Ads

Selasa, 23 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 041

Pria yang duduk bersila seorang diri di dalam gubuk itu usianya sudah mendekati lima puluh tahun. Belum tua benar, namun wajahnya sudah mulai nampak tua karena penuh guratan derita hidup yang membayang pada wajahnya yang masih nampak tampan. Muka yang berbentuk bulat dengan kulit agak gelap, tubuhnya tegap dan pakaiannya sederhana walaupun rapi dan bersih.

Gubuk itu berada di lereng Pegunungan Tapa-san, di dekat sumber air yang kemudian mengalir menjadi awal Sungai Han Sui. Pemandangan alam di situ indah sekali, dan sunyi karena dusun-dusun terletak jauh di sebelah bawah, di mana terdapat tanah pertanian di sepanjang kedua tepi sungai yang subur. Pertapa di dalam gubuk itu adalah Suma Ciang Bun, seorang di antara cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.

Semenjak muridnya, Gu Hong Beng, pergi dua tahun yang lalu meninggalkannya untuk melakukan perjalanan merantau dan menentang gerakan para tokoh sesat, Suma Ciang Bun berdiam seorang diri di dalam gubuknya di lereng Pegunungan Tapa-san yang sunyi itu. Dia hidup menyendiri bercocok tanam sedikit, hanya cukup untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan waktu selebihnya hanya diisi dengan samadhi.

Dia sudah tidak ingin lagi mencampuri urusan dunia ramai dan di dalam tempat yang sunyi itu, pendekar ini telah memperoleh kedamaian batin. Dia tidak ingin mengganggu ketenteraman batinnya itu dengan urusan dunia yang selalu hanya menimbulkan pertentangan dan keruwetan belaka.

Tak dapat disangkal bahwa kedamaian terdapat di dalam batin, dan tergantung dari keadaan batin bukan dari keadaan di luar. Segala keinginan timbul dari batin sendiri, bukan dari keadaan di luar. Hal ini tentu saja memang benar. Namun tidak boleh diremehkan daya tarik keadaan di luar batin sendiri. Tempat yang sunyi tenteram mempunyai banyak pengaruh terhadap ketenteraman batin, seperti juga benda-benda memiliki daya tarik bagi keinginan batin. Jauh dari benda-benda itu tentu sedikit sekali membangkitkan keinginan, tidak seperti kalau benda-benda itu berada di depan mata.

Biarpun demikian, tentu saja yang menentukan semuanya adalah keadaan batin itu sendiri. Batin yang kosong dan damai akan tetap tenang biar orangnya berada di tempat ramai, sebaliknya batin yang penuh persoalan dan tegang akan tetap merana biarpun orangnya berada di tempat yang sunyi.

Karena Suma Ciang Bun memang tidak mempunyai keinginan apa pun, tidak mempunyai pamrih atau cita-cita apa pun, maka dia sama sekali bukan melakukan pertapaan menyiksa diri seperti banyak dilakukan orang yang ingin mencapai sesuatu.

Banyak terdapat orang-orang yang melakukan tapabrata untuk berprihatin, dengan pamrih agar sesuatu yang diinginkannya akan tercapai, dan tapa seperti ini seringkali disertai penyiksaan diri, seperti menahan lapar, menahan haus, menahan kantuk, dan sebagainya sampai berhari-hari, bahkan berminggu atau berbulan.

Akan tetapi Suma Ciang Bun tidak melakukan penyiksaan diri. Ini bukan berarti bahwa dia menuruti semua nafsu badannya, bukan ingin menyenangkan tubuhnya, karena kalau demikian halnya, tidak ada bedanya dengan para pertapa yang ingin mencari seuatu yang diinginkan.

Ketika perutnya berkeruyuk, Suma Ciang Bun sadar dari samadhinya dan dia pun teringat bahwa sudah tiba saatnya perutnya diisi karena sejak kemarin sore, dia belum lagi mengisi perut, dan hari ini matahari sudah naik tinggi.

Dengan tenang dia pun turun dari tempat samadhi, menuju ke luar gubuk melalui pintu gubuk yang sejak pagi tadi telah dibukanya lebar-lebar sehingga hawa pegunungan memenuhi gubuknya. Dia pergi ke bagian belakang gubuk, di sebelah luar dan nampaklah asap mengepul ketika Suma Ciang Bun membuat api dan menanak nasi, memasak air dan sayuran, dengan bumbu sederhana.

Selagi dia masak itulah terdengar langkah kaki orang dan dia pun menengok. Kiranya ada tiga orang yang berjalan menghampirinya dari depan gubuk. Seorang gadis yang cantik dan lincah berusia sekitar dua puluh satu tahun, seorang pemuda yang wajah dan pakaiannya sederhana, pakaian yang serba putih, berusia sekitar dua puluh dua tahun, dan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh tahun yang tampan dan matanya bersinar tajam.

Suma Ciang Bun tidak mengenal siapa mereka itu dan dia memandang heran sambil mengingat-ingat. Hanya gadis itulah dia merasa seperti pernah mengenalnya. Gadis itu pun segera lari menghampirinya dan memegang lengannya.

“Paman Suma Ciang Bun! Lupakah Paman kepadaku?” kata Suma Lian sambil tertawa gembira. “Aku adalah Suma Lian!”

Suma Ciang Bun terbelalak memandang gadis itu.
“Aih, engkau, Lian-ji? Wah, sudah begini dewasa engkau! Angin apakah yang meniupmu sampai di sini? Dan siapakah mereka itu?” Dia memandang kepada pemuda dan anak laki-laki itu dengan alis berkerut.

Gadis ini adalah keponakannya, keponakan dalam, akan tetapi juga sebetulnya tunangan dari muridnya. Sejak Suma Lian berusia dua belas tahun, gadis ini sudah dijanjikan oleh mendiang neneknya untuk menjadi isteri Gu Hong Beng, muridnya (baca kisah SULING NAGA ).

Mendengar pertanyaan bertubi-tubi itu Suma Lian tersenyum.
“Dia adalah saudara Tan Sin Hong, Paman. Kami berjumpa dalam perjalanan dan berkenalan. Ternyata masih ada hubungan dekat dengan keluarga kita, Paman. Tahukah Paman, siapa guru-gurunya? Kakek Kao Kok Cu dan isterinya, penghuni Istana Gurun Pasir, juga kakek Wan Tek Hoat. Tiga orang sakti itu menggemblengnya di Istana Gurun Pasir.”

Tentu saja Suma Ciang Bun terkejut bukan main mendengar keterangan itu dan dia pun membalas penghormatan Sin Hong kepadanya sambil memandang pemuda itu dengan penuh perhatian.

“Ah, kiranya murid para locianpwe yang sakti itu. Sungguh beruntung dapat berjumpa dengan seorang pemuda yang gagah perkasa. Dan siapakah anak ini?”

Dia memandang kepada Yo Han, seorang anak laki-laki yang memiliki sikap gagah dan sepasang mata yang mencorong. Suma Ciang Bun merasa suka sekali, dan dia agak tercengang ketika anak itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya. Dia mengelus rambut kepala anak itu.

“Aih, anak yang baik, tidak perlu melakukan penghormatan seperti itu. Bangkitlah.” katanya lembut.

“Paman, dia bernama Yo Han. Ayahnya adalah paman Yo Jin dan kurasa Paman sudah mendengar nama ibunya yang gagah perkasa, yaitu bibi Ciong Siu Kwi.“






Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.
“Ciong Siu Kwi.“ katanya perlahan.

Dia sudah banyak mendengar akan nama ini dari muridnya. Bukankah wanita iblis yang amat jahat, akan tetapi kemudian telah mengubah jalan hidupnya setelah menikah dengan seorang pemuda petani, bahkan kemudian menjadi orang yang mengasingkan diri dari dunia persilatan?

“Apakah ia yang berjuluk Bi-kwi.?”

Suma Lian mengangguk.
“Benar sekali, Paman.”

Suma Ciang Bun memandang kepada anak itu dengan kagum. Dan anak ini putera bekas iblis betina itu?

“Akan tetapi, mengapa dia ikut denganmu? Apa yang telah terjadi.?”

“Panjang ceritanya, Paman.”

“Ah, benar juga. Sampai lupa aku. Marilah kalian masuk, kita bicara di dalam.”

Ajaknya sambil mendahului tiga orang tamu itu memasuki gubuknya yang sederhana namun bersih. Tidak ada kursi atau bangku di dalam gubuk itu. Lantainya ditilami jerami kering dan mereka duduk di atas tikar anyaman sendiri yang bersih dan lunak karena di bawah tikar itu terdapat jerami kering yang tebal.

Setelah mereka semua duduk di atas tikar itu, Suma Lian lalu menceritakan maksud kunjungannya.

“Paman Suma Ciang Bun, sebetulnya kunjunganku ke sini adalah diutus oleh ayah dan ibu. Mereka rindu kepada Paman dan mengutusku untuk menengok dan menanyakan keselamatan Paman. Selain itu, apabila Paman tidak merasa keberatan, ayah dan ibu ingin sekali agar Paman suka pindah saja ke rumah kami dan tinggal bersama kami di sana, daripada Paman hidup menyendiri di tempat sunyi ini. Kata ayah, dia dan Paman sudah mulai tua dan ayah ingin dekat dengan Paman.”

Mendengar ucapan keponakannya itu, Suma Ciang Bun merasa terharu, akan tetapi dia tersenyum.

“Ah, sejak dulu ayahmu memang amat baik! Aku sudah merasa cukup berbahagia di sini, akan tetapi undangan ayah ibumu itu bukan tidak menarik. Berilah waktu, akan kupikirkan masak-masak dan kalau kelak aku ingin hidup santai dan tenang, aku akan datang ke rumah kalian.”

Selanjutnya, Suma Ciang Bun bertanya tentang Sin Hong dan Yo Han. Maka berceritalah Suma Lian tentang pengalaman perjalanannya, betapa ia melihat Yo Han dilarikan penculik, kemudian ia berusaha menyelamatkannya dan nyaris tewas kalau tidak ditolong oleh Sin Hong. Juga ia menceritakan betapa orang-orang golongan sesat itu telah menawan ayah dan ibu Yo Han. Mereka terpaksa menyerahkan diri demi menyelamatkan Yo Han yang dijadikan sandera oleh para penjahat.

“Saudara Tan Sin Hong ini dan aku bermaksud untuk melakukan penyelidikan terhadap para tokoh sesat yang kabarnya membuat gerakan untuk memberontak, Paman. Kami ingin melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang di utara. Karena kami tidak ingin membawa Yo Han ke dalam bahaya sewaktu melakukan tugas itu, maka aku teringat untuk menitipkan anak ini di sini, Paman. Tentu saja kalau Paman tidak berkeberatan dan hanya untuk sementara. Kelak, kalau tugas kami selesai, saudara Tan Sin Hong ini tentu akan menjemputnya, karena Yo Han telah menjadi muridnya.”

Mendengar ini, wajah Suma Ciang Bun berseri dan dia memandang kepada anak laki-laki di depannya itu. Sejak melihatnya pertama kali, memang hatinya telah tertarik sekali dan dia merasa kagum dan suka kepada Yo Han. Oleh karena itu, mendengar ucapan Suma Lian, dia mengangguk-angguk.

“Baiklah, biar dia berada di sini selama kalian melaksanakan tugas penting itu. Ketahuilah bahwa muridku, Gu Hong Beng, juga sudah pergi merantau dua tahun yang lalu dan aku merasa yakin bahwa dia tentu tidak akan tinggal diam kalau mendengar akan pergerakan kaum sesat itu. Engkau tentu belum lupa kepada muridku Gu Hong Beng itu, bukan?” tanyanya sambil menatap tajam wajah manis keponakannya.

Suma Lian tersenyum, membuat wajahnya nampak semakin cerah dan jelita.
“Aih, Paman. Bagaimana aku dapat melupakan suheng Gu Hong Beng? Takkan pernah dapat kulupakan betapa dulu, ketika aku berusia dua belas tahun dan diculik oleh Sai-cu Lama, suheng Gu Hong Beng membelaku mati-matian.”

Gadis ini teringat akan pengalamannya ketika masih kecil itu, ketika ia diculik seorang datuk sesat, Sai-cu Lama, dan mengakibatkan kematian neneknya (baca kisah SULING NAGA ).

Mendengar jawaban itu Suma Ciang Bun merasa gembira sekali dan dia mendapat pikiran yang amat baik. Pemuda yang datang bersama Suma Lian ini adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Hal ini mudah diduga kalau mengingat betapa pemuda ini pernah menyelamatkan Suma Lian, apalagi karena ketiga orang gurunya adalah tokoh-tokoh besar yang sakti.

Melihat pergaulan yang nampak akrab antara pemuda itu dan keponakannya, timbul kekhawatiran di dalam hatinya walaupun dia tidak merasa heran melihat pergaulan yang akrab antara muda-mudi itu. Memang kehidupan di dunia persilatan lebih bebas. Bagi seorang gadis ahli silat yang suka merantau, bergaul dengan seorang pemuda merupakan hal biasa karena gadis itu mampu menjaga diri dengan kepandaiannya. Akan tetapi dia khawatir kedahuluan, maka dia mempunyai pikiran untuk menyampaikan saja pesan rahasia mendiang nenek Teng Siang In kepada keponakannya, di depan pemuda itu.

“Lian-ji, keponakanku yang baik. Dalam kesempatan ini, aku ingin menyampaikan suatu berita yang mungkin selama ini masih menjadi rahasia bagimu. Mengingat bahwa pemuda perkasa ini adalah murid Istana Gurun Pasir, maka berarti dia bukan orang luar dan tidak ada jeleknya kalau dia mendengarkan pula.”

Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan wajah serius itu, Suma Lian terkejut dan menatap wajah pamannya dengan penuh keinginan tahu.

“Paman, rahasia apakah itu?”

“Rahasia peninggalan pesan terakhir nenekmu. Atau barangkali engkau sudah mendengar dari orang tuamu?”

“Pesan terakhir nenek Teng Siang In? Belum, Paman, aku belum mendengar tentang itu. Apakah pesan terakhir itu ditujukan kepadaku?”

“Bukan kepadamu, akan tetapi justeru pesan itu mengenai dirimu, mengenai perjodohanmu.”

Sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak, kemudian kedua pipinya berubah kemerahan,
“Apa.... apa maksudmu, Paman?” tanyanya agak tergagap karena hatinya terguncang mendengar bahwa mendiang neneknya meninggalkan pesan mengenai perjodohannya.

Suma Ciang Bun menarik napas panjang.
“Hal ini sudah kuceritakan kepada ayah ibumu, akan tetapi agaknya mereka belum menceritakannya kepadamu. Baiklah akan kuceritakan saja agar aku tidak akan selalu merasa berhutang janji kepada nenekmu itu, melalui muridku. Hal itu terjadi ketika engkau diculik oleh Sai-cu Lama. Engkau tentu masih ingat betapa telah terjadi perkelahian antara mendiang nenekmu dan Sai-cu Lama. Nenekmu kemudian dibantu oleh suhengmu, Gu Hong Beng, akan tetapi Sai-cu Lama amat lihai dan akhirnya nenekmu roboh dan terluka parah oleh Sai-cu Lama yang mempergunakan pedang Ban-tok-kiam.“

“Ban-tok-kiam.?” Tiba-tiba Sin Hong berseru kaget, di luar kesadarannya.

Suma Ciang Bun memandang kepadanya dan mengangguk.
“Benar, Tan-sicu (orang gagah Tan), datuk sesat itu mempergunakan Ban-tok-kiam, karena pedang dari Istana Gurun Pasir itu pernah terjatuh ke dalam tangannya.”

Sin Hong sadar bahwa dia telah lancang bicara dan kini diam saja, membayangkan betapa Ban-tok-kiam dan Cuibeng-kiam kini terjatuh ke dalam tangan Sin-kiam Mo-li. Hal ini mengingatkan dia bahwa amatlah berbahaya kalau pedang-pedang yang amat ampuh dan ganas itu terjatuh ke tangan orang jahat.

Bagaimanapun juga, dia harus mencari Sin-kiam Mo-li, bukan untuk sekedar membalas dendam atas kematian tiga orang gurunya, akan tetapi terutama sekali untuk merampas kembali Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam agar dua batang pedang pusaka yang amat ganas itu tidak disalah gunakan oleh Sin-kiam Mo-li atau tokoh jahat lainnya untuk melakukan kejahatan.

“Lalu bagaimana, Paman?” tanya Suma Lian tidak sabar karena cerita pamannya yang akan membuka rahasia pesan terakhir neneknya itu tadi diselingi urusan Ban-tok-kiam.

“Nenekmu terluka parah dan dibawa pulang oleh Hong Beng sedangkan engkau dilarikan Sai-cu Lama. Ketika ayah ibumu mendengar pelaporan Hong Beng, mereka segera melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama sedangkan Hong Beng menjaga dan merawat nenekmu. Namun, nenekmu tak tertolong lagi dan sebelum menghembuskan napas terakhir, nenekmu meninggalkan pesan kepada Hong Beng.”

Kembali Suma Ciang Bun menghentikan ceritanya, agaknya dia sendiri juga merasa canggung untuk membuka rahasia itu.

“Pesan mengenai diriku, Paman? Bagaimanakah pesan itu?”

Suma Ciang Bun menarik napas panjang sebelum melanjutkan.
“Sebetulnya bukan pesan kepadamu, melainkan kepada Hong Beng. Nenekmu itu sebelum meninggal dunia, minta kepada Hong Beng untuk berjanji. Betapapun berat rasanya janji itu oleh Hong Beng, namun mengingat bahwa pesan itu adalah pesan dari seorang yang menghadapi kematian, Hong Beng tidak tega untuk menolak dan dia pun berjanji seperti yang diminta oleh mendiang nenekmu itu.” Kembali dia berhenti.

“Apakah janji itu, Paman? Katakanlah, mengapa Paman nampak ragu-ragu?” Suma Lian mendesak.

”Hong Beng. diminta berjanji agar kelak dia suka menjadi suamimu.“

Sepasang mata itu kembali terbelalak dan kini kedua pipi yang halus itu berubah merah sekali.
“Ahhh....“ Suma Lian menahan seruannya.

Suma Ciang Bun merasa hatinya lapang setelah dia menceritakan pesan yang selama bertahun-tahun dirahasiakan itu.

“Demikianlah pesan nenekmu, Suma Lian. Hong Beng tidak berani menolak dan dia pun sudah berjanji di depan nenekmu yang sedang menghadapi kematian. Tentu saja janji itu amat mengganggu hati Hong Beng dan dia tidak berani menceritakannya kepada siapapun, apalagi kepada orang tuamu. Setelah engkau dewasa, akhirnya dia menceritakannya kepadaku. Mendengar itu, aku segera menemui orang tuamu dan sudah kuceritakan kepada mereka tentang pesan terakhir nenekmu itu.”

Tanpa disengaja, Suma Lian menoleh kepada Sin Hong, akan tetapi pemuda itu hanya duduk bersila dengan muka ditundukkan sehingga ia tidak tahu bagaimana wajah pemuda itu yang tentu saja ikut mendengarkan semua percakapan tadi. Hati Suma Lian menjadi agak lega karena tadinya ia merasa rikuh sekali bahwa Sin Hong ikut mendengarkan percakapan tentang perjodohannya.

“Dan mereka.... ayah ibuku...., bagaimana pendapat mereka, Paman?”

Ia teringat akan peringatan ayah ibunya kepadanya bahwa ia telah lebih dari dewasa untuk segera menentukan jodohnya! Akan tetapi ayah ibunya sama sekali tidak menyebut nama Gu Hong Beng. Teringat akan ini, ia pun membayangkan wajah Gu Hong Beng. Akan tetapi, ia tidak dapat mengingatnya dengan baik. Ketika itu, ia baru berusia dua belas tahun!

Delapan atau sembilan tahun telah lewat ketika ia melihat Gu Hong Beng. Namun, karena pemuda itu dahulu pernah membelanya dari ancaman penculikan Sai-cu Lama, tentu saja ia mengenang pemuda itu dengan hati kagum dan berhutang budi. Samar-samar ia masih ingat bahwa Gu Hong Beng adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana, sikapnya lemah lembut, pendiam, halus, dan berwajah cerah dan tampan.

“Ayah dan ibumu, hemmm.... mereka tidak dapat mengambil keputusan dan mengatakan bahwa untuk urusan perjodohanmu, mereka menyerahkan sepenuhnya kepadamu. Lalu bagaimana dengan pendapatmu mengenai pesan terakhir nenekmu itu, Lian-ji (anak Lian)?”

Suma Lian tersenyum. Hatinya merasa lega dan bersyukur. Ayah ibunya memang bijaksana dan amat mencintanya. Ia tahu bahwa ayah ibunya amat menginginkan ia segera menikah, akan tetapi mereka itu menyerahkan pemilihan jodoh kepadanya sendiri.

Kembali tanpa disengaja, ia melirik ke arah Sin Hong. Pemuda itu tetap menundukkan muka dan nampaknya rikuh sekali. Seorang pemuda yang sopan dan baik, pikir Suma Lian. Sikapnya yang diam menunduk itu banyak menolongnya dari kerikuhan.

“Aku tidak tahu, Paman.“ Suma Lian memandang pamannya dengan senyum lebar. “Ayah dan ibu sungguh bijaksana. Terus terang saja, aku berterima kasih atas sikap mereka yang menyerahkan keputusan urusan perjodohanku kepadaku sendiri.”

Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya sebentar dan wajahnya sudah cerah kembali.

“Maksudku, bagaimana pendapatmu dengan muridku Gu Hong Beng? Setujukah engkau kalau dia menjadi calon suamimu seperti yang dipesankan mendiang nenekmu? Kalau engkau setuju, aku akan merasa berbahagia sekali dan akan kubicarakan urusan ikatan jodoh itu dengan orang tuamu.”

“Aih, Paman mengapa demikian tergesa-gesa? Kurasa, urusan perjodohan bukanlah urusan sederhana dua orang untuk selamanya di kemudian hari! Mana mungkin aku dapat menentukan sekarang? Sedangkan suheng Gu Hong Beng itu seperti apa pun aku tidak tahu.“

“Ah, bukankah engkau sudah pernah bertemu dengan dia?”

“Itu sembilan tahun yang lalu, Paman, dan aku sudah lupa lagi bagaimana rupanya. Kurasa, suheng Gu Hong Beng sendiri juga sudah lupa kepadaku.“

“Tidak, Lian-ji. Dia tidak pernah lupa, dan kurasa dia selalu menunggu keputusanmu tentang perjodohan itu.”

Diam-diam Suma Lian terkejut juga mendengar ini dan ia merasa yakin bahwa pamannya ini tidak berbohong. Mungkinkah murid pamannya itu sejak ia berusia dua belas tahun telah jatuh hati kepadanya? Menggelikan!

“Biarlah aku akan memberi jawaban kalau kami sudah saling jumpa, Paman.”

Mendengar ketegasan dalam suara keponakannya, Suma Ciang Bun tidak mendesak lebih jauh lalu mengalihkan percakapan ke arah gerakan para tokoh sesat yang hendak memberontak itu sehingga Sin Hong mendapat kesempatan untuk ikut bicara tanpa merasa kikuk.

Atas pertanyaan Suma Ciang Bun, Sin Hong lalu bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya yang menjadi korban pembunuhan dan betapa dia melakukan penyelidikan yang jejaknya membawanya kepada Tiat-liong-pang pula.

Ketika Suma Ciang Bun mendengar cerita Sin Hong betapa tiga orang gurunya di Istana Gurun Pasir diserbu oleh banyak datuk sesat sehingga tiga orang gurunya itu tewas, pendekar ini terkejut bukan main. Sepasang matanya terbelalak seolah-olah dia tidak percaya mendengar berita mengejutkan itu.

“Apa?” teriaknya. “Tiga orang locianpwe yang sakti itu tewas di tangan para tokoh sesat? Bagaimana hal itu mungkin terjadi? Siapakah mereka? Ceritakanlah!”

“Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, yang bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li dan Sai-cu Sintouw,”

Kata Sin Hong yang selanjutnya menceritakan betapa di antara tujuh belas orang tokoh sesat yang menyerbu Istana Gurun Paisir itu, hanya tiga orang yang tidak tewas, yaitu Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cin jin wakil ketua Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin tokoh besar Pek-Lian-kauw, sedangkan empat belas orang tokoh lainnya tewas. Akan tetapi tiga orang gurunya juga tewas dalam perkelahian keroyokan itu.

“Akan tetapi, bagaimana engkau sendiri dapat lolos dari kematian, sedangkan tiga orang gurumu tewas?”

Suma Ciang Bun bertanya, hatinya diliputi rasa penasaran mendengar bahwa tiga orang yang dianggapnya memiliki tingkat ilmu kepandaian yang sukar dibayangkan tingginya, bahkan mendekati kebesaran nama kakeknya, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dapat tewas di tangan pengeroyokan orang-orang sesat.

Tan Sin Hong menghela napas panjang. Pertanyaan seperti itu selalu membuat dia merasa menyesal dan memancing datangnya rasa duka. Dengan singkat dia lalu menceritakan mengapa dia masih hidup dan mengapa dia tidak berdaya membela tiga orang gurunya ketika Istana Gurun Pasir diserbu para penjahat itu.

Dan diceritakannya pula, tanpa menyinggung tentang usaha Sin-kiam Mo-li untuk merayunya tanpa hasil, betapa akhirnya dia dapat lolos dan menyelamatkan dirinya, setelah membakar istana itu dengan jenazah tiga orang gurunya berada di dalam dan ikut terbakar.

Betapa selama setahun dia bersembunyi di dalam hutan untuk menyelesaikan latihannya, menguasai ilmu silat baru ciptaan tiga orang gurunya yang membuat dia tak berdaya ketika istana diserbu karena pada waktu itu dia belum menguasai Ilmu Pek-ho Sin-kun dan setiap kali mengerahkan tenaga dia akan roboh sendiri.

Setelah mendengar penjelasan Sin Hong, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan dia pun menarik napas panjang. Agaknya memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan bahwa keluarga sakti penghuni Istana Gurun Pasir harus mengalami kematian seperti itu.

Buktinya, kebetulan sekali ketika marabahaya tiba, murid mereka yang mereka andalkan sedang dalam keadaan tidak berdaya. Andaikata pemuda ini sudah menamatkan ilmunya yang baru itu, tentu akan mampu membela mereka dan belum tentu mereka bertiga itu akan tewas.

“Paman, keadaan tiga orang locianpwe di Istana Gurun Pasir itu sama benar dengan nasib keluarga kakek buyutku di Istana Pulau Es. Mereka semua adalah keluarga yang sakti, memiliki ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi mengapa mereka semua tewas dalam tangan orang-orang jahat? Tewas dalam perkelahian?” kata Suma Lian dengan penasaran. “Bukankah mereka itu adalah orang orang gagah perkasa yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?”

Mendengar pertanyaan ini, Suma Ciang Bun mengembangkan kedua lengannya lalu mengangkatnya ke atas, kemudian merapatkan kedua tangan di depan dada dan berkata dengan suara lirih,

“Kekuasaan Tuhan menuntun segala sesuatu dan kehendak Tuhan pun terjadilah! Tiada kekuasaan lain di dunia ini mampu mengubah, mempercepat atau memperlambat setiap peristiwa yang sudah ditentukan Tuhan. Hukum Karma takkan terelakkan oleh siapapun juga. Siapa menanam dia memetik buahnya, pohon apel berbuah apel, pohon mawar berbunga mawar, pohon racun berbunga racun. Siapa bermain air akan basah, bermain api akan terbakar, bermain lumpur akan kotor. Siapa hidup di dalam kekerasan, takkan terelakkan lagi tentu akan menjadi korban kekerasan pula. Betapapun gagahnya seseorang, akan tiba saatnya dia menemukan tanding yang lebih gagah, atau sebaliknya, akan tiba saatnya di mana usianya akan menggerogoti kegagahanmu dia akan menjadi lemah. Keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir memang terkenal sebagai keluarga yang sakti dan gagah perkasa. Justeru karena itulah maka mereka gugur di dalam kekerasan, di dalam perkelahian. Hal itu sama sekali tidak aneh, bukan, kalau kita mengingat akan Hukum Karma?”

“Akan tetapi, Locianpwe,” kata Sin Hong. “Harap maafkan kalau saya lancang mencampuri bicara dan mengemukakan pendapat saya. Biarpun para guru saya itu merupakan ahli-ahli silat sehingga mereka itu tentu saja selalu mempergunakan kekerasan karena harus menentang para penjahat, namun bukankah mereka itu pembela kebenaran dan keadilan? Bukankah perbuatan mereka itu mulia dan sesuai dengan kebajikan? Akan tetapi mengapa mereka harus menerima nasib tewas di tangan kaum sesat yang jahat? Apakah hal itu dapat dikatakan sebagai hukum yang adil?”

Suma Ciang Bun tersenyum karena dari nada bicara pemuda itu, dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukan tidak tahu, melainkan hendak mengajak dia berbincang tentang hukum yang nampaknya tidak adil itu.