Ads

Jumat, 18 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 007

“Jangan bohong kau!” Ang I Moli membentak.

Yo Han yang berdiri di depannya memandang dengan sinar mata marah.
“Subo sudah berulang kali kukatakan bahwa aku tidak pernah dan tidak akan mau berbohong!” jawabnya dengan tegas.

Mereka berada di dalam sebuah ruangan kuil tua di lereng bukit. Kuil ini belum rusak benar. Baru setahun ditinggalkan penghuninya, yaitu seorang pertapa tosu dan agaknya tidak ada yang mau mengurus kuil yang berada di tempat terpencil ini. Hanya kuil yang berada di daerah pedusunan yang makmurlah dapat berkembang dengan baik. Banyak pengunjung datang bersembahyang dan banyak dana pula datang membanjir sehingga berlebihan untuk pembiayaan kuil.

Akan tetapi sebuah kuil tua di lereng bukit yang sunyi? Jauh dari dusun jauh dari masyarakat? Siapa yang mau hidup sengsara dan serba kekurangan di situ? Kuil itu kini kosong dan dalam perjalanannya pulang, ketika melewati tempat ini dan kemalaman, Ang I Moli mengajak Yo Han untuk melewatkan malam di tempat sunyi itu.

Wanita itu masih terkenang akan kelihaian Kao Hong Li. Wanita cucu Naga Sakti Gurun Pasir itu demikian lihainya, dan suaminya, Si Bangau Putih, tentu lebih lihai pula. Ia sendiri yang ditakuti banyak orang di dunia kang-ouw, kini merasa ngeri kalau membayangkan bahaya maut yang mengancamnya ketika ia berhadapan dengan suami isteri pendekar itu.

Kalau suhu dan subonya sedemikian saktinya, tentu muridnya juga telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, demikian pendapatnya. Oleh karena itu, ketika ia bertanya kepada Yo Han tentang ilmu silat, berapa banyak ilmu kedua orang gurunya yang telah dikuasainya, Yo Han menjawab bahwa dia tidak pandai ilmu silat dan tentu saja Ang I Moli menduga dia berbohong.

“Bagaimana mungkin, sebagai murid suami isteri yang lihai itu engkau tidak menguasai sedikit pun ilmu silat? Sudah berapa lama engkau menjadi murid mereka, Yo Han?”

“Sudah lima tahun, Subo.”

“Hemm, apalagi sudah begitu lama. Bagaimana mungkin engkau tidak pandai ilmu silat? Bukankah engkau menerima pelajaran ilmu silat dari mereka?”

“Aku tidak pernah berlatih, Subo. Aku tidak suka ilmu silat.”

Wanita cantik itu terbelalak, lalu ia memandang penuh perhatian kepada Yo Han dengan alis berkerut.

“Engkau tidak suka ilmu silat?” Ang I Moli tertawa terkekeh-kekeh karena merasa geli hatinya. “Kao Hong Li dan Tan Sin Hong merupakan sepasang suami isteri pendekar yang sakti, dan murid tunggalnya tidak pandai dan tidak suka ilmu silat?” Ia tertawa-tawa lagi sampai keluar air matanya.”Habis, apa saja yang kau pelajari dari mereka selama lima tahun itu?”

“Subo, kenapa Subo mentertawakan hal itu? Aku memang tidak suka ilmu silat, dan yang kupelajari dari Suhu dan Suboku itu adalah ilmu membaca dan menulis, membuat sajak, bernyanyi dan meniup suling, pengetahuan tentang kebudayaan dan filsafat hidup, mempelajari kitab-kitab sejarah kuno.”

Dia terpaksa berhenti bicara karena Ang I Moli sudah tertawa lagi terkekeh-kekeh. Yo Han hanya berdiri memandang dengan alis berkerut dan mata bersinar-sinar marah. Setelah menghentikan tawanya, wanita itu mengusap air mata dari kedua matanya, lalu memandang kepada pemuda remaja itu.

“Anak baik, aku mengambilmu sebagai murid dan aku akan mengajarkan ilmu silat pula kepadamu. Bagaimana?”

Yo Han menggeleng kepalanya.
“Percuma saja, Subo. Aku tidak akan menolak segala yang kau ajarkan kepadaku, akan tetapi aku tidak akan suka berlatih silat sehingga semua pengertian ilmu silat yang kau berikan kepadaku tidak akan ada gunanya.”

Ang I Moli teringat sesuatu.
“Yo Han, kalau engkau memang sama sekali tidak pandai ilmu silat, kenapa engkau begini tabah dan berani? Padahal engkau tidak memiliki kemampuan untuk membela diri apabila diserang lawan. Bagaimana engkau menjadi begini berani?”

“Aku tidak suka akan kekerasan, kenapa mesti takut, Subo? Orang yang tidak melakukan kejahatan, tidak merugikan orang lain, tidak membenci orang lain, kenapa mesti takut? Aku tidak pernah takut, Subo, karena tidak pernah membenci orang lain.”

“Yo Han, kalau engkau tidak mau belajar ilmu silat dariku, lalu kenapa engkau mau ikut dengan aku?” Wanita itu akhirnya bertanya heran.

“Subo lupa. Bukan aku yang ingin ikut Subo, melainkan Subo yang mengajakku dan aku ikut Subo sebagai penukaran atas diri Sian Li.”

Wanita itu menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala dan memandang dengan heran. Sungguh seorang anak laki-laki yang aneh sekali. Begitu tabah, sedikit pun tak mengenal takut, begitu teguh memegang janji, sikapnya demikian gagah perkasa seperti seorang pendekar tulen, akan tetapi, sedikit pun tidak pandai ilmu silat bahkan tidak suka ilmu silat!

Akan tetapi, melihat wajah yang tampan gagah itu ia teringat akan keadaan tubuh pemuda remaja itu dan wajah Ang I Moli berseri, mulutnya tersenyum dan pandang matanya menjadi genit sekali.

“Tidak suka berlatih silat pun tidak mengapalah, Yo Han, asal engkau mentaati semua perintahku menuruti semua permintaanku.” Ia lalu menggapai. “Engkau duduklah di sini, dekat aku, Yo Han,”

Tanpa prasangka buruk, Yo Han mendekat, lalu duduk di atas lantai yang tadi sudah dia bersihkan dan diberi tilam rumput kering yang dicarinya di ruangan belakang kuil tua itu, sebagai persiapan tempat mereka nanti tidur melewatkan malam. Akan tetapi, suaranya tegas ketika dia berkata,

“Subo, aku akan selalu mentaati perintahmu selama perintah itu tidak menyimpang dari kebenaran. Kalau Subo memerintahkan aku melakukan hal yang tidak benar, maaf, terpaksa akan kutolak!”






“Hi-hik, tidak ada yang tidak benar, muridku yang baik. Engkau tahu, aku amat sayang padamu, Yo Han. Engkau anak yang amat baik, dan aku senang sekali mempunyai murid seperti engkau.”

Wanita itu memegang tangan Yo Han dan membelai tangan itu. Merasa betapa jari-jari tangan yang berkulit halus itu dengan lembut membelai tangannya, kemudian bagaikan laba-laba jari-jari tangan itu merayap naik di sepanjang lengannya,

Yo Han merasa geli dan juga aneh. Jantungnya berdebar tegang dan dengan gerakan lembut dia pun menarik lengannya yang dibelai itu.

“Subo, apakah Subo tidak lapar?”

Tiba tiba dia bertanya dan pertanyaan itu sudah cukup untuk membuyarkan gairah yang mulai membayang di dalam benak Ang I Moli. Ia pun terkekeh genit.

“Hi-hik, bilang saja perutmu lapar, sayang. Nah, buka buntalanku itu, di situ masih ada roti kering dan daging kering, juga seguci arak.”

Mendapatkan kesempatan untuk melepaskan diri dari belaian gurunya yang baru itu, Yo Han lalu bangkit dan mengambil buntalan pakaian gurunya, dan mengeluarkan bungkusan roti dan daging kering, juga seguci arak yang baunya keras sekali. Dia menaruh semua itu di depan Ang I Moli dan ketika merasakan betapa roti dan daging kering itu keras dan dingin, dia pun berkata,

“Subo, aku hendak mencari kayu bakar dan air.”

“Eh? Untuk apa? Makanan sudah ada, minuman juga sudah ada.”

“Akan tetapi roti dan daging itu keras dan dingin, Subo. Kalau dipanaskan dengan uap air tentu akan menjadi hangat dan lunak. Juga aku lebih suka minum air daripada arak. Ini aku membawa panci untuk masak air, Subo,” katanya sambil mengeluarkan sebuah panci dari dalam buntalan pakaiannya.

Ang I Moli memandang dan tersenyum. Ia semakin tertarik kepada Yo Han dan ia harus bersikap manis untuk menundukkan hati perjaka remaja itu. Pemuda ini tidak mau menjadi muridnya dalam arti yang sesungguhnya. Maka ia harus dapat memanfaatkan pemuda itu bagi kesenangan dan keuntungan dirinya sendiri. Seorang perjaka remaja yang memiliki tubuh sebaik itu akan menguntungkan sekali bagi kewanitaannya. Akan membuat ia awet muda dan kuat, juga hawa murni di tubuh muda itu akan dapat dihisapnya dan dapat menambah kekuatan tenaga dalam di tubuhnya.

Selain itu, cita-citanya untuk menguasai sebuah ilmu rahasia yang selama ini ditunda-tundanya, kini akan dapat diraihnya dengan mudah! Untuk dapat menguasai ilmu rahasia itu, ia harus dapat menghisap darah murni selosin orang perjaka yang memiliki darah yang bersih dan badan yang sempurna. Kini ia telah mendapatkan Yo Han dan anak ini sudah lebih dari cukup, bahkan lebih kuat dibandingkan selosin orang pemuda remaja biasa!

“Baiklah, engkau boleh pergi mencari air dan kayu bakar. Akan tetapi cepat kembali. Hari telah sore dan sebentar lagi akan gelap,” katanya halus dan ramah.

“Baik, Subo.”

Yo Han berlari keluar dari kuil itu. Dia tidak tahu bahwa Ang I Moli membayanginya dari jauh. Wanita ini tidak ingin kehilangan Yo Han, maka begitu anak itu berlari keluar, ia pun mempergunakan ilmu kepandaiannya dan mengikutinya tanpa diketahui oleh Yo Han. Bagi seorang seperti Ang I Moli Tee Kui Cu, tidak mungkin ada orang di dunia ini yang benar-benar jujur dan setia dan dapat dipercaya sepenuhnya!

Sejak kecil wanita ini hidup di dalam lingkungan dunia hitam, berkecimpung di dalam kesesatan, di dalam suatu masyarakat di mana kata jujur dan setia sudah tidak dikenal lagi, di mana segala cara dihalalkan demi keuntungan dan kepentingan diri sendiri. Oleh karena itu, ia pun tidak dapat percaya sepenuhnya kepada Yo Han. Ia tidak ingin kehilangan Yo Han yang baginya kini menjadi amat penting. Ia takut kehilangan pemuda itu, takut pemuda itu melarikan diri atau dilindungi orang lain. Juga ia ingin menguji sampai di mana pemuda itu dapat mempertahankan kejujuran dan kesetiaannya.

Ang I Moli tidak tahu bahwa sesungguhnya ia telah menemukan seorang pemuda yang luar biasa, yang berbeda dengan pemuda-pemuda lain. Di dalam batin Yo Han belum pernah terdapat pamrih yang bermacam-macam, bahkan dia tidak mengenal itu. Dia menghadapi segala sesuatu yang terjadi sebagai apa adanya, tidak pernah dia membuat gagasan atau rekaan macam-macam. Dia hanya melihat kenyataan yang ada untuk dihadapi secara spontan, tidak pernah membuat rencana dan akal demi kepentingan diri sendiri.

Dia melihat kenyataan bahwa suhu dan subonya tidak menghendaki dia di rumah mereka, dengan alasan agar puteri mereka tidak sampai kelak meniru sikap dan pendiriannya. Dia tahu bahwa demi kebaikan keluarga suhunya, dia harus menyingkir, menjauhkan diri dari mereka. Karena itulah dia mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan mereka yang sesungguhnya amat dia sayang.

Kemudian, dia telah berjanji kepada Ang I Moli untuk mengikuti wanita itu sebagai muridnya, karena dia harus menyelamatkan Sian Li. Janjinya itu akan dipegangnya dengan teguh. Dia tidak akan melarikan diri karena dia pun sama sekali tidak pernah merasa takut kepada Ang I Moli. Dia belum mengenal benar orang macam apa adanya Ang I Moli, gurunya yang baru itu.

Bukan main senang dan lega rasa hati Ang I Moli yang membayangi Yo Han, ketika melihat bahwa sedikit pun anak itu tidak memperlihatkan sikap ingin melarikan diri. Dia mengumpulkan kayu bakar, kemudian menemukan sumber air dan mengisi pancinya penuh air, setelah itu dia kembali ke kuil tanpa ragu-ragu. Ketika Yo Han memasuki kuil, Ang I Moli tentu saja sudah lebih dahulu berada di tempat semula, duduk bersila sambil tersenyum manis.

“Aih, cepat juga engkau mendapatkan air dan mengumpulkan kayu kering, Yo Han,” pujinya, kemudian ia membantu muridnya membuat api unggun dan memasak air di panci.

Setelah roti dan daging kering dipanasi dengan uap air, mereka lalu makan roti dan daging yang sudah menjadi lunak dan juga hangat itu yang memang terasa jauh lebih enak daripada kalaµ dimakan keras dan dingin. Dengan gembira sekali Ang I Moli makan roti dan daging kering minum arak, sedangkan Yo Han hanya minum air yang sudah dimatangkan.

Setelah makan kenyang, mereka duduk di dekat api unggun. Sementara itu, malam telah tiba dan api unggun itu amat menolong mereka mengusir nyamuk dan hawa dingin. Setelah duduk termenung di dekat api unggun, Yo Han mengeluh dan sambil mengangkat muka memandang wajah subonya yang sejak tadi memperhatikannya tanpa bicara, dia berkata,

“Subo, sekarang aku merasa betapa aku kehilangan kitab-kitab itu. Biasanya, di waktu malam begini aku tentu membaca kitab. Akan tetapi sekarang, kitab-kitab itu jauh di rumah Suhu dan Subo, dan di sini aku tidak dapat membaca apa-apa.”

Wanita itu tersenyum.
“Jangan kau khawatir, Yo Han. Setelah tiba di rumah, aku akan mencarikan kitab bacaan untukmu.”

“Subo mempunyai kitab-kitab bacaan?” Yo Han memandang dengan sinar mata gembira.

“Akan kucarikan untukmu. Apa sih sukarnya mencari kitab-kitab itu? Akan kucarikan sebanyaknya untukmu. Aku sayang kepadamu Yo Han, dan kuharap engkau pun sayang kepadaku dan akan menuruti semua keinginanku.”

“Subo baik kepadaku, mengapa aku tidak sayang? Dan tentu saja aku akan menuruti semua keinginan Subo. Subo, bolehkah aku tidur dulu? Perjalanan hari ini yang tidak melalui air lagi, berjalan kaki sehari penuh, amat melelahkan badan dan aku ingin tidur.”

Yo Han lalu merebahkan dirinya miring di sudut ruangan itu, di seberang api unggun, terpisah dari subonya.

Ang I Moli tersenyum.
“Yo Han, jangan lupa lagi. Apa yang harus kau lakukan sebelum tidur?”

Yo Han juga tersenyum, lalu bangkit dan membawa air ke bagian belakang kuil untuk membersihkan mulutnya. Pada malam pertama mereka melakukan perjalanan, masih berperahu, subonya yang baru ini telah memberi sebuah pelajaran tentang kebersihan kepadanya, yaitu keharusan membersihkan mulut sewaktu akan tidur.

”Lihat gigiku ini,” demikian kata subonya sambil memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih dan rapi. “Belum ada sebuah pun yang rusak atau tanggal, padahal banyak orang seusiaku sudah hampir kehabisan giginya. Inilah hasil menjaga kebersihan. Bukan saja hasilnya gigi menjadi bersih dan utuh, juga kesehatanku menjadi baik karena hampir semua penyakit datangnya lewat mulut. Dan cara membersihkan mulut dan gigi yang paling baik adalah membersihkannya setiap kali hendak tidur. Hal ini harus menjadi kebiasaanmu sejak malam ini, Yo Han!”

Demikianlah Ang I Moli memberi pelajaran tentang kesehatan dan kalau dia terlupa, seperti pada malam ini, Ang I Moli selalu memperingatkannya. Pelajaran kesehatan yang agaknya amat sederhana ini sesungguhnya menguntungkan sekali dan amat baiknya bagi Yo Han. Biasanya orang meremehkannya. Padahal, kebiasaan membersihkan mulut di waktu hendak tidur merupakan satu di antara usaha penjagaan kesehatan yang paling baik dan paling mudah!

Tak lama kemudian, Yo Han sudah tidur pulas di atas rumput kering. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi Ang I Moli sudah berpindah tempat di dekatnya dan kini wanita itu duduk bersila di sebelahnya, tiada hentinya mengamati wajahnya yang tidur nyenyak, di bawah sinar api unggun yang membuat wajahnya menjadi kemerahan.

Aku harus mulai sekarang juga, pikir wanita itu. Lebih cepat ia dapat menguasai Yo Han, lebih baik. Dengan lembut tangannya meraba wajah pemuda itu, membelai dagu dan leher, lalu membelai semua tubuh Yo Han.

Pemuda remaja itu menggeliat dalam tidurnya dan Ang I Moli menarik tangannya. Anak ini amat luar biasa, pikirnya sambil menahan gairah yang sudah mulai membakar dirinya. Mungkin saja dia akan menolak keras, bahkan melawan dan tidak mau menyerah biar diancam bagaimanapun juga.

Keberaniannya memang luar biasa. Kalau terjadi hal seperti itu, tentu amat merugikan dirinya. Kalau ia menggunakan paksaan, anak ini akan dapat mati sebelum ia memperoleh hasil yang memuaskan. Ia harus dapat menghisap kemurnian anak ini sedikit demi sedikit, tidak terasa oleh Yo Han.

Ia akan memberi makanan dan minuman yang mengandung obat penguat badan dan akhirnya, semua hawa murni dan darah murni itu akan berpindah ke tubuhnya tanpa diketahui oleh pemuda remaja itu, atau kelak diketahui kalau sudah terlambat dan pemuda yang kehabisan darah dan hawa murni itu akan tewas pula. Dan ia akan mampu melatih diri dengan ilmu rahasia itu! Ia akan menjadi seorang yang sukar dicari tandingnya! Ia akan dapat merajai dunia persilatan dengan ilmunya itu.

Kembali ia mengamati wajah Yo Han yang masih tidur nyenyak. Ah, mengapa ia begitu bodoh? Kalau membujuk anak ini, agaknya ia akan gagal total. Anak ini bukan seorang anak yang mudah dibodohi atau dibujuk halus, atau pun yang mudah ditundukkan dengan ancaman atau siksaan. Padahal, ia menghendaki agar dia menyerahkan diri dengan suka rela! Dengan demikian maka hasilnya akan lebih baik lagi bagi dirinya. Dan satu-satunya jalan adalah menggunakan kekuatan sihirnya! Mengapa ia lupa akan kepandaiannya itu?

Ia pernah mempelajari ilmu sihir dari Pek-lian-kauw dan ilmu sihirnya sudah lebih dari kuat untuk mempengaruhi seorang bocah! Orang dewasa pun kalau tidak memiliki sin-kang yang kuat akan mudah ia tundukkan dengan kekuatan sihirnya. Apalagi pemuda remaja yang lemah ini!

Ang I Moli yang duduk bersila menghadapi Yo Han itu lalu membuat guratan-guratan dengan telunjuk kanannya, kemudian mulutnya berkemak-kemik, matanya terpejam. Ia membaca semacam mantram untuk mulai mempergunakan ilmu sihirnya untuk menyihir dan menguasai semangat Yo Han yang masih tidur nyenyak.

Setelah membaca mantram, ia lalu membuka kedua matanya yang mengeluarkan sinar aneh menatap wajah Yo Han, juga kedua tangannya kini digerakkan dengan aneh, jari tangannya terbuka seperti cakar, dan jari-jari tangan itu bergerak-gerak, kedua tangan itu diputar-putar sekitar kepala dan tubuh Yo Han. Kembali mulutnya berkemak-kemik, kini mengeluarkan bisikan yang mendesis-desis.

“Yo Han, engkau sudah berada dalam kekuasaanku, seluruh semangat dan kemauanmu tunduk kepadaku. Kalau nanti engkau kusuruh bangun, engkau akan tunduk dan menyerah kepadaku penuh kepasrahan, engkau akan menganggap aku sebagai wanita paling cantik yang kau kasihi, engkau akan dibakar gairah berahi dan engkau akan menuruti segala kehendakku dengan gembira. Kemauanmu akan lemah dan lembut seperti domba, gairah berahimu akan bangkit setangkas harimau, engkau akan selalu berusaha untuk menyenangkan hatiku, dengan mentaati semua perintahku, hanya aku satu-satunya orang yang kau kasihi, kau taati....”

Ia lalu menutup bisikan mendesis itu dengan tiupan dari mulutnya ke arah muka Yo Han tiga kali.

“Yo Han.... Yo Han.... Yo Han.... bangunlah engkau, sayang!” Ia mengguncang pundak pemuda itu, menggugahnya.

Yo Han adalah seorang anak yang memiliki kepekaan luar biasa. Sejak kecil, di waktu dia tidur, kalau ada sesuatu yang tidak wajar, sedikit suara saja sudah cukup menggugahnya dari tidur pulas. Begitu Ang I Moli menyentuh pundaknya dia pun terbangun, membuka kedua matanya, akan tetapi tidak seperti biasanya, dia tidak segera bangkit duduk, melainkan memandang ke depan kosong, seperti orang melamun seperti melihat sesuatu yang amat menarik hati.

Dan memang dia merasa melihat sesuatu yang amat aneh. Dia merasa seolah kaki tangannya terbelenggu, suaranya lenyap menjadi gagu, dan dirinya hanyut oleh gelombang samudera, semakin ke tengah dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.

Kemudian, dia merasa ada kekuatan yang menariknya ke tepi, bahkan dia seperti menunggang gelombang, makin dekat ke tepi, lalu kaki tangannya yang seperti terbelenggu itu terlepas bebas, mulutnya dapat bersuara lagi. Dia berenang sekuat tenaga ke tepi, dan berhasil mendarat di pantai.

“Apa.... apa yang terjadi padaku? Ya Tuhan, apa yang terjadi.?” suara ini pun seperti keluar dengan sendirinya, dari balik perasaan hatinya yang diliputi keheranan.

Dan begitu dia menyebut nama Tuhan. Semua itu pun lenyap dan seperti orang bangkit dari mimpi buruk, dia kini duduk dan melihat bahwa di depannya duduk Ang I Moli yang bersila.

Melihat pemuda remaja itu telah bangun duduk, Ang I Moli tersenyum manis merasa yakin bahwa sihirnya telah mengena dan telah menguasai anak itu, walaupun ketika Yo Han menyebut Tuhan tadi hatinya merasa amat tidak enak.

“Yo Han, engkau sayang padaku, bukan?” Ia menguji.

Yo Han memandang wajah subonya dengan heran, lalu menjawab lirih,
“Tentu saja aku sayang padamu, Subo. Kenapa Subo menanyakan hal itu dan membangunkan aku?”

“Hemm, anak tampan. Aku ingin engkau membuktikan kasih sayangmu padaku Nah, kesinilah, Yo Han, peluklah aku, ciumlah aku,” katanya dengan senyum memikat dan nada suara memerintah.

Akan tetapi, kini terjadi hal yang mengejutkan dan mengherankan hatinya! Anak itu tidak bergerak menuruti perintahnya, bahkan memandang kepadanya dengan alis berkerut dan mata bersinar marah!

“Subo, apa artinya ini? Subo menyuruh aku melakukan sesuatu yang tidak patut!”

Tentu saja Ang I Moli terkejut. Bukankah sihirnya tadi amat kuat dan anak ini sudah berada di dalam cengkeraman ilmu sihirnya? Kenapa sekarang dia berani membantah dan menolak perintahnya

“Yo Han! Aku sayang padamu dan engkau pun sayang padaku. Apa salahnya kalau engkau memelukku dan menciumku untuk menyatakan kasih sayangmu itu?”

“Tapi aku bukan anak kecil lagi yang pantas dipeluk cium, Subo! Aku seorang pemuda yang sudah berusia dua belas tahun, menuju ke masa remaja!”

Kini Ang I Moli merasa penasaran bukan main. Semua ucapan Yo Han itu tidak menunjukkan bahwa dia berada di bawah pengaruh sihir! Semua jawabannya itu mengandung perlawanan, bukan ketaatan. Ia pun menguji lagi dan dengan suara nyaring mengandung perintah ia berseru,

“Yo Han, bangkitlah berdiri!”

Dan anak itu pun segera bangkit berdiri. Begitu taat!
“Tambahkan kayu pada api unggun!” perintahnya pula.

Tanpa menjawab sedikit pun tidak membantah, Yo Han menghampiri api unggun, memilih beberapa potong kayu bakar dan menambahkannya kepada api unggun sehingga api kini membesar.

“Yo Han, sekarang duduklah kembali ke sini, di depanku!”

Sekali lagi, Yo Han mentaati perintah itu dan menghampiri subonya lalu duduk di depan subonya. Begitu taat dan sedikit pun tidak membantah. Mereka duduk bersila berhadapan, dekat sekali sehingga Yo Han dapat mencium bau harum minyak bunga yang semerbak dari pakaian dan rambut wanita itu. Melihat betapa Yo Han selalu taat, Ang I Moli menjadi semakin heran dan penasaran. Kenapa sekarang anak itu begitu taat seolah sihirnya termakan olehnya?

“Yo Han, kau rabalah kedua pipiku dan daguku dengan kedua tanganmu,” kembali ia memerintah.

Yo Han hanya memandang heran saja, akan tetapi kedua tangannya bergerak dan dia pun meraba-raba kedua pipi yang halus dan dagu meruncing itu.

“Teruskan, raba leher dan dadaku.” kata pula Ang I Moli, kini suaranya mulai gemetar oleh bangkitnya kembali gairahnya.

Akan tetapi sekarang, kedua tangan itu bukan turun ke leher dan dadanya melainkan turun kembali ke atas pangkuan Yo Han. Anak itu sama sekali tidak melaksanakan perintahnya.

“Yo Han, aku perintahkan, cepat kau raba dan belai leher dan dadaku dengan kedua tanganmu!” ia mombentak, mengisi suaranya dengan kekuatan sihir sepenuhnya.

Namun, jangankan anak itu melaksanakan perintahnya, bahkan kini Yo Han memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh, heran dan juga penasaran.

“Subo, kenapa Subo mengeluarkan perintah yang aneh-aneh? Maaf, aku tidak dapat memenuhi perintah itu.”

Barulah kini Ang I Moli terkejut. Jelas bahwa anak ini tidak berada di bawah pengaruh sihirnya! Tidak pernah! Kalau tadi nampak mentaati hanya karena taat yang wajar, bukan pengaruh sihir sama sekali. Ia pun menjadi marah.

“Yo Han, bukankah engkau sudah berjanji akan menuruti semua perintahku? Kenapa sekarang engkau membantah dan tidak memenuhi perintahku yang sederhana dan mudah ini?”

“Subo, sudah kukatakan bahwa semua perintah Subo akan kutaati, kecuali kalau perintah itu untuk melakukan sesuatu yang jahat dan tidak benar. Perintah Subo itu tidak baik, karenanya maka aku tidak mau melaksanakannya. Perintahkan aku mengerjakan yang pantas, betapa berat pun pasti akan kutaati, Subo.”

“Yo Han,” kini Ang I Moli ingin mendapatkan kepastian dan ia tidak mau membuang waktu sia-sia dengan membawa anak itu jauh-jauh ke tempat tinggalnya untuk kelak tidak tercapai pula maksudnya. “Engkau harus mentaati semua perintahku, kalau tidak, untuk apa aku mempunyai murid yang membandel dan membantah?”

“Untuk perintah yang tidak pantas, terpaksa aku menolak, Subo.”

Wanita itu yang sudah terbakar oleh gairah nafsunya sendiri, sama sekali tidak tahu bahwa Yo Han adalah seorang anak yang aneh, memiliki sesuatu dalam dirinya yang oleh manusia pada umumnya akan dianggap aneh. Dia tidak pernah mempelajari silat dengan latihan, kecuali hanya menghafal semua teorinya saja, dan dia tidak pernah belajar ilmu sihir.

Namun, kekuatan sihir yang digunakan Ang I Moli terhadap dirinya, sama sekali tidak mempan, sama sekali tidak mempengaruhinya, hanya mendatangkan mimpi bahwa dia hampir dihanyutkan ombak samudera. Kekuatan sihir Ang I Moli bagaikan arus air sungai yang menerjang batu, mengguncang sedikit saja lalu lewat tanpa mampu menghanyutkan batu itu.

Karena kini merasa yakin bahwa anak itu tidak lagi dapat dipengaruhinya dengan sihir, Ang I Moli menjadi penasaran dan tidak sabar lagi. Ia lalu menanggalkan pakaian luarnya begitu saja di depan mata Yo Han. Anak ini mula-mula memandang dengan mata terbelalak heran, akan tetapi pandang matanya lalu menunduk ketika ia melihat tubuh subonya terbungkus pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang.

Melihat betapa agaknya anak itu tidak dapat dipengaruhi oleh kecantikan dan keindahan tubuhnya, maklum karena usianya pun baru dua belas tahun, belum dewasa, Ang I Moli lalu merangkul dan menciumi Yo Han. Diterkamnya anak itu bagaikan seekor harimau menerkam kelinci!

“Subo, apa yang Subo lakukan ini? Subo, lepaskan aku! Ini tidak boleh, tidak benar, tidak baik.”

Akan tetapi betapa pun dia meronta, tetap saja dia tidak berdaya menghindarkan diri. Yo Han kalah tenaga dan tidak mampu bergerak lagi ketika wanita itu menerkamnya sehingga dia terguling dan dia lalu ditindih, digeluti, didekap dan diciumi. Yo Han hanya dapat memejamkan matanya dan mulutnya berkemak-kemik dengan sendirinya.

“Ya Tuhan.... ya Allah.... ya Tuhan....” Dia hanya menyebut Tuhan berulang-ulang.

Semenjak Yo Han mengenal akan kekuasaan Yang Maha Kuasa melalui bacaan kitab-kitab, dia yakin benar bahwa sumber segala kekuatan dan kekuasaan adalah SATU, TUNGGAL dan Maha Kuasa. Keyakinan ini yang membuat Yo Han secara otomatis menyebut Tuhan setiap kali terjadi sesuatu menimpa dirinya. Hal ini mungkin karena dia sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi sehingga dia dapat menyerahkan diri sepenuhnya dan seikhlasnya kepada Tuhan.