Ads

Jumat, 18 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 009

Gangga Dewi melihat betapa darah masih mengucur dari luka di leher anak itu, luka yang tadi sempat dihisap oleh wanita berpakaian merah. Ia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dan memberikannya kepada Yo Han.

“Kau obati luka di lehermu dengan bubuk dalam bungkusan ini agar darahnya berhenti mengucur.”

“Heiii, keparat busuk! Siapakah engkau? Katakan namamu sebelum aku mencabut nyawamu!”

Biarpun sikapnya masih lembut, namun pandang mata Gangga Dewi kini berubah keras. Dengan perlahan, kepalanya tegak ke belakang, dadanya membusung dan ia nampak lebih tinggi dari biasanya, anggun dan angkuh, juga mengandung kegagahan yang tersembunyi di balik kelembutannya.

“Perempuan sesat, tidak ada hubungan apa pun antara kita dan aku pun tidak ingin berkenalan denganmu. Akan tetapi, kekejaman dan kejahatan yang kau lakukan terhadap anak ini tidak mungkin kudiamkan saja. Masih baik bahwa aku belum terlambat dan anak ini masih hidup. Maka, pergilah dan bertaubatlah. Masih belum terlambat bagimu untuk menebus dosamu dengan perbuatan baik dan bertaubat!”

“Keparat sombong! Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Aku adalah Ang I Moli dan tidak ada orang dapat hidup terus kalau dia berani menentangku. Kembalikan anak itu kepadaku dan buntungi lengan kirimu, baru aku akan mengampunimu!”

Tiba-tiba Yo Han meloncat ke depan Gangga Dewi menghadapi Ang I Moli dan dia marah sekali. Telunjuk kanannya menuding ke arah wanita berpakaian merah itu dan suaranya lantang penuh teguran.

“Ang I Moli! Tidak boleh kau lakukan ini! Bibi ini tidak berdosa, kenapa engkau begitu kejam menyuruh ia membuntungi lengan sendiri? Engkau boleh menyiksaku, membunuhku, akan tetapi tidak boleh mencelakai orang lain hanya karena diriku.” Dia menoleh kepada Gangga Dewi dan berkata, “Locianpwe, harap cepat pergi dan jangan mengorbankan diri hanya karena aku!”

Gangga Dewi terbelalak kagum memandang kepada Yo Han. Bukan main anak ini, pikirnya. Ingin sekali ia mengenal Yo Han lebih dekat dan mengetahui mengapa anak ini sampai terjatuh ke tangan wanita jahat itu.

“Anak baik, ke sinilah engkau!”

Tangannya bergerak ke depan dan Yo Han merasa dirinya tertarik kembali ke belakang wanita berkerudung itu. Gangga Dewi kini memandang kepada Ang I Moli lalu mengangguk-angguk..

“Kini aku tidak merasa heran. Kiranya engkau bukan manusia melainkan iblis betina (Moli). Pantas engkau melakukan kekejaman seperti itu. Ang I Moli, engkau sepatutnya berguru kepada anak ini dan belajar tentang kebajikan dari dia.”

“Engkau memang sudah bosan hidup!”

Ang I Moli membentak dan tiba-tiba saja bagaikan seekor harimau yang marah, ia sudah menerjang dengan tubrukan ke arah Gangga Dewi. Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring, tubuhnya seperti terbang meluncur dan kedua lengannya dikembangkan, kedua tangan terbuka membentuk cakar hendak mencengkeram ke arah leher Gangga Dewi.

Wanita Bhutan ini mengenal gerakan dahsyat dari serangan yang berbahaya itu, maka ia pun menggeser kaki ke kiri sambil tangannya menyambar lengan tangan kiri Yo Han yang berdiri di belakangnya dan tubuh anak itu terlempar sampai lima meter ke arah kiri.

Yo Han terkejut dan dia pun terbanting jatuh, akan tetapi kini berada di tempat aman, di bawah pohon di luar kuil karena lemparan tadi membuat tubuhnya melayang keluar dari jendela ruangan belakang kuil itu. Gangga Dewi sendiri setelah mengelak, lalu meloncat keluar dari ruangan. Ia merasa tidak leluasa untuk menghadapi iblis betina yang ganas itu di dalam ruangan.

“Jangan lari kau, keparat!”

Ang I Moli marah sekali ketika terjangannya mengenai tempat kosong. Ia meraih ke arah pakaian luarnya yang ditinggalkannya semalam, mengambil kantung jarum, juga menyambar pedangnya, mencabut senjata itu dan melemparkan sarung pedangnya, kemudian ia melompat keluar melakukan pengejaran.

Akan tetapi orang yang dikejarnya itu sama sekali tidak lari, melainkan menanti diluar, ditempat terbuka. Matahari pagi mulai menerangi dunia sebelah sini, sinarnya kemerahan membakar dan menghalau sisa kegelapan malam.

Yo Han berdiri di belakang sebatang pohon sambil menonton dengan penuh perhatian. Tadi, setelah dia bergulingan akibat ditampar oleh Gangga Dewi, dia bangkit berdiri. Dia melihat bayangan kuning berkelebat dan wanita berambut kelabu itu sudah berada di dekatnya.

“Anak baik, engkau berlindunglah di balik pohon itu. Iblis betina itu berbahaya sekali.”

Yo Han hanya mengangguk dan dia lalu berlindung di belakang pohon untuk melihat apa yang akan terjadi. Kini dia tidak mengkhawatirkan sekali, maklum bahwa wanita berkerudung itu bukan orang sembarangan dan berkepandaian tinggi. Betapapun juga, dia masih merasa tegang, tidak rela kalau sampai ada orang menderita celaka apalagi sampai tewas karena membela dia.

“Bersiaplah untuk mampus engkau perempuan asing yang lancang!”

Ang I Moli membentak lagi dan kini ia menyerang dengan pedangnya, menusuk dengan gerakan kilat. Pedang di tangannya meluncur dengan sinar menyilaukan mata karena tertimpa cahaya matahari pagi. Namun, ternyata lawannya juga memiliki gerakan yang amat ringan dan tangkas.






Tidak begitu sukar Gangga Dewi menghindarkan diri dari tusukan pedang itu dengan menggerakkan kaki kirinya, melangkah ke samping dan miringkan tubuhnya. Dari bawah samping, tangannya diputar untuk menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang.

“Syuuuttt....!”

Ang I Moli terkejut bukan main dan cepat-cepat ia menarik kembali pedangnya dan melompat ke belakang. Ia tadi melihat lawannya menggunakan jari telunjuk menotok ke arah pergelangan tangannya, gerakannya aneh, cepat dan dari jari telunjuk itu datang angin yang amat dingin.

Tahulah ia bahwa lawannya ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, maka ia lalu memutar pedangnya dan menyerang lebih ganas lagi. Pedang diputar sedemikian cepatnya sehingga lenyap bentuk pedang berubah menjadi gulungan sinar yang mendesing-desing dan dari gulungan sinar itu kadang mencuat sinar yang menyambar ke arah Gangga Dewi, merupakan serangan bacokan atau tusukan.

Gangga Dewi terpaksa mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang. Senjata lawan itu demikian cepat gerakannya ia sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang.

Dan Ang I Moli yang merasa penasaran itu terus mendesak dan mempercepat gerakannya. Ia tahu bahwa sebelum ia merobohkan dan membunuh wanita berkerudung ini, tak mungkin ia bisa menguasai Yo Han. Padahal, tadi ia sudah mencicipi darah pemuda itu. Segar dan manis menyegarkan dan menguatkan badan rasanya!

Gangga Dewi terus mengelak dengan mengandalkan keringanan tubuhnya. Gerakannya demikian lincah dan indah seperti menari-nari saja sehingga Yo Han merasa kagum. Dia teringat kepada subonya, Kao Hong Li, yang kalau sedang bersilat juga nampak memiliki gerakan yang indah, seperti menari saja!

Dia menemukan tiga daya guna dalam ilmu silat. Pertama seni tari yang disukainya, kedua seni olah raga juga disetujuinya, dan ke tiga seni bela diri dan inilah yang membuat dia tidak suka belajar silat. Bela diri ini mengandung kekerasan sehingga akibatnya bukan sekedar menyelamatkan diri semata, melainkan balas menyerang dan merobohkan lawan. Memukul roboh lawan, bahkan kalau salah tangan dapat membunuh lawan! Kini, dia melihat betapa segi seni-tari menonjol sekali dalam gerakan wanita berkerudung yang menolongnya, dan dia pun kagum.

Akan tetapi, setelah lewat belasan jurus, maklumlah Gangga Dewi bahwa tidak mungkin baginya untuk hanya terus menerus mengelak saja. Kalau dilanjutkan hal itu akan membahayakan keselamatan dirinya. Ia tahu bahwa lawannya lihai. Selisih tingkat kepandaian antara mereka tidak banyak.

Ketika kembali pedang lawan mendesaknya sehingga ia harus berloncatan ke belakang, tiba-tiba ia membuat lompatan agak jauh ke belakang dan dalam loncatan ke belakang itu ia bersalto sampai lima kali dan ketika tubuhnya turun ke atas tanah, tangannya telah memegang segulung sabuk sutera putih yang tadi ia lolos dari pinggang ketika ia berjungkir balik di udara.

Hampir saja Yo Han bertepuk tangan memuji, bukan memuji kehebatan gin-kang itu, melainkan memuji keindahan gerakan tadi.

“Engkau iblis betina yang haus darah. Sudah sepatutnya kalau engkau dihajar!” kata Gangga Dewi dan sekali tangan kanannya bergerak, gulungan sinar putih itu meluncur ke depan dan menegang, menjadi seperti batang tombak yang kaku.

Pada saat itu, Ang I Moli sudah menyerang lagi dengan bacokan pedangnya. Gangga Dewi menggerakkan sabuk sutera putih itu menangkis.

“Takkk!”

Dan pedang itu terpental, seolah bertemu dengan sebatang tombak besi atau kayu yang kaku dan kuat! Akan tetapi melihat ini, tentu saja Yo Han tidak merasa kaget atau heran. Bagaimanapun juga, dia pernah tinggal bersama sepasang suami isteri yang memiliki kepandaian silat tinggi dan dia pun sudah banyak mempelajari ilmu silat walaupun hanya mengerti dan dihafalkannya saja.

Dia tahu bahwa sabuk sutera di tangan wanita berkerudung itu menjadi kaku karena pemegangnya mempergunakan tenaga sin-kang yang tersalur lewat telapak tangan ke sabuk itu. Dia hanya kagum karena gerakan silat wanita itu selain aneh, juga amat indahnya.

Kini terjadilah pertandingan yang amat seru, tidak berat sebelah seperti tadi ketika Gangga Dewi hanya terus-terusan mengelak. Kini kedua orang wanita yang lihai itu saling serang dan diam-diam Ang I Moli mengeluh. Sabuk sutera putih itu memang hebat. Pedangnya sudah digerakkan sekuatnya untuk dapat membabat putus sabuk sutera itu, namun semua usahanya sia-sia belaka. Setiap kali terbacok, tiba-tiba sabuk itu menjadi lemas dan tentu saja tidak dapat dibacok putus, bahkan ujung sabuk itu beberapa kali sempat menggetarkan tubuhnya karena totokan yang hampir saja mengenai jalan darah dan membuat ia roboh.

“Haiiittt....!”

Tiba-tiba Ang I Moli mengeluarkan suara melengking, mengikuti gerakan pedangnya yang membabat ke arah leher lawan. Gangga Dewi merendahkan tubuhnya, membiarkan pedang itu lewat di atas kepalanya dan dari bawah ia hendak menotok dengan sabuk sutera yang sudah menegang. Akan tetapi tiba-tiba tangan kiri Ang I Moli bergerak dan ada sinar kecil-kecil merah menyambar ke arah tubuh Gangga Dewi.

“Uhhh....!”

Gangga Dewi terkejut, maklum bahwa ia diserang senjata rahasia yang lembut. Cepat ia melompat ke belakang sambil memutar sabuknya yang membentuk payung di depan dirinya. Beberapa batang jarum kecil merah runtuh.

“Keji.!”

Bentak Gangga Dewi dan kini sabuk suteranya meluncur ke depan, menotok ke arah ubun-ubun kepala Ang I Moli. Gerakannya amat cepat karena ia tidak ingin memberi kesempatan lagi kepada lawan untuk menggunakan senjata rahasia secara curang.

Ang I Moli melihat datangnya serangan yang amat berbahaya itu, maka ia pun mengerahkan tenaganya untuk menangkis dengan pedang.

“Plakk!”

Pedang bertemu sabuk sutera yang segera berubah lemas dan melibat pedang. Bukan hanya melibat, juga ujung sabuk itu masih terus ke depan menotok pergelangan tangan.

“Tukk!”

Ang I Moli mengeluarkan teriakan kaget karena tiba-tiba saja lengan kanannya menjadi kehilangan tenaga dan di lain saat, sekali renggut Gangga Dewi telah dapat merampas pedang itu melalui libatan sabuk suteranya! Dan sekali ia membuat gerakan mengebut, pedang yang terlibat ujung sabuk itu melayang jauh dan lenyap di antara semak-semak.

Wajah Ang I Moli menjadi pucat saking marahnya.
”Keparat jahanam engkau! Hayo mengaku siapa namamu sebelum kita mengadu nyawa!”

Gangga Dewi tersenyum dan menggeleng kepalanya,
“Aku tidak ingin berkenalan dengan iblis betina kejam seperti engkau. Pergilah dan jangan ganggu lagi anak itu, dan semoga Yang Maha Kasih mengampuni semua dosamu.”

Berkata demikian, Gangga Dewi sudah menyimpan kembali sabuk suteranya, dililitkan ke pinggangnya yang ramping.

Akan tetapi Ang I Moli terlalu marah untuk mengalah begitu saja.
“Biar kukirim engkau ke neraka!” bentaknya dan kini ia pun sudah menyerang lagi, mengeluarkan ilmu silat tangan kosong yang amat dahsyat, yaitu Pek-lian Tok-ciang (Tangan Beracun Teratai Putih).

Ilmu ini merupakan ilmu pukulan beracun yang bercampur dengan kekuatan sihir, yang didapatkannya dari Pek-lian-kauw.

Melihat betapa kedua tangan lawan berubah menjadi putih pucat dan mengeluarkan bau harum keras menyengat hidung, Gangga Dewi mengerutkan alisnya.

“Omitohud, kiranya engkau iblis dari Pek-lian-kauw?”

Akan tetapi, Gangga Dewi tidak merasa gentar. Ketika melihat lawan menyerang dengan kedua tangan yang putih pucat itu melakukan gerakan mendorong, ia pun merendahkan tubuhnya dan menangkis dari samping dengan memutar lengannya.

“Dukkk!”

Tubuh Gangga Dewi tergetar dan saat itu secara curang sekali kakinya melayang ke arah selangkangan Gangga Dewi.

“Uhhh....!”

Gangga Dewi berseru dan cepat merapatkan kedua kakinya dan miringkan tubuh. Namun, tetap saja pahanya tersentuh dan terdorong oleh kaki Ang I Moli yang melapisi sepatunya dengan besi di bagian bawahnya, Gangga Dewi terpelanting roboh!

Melihat lawannya roboh miring, Ang I Moli girang sekali,
“Mampuslah!”

Ia berseru dan menubruk ke depan untuk mengirim pukulan terakhir, pukulan maut yang akan menewaskan lawan yang sudah roboh itu.

“Moli, jangan....!”

Yo Han masih sempat berteriak ketika melihat Ang I Moli menyusulkan pukulan maut kepada wanita berkerudung yang sudah roboh miring. Akan tetapi tentu saja Ang I Moli sama sekali tidak peduli akan teriakannya itu dan melanjutkan pukulannya dengan telapak putih pucat dari ilmu pukulan Pek-lian Tok-ciang!

Akan tetapi, ketika ia tertendang dan terpelanting, Gangga Dewi memang sengaja membiarkan dirinya terjatuh miring dan ia sengaja pula bersikap lambat sehingga memberi kesempatan kepada lawan untuk mengirim pukulan terakhir itu.

Padahal, setelah kaki tangannya menempel pada tanah, diam-diam ia mengerahkan ilmu simpanan yang dahulu dipelajarinya dari ayahnya. Maka, begitu lawan mengirim pukulan maut, ia pun segera mengangkat kedua tangannya, dengan telapak tangan terbuka ia menyambut pukulan itu.

“Dessss....!”

Hebat bukan main pertemuan antara dua tenaga itu. Tubuh Ang I Moli terlempar ke atas seperti layang-layang putus talinya dan ia pun terpelanting jatuh ke atas tanah! Bukan main kagetnya Ang I Moli! Ia tidak tahu ilmu apa yang dipergunakan wanita berkerudung itu. Ia tidak tahu bahwa itulah Tenaga Inti Bumi!

Masih untung baginya bahwa tenaga rahasia yang dimiliki atau dikuasai Gangga Dewi belum mencapai puncaknya. Kalau demikian halnya, ia bukan hanya akan terlempar dan terbanting jatuh, juga mungkin ia akan tewas seketika karena guncangan hebat akan meremukan isi dada dan perutnya.

Ang I Moli bangkit dan wajahnya pucat, matanya terbelalak. Ia merasa gentar sekali, akan tetapi melihat Yo Han keluar dari balik pohon, ia merasa penasaran dan menyesal bahwa ia tidak dapat memiliki pemuda itu. Kekecewaan ini menimbulkan kemarahan dan kebencian hebat.

“Mampuslah!” bentaknya dan ketika tangan kirinya bergerak, sinar merah menyambar ke arah Yo Han.

“Awas....!”

Gangga Dewi berteriak, dan ia cepat meloncat ke arah Yo Han untuk menyelamatkan anak itu. Namun terlambat. Yo Han mengeluh dan roboh terjengkang ketika dadanya disambar sinar merah kecil-kecil itu.

Gangga Dewi tidak mempedulikan lagi Ang I Moli yang melarikan diri sambil terkekeh-kekeh. Ia cepat berlutut dan membuka kancing baju Yo Han. Anak itu roboh telentang dengan muka pucat dan napas terengah-engah, matanya terpejam dan agaknya ia pingsan.

Ketika Gangga Dewi menyentuh dadanya, ia terkejut. Bukan main panasnya dada itu, seperti dibakar. Dan ada lima bintik merah di dada anak itu. Ketika ia meraba, tahulah ia bahwa ada lima batang jarum masuk ke dalam dada, masuk seluruhnya dan hanya tinggal ujungnya saja nampak terbenam di kulit. Jarum-jarum itu kecil, tidak merusak isi dada, akan tetapi tentu mengandung racun jahat. Dan racun itu tentu menodai darah anak ini, padahal letaknya demikian dekat dengan jantung! Sungguh berbahaya sekali.

“Anak yang malang....!” katanya dan ia pun bersila di dekat tubuh Yo Han, lalu menghimpun tenaga sakti, menggosok kedua telapak tangannya, kemudian ia menggunakan telapak tangan kanannya ditempelkan di dada, menutupi lima bintik merah itu.

Ia mengerahkan sin-kangnya, menyedot dan setelah dahinya basah oleh keringat, dari balik kerudung kepalanya mengepul uap putih, akhirnya ia berhasil. Lima batang jarum itu kini nampak tersembul keluar.

Gangga Dewi menggunakan saputangan sutera, mencabuti lima batang jarum yang amat lembut itu, jarum yang merah kehitaman warnanya. Jelas jarum-jarum itu beracun, pikirnya.

“Iblis betina kejam....!” katanya lirih, kemudian setelah membuang jarum-jarum itu, ia memeriksa luka bekas jarum.

“Omitohud....!”

Serunya kaget dan heran. Ia melihat darah merah kehitaman keluar dari lima luka kecil itu, seolah-olah darah beracun itu didorong dari dalam! Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki sin-kang yang sudah amat kuat. Mungkinkah anak ini memiliki sin-kang yang sedemikian kuatnya sehingga tenaga sakti dari dalam tubuh itu mampu dikerahkan untuk mendorong keluar darah beracun dari luka-luka sekecil itu?

Akan tetapi, andaikata benar demikian, hal itu pun sama sekali tidak mungkin. Anak ini jelas dalam keadaan pingsan! Tidak mungkin dalam keadaan pingsan dia mampu mengerahkan sin-kangnya. Kalau bukan tenaga sin-kang, lalu tenaga apa yang demikian hebatnya, yang dapat bekerja selagi orangnya pingsan, mampu mendorong keluar racun dari dalam tubuh?

“Omitohud....!” kembali wanita itu memuji kebesaran Yang Maha Kasih dan matanya terbelalak mengamati dada itu.

Kini darah yang keluar dari lima luka kecil itu sudah berwarna merah bersih, berarti bahwa racunnya sudah terdorong keluar semua. Darah merah itu menetes-netes. Ketika ia merabanya, dada itu tidak panas lagi, napas anak itu tidak terengah lagi, dan agaknya dia tidur pulas!

“Omitohud....!”

Gangga Dewi terheran-heran dan kagum, lalu mengeluarkan obat dari bungkusan yang dilihatnya berada di dekat anak itu, bungkusan obat bubuk yang tadi ia berikan kepadanya. Ditaburkannya bubuk obat luka itu pada lima luka kecil dan darah pun berhenti menetes. Ia mengenakan lagi baju anak itu yang tadi ia buka, dan diam-diam ia merasa aneh. Kalau menurut perhitungannya, orang yang terkena luka batang jarum beracun seperti itu, di dadanya, kecil sekali harapannya untuk dapat diselamatkan nyawanya.

Akan tetapi anak ini, tanpa pengobatan, hanya ia bantu agar jarum-jarum itu keluar, telah dapat sembuh dengan sendirinya, racun berbahaya itu dapat keluar dengan sendirinya, tanpa disengaja, karena anak itu pun masih dalam keadaan pingsan! Sungguh selama hidupnya, belum pernah Gangga Dewi melihat hal seperti ini, bahkan mendengar pun belum pernah. Ilmu apa yang dimiliki anak ini sehingga ada kekuatan mujijat yang melindunginya?

Setelah mengenakan kembali pakaian Yo Han, Gangga Dewi lalu menekan tengah-tengah bawah hidung, sedikit di atas bibir, dengan jari telunjuknya. Yo Han mengeluh dan membuka matanya. Ketika melihat wajah wanita berkerudung itu, Yo Han segera teringat akan semua yang terjadi dan dia pun bangkit duduk.

“Di mana wanita jahat itu?”

“Tenanglah, anak yang baik. Ia sudah pergi melarikan diri.”

“Aahhhh.... jadi Locianpwe berhasil mengusirnya?” kata Yo Han dengan hati lega. “Aku tadinya sudah khawatir sekali melihat Locianpwe roboh.”

Gangga Dewi tersenyum dan menarik napas panjang. Pahanya yang kena tendang masih berdenyut nyeri.

“Ia memang licik dan lihai sekali, akan tetapi untunglah aku berhasil mengusirnya. Bagaimana dengan lehermu?” Gangga Dewi sengaja tidak menyinggung dulu soal luka di dada.

Yo Han meraba luka di lehernya yang tadi dihisap darahnya oleh Ang I Moli.
“Sudah kering berkat obat Locianpwe yang amat manjur. Ihhh, wanita itu sungguh mengerikan. Ia.... ia menghisap darahku!”

“Dan bagaimana dengan dadamu?”

“Dadaku? Kenapa, Locianpwe?”

Gangga Dewi menatap tajam wajah anak itu, penuh selidik.
“Tidak tahukah engkau bahwa dadamu terluka oleh jarum-jarum beracun?”

“Ahhh...?” Yo Han terkejut. “Aku tidak tahu, Locianpwe.” Dia meraba dadanya dan menggigit bibir.

“Sakitkah?”

“Perih sedikit.”

“Coba bernapas yang dalam dan rasakan, apakah terasa nyeri di sebelah dalam?”

Yo Han menarik napas panjang dan merasakan, lalu menggeleng kepalanya.
“Tidak ada yang sakit, Locianpwe.”

Gangga Dewi terheran-heran. Ia masih duduk bersila dan anak itu pun kini duduk di atas rumput. Mereka saling pandang sejenak dan Yo Han lalu berkata,

“Locianpwe telah menolong dan menyelamatkan aku dari ancaman wanita jahat itu. Terima kasih, Locianpwe. Semoga Tuhan berkenan memberi kesempatan kepadaku untuk membalas budi kebaikan Locianpwe ini.”

Gangga Dewi semakin kagum mendengar ucapan Yo Han. Seorang bocah yang luar biasa sekali.
“Anak yang baik, siapakah engkau? Siapa namamu dan dari mana engkau datang?”

“Namaku Yo Han, Locianpwe. Aku hidup sebatangkara, yatim piatu dan aku sedang dalam perjalanan mengikuti Ang I Moli.”

“Omitohud, anak yang patut dikasihani. Engkau sebatang kara? Akan tetapi bagaimana engkau dapat bersama-sama seorang iblis betina seperti Ang I Moli?”

“Aku tidak tahu bahwa ia sedemikian jahatnya, Locianpwe. Aku.... aku menjadi muridnya dan sedang ia ajak pergi ke tempat tinggalnya, entah di mana. Setelah tiba di sini, ternyata ia berubah mengerikan dan hendak membunuhku, menghisap darahku...., ihh, mengerikan sekali. Ia seperti bukan manusia lagi.”

“Omitohud! Sudah menjadi kehendak Yang Maha Kasih bahwa kebetulan sekali aku datang ke kuil ini untuk bermalam. Yo Han, sudah berapa lama engkau menjadi murid Ang I Moli?”

“Baru kurang lebih dua minggu.”

“Ehh? Jadi, engkau belum belajar ilmu silat darinya?”

“Sama sekali belum dan juga tidak. Aku tidak suka belajar ilmu silat, Locianpwe.”

“Apakah selama ini engkau belum pernah mempelajari ilmu silat?”

“Aku belum pernah latihan ilmu silat,” kata Yo Han.

Dia tidak mau berbohong. Memang sudah banyak dia mempelajari ilmu silat, dari suhu dan subonya di Tatung, akan tetapi dia hanya menghafal saja, dan tidak pernah berlatih. Dia tidak mau membawa-bawa nama suhu dan subonya, maka dia mengatakan saja bahwa dia belum pernah latihan silat, dan ini memang benar.

Tentu saja jawaban ini membuat Gangga Dewi menjadi semakin terkejut dan heran. Selamanya belum pernah latihan silat. Akan tetapi, lima batang jarum memasuki dadanya dan dia selamat! Dan anak yang tidak bisa silat ini begitu berani dan tabahnya, berani menentang seorang iblis betina seperti Ang I Moli! Padahal, sekali pukul saja iblis itu dapat membunuhnya! Anak apakah ini?

“Yo Han, keteranganmu sungguh membuat aku menjadi bingung. Engkau tidak suka belajar ilmu silat. Engkau seorang anak yang baik dan tidak suka akan kejahatan. Akan tetapi engkau melakukan perjalanan bersama Ang I Moli sebagai muridnya! Bagaimana ini? Keadaanmu serba bertolak belakang. Kenapa engkau bisa menjadi murid seorang seperti Ang I Moli dan apa yang hendak kau pelajari darinya kalau bukan ilmu silat?”

Yo Han menarik napas panjang. Di antara segala macam kepalsuan yang dilihatnya dilakukan manusia, adalah membohong. Dia tidak suka berbohong. Akan tetapi dia pun tidak suka bicara tentang suhu dan subonya.

“Begini, Locianpwe. Aku terpaksa menjadi muridnya walaupun aku tidak akan mau belajar ilmu silat darinya.”

“Engkau dipaksa menjadi muridnya dengan ancaman?”

“Tidak, akan tetapi aku sudah berjanji kepadanya. Ketika itu, dua pekan yang lalu, ia menculik seorang anak perempuan. Aku membujuknya untuk mengembalikan anak itu kepada orang tuanya. Ia mau mengembalikan anak itu asal aku mau menukarnya dengan diriku. Anak itu dibebaskan akan tetapi aku harus ikut dengannya, menjadi muridnya. Karena aku ingin anak itu dikembalikan kepada orang tuanya, maka aku menyanggupi. Demikianlah, anak itu selamat dan aku pun ikut dengannya sampai ke sini.”