Ads

Minggu, 20 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 020

Kita tinggalkan dulu Yo Han yang belajar “tari” dan “senam” kepada Thian-te Tok-ong, tokoh paling lihai dari Thian li-pang dan mari kita melihat keadaan keluarga Tan Sin Hong yang ditinggalkan Yo Han.

Setelah ditinggal pergi Yo Han, setiap hari Sian Li menangis dan selalu menanyakan suhengnya yang amat disayangnya itu. Anak berusia empat tahun itu sejak lahir selalu diasuh oleh Yo Han, selalu bermain-main dengan Yo Han sehingga ia menyayang Yo Han seperti kakaknya sendiri. Oleh karena itu, begitu Yo Han pergi meninggalkannya, siang malam ia rewel saja dan minta kepada ayah ibunya agar mereka menyusul Yo Han. Bahkan di waktu tidur, seringkali Sian Li bermimpi dan mengigau memanggil-manggil nama Yo Han.

Tentu saja Tan Sin Hong dan Kao Hong Li merasa prihatin sekali. Mereka berduapun amat sayang kepada Yo Han dan kepergian anak itu sungguh membuat mereka merasa kehilangan sekali. Akan tetapi, demi masa depan Sian Li, mereka terpaksa merelakan Yo Han pergi. Yo Han bukan anak biasa. Hatinya teguh memegang pendiriannya yang tidak suka akan ilmu silat dan kalau hal ini sampai menular kepada Sian Li, sungguh akan membuat mereka berdua kecewa sekali. Bagaimana mungkin sebagai suami isteri pendekar, mereka mempunyai seorang anak yang tidak suka belajar silat dan menjadi seorang gadis yang lemah kelak?

Hidup memang diisi oleh dua keadaan yang berlawanan. Ada dua kekuatan yang berlawanan, akan tetapi juga saling mengadakan dan saling mendorong di dalam dunia ini. Justeru adanya dua kekuatan inilah yang membuat kehidupan ada dan dapat membuat segala sesuatu berputar dan hidup. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin, ada senang ada susah. Ada yang satu tentu ada yang ke dua, yang menjadi kebalikannya.

Bagaimana mungkin ada yang disebut terang kalau tidak ada gelap. Setelah merasakan adanya gelap, baru terang dikenal, atau sebaliknya. Setelah orang mengalami senang, baru tahu artinya susah atau sebaliknya setelah mengalami susah baru mengenal arti senang. Dan segala sesuatu memiliki dwi-muka, dua sifat yang bertentangan.

Kita sudah terseret ke dalam lingkaran setan dari dua unsur yang berlawanan ini sehingga kehidupan ini diombang-ambingkan antara yang satu dari yang lain. Padahal, semua keadaan itu hanyalah hasil daripada perbandingan dan penilaian, yang selalu berubah-ubah. Hari ini seseorang dapat menerima sesuatu dengan puas, lain hari sesuatu yang sama hanya mendatangan kecewa. Apa yang hari ini mendatangkan kesenangan, besok mungkin menimbulkan kesusahan.

Sebetulnya, susah senang hanyalah akibat daripada penilaian kita sendiri. Hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu daya rendah sehingga pikiran yang licik selalu membuat perhitungan yang menguntungkan kita berarti senang, sebaliknya yang merugikan kita berarti susah! Banyak sekali contohnya. Kalau hujan turun selagi kita membutuhkan air, berarti hujan itu menyenangkan karena menguntungkan kita.

Sebaliknya, kalau hujan turun mengakibatkan banjir atau becek atau menghalangi kesenangan kita, maka hujan itu menyusahkan karena merugikan kita. Demikian pula dengan segala peristiwa yang terjadi di dunia ini. Susah senang, susah senang, perasaan kita dipermainkan antara susah dan senang setiap hari, dipermainkan oleh ulah hati dan akal pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah.

Kalau kita sedang bersenang-senang, kita lupa bahwa kesenangan itu hanya sementara saja, dan kesusahan sudah siap menggantikannya setiap saat. Demikian sebaliknya, kalau kita sedang bersusah-susah, kita merana dan merasa hidup ini sengsara, lupa bahwa kesusahan itu pun hanya sementara saja sifatnya, akan tertimbun kesenangan dan kesusahan lain yang datang silih berganti.

Orang bijaksana akan menerima segala sesuatu seperti apa adanya. Segala yang terjadi itu wajar karena segala yang terjadi itu adalah kenyataan yang tak dapat dirubah atau dibantah lagi. Orang bijaksana tidak akan menentang arus peristiwa yang datang, melainkan menyesuaikan diri dengan arus itu, mengembalikan, kesemuanya kepada Tuhan, kepada kekuasaan Tuhan karena kekuasaan-Nya itulah yang mengatur dan menentukan segalanya. Hujan? Banjir? Bencana alam? Sakit dan mati? Kehilangan?
Keuntungan dan keberhasilan. Semua itu dihadapi dengan penuh kesabaran, penuh keikhlasan, berdasarkan kepasrahan, penyerahan kepada Tuhan! Dan orang yang sudah pasrah lahir batin, secara menyeluruh kepada Tuhan, takkan lagi disentuh derita yang berlebihan, tidak akan mabok kesenangan.

Setelah lewat beberapa bulan, Sian Li menjadi kurus dan kurang bersemangat. Melihat keadaan anak mereka ini, Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, mengambil keputusan untuk mengajak puteri mereka pergi pesiar agar terhibur hatinya. Mereka mengajak Sian Li pergi berkunjung ke kota raja Peking yang besar, megah dan indah.

Seminggu lamanya mereka tinggal di kota raja, bermalam di sebuah rumah penginapan dan setiap hari ayah dan ibu itu mengajak puteri mereka untuk berpesiar mengunjungi tempat-tempat yang indah di kota raja.

Tentu saja Sian Li yang baru berusia empat tahun lebih itu menjadi gembira bukan main dan tak lama kemudian ia sudah melupakan sama sekali kesedihannya karena ditinggal pergi Yo Han!

Senang atau susah memang hanya permainan sementara waktu dari perasaan. Sang Waktu akan menelan habis semua kesusahan atau kesenangan sehingga tiada bersisa lagi. Atau perasaan lain akan muncul silih berganti sehingga perasaan yang timbul karena peristiwa lama itu akan tertimbun dan tidak nampak lagi, terganti oleh perasaan yang timbul karena peristiwa baru.

Sejak kita kanak-kanak kecil sampai dewasa, hati dan akal pikiran kita sudah digelimangi nafsu yang selalu mencari kesenangan dalam hal-hal atau benda-benda yang baru. Kita selalu haus akan yang baru, karena yang baru selalu memiliki daya tarik yang besar, didorong oleh keinginan tahu. Kalau yang didapatkan itu sudah lama, akan membosankan dan perhatian kita akan tertarik oleh hal lain yang baru.

Sejak kanak-kanak, kita mudah bosan dengan barang mainan lama, dan akan tertarik oleh barang mainan baru. Setelah kita dewasa, kita tetap tidak berubah, tetap saja tertarik oleh barang mainan yang baru, walaupun bentuk barang permainan itu yang berbeda. Permainan kita ketika masih kanak-kanak tentu saja barang-barang mainan, atau permainan dengan kawan-kawan.

Sesudah kita dewasa permainan kita bukan boneka atau barang-barang mainan lain, akan tetapi, permainan berupa harta benda, kedudukan, kekuasaan, dan pemuasan nafsu melalui panca-indrya. Biarpun demikian, tetap saja kita pembosan dan selalu haus akan hal yang baru. Itulah sifat nafsu! Selalu ingin yang baru, yang lebih!






Setelah berpesiar di kota raja, Sian Li sudah melupakan Yo Han dan sama sekali tidak pernah menangis lagi. Kegembiraannya semakin besar ketika dari kota raja ayah ibunya mengajaknya berkunjung ke kota Pao-teng di mana tinggal kakek dan neneknya, yaitu orang tua dari ibunya. Kakek-luarnya itu, Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir penghuni Istana Gurun Pasir, sedangkan nenek luarnya yang bernama Suma Hui adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti penghuni Istana Pulau Es!

Suami isteri keturunan keluarga pendekar sakti itu tinggal di Pao-teng, berdagang rempa-rempa. Mereka sudah tua. Kao Cin Liong yang sudah berusia enam puluh tiga tahun sedangkan isterinya Suma Hui, berusia lima puluh tiga tahun. Semenjak puteri mereka yang menjadi anak tunggal, Kao Hong Li, menikah dengan Tan Sin Hong dan ikut suaminya tinggal di kota Ta-tung, suami isteri ini tentu saja merasa kesepian.

Mereka hidup berdua saja bersama tiga orang yang membantu toko rempa-rempa dan juga membantu rumah tangga. Namun, suami isteri pendekar itu hidup tenteram karena memang mereka telah lama mengurung diri dan tidak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw. Juga tidak ada golongan sesat yang berani mengganggu mereka. Bukan saja karena suami isteri ini terkenal amat lihai, juga Kao Cin Liong ketika mudanya pernah menjadi seorang panglima perang yang telah banyak jasanya.

Kini, suami isteri yang sudah mulai tua dan hidup berdua saja ini memiliki penghasilan yang berlebihan bagi mereka dan mereka merupakan orang-orang dermawan yang suka menolong mereka yang membutuhkan pertolongan. Maka, seluruh penduduk kota Pao-teng merasa hormat dan segan kepada mereka.

Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati kakek Kao Cin Liong dan isterinya, nenek Suma Hui ketika mereka menerima kunjungan puteri mereka bersama suaminya dan anaknya. Kakek dan nenek perkasa ini dahulu pernah merana dan berduka sekali melihat keadaan puteri tunggal mereka, Kao Hong Li.

Dahulu, sebelum menjadi isteri pendekar Tan Sin Hong, puteri mereka itu pernah menjadi isteri dari Thio Hui Kong, putera seorang jaksa di Pao-teng yang adil dan jujur. Juga Thio Hui Kong merupakan seorang pria yang tampan dan gagah, pandai ilmu silat dan sastra. Namun sayang, karena pernikahan di antara mereka itu tidak ada cinta, terutama di pihak Kao Hong Li, pernikahan itu gagal.

Hong Li tidak pernah mencintai suaminya dan bersikap hambar sehingga Thio Hui Kong yang merasa kecewa lalu menghibur diri dengan pelesir dan judi. Akhirnya rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi dan mereka bercerai!

Namun, dasar sudah jodohnya. Hong Li bertemu dengan Tan Sin Hong yang sejak dulu dicintanya akan tetapi Sin Hong menikah dengan wanita lain. Dalam pertemuan kembali ini, ternyata Tan Sin Hong juga sudah bercerai dari isterinya yang melakukan penyelewengan!

Dan dua hati yang saling mencinta itu pun bertemu kembali dan menikahlah janda kembang dengan duda muda itu. Tentu saja peristiwa itu membuat Kao Cin Liong dan Suma Hui merasa berbahagia sekali, apalagi setelah lahir Tan Sian Li, cucu luar mereka.

“Sian Li, cucuku yang manis....!” Nenek Suma Hui mengangkat tubuh cucunya tinggi-tinggi, lalu mendekap dan menciumi kedua pipinya sambil tertawa gembira. “Aduh, engkau makin manis saja Sian Li. Dan pakaianmu merah! Heh-heh, engkau seperti seekor bangau merah!”

Kao Cin Liong mengelus rambut kepala Sian Li yang berada di pondongan Suma Hui.
“Bangau Merah? Ha-ha-ha, memang ia puteri Si Bangau Putih Tan Sin Hong. Si Bangau Merah, nama yang indah. Mari, mari ikut kong-kong!” kata kakek itu dan mengambil Sian Li dari pondongan isterinya.

Suma Hui menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya.
“Ehh? Mana murid kalian? Apakah Yo Han tidak ikut?”

Tiba-tiba Sian Li yang berada di pondongan kakeknya, berkata,
“Kong-kong dan Bo-bo (Nenek), Suheng Yo Han nakal dia pergi bersama seorang bibi iblis!”

Kakek dan nenek itu terbelalak memandang kepada Sin Hong dan Hong Li. Suami isteri ini memang selalu membujuk Sian Li untuk melupakan Yo Han yang mereka katakan nakal karena Yo Han minggat dan ikut dengan seorang wanita iblis yang jahat. Hal ini mereka tekankan agar Sian Li dapat melupakan Yo Han dan tidak selalu menangisinya.

“Apa yang terjadi dengan dia?” tanya Kao Cin Liong. Dia dan isterinya juga merasa sayang kepada Yo Han, murid mantu mereka itu.

“Ayah dan Ibu, biarlah nanti kami ceritakan tentang dia,” kata Hong Li. “Kami masih lelah, karena baru saja kami datang dari kota raja di mana kami tinggal selama seminggu dan setiap hari kami mengajak Sian Li pesiar.”

Mereka semua lalu masuk dan Sin Hong bersama isterinya mendapatkan kamar yang dahulu menjadi kamar Hong Li. Adapun Sian Li tentu saja ditahan oleh neneknya dan diajak tidur di kamar neneknya.

Setelah beristirahat dan makan malam dan setelah Sian Li tidur pulas di kamar neneknya, barulah Tan Sin Hong dan Kao Hong Li bercakap-cakap dengan kakek dan nenek itu, menceritakan tentang Yo Han. Mereka menceritakan semua keanehan yang terdapat pada diri Yo Han, tentang sikapnya yang sama sekali tidak mau berlatih ilmu silat. Kemudian tentang munculnya Ang I Moli, Tee Kui Cu yang mula-mula menculik Sian Li, kemudian betapa Yo Han dapat menemukan wanita iblis itu dan menukar Sian Li dengan dirinya sendiri!
“Demikianlah, Ayah dan Ibu. Yo Han pergi bersama iblis betina itu dan menjadi muridnya. Kami tidak dapat mencegahnya karena dia memang sudah berjanji untuk menukar Sian Li dengan dirinya sendiri.”

“Ah, tapi mengapa begitu?” nenek Suma Hui mencela puterinya. “Apa artinya janji kepada iblis betina seperti itu? Ia telah berani menculik Sian Li dan kalian membiarkan saja ia pergi membawa Yo Han sebagai muridnya? Iblis betina itu pantas dibasmi!”

“Tidak boleh kita berpendirian begitu,” kata Kao Cin Liong dengan suara tenang. “Sudah jelas bahwa Yo Han bukan anak biasa seperti yang diceritakan Sin Hong tadi. Dia tidak suka akan kekerasan, namun memiliki ketabahan yang luar biasa. Dan kalau dia sudah berjanji kepada Ang I Moli agar iblis betina itu membebaskan Sian Li dan sebagai tukarnya dia mau ikut dengan iblis betina itu, tentu saja Sin Hong dan Hong Li tidak dapat memaksa dan melanggar janji yang telah dikeluarkan Yo Han.”

“Apa yang dikatakan ayah itu memang benar, Ibu,” kata Kao Hong Li. “Akupun tadinya tidak mau mengalah begitu saja dan aku sudah memaksa iblis betina itu untuk melayaniku bertanding. Ia memang lihai, akan tetapi kalau ia tidak melarikan diri, tentu aku akan dapat membunuhnya. Betapapun juga, kami tidak mungkin dapat membunuhnya setelah ia mengembalikan Sian Li dan memperlakukan anakku dengan baik, dan kalau Yo Han ikut dengannya, hal itu adalah karena keinginan Yo Han sendiri. Kiranya anak yang luar biasa itu sudah tahu bahwa kami ingin menjauhkan Sian Li darinya, dan agaknya Yo Han memang sengaja ikut iblis itu agar dia dapat menjauhkan diri dari kami tanpa harus melarikan diri, atau tanpa kami harus menitipkannya kepada pendeta kuil seperti yang tadinya kami rencanakan. Dia sudah tahu semuanya, Ibu.”

Kao Cin Liong dan Suma Hui saling pandang, diam-diam merasa aneh dan kagum kepada anak itu.

“Jadi, dia sengaja mengorbankan diri, sengaja meninggalkan keluargamu karena tahu bahwa kalian ingin memisahkan Sian Li darinya?”

Hong Li mengangguk dan menunduk.
“Sungguh kami merasa kehilangan dia, Ibu. Kami sayang kepada Yo Han, juga Sian Li amat menyayangnya, sehingga ia rewel terus dan terpaksa kami mengajaknya pesiar ke kota raja lalu ke sini. Akan tetapi, kami harus mementingkan masa depan Sian Li. Ia pasti akan terbawa oleh sikap Yo Han kalau terus dekat dengan dia.”

Sin Hong menarik napas panjang.
“Benar sekali, Ayah dan Ibu. Kami amat sayang kepada Yo Han, seperti kepada anak sendiri. Akan tetapi, dia amat aneh dan kami tidak ingin melihat Sian Li menjadi seperti dia.”

“Tapi.... bagaimana dengan nasib Yo Han? Apakah tidak berbahaya sekali dia terjatuh ke tangan seorang iblis betina? Jangan-jangan keselamatan nyawanya terancam.” Suma Hui menyatakan kekhawatirannya.

“Aku juga khawatir sekali, Ibu. Akan tetapi ayah Sian Li mengatakan tidak perlu khawatir,” kata Hong Li sambil memandang suaminya.

Kini mereka bertiga semua memandang kepada Sin Hong dan mengharapkan penjelasan yang meyakinkan, karena mereka semua mengkhawatirkan keselamatan Yo Han.

“Sesungguhnya pendapat atau jalan pikiran saya ini saya dapatkan dari Yo Han, betapapun janggalnya, saya harus mengakui bahwa dialah yang memberi teladan atau tanpa disengaja memberi pelajaran kepada saya. Yaitu bahwa nyawa setiap orang berada di tangan Tuhan. Dia amat yakin akan hal ini, maka dia tidak pernah takut menghadapi apapun bahkan ancaman maut sekalipun. Saya merasa yakin bahwa ada sesuatu yang mujijat pada diri anak itu. Seolah-olah ada suatu kekuatan gaib yang melindunginya. Seperti ketika dia diserang ular berbisa itu. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, seperti seorang ahli silat yang pandai, tangannya bergerak menangkap ular itu. Akan tetapi dia tidak membunuhnya, melainkan bicara kepada ular itu, melepaskannya lagi dan ular itu menjadi jinak! Seolah-olah dia menguasai pula ilmu menundukkan ular.”

“Aneh!” kata Suma Hui. “Padahal, biarpun aku sendiri pernah mempelajari ilmu menundukkan ular akan tetapi tidak begitu menguasainya, dan aku tidak pernah mengajarkannya kepadamu, Hong Li.”

“Itulah keanehannya, Ibu,” kata Hong Li. “Lebih aneh lagi, ketika kami semua mencari penculik Sian Li. Kami berdua yang memiliki kepandaian saja gagal menemukan penculik, akan tetapi kenapa Yo Han dapat menemukannya, bahkan lebih hebat lagi, dapat membujuk Ang I Moli untuk membebaskan Sian Li?”

Kakek dan nenek itu menjadi semakin heran dan kagum. Bagaimanapun juga, mereka menyayangkan bahwa Yo Han sampai ikut seorang tokoh sesat seperti Ang I Moli.

“Kalau saja kalian membawa dia ke sini, kami akan suka mendidiknya.” kata Suma Hui dan suaminya juga mengangguk setuju.

Akan tetapi semua sudah terlanjur dan Yo Han sudah pergi bersama Ang I Moli entah ke mana.

Malam itu, karena lelah oleh perjalanan yang jauh, Sin Hong dan Hong Li tidur pulas di dalam kamar mereka. Sian Li tidur bersama neneknya di kamar neneknya, sedangkan kakek Kao Cin Liong yang merasa gembira dengan kunjungan puterinya, mantunya dan cucunya, juga sudah tidur dengan mulut tersenyum.

Kakek dan nenek itu memang merasa amat berbahagia. Betapa tidak? Mereka hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu Kao Hong Li. Ketika puteri mereka itu menikah dengan Thio Hui Kong kemudian bercerai, mereka merasa prihatin dan berduka sekali.
Anak mereka satu-satunya, seorang wanita lagi, dalam usia demikian muda telah menjadi seorang janda tanpa anak!

Mereka sudah merasa putus harapan karena pada masa itu, derajat seorang janda yang bercerai hidup, apalagi tanpa anak, amatlah dipandang hina dan rendah. Sungguh di luar dugaan mereka, kemudian Kao Hong Li berjodoh dengan Tan Sin Hong yang berilmu tinggi, bahkan mereka hidup berbahagia dan mempunyai seorang anak yang menjadi cucu mereka yang mungil!

Menjelang tengah malam, ketika seluruh isi rumah itu tidur pulas dan juga keadaan sekeliling rumah itu sunyi karena tidak ada lagi orang berada di luar rumah dalam cuaca yang amat dingin itu, terdengarlah seruan di atas genteng kamar kakek Kao Cin Liong.

“Taihiap (Pendekar Besar) Kao Cin Liong, tolonglah pinceng (saya)!” terdengar teriakan di atas genteng kamar itu, lalu terdengar suara gedobrakan di atas genteng itu.

Kao Cin Liong yang sedang duduk bersamadhi, mendengar seruan ini dengan jelas. Bahkan dia mengenal suara itu sebagai suara seorang sahabatnya, yaitu Thian Kwan Hwesio ketua kuil di sudut kota Pao-teng, seorang murid Siauw-limpai yang termasuk tokoh karena tingkat kepandaian silatnya sudah cukup tinggi.

Mendengar suara itu, tubuh Kao Cin Liong meloncat dari atas pembaringan, membuka jendela dan dalam beberapa detik saja dia sudah meloncat naik ke atas genteng di mana dia melihat seorang hwesio sedang didesak dan dihajar dengan pukulan-pukulan oleh dua orang berpakaian jubah pendeta tosu (pendeta To) yang lihai sekali.

Karena malam itu bulan hanya muncul secuwil, maka cuaca remang-remang dan dia tidak dapat melihat jelas wajah tiga orang itu. Akan tetapi dia dapat mengenal Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah payah, terhuyung-huyung di atas genteng.

“Tahan.!” seru Kao Cin Liong dan sekali meloncat dia sudah mendekati Thian Kwan Hwesio yang terhuyung, menyambar lengannya.

Hwesio yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun itu nampak lemah sekali dan dia bersandar kepada rangkulan lengan Kao Cin Liong.

“Thian Kwan Suhu, ada apakah? Siapakah mereka ini?”

“Mereka.... mereka.... orang-orang Bu-tong-pai.... uhhh-uhhh!” hwesio itu terengah-engah. “Kami sudah mengalah.... akan tetapi.... seperti pernah kuceritakan.... Bu-tong-pai selalu mendesak dan menyerang kami....” Tubuh hwesio itu terkulai dan dengan lirih dia masih menyebut “omitohud....!” dan dia pun lemas dan tewas dalam rangkulan kakek Kao Cin Liong.

Kao Cin Liong beberapa hari yang lalu pernah bercakap-cakap dengan ketua kuil itu dan mendengar bahwa kini Bu-tong-pai selalu memusuhi Siauw-lim-pai. Di mana-mana para murid Bu-tong-pai menyerang para murid Siauw-lim-pai sehingga terjadilah bentrokan-bentrokan berdarah.

Menurut keterangan Thian Kwan Hwesio. Bu-tong-pai menuduh seorang tokoh Siauw-lim-pai, yaitu Loan Hu Hwesio telah membunuh Phoa Cin Su, tokoh Bu-tong-pai di puncak Bukit Naga. Padahal menurut keterangan kepala kuil itu, justeru Loan Hu Hwesio dibunuh oleh seorang tokoh Kun-lun-pai, juga di puncak Bukit Naga!

Dua orang tosu Bu-tong-pai itu maju mendekati Kao Cin Liong yang masih merangkul Thian Kwan Hwesio.

“Ini tentu murid Siauw-lim-pai juga, Sute. Kita bunuh dia!”

Dan mereka berdua maju menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. Kakek Kao Cin Liong terkejut dan berseru,

“Heiii, tahan dulu!” teriaknya sambil mencoba untuk mengelak.

Akan tetapi karena dia sedang merangkul Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah menjadi mayat, tentu saja gerakannya menjadi lambat. Dia terpaksa melepaskan tubuh hwesio itu dan mengangkat kedua lengannya untuk menangkis.

“Desss....!”

Kakek itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa kedua orang tosu itu memiliki tenaga yang amat kuat. Kalau saja mereka tidak maju bersama, tentu dia dapat mengatasi tenaga seorang di antara mereka. Akan tetapi mereka maju berbareng dan agaknya mereka telah menggabungkan diri dan mengerahkan tenaga. Sedangkan dia sendiri karena belum tahu benar akan keadaan dan tidak ingin bermusuhan dengan Bu-tong-pai yang banyak dikenal para pemimpinnya, dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Akibatnya, kakinya menginjak pecah genteng di bawahnya dan kedua tangannya melekat kepada tangan dua orang tosu itu!

Kao Cin Liong adalah putera Kao Kok Cu, Naga Sakti Gurun Pasir. Biarpun usianya telah lanjut, sudah enam puluh tiga tahun, namun dia telah mewarisi ilmu yang hebat dari Gurun Pasir. Karena maklum bahwa dua orang lawannya itu lihai, dan kedua tangannya sudah melekat pada tangan lawan dan kedua kakinya hampir tertekuk, dia lalu mengerahkan tenaga Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Bumi). Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Istana Gurun Pasir.

“Aaarghhhh....!”

Kakek itu mengeluarkan suara yang menyayat hati dan dua orang tosu itu pun terjengkang! Akan tetapi pada saat ketika kakek yang sudah tua itu menghentikan pengerahan Sin-liong-hok-te, dari belakangnya ada dua orang tosu lain yang menghantamkan telapak tangan mereka ke punggungnya.

“Plakkk! Dukkk!”

Dua orang pemukul itu terjengkang dan menjadi terkejut bukan main karena mereka merasa betapa tangan mereka yang menampar itu menjadi nyeri. Akan tetapi kakek Kao Cin Liong sendiri terpelanting dan mengeluh karena dua tamparan pada punggungnya selagi dia menyimpan kembali tenaga Sin-liong-hok-te tadi sedemikian hebatnya sehingga dia merasa seolah-olah seluruh isi dada dan perutnya dilanda badai hebat!

“Aiihhh....!” Teriakan ini terdengar dari bawah, disusul teriakan seorang anak kecil.

“Kong-kong....!”

Suma Hui tadi keluar bersama cucunya karena terkejut mendengar teriakan suaminya. Ia menjerit karena sempat melihat suaminya roboh terpukul dari belakang. Tubuhnya cepat meluncur ke atas seperti seekor burung terbang saja. Seorang di antara empat tosu itu, yang tubuhnya kurus jangkung, menyambut Suma Hui dengan serangan kilat, dan kini dia mempergunakan sebatang pedang.

Tubuh wanita itu masih melayang di udara ketika pedang itu menyambutnya dengan tusukan maut ke arah dada. Namun, Suma Hui adalah seorang wanita yang lihai sekali. Ia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, maka serangan yang bagaimana dahsyat pun, kalau dilakukan berterang, tentu akan dapat diatasinya.

“Haiiittt....!”

Suaranya melengking dan tubuhnya berjungkir balik beberapa kali dan berhasil menghindarkan dari tusukan! Gerakan ini sungguh lincah bukan main, membuat penyerangnya terkejut. Akan tetapi Suma Hui juga kaget karena serangan tadi nyaris mengenai tubuhnya, membuktikan bahwa penyerangnya adalah seorang yang lihai.

Begitu kakinya menyentuh genteng, ia membalik dan mengelak ketika pedang yang tadi sudah menyambar pula. Kiranya tosu tinggi kurus itu sudah menghujankan serangan pedang kepadanya. Suma Hui mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, lalu membalas pula dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga Swat-im Sin-kang yang dingin. Karena maklum bahwa suaminya telah terluka dan lawan ini amat lihai, maka ia telah mengerahkan ilmu yang khas dari keluarga Istana Pulau Es itu.

Lawannya terkejut ketika merasa ada hawa yang amat dingin menyambar dari kedua tangan lawannya, maka dia bertindak hati-hati dan memutar pedang menjaga jarak, melindungi diri dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung. Ketika tiga orang tosu yang lain hendak maju mengeroyok, tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat dari bawah, melayang ke atas genteng itu seperti dua ekor burung garuda. Mereka ini bukan lain adalah Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li.

Melihat ini, dua orang tosu yang tadi memukul Kao Cin Liong secara curang dari belakang, menyambut mereka dengan pedang di tangan. Dan mereka terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa dua orang pria dan wanita muda yang baru datang ini juga amat lihai, terutama sekali yang pria. Begitu Sin Hong mengelak dan tangannya mendorong hawa pukulan tangannya membuat lawannya terhuyung ke belakang!

Seorang tosu lain cepat membantu kawannya, dan baru setelah dua orang tosu yang berpedang menghadapi Sin Hong, mereka mampu saling menjaga dan terjadi perkelahian yang agak seimbang.

“Ayah....!”

Kao Hong Li yang melihat ayahnya menggeletak di atas genteng, terkejut sekali dan cepat menghampiri ayahnya.

Dengan napas empas-empis Kao Cin Liong berkata,
“Hong Li.... cepat.... kau bantu.... ibumu....”

Hong Li menoleh dan melihat betapa ibunya memang nampak sibuk menghadapi permainan pedang seorang tosu. Suaminya, biarpun dikeroyok dua, tidak nampak terdesak. Ia pun cepat meloncat dan membantu ibunya. Kini, tosu berpedang itu menjadi repot sekali ketika berhadapan dengan ibu dan anak itu.