Ads

Jumat, 18 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 006

Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, semalam tadi tidak dapat pulas sejenak pun dan pagi-pagi sekali mereka sudah bangun. Dengan wajah muram dan rambut kusut mereka duduk di beranda depan seperti orang-orang yang menantikan sesuatu. Memang mereka menanti pulangnya Yo Han, kalau mungkin bersama Sian Li yang diculik orang.

Hong Li menganggap hal ini tidak mungkin, hanya harapan kosong belaka dan sia-sia. Akan tetapi suaminya berkeras hendak menanti kembalinya Yo Han sampai tiga hari!

“Yo Han....” Tiba-tiba Sin Hong berseru.

Hong Li yang sedang menunduk terkejut, mengangkat mukanya dan wajahnya seketika berseri, matanya bersinar-sinar, seperti matahari yang baru muncul dari balik awan hitam.

“Sian Li....!” Ia pun meloncat dan lari menyambut Yo Han yang datang memondong adiknya itu.

“Ibu....! Ayah....!”

Sian Li bersorak girang dan ia merasa terheran-heren ketika ibunya merenggutnya dari pondongan Yo Han, mendekap dan menciuminya dengan kedua mata basah air mata!

“Ibu.... menangis? Tidak boleh menangis, Ibu tidak boleh cengeng dan lemah!”

Sian Li menirukan kata-kata ayah dan ibunya kalau ia menangis. Ibunya yang masih basah kedua matanya itu tersenyum.

“Tidak, ibu tidak menangis. Ibu bergembira.!”

Sin Hong sudah menyambut Yo Han dan memegang tangan murid itu, menatapnya sejenak lalu berkata,

“Mari masuk dan kita bicara di dalam.”

Mereka duduk di ruangan dalam, mengelilingi meja. Sian Li dipangku oleh ibunya yang memeluknya seperti takut akan kehilangan lagi.

“Nah, ceritakan bagaimana engkau dapat mengajak pulang adikmu, Yo Han,” kata Sin Hong.

Hong Li memandang dengan penuh kagum, heran dan juga bersyukur bahwa muridnya itu benar-benar telah mampu mengembalikan Sian Li kepadanya. Padahal ia sendiri dan suaminya sudah mencari-cari sampai sehari penuh tanpa hasil, bahkan tidak dapat menemukan jejak Sian Li dan penculiknya.

“Suhu dan Subo, ketika teecu pergi hendak mencari adik Sian Li, teecu segera berlari ke luar kota, melalui pintu gerbang selatan. Sehari kemarin teecu berlari dan berjalan terus dan pada malam hari tadi, teecu tiba di lereng sebuah bukit. Teecu melihat sebuah kuil dan ada sinar api unggun dari dalam kuil. Teecu memasuki kuil tua yang kosong itu dan di situlah teecu melihat Adik Sian Li tidur dijaga oleh wanita pakaian merah itu.”

“Akan tetapi, Yo Han. Bagaimana engkau bisa tahu bahwa adikmu dibawa ke tempat itu oleh penculiknya?” Hong Li bertanya dengan heran.

“Teecu juga tidak tahu bagaimana Adik Sian Li bisa berada di dalam kuil itu, Subo.”

“Aku diajak naik perahu oleh Bibi baju merah. Ia baik sekali, Ibu. Kami menangkap ikan dan Bibi memasak ikan untukku. Enak sekali! Setelah turun dari perahu, kami berjalan-jalan ke lereng bukit dan memasuki kuil tua itu, Setelah malam menjadi gelap, aku ingin pulang, mengajaknya pulang dan.... dan.... aku lupa lagi, tertidur.”

Sin Hong bertukar pandang dengan isterinya. Pantas usaha mereka mencari jejak gagal. Kiranya anak mereka dibawa naik perahu oleh penculiknya.

“Yo Han, kalau engkau tidak tahu bahwa Sian Li dibawa ke kuil tua itu, bagaimana engkau dapat langsung pergi ke sana?” Sin Hong mendesak, memandang tajam penuh selidik.

Yo Han menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya.
“Teecu tidak tahu Suhu. Teecu membiarkan kaki berjalan tanpa tujuan, ke mana saja untuk mencari adik Sian Li. Dan tahu-tahu teecu tiba di sana dan menemukan mereka.”

“Tapi, bagaimana penculik itu membiarkan engkau mengajak Sian Li pulang? Bagaimana engkau dapat menundukkannya?”

Hong Li bertanya, semakin heran dan merasa bulu tengkuknya meremang karena ia mulai merasa bahwa ada “sesuatu” yang ajaib telah terjadi pada diri muridnya itu.

Yo Han tersenyum memandang subonya, lalu memandang suhunya.
“Teecu membujuknya untuk membiarkan teecu membawa adik Sian Li pulang. Ia tidak tahu bahwa adik Sian Li adalah puteri Suhu dan Subo. Teecu beritahu kepadanya dan mengatakan bahwa kalau ia tidak mengembalikan Sian Li, tentu Suhu dan Subo akan dapat menemukannya dan ia akan celaka. Teecu mengatakan bahwa kalau ia mau menyerahkan kembali Sian Li, teecu yang akan menggantikan adik Sian Li menjadi muridnya, menjadi pelayannya, dan ikut dengannya. Nah, ia setuju dan teecu membawa adik Sian Li, pulang. Akan tetapi teecu harus segera kembali kepadanya. Ia masih menunggu teecu di tepi sungai.”

“Yo Han! Engkau hendak ikut dengan penculik itu? Ah, aku tidak akan membiarkan! Menjadi murid seorang penculik jahat? Tidak boleh!” kata Hong Li marah. “Aku bahkan akan menghajar iblis itu!”

Kao Hong Li sudah meloncat dengan marah, akan tetapi gerakannya terhenti ketika terdengar Yo Han berseru,

”Subo, jangan!”






“Hah? Iblis itu menculik anakku, kemudian menukarnya dengan engkau untuk dibawa pergi. Dan engkau melarang aku untuk menghajar iblis itu?”

“Maaf, Subo. Apakah Subo ingin melihat murid Subo menjadi seorang rendah yang melanggar janjinya sendiri, menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut?”

“Ehhh....? Apa maksudmu?”

“Subo, bagaimanapun juga, teecu (murid) adalah murid Subo. Teecu sudah berjanji kepada wanita berpakaian merah itu bahwa setelah teecu mengantar Sian Li pulang, teecu akan kembali kepadanya dan menjadi muridnya, pergi ikut dengannya. Kalau teecu sudah berjanji, lalu sekarang teecu tidak kembali kepadanya, bahkan Subo akan menghajarnya, bukankah berarti teecu melanggar janji sendiri?”

“Tidak peduli akan janjimu itu! Engkau tidak perlu melanggar janji, engkau pergilah kepadanya. Akan tetapi aku tetap saja akan menemuinya dan menghajarnya!” kata Hong Li dengan marah.

“Subo!” kata pula Yo Han dan suaranya tegas. “Kenapa Subo hendak menghajar wanita itu? Kalau Subo melakukan itu, berarti Subo jahat!”

“Ehhh?” Hong Li terbelalak memandang kepada anak itu.

“Yo Han!” kata pula Sin Hong. “Subomu hendak menghajar penculik kenapa engkau katakan jahat?”

Dia bertanya hanya karena ingin tahu isi hati anak itu yang amat dikaguminya sejak dia tadi mendengarkan kata-kata anak itu kepada isterinya.

“Suhu, wanita berpakaian merah itu memang benar tadinya hendak melarikan Sian Li, akan tetapi ia bersikap baik terhadap Sian Li, dan ia melarikannya, karena ingin mengambilnya sebagai murid. Ia sayang kepada Sian Li. Kemudian, teecu menemukannya dan teecu membujuk agar ia mengembalikan Sian Li. Dan ia sudah memperbolehkan Sian Li teecu bawa pulang. Teecu sendiri yang berjanji untuk ikut dengannya. Kalau sekarang Subo dan Suhu menghajarnya, bukankah itu sama sekali tidak benar?”

Sin Hong memberi isarat dengan pandang matanya kepada isterinya lalu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya itu.

“Baiklah kalau begitu, Yo Han. Kami tentu saja tidak menghendaki engkau menjadi seorang yang melanggar janjimu sendiri. Engkau sudah yakin ingin menjadi murid wanita itu? Kalau engkau ingin memperoleh guru yang baik, tempat tinggal yang lain, kami sanggup mencarikannya yang amat baik untukmu.”

Yo Han menggeleng kepalanya.
“Tidak Suhu. Teecu akan ikut dengan wanita itu seperti telah teecu janjikan. Teecu akan berangkat sekarang juga agar ia tidak terlalu lama menunggu.”

Dia lalu pergi ke dalam kamarnya, mengambil buntalan pakaian yang memang telah dia persiapkan semalam. Memang semalam dia sudah merencanakan untuk pergi meninggalkan rumah itu, akan tetapi karena hatinya terasa berat meninggalkan Sian Li, pagi itu ia ingin menyenangkan Sian Li dengan mengajaknya bermain-main di tepi sungai sebelum dia pergi.

Suami isteri itu juga merasa heran melihat demikian cepatnya Yo Han mengumpulkan pakaiannya karena sebentar saja anak itu sudah menghadap mereka kembali. Yo Han menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang gurunya.

“Suhu dan Subo, teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan yang telah dilimpahkan kepada teecu, terima kasih atas kasih sayang yang telah dicurahkan kepada teecu. Dan teecu mohon maaf apabila selama ini teecu melakukan banyak kesalahan dan membuat Suhu dan Subo menjadi kecewa. Teecu mohon diri, Suhu dan Subo”

Suaranya tegas dan sikapnya tenang, sama sekali tidak nampak dia berduka, tidak hanyut oleh perasaan haru.

“Baiklah, Yo Han. Kalau memang ini kehendakmu. Dan berhati-hatilah engkau menjaga dirimu,” kata Sin Hong.

“Setiap waktu kalau engkau menghendaki, kami akan menerimamu kembali dengan hati dan tangan terbuka, Yo Han,” kata pula Kao Hong Li, dengan hati terharu. Terasa benar ia betapa ia menyayang murid itu seperti kepada adik atau anak sendiri.

“Terima kasih, Suhu dan Subo” Yo Han membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.

“Suheng, aku ikut.!”

Tiba-tiba Sian Li yang sejak tadi melihat dan mendengarkan saja tanpa mengerti benar apa yang mereka bicarakan, kini turun dari pangkuan ibunya dan berlari menghampiri Yo Han.

Yo Han memondong anak itu dan mencium kedua pipi dan dahinya, lalu menurunkannya kembali.

“Sian Li, aku mau pergi dulu, engkau tidak boleh ikut. Engkau bersama ayah dan ibumu di sini. Kelak kita akan bertemu kembali, adikku.”

Dan dengan cepat Yo Han lari meninggalkan anak itu, tidak tega mendengar ratap tangisnya dan melihat wajahnya.

“Suheng! Aku ikut...., aku ikut....!”

Anak itu merengek walaupun tidak menangis, dan terpaksa Sin Hong memondongnya karena anak itu hendak lari mengejar Yo Han.

“Hemm, aku mau melihat siapa iblis betina itu!”

Hong Li sudah meloncat keluar dan Sin Hong yang memondong anaknya hanya menggeleng kepala, lalu melangkah keluar pula dengan Sian Li di pondongannya.

Yo Han berlari-lari menuju sungai. Dia tidak ingin wanita berpakaian merah itu mengira dia melanggar janji. Dan benar saja, ketika dia tiba di tepi sungai, wanita itu tidak lagi berada di dalam perahu, melainkan sudah duduk di tepi sungai dengan wajah tidak sabar. Perahunya berada di tepi sungai pula, agaknya sudah ditariknya ke darat. Melihat Yo Han datang berlari membawa buntalan, wajah yang tadinya cemberut itu tersenyum.

“Hemm, kusangka engkau membohongiku! Kiranya engkau datang pula!”

Yo Han juga cemberut ketika dia sudah berdiri di depan wanita itu.
“Sudah kukatakan, aku bukan seorang yang suka melanggar janji. Aku harus berpamit dulu kepada Suhu dan Suboku, dan mengambil pakaianku ini.”

“Andaikata engkau menipuku sekalipun engkau tidak akan terlepas dari tanganku Hayo kita berangkat!” kata Ang I Moli Tee Kui Cu.

“Tahan dulu.!”

Bentakan merdu dan nyaring ini mengandung getaran dan wibawa yang amat kuat sehingga Ang I Moli terkejut sekali dan cepat ia membalikkan tubuh. Kiranya di depannya telah berdiri seorang wanita cantik dan gagah, berusia kurang lebih dua puluh enam tahun. Wajahnya bulat telur, matanya lebar dan indah jeli, sinarnya tajam menembus.

“Subo....!” Yo Han berseru melihat wanita cantik itu.

“Diam kau!”

Kao Hong Li membentak muridnya, matanya tidak pernah melepaskan wajah wanita berpakaian merah. Ia belum pernah melihat wanita itu dan memperhatikannya dengan seksama. Wajah yang cantik itu putih oleh bantuan bedak tebal, nampak cantik seperti gambar oleh bantuan pemerah bibir dan pipi, dan penghitam alis. Pakaiannya yang serba merah ketat itu menempel tubuh yang ramping dan seksi, dengan pinggulnya yang bulat besar.

Mendengar Yo Han menyebut subo kepada wanita muda ini. Ang I Moli terkejut. Tak disangkanya subo dari anak itu masih demikian mudanya. Jadi inikah cucu dari Naga Sakti Gurun Pasir, pikirnya.

“Hemmm, siapakah engkau dan mengapa engkau menahan kami?” Ang I Moli bertanya, senyumnya mengandung ejekan dan memandang rendah.

“Aku Kao Hong Li, ibu dari anak perempuan yang kau culik!” jawab Hong Li, juga sikapnya tenang, akan tetapi sepasang mata yang tajam itu bersinar marah “Siapakah engkau ini iblis betina yang berani mencoba-coba untuk menculik anakku kemudian membujuk murid kami untuk ikut denganmu? Jawab, dan jangan mati tanpa nama!”

Sikap garang Kao Hong Li sedikit banyak menguncupkan hati Ang I Moli. Ia seorang tokoh sesat yang tidak mengenal takut dan memandang rendah orang lain, akan tetapi ia teringat akan ancaman Yo Han tadi bahwa wanita ini adalah cucu Naga Sakti Gurun Pasir, bahkan suaminya adalah Si Bangau Putih yang namanya amat terkenal itu.

“Hemm, bocah sombong. Jangan mengira bahwa aku Ang I Moli takut mendengar gertakanmu.” Ia membesarkan hatinya sendiri. “Aku tidak menculik puterimu, hanya mengajaknya bermain-main. Dan tentang bocah ini, dia sendiri yang ingin ikut aku menjadi muridku. Kalau tidak percaya tanya saja kepada anak itu.”

“Subo, memang teecu sendiri yang ingin ikut dengan Bibi ini. Harap Subo jangan mengganggunya!”

Hong Li menarik napas panjang. Kalau sudah begitu, memang tidak ada alasan baginya untuk menghajar wanita berpakaian merah itu, apalagi membunuhnya. Anaknya sendiri tadi pun mengatakan bahwa wanita ini bersikap baik kepada Sian Li, dan kini Yo Han mengatakan bahwa memang dia sendiri yang ingin menjadi muridnya.

“Baiklah, aku tidak akan membunuhnya. Akan tetapi, setidaknya aku harus tahu apakah ia cukup pantas untuk menjadi gurumu, Yo Han. Aku tidak rela menyerahkan muridku dalam asuhan orang yang tidak berkepandaian, apalagi kalau orang itu pengecut. Kuharap saja engkau tidak terlalu pengecut untuk menolak tantanganku menguji ilmu kepandaianmu, Ang I Moli.”

Kulit muka yang ditutup kulit tebal itu masih nampak berubah kemerahan. Tentu saja Ang I Moli marah sekali dikatakan bahwa ia seorang pengecut.

“Kao Hong Li, engkau bocah sombong. Kau kira aku takut kepadamu?”

“Bagus kalau tidak takut! Nah, kau sambutlah seranganku ini. Haiiittt!”

Hong Li sudah menerjang maju setelah memberi peringatan, dan karena ia memang ingin menguji sampai di mana kelihaian wanita baju merah itu, begitu menyerang ia sudah memainkan jurus dari ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang amat dahsyat, apalagi karena dalam memainkan ilmu silat ini ia menggunakan tenaga Hui-yang Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Api) dari ibunya.

Hong Li telah menggabung dua ilmu yang hebat itu. Sin-liong Ciang-hoat adalah ilmu yang berasal dari Istana Gurun Pasir, sedangkan tenaga Hui-yang Sin-kang adalah ilmu yang berasal dari Istana Pulau Es, yang ia pelajari dari ayah dan ibunya.

“Wuuuuttt.... plak! Plak!”

Tubuh Ang I Moli terhuyung ke belakang dan ia terkejut bukan main. Ketika tadi ia menangkis sampai beberapa kali, lengannya bertemu dengan hawa panas yang luar biasa kuatnya sehingga kalau ia tidak membiarkan dirinya mundur, tentu ia akan celaka.

Sebagai seorang tokoh sesat yang telah mengangkat diri menjadi seorang pangcu (ketua) tentu saja Ang I Moli merasa penasaran sekali. Ia lalu membalas dengan serangan ampuh. Setelah mengerahkan tenaga dalam yang telah dilatihnya dari para pimpinan Pek-lian-kauw, ia mengeluarkan suara melengking dan ketika dua tangannya menyerang, dari kedua telapak tangan itu mengepul uap atau asap hitam dan angin pukulannya membawa asap hitam itu menyambar ke arah muka Kao Hong Li.

Pendekar wanita ini mengenal pukulan beracun yang ampuh, maka ia pun melangkah mundur dan mengerahkan tenaga sin-kang mendorong dengan kedua tangan terbuka pula.

Dua tenaga dahsyat bertemu di udara dan akibatnya, asap hitam itu membalik dan Ang I Moli kini merasakan hawa yang amat dingin sehingga kembali ia terkejut. Itulah tenaga Swat-im Sin-kang (Tenaga Inti Salju), juga ilmu yang berasal dari Istana Pulau Es!

Ang I Moli terpaksa mundur kembali dan kemarahannya memuncak. Dua kali mengadu tenaga itu membuat ia sadar bahwa lawannya memang lihai bukan main. Dalam hal tenaga sin-kang, jelas ia kalah kuat.

“Manusia sombong, kau sambut pedangku!” bentaknya, lalu mulutnya berkemak-kemik dan ia berseru sambil membuat gerakan seperti melontarkan sesuatu ke udara, “Pedang terbangku menyambar lehermu!”

Kao Hong Li terbelalak ketika ia melihat sinar terang dan bayangan sebatang pedang meluncur dari udara ke arah dirinya! Padahal ia tidak melihat wanita itu mencabut pedang. Inilah ilmu sihir, pikirnya dan ia pun cepat mencabut pedangnya dan melindungi dirinya dengan putaran pedang.

“Hentikan perkelahian! Hentikan....!” terdengar Yo Han berseru dan begitu anak ini melangkah ke depan, sinar pedang itu pun lenyap secara tiba-tiba dan Hong Li mendapat kenyataan bahwa ia tadi “bertempur” melawan bayang-bayang.

Sementara itu, Ang I Moli juga terkejut karena tiba-tiba pengaruh sihirnya lenyap begitu saja. Pada saat itu, ia melihat pula munculnya seorang laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun yang memiliki sinar mata lembut namun mencorong memondong anak perempuan baju merah tadi.

Tahulah ia bahwa tentu laki-laki gagah perkasa ini ayah Sian Li yang berjuluk Si Bangau Putih. Ang I Moli menduga bahwa tentu pendekar ini yang melenyapkan pengaruh sihirnya, maka ia menjadi semakin jerih. Memang tadinya ia merasa suka sekali kepada Sian Li, kemudian melihat bakat yang luar biasa pada diri Yo Han, ia pun rela menukarkan Sian Li yang suka rewel dan tidak mau ikut dengan suka rela itu dengan Yo Han yang suka ikut dengannya.

Akan tetapi melihat betapa suami isteri yang amat lihai itu kini berada di depannya dan ia tahu bahwa melawan mereka berdua sama dengan mencari penyakit, Ang I Moli lalu meloncat ke arah perahunya sambil memaki Yo Han,

“Anak pengkhianat!” Ia mendorong perahunya ke air, kemudian perahu itu diluncurkannya ke tengah sungai.

“Tunggu kau, iblis betina!”

Hong Li yang masih marah itu berteriak dan kini ia pun sudah mengamangkan pedangnya. Akan tetapi Yo Han cepat berdiri di depan subonya.

“Subo, harap jangan kejar dan serang lagi! Ia adalah guruku yang baru!” Setelah berkata demikian, Yo Han lalu meloncat ke air, dan berenang mengejar perahu itu. “Bibi.... eh, Subo (Ibu Guru), tunggulah aku.!”

Melihat ini, Ang I Moli memandang heran. Anak itu ternyata sama sekali bukan pengkhianat, bukan pelanggar janji! Ia pun terkekeh senang dan menahan perahunya. Ketika Yo Han telah tiba di pinggir perahu, ia mengulurkan tangan dan menarik anak itu naik ke dalam perahunya.

“Anak baik, ternyata engkau setia kepadaku. Hi-hik, aku senang sekali!”

Dari pantai, Hong Li masih mengamangkan pedangnya.
“Yo Han, kembali ke sini engkau! Engkau akan rusak dan celaka kalau engkau ikut dengan perempuan iblis itu!”

“Subo, maafkan teecu. Teecu sudah berjanji kepada Bibi ini, dan pula, teecu harus meninggalkan Suhu dan Subo, teecu harus meninggalkan.... adik Sian Li. Bukankah itu yang Subo kehendaki? Teecu harus dipisahkan dari adik Sian Li. Nah, setelah sekarang teecu menentukan jalan sendiri, kenapa Subo hendak menghalangi? Sudahlah, Subo, maafkan teecu dan selamat tinggal.” Yo Han lalu mengambil dayung dan mendayung perahu itu.

Hong Li masih penasaran dan hendak mengejar, akan tetapi ada sentuhan lembut tangan suaminya pada lengannya. Ia menoleh dan melihat suaminya tersenyum dan menggeleng kepalanya.

“Suheng aku ikut....!”

Tiba-tiba Sian Li yang melihat Yo Han mendayung perahu, berteriak dan meronta dalam pondongan ayahnya. Hong Li menyimpan kembali pedangnya dan memondong puterinya.

“Jangan ikut, Sian Li. Suhengmu sedang pergi menuntut ilmu. Kelak engkau akan bertemu kembali dengan dia.” Ia memeluk anaknya dan menciuminya, menghibur sehingga Sian Li tidak berteriak-teriak lagi.

Suami isteri itu berdiri di tepi sungai dan mengikuti perahu yang menjauh itu dengan pandang mata mereka.

“Aku tetap khawatir,” bisik Hong Li. “Wanita itu jelas tokoh sesat. Julukannya Ang I Moli. Aku khawatir Yo Han akan menjadi tersesat kelak.”

Suaminya menggeleng kepala.
“Jangan khawatir. Yo Han bukanlah anak yang berbakat jahat. Aku melihat hal yang aneh lagi tadi. Ketika engkau diserang dengan sihir, kulihat engkau terkejut dan wanita itu berdiri mengacungkan tangan dan berkemak-kemik, ada sinar menyambar ke arahmu.”

“Memang benar. Aku pun terkejut akan tetapi tiba-tiba sinar itu menghilang.”

“Itulah! Begitu Yo Han melompat ke depan dan menghentikan perkelahian, sinar itu lenyap dan kulihat wanita berpakaian merah itu terkejut dan ketakutan. Aku menduga bahwa kekuatan sihirnya itu punah dan lenyap oleh teriakan Yo Han! Nah, karena itu, biarkanlah dia pergi. Aku yakin dia tidak akan dapat terseret ke dalam jalan sesat.”

Mereka lalu pulang membawa Sian Li yang sudah tidur di dalam pondongan ibunya. Berbagai perasaan mengaduk hati kedua orang suami isteri itu. Ada perasaan menyesal dan mereka merasa kehilangan Yo Han, ada pula perasaan lega karena kini puteri mereka dapat dipisahkan dari Yo Han tanpa mereka harus memaksa Yo Han keluar dari rumah mereka, ada pula perasaan khawatir akan nasib Yo Han yang dibawa pergi seorang tokoh sesat.

Segala macam perasaan duka, khawatir dan sebagainya tidak terbawa datang bersama peristiwa yang terjadi menimpa diri kita, melainkan timbul sebagai akibat dari cara kita menerima dan menghadapi segala peristiwa itu. Pikiran yang penuh dengan ingatan pengalaman masa lalu membentuk sebuah sumber dalam diri, sumber berupa bayangan tentang diri pribadi yang disebut aku, dan dari sumber inilah segala kegiatan hidup terdorong.

Karena si-aku ini diciptakan pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah, maka segala kegiatan, segala perbuatan pun selalu didasari kepentingan si-aku. Kalau sang aku dirugikan, timbullah kecewa, timbullah iba diri dan duka. Kalau sang aku terancam dirugikan, timbullah rasa takut dan khawatir. Si-aku ini selalu menghendaki jaminan keamanan menghendaki kesenangan dan menghindari kesusahan.

Si-aku ini mendatangkan penilaian baik buruk, tentu saja didasari untung-rugi bagi diri sendiri. Baik buruk timbul karena adanya penilaian, dan penilaian adalah pilihan si-aku, karenanya penilaian selalu didasari nafsu daya rendah yang selalu mementingkan diri sendiri. Kalau sesuatu menguntungkan, maka dinilai baik, sebaliknya kalau merugikan, dinilai buruk.

Sebagai contoh, kita mengambil hujan. Baik atau burukkah hujan turun? Hujan adalah suatu kewajaran, suatu kenyataan dan setiap kenyataan adalah wajar karena hal itu sudah menjadi kodrat, menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hujan baru disebut baik atau buruk kalau sudah ada penilaian. Yang menilai adalah kita, didasari nafsu daya rendah yang mengaku diri sebagai sang-aku.

Bagi orang yang membutuhkan air hujan, maka hujan di sambut dengan gembira dan dianggap baik, karena menguntungkan, misalnya bagi para petani yang sedang membutuhkan air untuk sawah ladangnya. Sebaliknya, bagi mereka yang merasa dirugikan dengan turunnya hujan, maka hujan itu tentu saja dianggap buruk! Padahal, hujan tetap hujan, wajar, tidak baik tidak buruk.

Demikian pula dengan segala macam peristiwa atau segala macam yang kita hadapi. Selalu kita nilai, tanpa kita sadari penilaian itu berdasarkan nafsu mementingkan diri sendiri. Kalau ada seseorang berbuat menguntungkan kepada kita, kita menilai dia sebagai orang baik, sebaliknya kalau merugikan, kita menilainya sebagai orang jahat.

Jelas bahwa penilaian adalah suatu hal yang pada hakekatnya menyimpanq dari kebenaran. Yang kita nilai baik belum tentu baik bagi orang lain, dan sebaliknya.

Penilaian mendatangkan reaksi, mempengaruhi sikap dan perbuatan kita selanjutnya. Dan perbuatan yang didasari hasil penilaian ini jelas tidak sehat. Dapatkah kita menghadapi segala sesuatu tanpa menilai? Melainkan menghadapi seperti apa adanya. Kalau tindakan kita tidak lagi dipengaruhi hasil penilaian, maka tindakan itu terjadi dengan spontan dipimpin kebijaksanaan.

Permainan pikiran yang mengingat masa lalu dan membayangkan masa depan hanya mendatangkan duka dan khawatir, seperti yang pada saat itu dialami oleh Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li.

**** 006 ****