Ads

Selasa, 22 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 028

Dua orang kakek yang kini sudah condong ke arah kesesatan dan tidak pantang melakukan kecurangan itu, berpura-pura menyesal dan bertaubat, dan tentu saja Ciu Lam Hok mau memaafkan kedua orang suhengnya asal mereka itu mengubah haluan Thian-li-pang yang menyeleweng, kembali ke jalan benar yang biasa ditempuh perkumpulan para pendekar. Setelah akur kembali, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong membujuk sute mereka itu untuk menceritakan ilmu aneh dan hebat apa yang membuat sute mereka itu demikian lihai sekarang.

"Aku terbujuk oleh mereka," kakek buntung itu melanjutkan ceritanya yang amat menarik hati Yo Han. "Kuceritakan bahwa aku telah menemukan kitab ilmu Bu-kek-hoat-keng yang pernah diperebutkan para datuk. Itulah kesalahanku. Aku lupa bahwa amat sukar bagi seorang yang telah menjadi hamba nafsunya untuk kembali ke jalan benar. Mereka dapat berpura-pura, akan tetapi sukarlah bagi seseorang untuk benar-benar bertaubat. Biasanya, pernyataan bertaubat itu hanya terjadi karena mereka menderita sebagai akibat perbuatan mereka. Kalau penderitaan itu telah lewat, maka mereka lupa lagi akan pernyataan mereka untuk bertaubat, bahkan melakukan kejahatan lebih besar lagi untuk menebus kekalahan mereka."

Yo Han mengangguk-angguk.
"Kalau saja mereka itu memiliki iman kepada Tuhan sampai ke tulang sumsum mereka, tentu mereka akan menyerah kepada Tuhan dan kalau sudah begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan mampu menuntun mereka kembali ke jalan benar. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu mengendalikan nafsu yang selalu ingin meliar."

"Heh-heh, engkau memang anak aneh!” kata kakek itu. "Nah, karena kelengahanku, pada suatu hari, aku menjadi korban perangkap mereka. Aku keracunan dan tidak mampu lagi menandingi mereka. Dalam keadaan terluka dan keracunan itu, mereka mendesakku untuk menyerahkan kitab ilmu Bu-kek-hoat-keng. Akan tetapi, kitab itu telah kubakar, hanya isinya telah kupindahkan ke dalam kepalaku, tercatat dalam ingatan.

Karena aku berkeras tidak mau membuka rahasia Bu-kek-hoat-keng, mereka menjadi marah. Mereka menyiksaku, bahkan membuntungi kaki tanganku dan melemparku ke dalam sumur ini, delapan tahun lebih yang lalu. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa ilmu Bu-kek-hoat-keng dapat kupergunakan untuk menyelamatkan nyawaku, bahkan membersihkan tubuhku dari pengaruh luka dan racun mereka, ha-ha-ha!"

Yo Han mendengarkan dengan hati ngeri.
"Betapa kejam mereka!" katanya penasaran. "Ah, tentu Locianpwe telah mengalami penderitaan hebat selama delapan tahun di dalam sumur ini. Akan tetapi, Locianpwe berilmu tinggi, mengapa tidak berusaha keluar dari sini?"

Kakek itu menghela napas panjang.
"Betapapun hebatnya ilmu Bu-kek-hoat-keng, akan tetapi tentu saja tanpa kaki dan tangan, bagaimana aku dapat merayap naik? Loncatanku pun tidak akan mencapai tinggi sumur ini yang sekitar dua puluh meter. Dan andaikata aku berhasil naik, kalau di sana aku diserang oleh dua orang suhengku, dalam keadaan tak bertangan tak berkaki ini, aku pun pasti kalah."

"Sungguh mereka itu kejam sekali, tega melakukan perbuatan yang begini keji terhadap adik seperguruan sendiri. Akan tetapi, Locianpwe, kalau mereka sudah melempar Locianpwe ke sini, berarti mereka menghendaki kematianmu. Kenapa mereka tidak langsung saja membunuhmu, bahkan setelah melempar Locianpwe ke sini, setiap hari mereka masih mengirim makanan untukmu?"

"Yo Han, apakah engkau tidak dapat menduganya?"

Pemuda remaja itu mengerutkan alisnya, kemudian mengangguk.
"Aku mengerti sekarang. Bukankah mereka itu sengaja tidak membunuh Locianpwe, hanya membuat Locianpwe tidak berdaya, dengan maksud agar Locianpwe akhirnya menyerah dan memberikan rahasia-rahasia Bu-kek-hoat-keng kepada mereka?"

"Engkau benar, Yo Han. Akan tetapi, aku tak pernah mau menyerah. Biarpun siksaan ini kadang membuat aku menjadi hampir gila, membuat aku meraung dan menangis. Akan tetapi aku tidak mau menyerahkan ilmu itu, sampai mati pun aku tidak mau. Aku hanya menanti sampai Tuhan mengirim seseorang untuk mewarisi ilmuku, bukan untuk menolongku. Setelah ilmuku ada yang mewarisinya aku lebih suka mati. Apa artinya hidup bagiku dalam keadaan seperti ini? Kalau selama ini aku bertahan hidup, hanya agar ilmu-ilmuku jangan sampai lenyap dengan sia-sia. Dan terima kasih kepada Tuhan! Engkau dikirim Tuhan ke sini, Yo Han! Engkaulah yang akan menjadi muridku, menjadi ahli warisku!"

"Tapi, Locianpwe, aku.... aku tidak mau belajar silat. Aku tidak mau menggunakan kekerasan, tidak mau berkelahi."

"Heh-heh-heh, anak tolol. Siapa bilang aku hendak mengajarkan silat kepadamu?"

"Tapi, ilmu apakah Bu-kek-hoat-keng itu?"

"Ya, semacam ilmu menyehatkan badan, tidak bedanya dengan ilmu tari dan senam yang kau pelajari dari Thian-te Tok-ong, hanya jauh lebih tinggi tingkatnya. Yo Han, engkau mau menjadi murid seorang yang jahat dan kejam seperti Thian-te Tok-ong, dan engkau menolak menjadi muridku? Engkau memilih menjadi muridnya?"

"Bukan begitu, Locianpwe. Akan tetapi, mengajak Locianpwe naik, tentu akan diserang oleh dua orang suheng Locianpwe itu. Kalau di sini, bagaimana mungkin aku tinggal di sini bersamamu?"

"Heh-heh, soal itu mudah dibicarakan nanti. Yang terpenting, Yo Han, katakanlah. Maukah engkau menjadi muridku? Ingat, sisa hidupku hanya kupertahankan untuk menanti saat seperti ini! Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, sudahlah, aku tidak mau hidup lebih lama lagi, biar untuk semenit pun. Sekali menghempaskan diri ke dinding, kepalaku akan pecah dan nyawaku akan melayang!"






Yo Han terkejut. Dia tahu bahwa kakek ini selain amat lihai, juga memiliki watak yang aneh, maka tentu ancaman itu bukan gertak sambal belaka. Mengingat akan pengalaman kakek ini, maka dia tentu tidak berbohong. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh membiarkan kakek ini membunuh diri. Kalau dia menolak dan kakek ini benar-benar membunuh diri, berarti bahwa dialah penanggung jawabnya, dialah yang membunuh atau menyebabkan kematian kakek itu! Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

"Suhu, teecu akan mentaati petunjuk Suhu."

Tiba-tiba rambut kepala yang panjang itu menyambar, melibat-libat tubuh Yo Han seperti pengganti kedua lengan, merangkul dan mendekap, dan kakek itu tertawa-tawa bergelak. Akan tetapi, tak lama kemudian, rambut itu terlepas dan kakek itu pun menangis sesenggukan!

"Ah, engkau kenapakah, Suhu?" Yo Han bertanya, kaget dan khawatir.

Kakek itu tertawa kembali.
"Ha-ha ha, tidak apa, muridku. Aku hanya merasa girang dan terharu. Tuhan sungguh Maha Adil, akhirnya permohonanku dikabulkan! Mari, Yo Han, kita harus cepat menyingkir. Kalau terlambat, jangan-jangan kegembiraan hatiku akan berakhir dengan kematian kita berdua."

"Eh, kenapa begitu, Suhu?"

"Sudah, tidak ada waktu untuk bicara sekarang. Kita harus bertindak. Lihat di sudut itu."

Yo Han menoleh dan dia melihat bahwa di sudut dindingnya merupakan sebuah batu sebesar gajah yang menutupi dinding batu padas. Dia melihat kakek ia meloncat-lancat mendekati batu dan dia pun mengikuti.

"Batu ini kutarik lepas dari tanah, menggunakan rambut dan hidungku saja. Pekerjaan itu berhasil setelah aku berusaha selama satu tahun! Dan tahun-tahun berikutnya kupergunakan untuk membuat terowonan yang menembus ke sumur lain, sumur alam. Batu ini menjadi pintunya. Sekarang, sebelum bahaya menimpa kita, kita harus pindah ke sumur kedua itu melalui terowongan. Mari bantu aku menggeser batu ini ke samping, Yo Han."

Sebelum Yo Han mentaati perintah itu, tiba-tiba terdengar suara dari atas lubang sumur. Suara itu nyaring dan memasuki sumur dengan kuatnya seperti akan membikin pecah anak telinga, dan mendatangkan gema sehingga suara itu terdengar aneh dan menyeramkan, bukan seperti suara manusia lagi.

"Ciu Sute....!" Panggilan ini terdengar berulang sampai tiga kali.

"Yo Han....!"

Kini suara itu, suara Thian-te Tok-ong, memanggil muridnya. Sebelum Yo Han menjawab, kakek Ciu Lam Hok mendahului.

"Ha-ha-ha, Thian-te Tok-ong iblis busuk! Engkau mencari muridmu?"

"Sute Ciu Lam Hok! Engkau hendak murtad kepada suhengmu sendiri?"

"Ha-ha-ha, sejak kau lempar aku ke sini, sudah tidak ada hubungan persaudaraan lagi antara kita, Tok-ong! Engkau hendak mencari muridmu yang kau suruh turun membunuhku itu? Ha-ha-ha, engkau sungguh tolol. Jangankan anak ingusan itu, biar engkau sendiri yang turun, engkau akan mampus olehku. Anak itu sudah kubunuh!"

Mendengar suara ini, di atas sana menjadi sunyi. Lalu terdengar percakapan yang dapat terdengar dari bawah. Suara Ban-tok Mo-ko terdengar jelas.

"Suheng, muridmu tentu telah dibunuhnya. Biar aku masuk ke sana. Dia tentu hanya menggertak saja! Akan kusiksa dia supaya mengaku dan membuka rahasia Bu-kek-hoat-keng!"

"Jangan, Sute. Dia bukan pembual, kalau dia mengancam demikian, berarti dia sudah siap siaga. Siapa tahu dia memasang perangkap."

"Tapi, dia sudah tidak mempunyai kaki tangan, Suheng! Takut apa?"

"Hemm, jangan pandang rendah, Sute. Dia memiliki ilmu yang amat tinggi. Dan di bawah sana gelap, kita tidak mengenal tempat itu. Kita menggunakan cara lain untuk membunuhnya."

Selagi mereka bercakap-cakap tadi, Yo Han diam saja karena kini dia tahu, bahwa gurunya yang baru tidak berbohong dan memang Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko amat keji dan jahat. Maka, dia pun hendak membela Ciu Lam Hok, dan dia tidak mengeluarkan suara.

Ciu Lam Hok memberi isarat dengan anggukan kepala agar dia membantu mendorong batu itu, dia pun mengerahkan tenaga mendorong batu sebesar gajah itu ke kiri. Dia tentu tidak akan kuat mendorongnya kalau tidak ada Ciu Lam Hok yang mendorongnya pula dengan pundak yang tidak berlengan. Batu itu perlahan-lahan bergeser dan nampaklah lubang sebesar tubuh orang. Ciu Lam Hok memberi isarat berhenti, kemudian dia tertawa.

“Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong! Kalau takut, mengapa tidak kalian berdua saja turun ke sini agar kalian dapat menemani nyawa murid kalian?" Dalam suaranya terkandung ejekan dan tantangan.

Ban-tok Mo-ko sudah marah sekali. Kalau tidak ditahan oleh suhengnya, tentu dia sudah merayap turun untuk membunuh bekas sutenya itu. Dahulu memang dia harus mengaku kalah terhadap sutenya itu, bahkan dia dan suhengnya ketika mengeroyok pun tidak akan menang. Akan tetapi, sutenya itu telah menjadi manusia tapa-daksa, sudah kehilangan kedua kaki tangannya. Perlu apa ditakuti lagi?

"Tenanglah, Sute," kata Thian-te Tok-ong. "Daripada membahayakan diri sendiri lebih baik kita bunuh saja Si Buntung itu dengan racun."

"Tapi, bagaimana dengan muridmu, Suheng?"

"Yo Han? Ah, tentu dia telah dibunuh Ciu Lam Hok yang mengira bahwa Yo Han kusuruh turun untuk membunuhnya. Dan pula, setelah tiga tahun menjadi muridku, aku semakin putus asa melihat Yo Han. Dia memang dapat kuakali dan mempelajari ilmu dengan tekun, akan tetapi apa artinya semua itu kalau kelak tidak dia pergunakan untuk kepentingan Thian-li-pang? Biarlah dia mampus bersama Si Buntung."

Tak lama kemudian dua orang tokoh besar Thian-li-pang itu sudah menghujankan jarum-jarum beracun ke dalam sumur, kemudian melemparkan banyak ular dan kalajengking dan segala macam binatang beracun. Bahkan yang terakhir mereka menyiramkan air yang kehitaman, air yang beracun ke dalam sumur!

Yo Han dan Ciu Lam Hok sudah cepat menyelinap ke dalam lubang. Kemudian mereka kembali menggeser batu sebesar gajah menutupi lubang sehingga semua benda dan binatang beracun itu tidak mampu mengganggu mereka.

Ketika Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko berteriak-teriak dari atas, memanggil dan memaki-maki, tidak ada jawaban lagi dari bawah. Tentu saja demikian karena dua orang yang berada di dalam sumur itu sudah pergi, dan mereka pun tidak lagi dapat mendengar suara setelah lubang itu tertutup batu besar rapat sekali. Karena tidak lagi terdengar Ciu Lam Hok menjawab, dua orang manusia iblis itu mengira bahwa bekas sute mereka tentu sudah tewas, maka mereka berdua tertawa gembira.

"Sute, cepat perintahkan Ouw Ban untuk menyuruh anak buahnya menutup sumur itu dengan batu-batu besar!"

"Tapi, Suheng. Bukankah mereka sudah tewas?"

Thian-te Tok-ong menghela napas panjang.
"Mereka berdua adalah manusia-manusia aneh, Sute. Engkau tahu betapa lihainya Ciu Lam Hok. Biarpun kaki tangannya buntung, akan tetapi dengan Bu-kek-hoat-keng, kita tidak tahu apa saja yang dapat dia lakukan. Dan anak itu pun seorang anak yang luar biasa. Siapa tahu dia belum mati dan dapat keluar. Kalau sumur itu ditutup dengan batu-batu besar, biar bagaimanapun juga mereka tidak akan mungkin dapat hidup lagi."

Ban-tok Mo-ko mengangguk. Diam-diam dia pun seperti suhengnya ini, merasa ngeri dan takut terhadap bekas sute mereka, dan dia pun akan merasa tenang kalau sumur itu sudah ditutup batu-batu besar. Maka dia pun keluar untuk memberi perintah itu kepada Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang.

Dan puluhan orang anggauta Thian-li-pang sekali ini mendapat perkenan untuk memasuki guha sambil membawa batu-batu besar. Mereka melemparkan batu-batu besar ke dalam sumur itu. Jatuhnya batu-batu besar itu mendatangkan suara hiruk-pikuk. Mereka, puluhan orang banyaknya dan kesemuanya adalah murid-murid Thian–li-pang yang bertenaga kuat, harus bekerja sehari penuh, baru sumur itu dapat ditutup seluruhnya. Biar orang memiliki kepandaian seperti dewa sekalipun, kalau berada di dalam sumur kemudian sumur yang dalamnya dua puluh lima meter itu ditimbun batu-batu besar sampai penuh, pasti tidak akan mampu lolos lagi.

Yo Han mengikuti kakek buntung merangkak melalui terowongan kecil dan ternyata terowongan itu hanya sepanjang belasan meter saja. Yo Han merasa kagum bukan main dan tidak mampu membayangkan bagaimana caranya seorang yang tidak mempunyai kaki tangan dapat membuat terowongan sepanjang itu dalam waktu bertahun-tahun !

Akhir terowongan itu merupakan sebuah ruangan yang cukup luas, menjadi dasar dari sebuah sumur yang mirip sumur pertama. Sumur ini dilihat dari bawah, atasnya tertutup oleh batu-batu dan untungnya di antara batu besar yang menutup permukaan sumur, ada yang retak-retak yang lebarnya sejengkal sehingga dari retakan-retakan batu inilah sinar matahari dapat masuk walaupun tidak banyak dan tidak lama hanya untuk tiga empat jam saja setiap harinya.

Keadaan dalam ruangan dasar sumur ini bahkan lebih baik daripada dasar sumur pertama, karena dasar sumur ini lebih kering. Ketika tiba-tiba tempat itu tergetar seperti ada gempa dan terdengar suara hiruk-pikuk, Yo Han sempat terkejut sekali.

“Ah, apakah itu, Suhu?”

“Ha-ha-ha, mereka menutup sumur kita yang tadi, Yo Han. Dengan batu-batu besar tentu saja. Sungguh berbahaya sekali! Kalau aku tidak membuat terowongan dan tidak mempunyai sumur ini, tentu kita berdua sudah tergencet dan terkubur hidup-hidup di sana.”

Yo Han bergidik. Bagaimana ada orang yang sedemikian kejamnya terhadap adik seperguruan sendiri, bahkan juga terhadap murid sendiri? Tadinya dia mengira bahwa Ang I Moli merupakan satu-satunya orang yang paling jahat dan kejam di dunia ini. Siapa kira, orang yang pernah menjadi gurunya selama tiga tahun, yang dapat bersikap ramah dan lembut kepadanya, ternyata lebih kejam lagi!

"Nah, sekarang kita harus mengatur tempat tinggal kita ini, Yo Han. Ingat, mulai sekarang kita tidak akan ada yang memberi makan lagi dan kalau kita tinggal di sini tanpa makan, dalam waktu beberapa minggu saja kita akan mati kelaparan. Sekarang, pergilah engkau merayap naik dan lakukan dengan hati-hati jangan sampai engkau ketahuan orang Thian-li-pang. Engkau carilah bahan makanan untuk kita makan, sedapat mungkin makanan kering untuk ransum kita selama beberapa hari agar tidak perlu engkau setiap hari pergi mencari makan. Untuk minum mudah saja. Kalau kita gali sedikit saja, tentu akan bisa mendapatkan air di sini. Kita tidak boleh masak, karena asapnya akan ketahuan orang di atas."

"Suhu, kenapa susah-susah amat? Biar kubantu Suhu merayap naik, dan di sana kita bisa mencari tempat tinggal yang baik sehingga lebih enak dan lebih mudah mencari makan."

"Yo Han, sebelum berhasil mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu, aku tidak akan mau keluar dari sini. Tidak ada tempat yang lebih aman daripada di sini. Ketahuilah bahwa sekali aku keluar, seluruh datuk dunia kang-ouw akan mencariku dan kita akan menghadapi bahaya yang tiada hentinya! Akan tetapi di sini, siapa yang akan mengetahui tempat ini? Baru sumur yang pertama saja, yang mengetahuinya hanya Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Apalagi di sini, tak seorang pun tahu kecuali kita berdua. Nah, kau pergilah, Yo Han."

Pemuda remaja itu nampak ragu-ragu.
"Akan tetapi, ke mana aku harus mencari makanan itu, Suhu?"

"Aiiihh! Tentu saja ke atas sana, ke rumah-rumah orang yang memilikinya!"

"Tapi.... mana mereka mau memberi banyak makanan kepadaku?"

"Hushh! Siapa suruh engkau minta makanan? Kalau engkau minta makanan tentu semua orang mengenalmu. Engkau tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapapun juga. Mengerti? Sekali engkau memperlihatkan diri, celakalah. Tempat ini tentu dapat diketahui, atau engkau akan ditangkap lebih dulu."

"Habis, bagaimana kalau tidak boleh minta, Suhu? Andaikata membeli pun, mereka akan melihatku. Apalagi aku tidak mempunyai uang sama sekali, bagaimana dapat membeli makanan?"

"Hemm, mengapa engkau tidak bisa mencari akal, Yo Han? Dengan kepandaianmu itu, engkau dapat mencuri makanan dengan amat mudahnya dan membawanya ke sini tanpa diketahui orang."

Sepasang mata Yo Han terbelalak.
"Mencuri? Wahhh.... aku tidak sanggup, Suhu. Aku tidak mau mencuri! Itu bahkan lebih jahat daripada minta-minta. Heran, mengapa Suhu dapat menyuruh aku untuk melakukan pencurian? Kita bukan maling, Suhu."

Kalau saja kakek itu masih mempunyai tangan kaki, tentu tangannya akan menampar kepala sendiri dan kakinya akan dibanting ke tanah saking jengkelnya.

"Waduhhh! Engkau ini sungguh aneh. Apa engkau ingin menjadi dewa? Dewa pun masih suka mencuri kalau terpaksa. Nah, baiklah kalau begitu. Engkau mengambil makanan, pakaian dan apa saja yang kau perlukan dari sebuah toko dan rumah makan, dan kau tinggalkan uang di tempat engkau mengambil barang-barang itu. Ini bukan mencuri namanya! Coba kau dekati dinding sebelah kiri itu”. Dengan hidungnya, kakek itu menunjuk ke dinding kiri. Yo Han menghampiri dinding itu.

"Kau lihat bagian yang mengkilat itu? Nah, cokel keluar dua buah batu, pilih yang kecil saja, yang sebesar ibu jari tanganmu!"

Sinar matahari yang mendatangkan penerangan dalam guha itu memang terpantul oleh beberapa buah batu di dinding itu. Yo Han memilih yang kecil-kecil dan mencokel lepas dua buah batu sebesar ibu jari tangannya.

"Apakah ini, Suhu?"

"Emas."

"Emas? Benarkah?"

Yo Han terbelelak memandang kepada gurunya, lalu kepada dua buah batu yang mengkilap di tangannya, lalu menoleh ke arah dinding.

"Benar. Aku tidak sudi menipu orang, apalagi engkau. Dinding itu mengandung batu-batu emas, dan dua buah di tanganmu itu sudah cukup untuk memborong barang apa saja yang kau kehendaki. Jangan khawatir, apapun yang dapat kau bawa dari sebuah toko, tidak cukup berharga untuk ditukar sebuah batu emas itu. Kau tinggalkan saja sebuah di tempat engkau mengambil barang dan pemiliknya akan bersorak kegirangan karena dia mendapat keuntungan besar. Berarti engkau tidak mencuri, kan?"

Yo Han mengangguk-angguk. Senang hatinya. Dia tidak sudi kalau harus mencuri, maka dengan adanya dua buah batu emas ini, dia boleh mengambil milik orang tanpa diketahui dan meninggalkan batu itu di tempat barang yang diambilnya.

"Kalau begitu, biar aku berangkat sekarang, Suhu."

"Baik, pergilah. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau dilihat siapa pun pergunakan kelincahan gerakanmu. Dan ingat baik-baik, Yo Han. Aku akan selalu menunggumu di sini sampai engkau kembali, menunggumu dengan lapar dan haus, menunggumu sampai aku mati kalau engkau tidak kembali. Nah, pergilah."

Yo Han memberi hormat, mengantungi dua potong batu itu, lalu menggunakan gerakan cecak merayap, dia menanggalkan sepatu yang dia selipkan di ikat pinggang belakang, lalu mulailah dia merayap naik, menggunakan telapak tangan dan kaki. Tenaga sin-kang di tubuhnya dapat dia atur sehingga telapak tangan dan kakinya dapat menyedot ke permukaan dinding sumur dan melekat di situ!

Perlahan-lahan dan dengan hati-hati dia merayap naik. Sekali saja keliru mengatur tenaga pada telapak tangan dan kakinya, tentu dia akan terjatuh kembali ke bawah! Akan tetapi, Yo Han telah melatih ilmu yang oleh Thian-te Tok-ong dinamakan "tari cecak" ini dengan baik sehingga dia dapat terus merayap ke atas, dilihat dari bawah oleh kakek Ciu Lam Hok yang mengangguk-angguk senang.

Anak muda itu seorang yang memiliki bakat luar biasa, pikirnya. Bahkan di tubuh anak itu terdapat tenaga sakti yang mujijat. Dia tidak merasa khawatir kalau anak itu tidak akan kembali. Anak itu bersih, polos dan jujur, tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, apalagi sudah dia bekali pesan bahwa dia akan menanti setiap saat sampai ia mati kelaparan. Itu saja pasti akan membuat hati anak itu tidak tega meninggalkannya.

Ketika tiba di permukaan sumur, ternyata mulut sumur itu tidak tertutup batu-batu retak.
Batu-batu itu masih di atas mulut sumur, ada tiga meter tingginya dan ternyata mulut sumur berada di dalam sebuah guha yang kecil. Mulut guha nampak di depan sana, akan tetapi melalui terowongan yang hanya dapat dilalui dengan merangkak oleh orang yang tidak terlalu besar tubuhnya.

Melihat ini, Yo Han merasa girang. Sungguh amat baik tempat sembunyi gurunya di dalam sumur itu. Tak mungkin ada orang memasuki terowongan guha yang demikian sempitnya, dan andaikata ada juga yang mencoba merangkak memasukinya, orang itu tentu akan kembali keluar setelah melihat bahwa guha terowongan itu berakhir pada mulut sebuah sumur yang amat dalam dan gelap menghitam!

Lebih baik lagi, mulut guha kecil itu tertutup semak belukar dan alang-alang. Dia mengintai dari mulut guha, di balik semak belukar dan ternyata dia berada di lereng sebuah bukit. Tentu masih termasuk daerah Thian-li-pang, pikirnya. Dia harus berhati-hati. Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak seorang pun manusia. Dia mengamati tempat itu agar tidak lupa kalau akan kembali ke sumur. Kemudian, berindap-indap dia keluar dari balik semak belukar, lalu berlari cepat sambil menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, menuruni lereng itu, menuju ke sebuah dusun yang telah dapat dilihatnya dari atas, nampak genteng banyak rumah.

Setelah kini mendapatkan kesempatan, baru Yo Han menyadari bahwa semua latihan yang diberikan Thian-te Tok-ong kepadanya, yang dikatakannya latihan ilmu menari dan bersenam, sungguh amat berguna baginya. Kini dia dapat bergerak dengan lincah dan ringan sekali sehingga dia dapat bergerak menuju ke dusun di bawah itu tanpa dilihat orang.

Dan giranglah dia ketika dia melihat sebuah rumah makan di dusun itu. Dia menyelinap ke belakang, menuju dapur ketika dalam intaiannya dia melihat pekerja restoran itu mengambil guci-guci arak dan bahan-bahan masakan dari dalam gudang dekat dapur, dia pun menyelinap dan setelah orang itu keluar, dia masuk ke dalam gudang.

Ternyata apa yang dibutuhkannya berada di dalam gudang itu. Cepat dia mengambil karung dan menyambar guci berisi kecap, asinan, daging kering, roti kering, telur asin dan bermacam makanan kering sampai guci terisi penuh. Dia mengambil pula mangkok piring dan panci. Setelah merasa cukup, dia meninggalkan sepotong batu emas di atas meja, dan pergilah dia dengan cepat.

Di sebuah toko kecil yang menjual pakaian, dia pun masuk dari belakang dan berhasil mengambil pakaian, gunting, jarum dan benang, sepatu, kaos kaki, dan segala macam perkakas seperti catut, kapak, martil dan sebagainya.

Dia kembali ke dalam guha kecil membawa dua buah karung. Dia membayangkan betapa akan senangnya pemilik rumah makan dan pemilik toko yang akan menemukan potongan batu emas. Seperti juga di rumah makan, dia meninggalkan potongan batu emas di meja di mana dia mengambil pakaian. Kini dia merangkak di dalam terowongan sempit sambil menyeret dua karung itu, kemudian setelah tiba di mulut sumur, dia merayap turun.

Sempat pula dia terlongong sejenak di mulut sumur. Apakah dia harus kembali ke tempat yang seperti neraka itu? Akan tetapi, bagaimana dia dapat tega meninggalkan kakek yang tak berdaya itu, yang buntung kaki tangannya dan yang menantinya setiap saat di dasar sumur dengan perut lapar dan yang pasti akan mati kelaparan kalau dia tidak kembali? Tidak, dia tidak boleh sekejam itu. Apalagi kakek itu telah dia angkat sebagai guru.

"Ha-ha-ha, sudah yakin hatiku bahwa engkau memang seorang anak yang dikirim Tuhan kepadaku, Yo Han. Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku bahwa engkau pasti akan kembali ke sini!"

Kakek itu tertawa gembira dan menyuruh muridnya mengeluarkan semua isi dua buah karung itu agar dia dapat melihat apa saja yang dibawa turun oleh muridnya. Ketika dia melihat guci arak, dia menggerakkan kepalanya. Rambutnya menyambar ke arah sebuah guci dan seperti hidup saja, rambut itu melibat sebuah guci arak, mencabut penutupnya, membawa ke depan mulut dan dia pun minum dengan lahap.