang tawanan dipanggul masuk ke dalam rumah, dibawa ke dalam sebuah ruangan. Di dalam rumah itu terdapat belasan orang, kesemuanya berkepala gundul dan mengenakan jubah hitam. Kiranya tempat itu merupakan sarang Hek I Lama yang menjadi orang-orang buruan pemerintah Tibet!

Sian Lun dan Sian Li dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang berdampingan, dipisahkan dinding terali besi yang kokoh kuat. Mereka dapat saling lihat, akan tetapi dinding pemisah itu kuat bukan main. Juga ruangan tahanan itu mempunyai pintu besar terbuat dari besi berterali yang kokoh, dikunci dari luar.

Ketika dimasukkan ke dalam ruangan tahanan, ikatan kedua kaki mereka dilepas dan kini hanya kedua tangan mereka saja yang masih terbelenggu ke belakang. Setidaknya, mereka dapat bergerak, dapat berdiri atau duduk. Mereka lalu duduk bersila, mengatur pernapasan.

Sian Li berpikir. Ia melihat bahwa tujuh orang tadi sesungguhnya juga para anggauta Lama Jubah Hitam yang menyamar, menutupi kepala gundul mereka dangan kain hitam dan pakaian mereka juga ringkas, tidak mengenakan jubah pendeta. Jelas bahwa ia dan suhengnya tertawan oleh para pendeta Lama jubah hitam yang menurut keterangan dipimpin oleh Lulung Lama.

Pendeta Tibet itu merupakan pimpinan golongan pendeta Lama yang tidak sah, yang dimusuhi pemerintah Tibet sendiri, dan golongan ini telah bersekutu dengan gerombolan dari Nepal yang juga merupakan pemberontak di negaranya sendiri.

Mereka itu melakukan gerakan menghasut dan mengobarkan sikap anti pemerintah Ceng di Cina, dan agaknya mereka itu hendak melakukan gerakan pemberontakan di Cina dan kini sedang menyusun kekuatan. Semua ini ia dengar dari Gangga Dewi ketika ia masih berada di Bhutan. Akan tetapi kenapa Lama Jubah Hitam menawan ia dan suhengnya?

“Sumoi, kau baik-baik saja?”

Tiba-tiba suara Sian Lun ini menyadarkan Sian Li dari lamunannya. Ia mengangkat muka memandang dan suhengnya telah berdiri di dekat jeruji pemisah kamar tahanan mereka. Kedua tangan suhengnya juga masih terbelenggu. Ikatan itu longgar saja, akan tetapi tidak mungkin dipatahkan, karena tali untuk mengikatnya adalah dari kulit yang amat kuat, yang dapat melentur sehingga tidak dapat dibikin putus.

“Aku tidak apa-apa, Suheng. Dan mereka tidak melukaimu?”

“Tidak, hanya menotok dan membius. Bahkan lukaku di pundak tahu-tahu telah kering dan mereka obati. Sungguh aneh, apa maksud mereka itu menawan kita?”

“Aku sendiri tidak tahu, Suheng. Akan tetapi mulai sekarang, engkau harus berhati-hati dan jangan terburu nafsu, dapat menahan diri melihat keadaan. Karena engkau terburu nafsu, maka telah berlaku sembrono sehingga kita tertawan.”

“Maafkan aku, Sumoi. Memang aku ceroboh, semestinya aku tidak mengejar mereka. Akan tetapi engkau.... aku berterima kasih padamu, Sumoi. Engkau telah membelaku sehingga engkau sendiri tertawan.”

Melihat pandang mata suhengnya itu penuh kasih dan keharuan, Sian Li menarik napas panjang.

“Sudahlah, tidak perlu disebut-sebut lagi. Kita adalah kakak beradik seperguruan, tentu saja saling bantu dan saling bela.”

Tiba-tiba Sian Li memberi isyarat dengan kedipan mata dan Sian Lun menghentikan percakapan, membalikkan badan untuk memandang ke depan kamar tahanan itu, melalui jeruji di pintu besi.






Dia menahan kemarahannya ketika melihat seorang yang amat dikenalnya, yaitu penabuh tambur murid Lulung Lama yang lihai itu! Ingin dia memaki, akan tetapi dia takut kalau dianggap ceroboh lagi oleh sumoinya, maka dia pun diam saja, hanya memandang dengan mata penuh kebencian, dan menyerahkan saja kepada sumoinya untuk menentukan sikap dan kalau perlu bicara. Dia sudah mendapat keterangan bahwa pemuda ini adalah murid Lulung Lama, bernama Cu Ki Bok, seorang peranakan Han Tibet.

Karena dia pernah bertanding melawan pemuda yang tinggi tegap dan gagah ini, dia tahu bahwa murid Lulung Lama ini amat lihai.

“Selamat sore, Nona Tan Sian Li dan sobat Liem Sian Lun. Selamat bertemu kembali!” kata Cu Ki Bok sambil tersenyum dan kini sikapnya sungguh berbeda dengan ketika dia menyamar sebagai tukang tambur itu.

Kini sikapnya riang dan ramah, matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum sedangkan pakaiannya juga pesolek sehingga membuat dia nampak makin gagah dan tampan.

“Hemm, kiranya engkau pula yang mengatur semua kecurangan ini! Cu Ki Bok, kalau engkau memang gagah, mari kita bertanding sampai seorang di antara kami menggeletak menjadi mayat, bukan melakukan pengeroyokan dan perangkap yang curang! Engkau pengecut tak tahu malu!” Sian Li memaki-maki.

Yang dimaki-maki tersenyum saja.
“Kalau saja Suhu tidak mempunyai rencana lain denganmu, tentu aku akan suka sekali menyambut tantanganmu itu, Nona dengan taruhan bahwa kalau aku kalah, engkau boleh membunuhku, akan tetapi kalau aku menang, engkau harus menjadi isteriku.”

Wajah Sian Li berubah merah sekali dan matanya memancarkan cahaya berapi saking marahnya.

“Huh, tak tahu malu! Siapa sudi menjadi jodohmu?, Engkau hanya seorang peranakan Han yang sudah lupa diri, suka menjadi budak orang Tibet dan Nepal, menjadi antek pemberontak!”

“Nona, kalau bukan engkau yang bicara, tentu sudah kurobek mulutmu! Coba ingat baik-baik, kalian ini bangsa apakah, Nona Sian Li dan Sobat Sian Lun? Kalian mengaku orang Han, mengaku penduduk asli, bahkan mengaku sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi apa yang kalian lakukan untuk negara dan bangsa kita yang terjajah oleh bangsa Mancu? Aku memang memberontak terhadap penjajahan orang Mancu, aku seorang patriot, seorang pahlawan sejati! Dan kalian masih memandang rendah dan memaki aku? Padahal, dengan sikap kalian yang tidak menentang pemerintah penjajah, berarti kalian sudah menjadi antek orang Mancu yang menjajah negara dan bangsa kita!” Setelah berkata demikian, Cu Ki Bok meninggalkan tempat itu dengan cepat.

Sian Li saling pandang dengan suhengnya, ucapan pemuda tinggi tegap peranakan Han Tibet itu tadi seperti ujung pedang yang menusuk-nusuk jantung mereka karena tepat sekali mengenai sasaran, Mereka sudah seringkali mendengar dari guru mereka, Suma Ceng Liong dan Isterinya, bahwa mereka itu kini selalu prihatin melihat betapa tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mancu. Bahkan Suma Ceng Liong mengakui bahwa di dalam darah keluarga Suma, yaitu keluarga keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, mengalir pula darah Mancu!

Isteri Pendekar Super Sakti Suma Han adalah wanita-wanita Mancu. Inilah sebabnya mengapa sampai sekarang, tidak ada keturunan keluarga Suma yang menentang pemerintah Mancu. Padahal keluarga ini terkenal sebagai keluarga para pendekar yang gagah perkasa!

Dan sekarang, pemuda peranakan Han Tibet yang menawan mereka itu telah mencela mereka. Salahkah mereka? Benarkah pemuda peranakan Han Tibet itu? Sian Li menjadi bingung dan termenung.

“Sumoi, jangan dengarkan dia,” terdengar Sian Lun berkata, “pahlawan macam apa dia itu? Menggunakan orang-orang Tibet dan Nepal, menawan kita secara curang dan pengecut. Seorang gagah sejati tidak akan melakukan perbuatan seperti itu. Jelas bahwa gerombolan itu jahat seperti apa yang dikatakan Bibi Gangga Dewi, mungkin kepatriotannya itu hanya sebagai kedok saja.”

Sian Li memejamkan mata. Memang, neneknya, Gangga Dewi sudah menceritakan tentang Hek I Lama, yaitu kelompok pendeta Lama Jubah Hitam yang dipimpin oleh Lulung Lama. Kelompok pendeta ini telah melakukan penyelewengan. Mula-mula, Lulung Lama adalah orang pendeta Lama Jubah Merah yang memiliki kedudukan cukup tinggi di antara para pendeta Lama di Tibet. Akan tetapi dia melakukan pelanggaran, mengganggu wanita, bahkan melakukan perbuatan rendah dengan memperkosa wanita.

Kejahatan ini diketahui dan dia tidak dapat diampuni lagi, dikeluarkan dari kelompok Lama Jubah Merah di mana dia tadinya menjadi tokoh. Lulung Lama merasa sakit hati dan dia pun lalu membentuk kelompok sendiri dengan mengenakan Jubah Hitam. Baru warna Jubahnya saja sudah berarti bahwa dia tidak segan melakukan perbuatan jahat seperti golongan hitam! Dia segera diikuti oleh golongan hitam di daerah Tibet yang menjadi anak buahnya.

Kemudian, Lulung Lama berkenalan dengan Pangeran Gulam Sing, yaitu pangeran dari Nepal yang menjadi orang buruan di negaranya karena dia melakukan pemberontakan. Pangeran Gulam Sing juga mempunyai banyak anak buah.

Kedua orang tokoh sesat itu lalu bergabung membuat kekacauan di daerah Nepal, Bhutan dan Tibet, bahkan merencanakan pemupukan kekuatan untuk melakukan serbuan ke timur, menentang pemerintah Mancu dan menghasut orang-orang Han untuk bersekutu dengan mereka dan memberontak terhadap pemerintah Kerajaan Mancu dengan dalih kepatriotan!

“Mungkin engkau benar, Suheng. Bagaimanapun juga, kita harus waspada dan berhati-hati. Cu Ki Bok itu lihai dan gurunya lebih lihai lagi. Ditambah dengan anak buah Hek I Lama yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, kita berada dalam bahaya.”

Tempat tahanan mereka itu tidak pernah lowong dari penjagaan di luar ruangan. Sedikitnya ada empat orang penjaga yang berada di luar ruangan itu, kesemuanya adalah anggauta Hek I Lama dengan ciri khas mereka, yaitu kepala gundul dan jubah hitam.

Mereka tidak pernah diganggu oleh para penjaga, bahkan secara teratur mereka mendapatkan makan dan minum yang layak, dimasukkan ke dalam melalui jeruji besi oleh penjaga, di atas sebuah baki. Ada nasi, ada sayur, dan ada air teh.

Malam tiba dan di luar kamar tahanan itu dipasangi lampu minyak. Ada dua buah lampu yang cukup terang. Sian Li merasa tubuhnya segar dan sehat. Ia dan suhengnya diperlakukan dengan baik. Bahkan sore tadi, ia mendapat kesempatan untuk mandi, bertukar pakaian. Dia dikawal ke tempat mandi yang berada di bagian belakang, dikawal empat orang dengan todongan golok, belenggu kedua tangannya dilepas dan sebagai gantinya, kaki dan tangannya dipasangi rantai yang cukup membuat ia mampu bergerak untuk mandi, dan lain-lain. Ia tidak begitu bodoh untuk memberontak atau melarikan diri walau kaki dan tangannya dirantai, Kalau ia mau, tentu saja itu merupakan kesempatan.

Namun, ia tahu pula bahwa usahanya itu tidak akan berhasil. Terlalu banyak lawan yang tangguh di situ, dan pula, andaikata ia mampu melarikan diri, suhengnya masih tertinggal di sana. Setelah ia membersihkan diri dan berganti pakaian, lalu tiba giliran Sian Lun.

“Suheng, jangan membuat ulah,” pesannya ketika pemuda itu digiring keluar.

Dan ia girang melihat suhengnya datang lagi dengan pakaian bersih dan wajah yang segar. Mereka harus memberi kesempatan yang lebih baik agar keduanya dapat meloloskan diri.

Selagi Sian Li duduk bersila mengatur pernapasan untuk melatih sin-kang, ia mendengar percakapan empat orang penjaga di luar kamar tahanan itu. Ia memperhatikan. Siapa tahu dari percakapan itu ia dapat mengumpulkan keterangan yang penting.

“Heran, kenapa kita harus bersusah payah menjaga dua orang tahanan ini siang malam dan melayani mereka seperti tamu di rumah penginapan saja? Kenapa tidak dibunuh saja mereka agar tidak merepotkan?” terdengar seorang di antara mereka bicara.

“Hushh, bodoh kamu! Apa tidak melihat betapa cantiknya tawanan itu?” kata yang lain.

“Hemm, kalau muda dan cantik, lalu kenapa? Justeru semestinya dimanfaatkan untuk hiburan kita, bukan dijadikan tamu yang hanya merepotkan saja!” omel suara pertama.

“Aih, engkau lancang sekali! Untung tidak terdengar Thai-losu (Guru Besar) atau Cu Kongcu (Tuan Muda Cu). Kalau terdengar bisa diketuk kepalamu!” tegur suara ke tiga.

“Kita senasib sependeritaan, kalau bukan dengan kalian bertiga, mana aku berani sembarangan membuka mulut? Coba siapa berani membantah sejujurnya! Bukankah keluhanku tadi juga menjadi suara hati kalian?” kata orang pertama.

“Sudah, kalian tidak usah ribut-ribut.” kata suara ke empat. “Apa kalian tidak tahu urusan? Dua orang tawanan ini adalah pendekar-pendekar Han, tentu saja diperlakukan dengan baik oleh Thai-losu. Pula, agaknya Thai-losu ingin menyenangkan hati Pangeran Gulam Sing. Mereka berdua besok pagi datang ke sini dan engkau tahu sendiri selera pangeran itu terhadap wanita cantik.” Mereka berempat berbisik-bisik sambil tertawa.

Sian Li mendengarkan dengan alis berkerut dan hatinya menjadi tegang. Bahaya besar mengancam dirinya! Agaknya orang yang mereka sebut Thai-losu tadi adalah Lulung Lama, dan ia akan dihadiahkan kepada seorang pangeran yang bernama Gulam Sing, seorang pangeran Nepal yang haus wanita!

Tentu saja Sian Li merasa khawatir sekali. Jelas bahwa pada malam hari ini, Lulung Lama tidak berada di tempat itu dan agaknya besok pagi baru akan tiba. Yang berada di situ hanya anak buah Hek I Lama dan pemuda murid Lulung Lama itu. Kalau saja ia dan suhengnya dapat keluar dari kamar tahanan dan mematahkan rantai, tentu mereka berdua akan dapat meloloskan diri!

Akan tetapi, bagaimana caranya? Ia melirik ke arah suhengnya dan pemuda itu pun sedang duduk bersila dan menoleh kepadanya dengan wajah gelisah. Tentu suhengnya tadi mendengar pula percakapan di luar kamar tahanan itu dan mengkhawatirkan dirinya yang akan dihadiahkan kepada Pangeran Gulam Sing!

Malam telah larut, agaknya sudah lewat tengah malam. Ia melihat suhengnya dengan hati-hati menghampiri pintu, lalu kedua tangan suhengnya mencoba untuk merenggangkan jeruji pintu dari baja itu, ia sendiri pun segera mencoba usaha merenggangkan jeruji pintu. Namun sia-sia. Jeruji pintu dari baja itu terlampau kokoh.

Tiba-tiba empat orang penjaga yang tadi masih terdengar berbisik-bisik itu nampak membuat gaduh. Seorang di antara mereka berseru lantang,

“Siapa itu.?”

Akan tetapi, tidak ada jawaban dan suasana menjadi sunyi sekali, bahkan empat orang penjaga itu tidak terdengar lagi suaranya maupun gerakannya. Selagi Sian Li dan Sian Lun merasa heran dan tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, nampak sesosok bayangan orang berkelebat dan dua buah lampu penerangan di luar kamar tahanan itu mendadak padam.

Kini tempat itu hanya mendapat penerangan dari sinar lampu yang agak jauh sehingga remang-remang dan tidak jelas. Sian Li melihat sesosok bayangan hitam itu berkelebat di luar pintu kamar tahanan Sian Lun, dan orang itu yang mengenakan caping lebar menutupi mukanya, berbisik kepada pemuda itu.

“Tak perlu bertanya-tanya. Cepat dekatkan tanganmu ke sini.”

Sian Lun segera mengerti bahwa orang itu datang untuk menolongnya, maka dia pun menghampiri pintu dan mendorongkan kedua tangannya yang dibelenggu. Terdengar suara berkeretakan dan belenggu kedua tangan Sian Lun terlepas! Bayangan itu menyerahkan dua batang pedang kepada Sian Lun dan berkata lagi.

“Cepat bebaskan sumoimu dan kalian lari dari sini!”

Sian Lun keluar dari kamar tahanan karena daun pintunya ternyata telah dibuka dan juga kamar tahanan Sian Li telah terbuka dan juga kamar tahanan telah terbuka daun pintunya.

Dia meloncat masuk ke dalam kamar tahanan sumoinya, dengan menggunakan pedang, dia membebaskan dara itu dari belenggu. Dapat dibayangkan betapa girang dan juga heran hati kedua orang muda ini ketika mendapat kenyataan bahwa dua batang pedang yang diserahkan oleh orang itu adalah pedang mereka sendiri yang tadi dirampas oleh para anggauta Hek I Lama!

Mereka berloncatan keluar dari kamar tahanan, memegang pedang masing-masing dan mereka mencari-cari dengan mata mereka. Penolong tadi telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Mereka hanya melihat empat orang penjaga di luar kamar tahanan dan empat orang ini berada dalam keadaan aneh. Ada yang sedang duduk, ada yang berjongkok, ada yang berdiri, bahkan ada yang sedang mencabut golok dan sikapnya seperti orang hendak meloncat. Akan tetapi mereka semua tidak bergerak dan seperti telah berubah menjadi patung!

Tahulah Sian Li dan Sian Lun bahwa mereka telah menjadi korban totokan yang amat ampuh! Mereka tidak mempedulikan empat orang penjaga itu dan berlari keluar dari situ, menuju ke lorong dari mana mereka dapat keluar melalui taman di samping rumah untuk kemudian meloncat pagar tembok.

Akan tetapi ketika mereka sudah keluar dari rumah dan tiba di dalam taman tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring.

“Tawanan lolos! Tawanan lolos!”

“Itu mereka di taman....!”

“Kepung....!”

Sian Li dan Sian Lun melihat belasan orang yang dipimpin oleh Cu Ki Bok sendiri melakukan pengejaran! Mereka sudah siap untuk malawan mati-matian. Tiba-tiba di belakang mereka ada suara orang.

“Cepat kalian lari meloncat tembok, biar aku yang menahan mereka!”

Orang bercaping itu lagi! Karena keadaan mendesak, dua orang muda itu tidak sempat bicara lagi. Mereka mentaati petunjuk penolong itu dan dengan cepat mereka berlari ke pagar tembok dan meloncat ke atasnya. Ketika tiba di atas pagar tembok, Sian Li sempat menengok dan ia memandang kagum.

Penolong mereka yang bercaping itu, seorang diri dan tanpa senjata, telah berhasil menghadang belasan orang yang dipimpin oleh Cu Ki Bok yang amat lihai itu! Tubuh Si Caping itu berkelebatan seperti seekor burung walet menyambar-nyambar dan menghalangi setiap orang yang hendak melakukan pengejaran! Dan setiap orang, bahkan Cu Ki Bok sendiri, terpental ke belakang begitu dihadang dan dihalangi orang bercaping itu!

“Mari cepat, Sumoi!” kata suhengnya dan Sian Li terpaksa cepat meloncat keluar dan bersama suhengnya ia pun melarikan diri meninggalkan tempat itu.

Namun, penglihatan tadi tak pernah dapat dilupakan. Betapa lihainya kepandaian orang bercaping itu!

Setelah malam berganti pagi, baru kedua kakak beradik seperguruan itu menghentikan lari mereka. Keduanya merasa amat lelah dan mereka berhenti di luar sebuah dusun, melepas lelah. Dusun itu mulai hidup. Penghuninya mulai meninggalkan dusun, membawa alat pertanian untuk mulai bekerja di sawah ladang.

“Suheng, kita telah ditolong oleh orang bercaping itu.” kata Sian Li, terharu karena tidak mengira bahwa mereka akan dapat lolos sedemikian mudahnya.

“Kita berhutang budi, bahkan mungkin hutang nyawa kepada orang itu, Sumoi,” kata pula Sian Lun, masih tertegun.

“Siapakah dia, Suheng? Apakah engkau dapat melihat mukanya?”

Sian Lun menggeleng kepala.
“Ketika dia menolong kita, kedua buah lampu itu padam dan cuaca terlalu gelap untuk dapat mengenal mukanya. Apalagi caping lebar itu menyembunyikan mukanya. Bahkan aku tidak tahu apakah dia itu muda atau tua, laki-laki atau wanita.”

“Dia jelas laki-laki, Suheng. Suaranya berat dan tubuhnya juga tegap seperti tubuh laki-laki. Sungguh sayang keadaan tidak mengijinkan kita untuk berkenalan dengan dia, Suheng. Sungguh tidak enak rasanya diselamatkan orang tanpa mengenal dia siapa, bahkan tidak melihat wajahnya sehingga selain kita tidak tahu siapa dia, juga kalau berjumpa kita tidak akan mengenalnya.”

“Sudahlah, Sumoi. Bukankah Suhu dan Subo seringkali mengatakan bahwa di dunia ini banyak terdapat orang aneh dan lihai, dan bahwa para pendekar tidak pernah mau mengikat diri dengan dendam dan budi? Dia tentu seorang pendekar aneh yang tidak mau menanam budi, maka menolong secara sembunyi dan tidak memperkenalkan diri. Kita patut bersyukur bahwa kita telah terbebas dari bahaya maut, bahkan menerima kembali pedang kita, dalam keadaan sehat. Luka di pundakku juga sudah sembuh.”

“Akan tetapi buntalan pakaian kita lenyap, dan juga bekal emas permata yang amat berharga dari Nenek Gangga Dewi dirampas penjahat-penjahat itu! Padahal, kita perlu membeli pakaian pengganti dan untuk bekal dalam perjalanan.”

Sian Lun meraba-raba bajunya dan mengeluarkan beberapa potong perak, dari saku bajunya.

“Ini masih ada beberapa potong perak dalam saku bajuku. Kita masih dapat membeli makanan untuk beberapa hari lamanya. Mengenai pakaian.... wah, terpaksa sementara ini tidak bisa ganti.”

Mereka melanjutkan perjalanan. Peta perjalanan itu pun lenyap dan mereka memasuki dusun, untuk membeli makanan dan menanyakan jalan. Sambil membeli makanan sederhana di sebuah kedai kecil, mereka mendapat keterangan dan ternyata mereka telah meninggalkan pantai Sungai Yalu-cangpo sejauh tiga puluh mil lebih! Dan perjalanan melalui darat ke timur amat sukar karena melalui bukit-bukit, hutan-hutan dan daerah liar, di mana terdapat banyak bahaya.

Jalan raya yang biasa dipergunakan rombongan pedagang, masih belasan li jauhnya dari situ. Menurut keterangan penduduk dusun itu, kalau hendak melakukan perjalanan ke timur, paling aman dan paling cepat adalah melalui Sungai Yalu-cangpo, maka mereka terpaksa harus kembali ke utara sampai ke tepi sungai, mempergunakan perahu.

“Aih, kita harus kembali lagi ke tepi sungai, Suheng. Akan tetapi, setelah tiba di sana, bagaimana kita dapat menyewa perahu kalau kita tidak mempunyai bekal uang lagi?”

“Bagaimana nanti sajalah, Sumoi.”

Percakapan mereka terhenti ketika seorang anak laki-laki berusia lebih empat belas tahun menghampiri mereka. Dengan suara lirih dan logat Tibet yang asing dia berkata,

“Saya disuruh seseorang untuk menyerahkan buntalan ini kepada Jiwi (Anda Berdua).”

Anak itu menyerahkan sebuah buntalan dan melihat buntalan itu, Sian Lun meloncat kaget dan girang. Itu adalah buntalan pakaiannya yang dirampas oleh orang-orang Hek I Lama!

“Siapa yang menyuruhmu? Di mana dia sekarang?”

Anak itu menggeleng kepala.
“Aku tidak tahu dia siapa. Seorang yang memakai caping, mukanya tidak kelihatan jelas. Dia memberi aku sekeping perak dan menyuruh aku menyerahkan buntalan ini kepada seorang nona berbangsa Han yang berpakaian merah, dan yang berada di kedai ini”. Setelah menyerahkan buntalan, dia pergi.

Sian Li membuka buntalan dan memeriksa. Masih lengkap! Bahkan buntalan terisi emas permata pemberian Gangga Dewi juga masih lengkap berada di situ! Hampir ia bersorak saking gembiranya. Ia mengikat lagi buntalannya di punggung lalu berkata,

“Aku akan mencari dia!”

“Tidak perlu, Sumoi. Tidak akan bisa kau temukan. Jelas bahwa dia sengaja tidak mau memperkenalkan diri dan tentu telah pergi jauh.”

Sian Li memaklumi kebenaran ucapan suhengnya. Orang itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan kalau dia tidak menghendaki, tidak mungkin ia dapat mengejarnya.

“Sayang sekali. Aku ingin sekali bertemu dan berkenalan dengannya, Suheng dan mengapa pula dia menolong kita secara sembunyi dan tidak mau bertemu dengan kita.”

“Tentu ada sebabnya yang dia sendiri saja mengetahuinya, Sumoi. Kelak kalau dia menghendaki, tentu kita akan dapat bertemu dengannya. Sekarang, sebaiknya kalau kita mencari dan membeli kuda agar perjalanan ke pantai dapat dilakukan lebih cepat. Juga engkau perlu membelikan pakaian pengganti untukku. Penolong kita itu agaknya hanya memperhatikanmu dan mengambilkan buntalan pakaianmu sedangkan pakaianku tidak dia ambilkan.”

Sian Lun tertawa, sama sekali tidak merasa iri kepada sumoinya. Sian Li juga tertawa, akan tetapi entah mengapa, jantungnya berdebar mendengar bahwa penolong mereka itu agaknya amat memperhatikannya!