Ads

Jumat, 19 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 025

Ia terkejut, memiringkan tubuhnya dan ia pun melihat Siangkoan Liong rebah di sampingnya dalam keadan yang sama! Teringatlah ia akan kesemuanya itu seperti ada kilat menyambar menerangi benaknya. Kini, semua pengaruh obat telah lenyap dan ia sadar seutuhnya!

“Ihhh....!”

Ia menahan jeritnya, bangkit duduk dan menarik selimut menutupi tubuhnya, rambutnya terurai lepas menutupi kulit pundak dan dada yang mulus, matanya terbelalak memandang kepada Siangkoan Liong.

Oleh jerit ditahan dan gerakan gadis itu, Siangkoan Liong juga terbangun. Dia memandang dan tersenyum, lalu bangkit duduk juga. Dadanya yang bidang nampak berkeringat dan biarpun rambutnya kusut dan dia baru bangun tidur, tetap saja dia merupakan seorang pria yang jantan dan menarik.

“Selamat pagi, Hwa-moi, kekasihku!” katanya dan tangannya meraih, hendak merangkul dan mencium.

Akan tetapi Ci Hwa menggeser pinggulnya, menjauh dan matanya terbelalak.
“Kongcu....! Engkau.... kita....?” bisiknya, seolah-olah baru melihat kenyataan yang sungguh teramat mengejutkan hatinya.

Melihat ini, Siangkoan Kongcu tidak menjadi gugup, bahkan sambil tersenyum dia menyentuh lengan gadis itu. Begitu merasa lengannya disentuh tangan pria, Ci Hwa merasa bulu tengkuknya meremang dan ia cepat menarik lengannya dan menjauh.

“Tenanglah, Hwa-moi, tenanglah kekasihku. Lupakah engkau? Kita memang telah berkasih-kasihan, kita telah tidur di sini sejak kemarin siang dan kita.... kita telah saling mencurahkan kasih sayang. Engkau memang seorang wanita hebat.!”

“Tidak! Oohhh.... tidak....!”

Ci Hwa menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dari celah-celah antara jari-jari tangannya mengalir air mata.

“Ci Hwa, tenangkan dirimu. Kita memang telah melakukan hubungan dengan suka rela, karena saling menyayang, saling menyukai. Apa salahnya itu? Dan aku merasa berbahagia sekali.”

“Tidak....! Engkau.... engkau tentu telah menjebakku.“

“Hwa-moi, apakah engkau mimpi? Lihat ini dadaku, leherku, masih merah-merah bekas gigitanmu. Gigitan manja! Ingat, Hwa-moi, aku tidak memaksamu dan engkau tidak memaksaku. Kita melakukan dengan suka rela, karena saling mencinta. Beberapa kali engkau membisikkan kata cinta kepadaku, kenapa sekarang tiba-tiba engkau menangis dan menyesal dan menuduh yang bukan-bukan?”

Ci Hwa menurunkan kedua tangannya. Air matanya masih mengalir turun dan matanya basah. Sejenak ia memandang wajah pemuda itu melalui air matanya dan ia pun teringatlah semuanya. Ia merasa malu sekali, akan tetapi segalanya telah terjadi.

“Aku.... aku agaknya sudah gila,” ratapnya. “Aku.... tergila-gila kepadamu, Kongcu. Akan tetapi, apakah engkau cinta padaku?”

Siangkoan Liong merangkul dan mencium bibir itu dengan mesra dan Ci Hwa hanya setengah meronta saja.

“Cinta padamu? Kalau tidak cinta padamu, untuk apa aku melakukan ini? Aku bukan pria yang kegilaan perempuan! Aku tentu saja cinta padamu, Hwa-moi.”

Sinar terang memenuhi batin Ci Hwa dan ia pun balas merangkul.
“Aih, Kongcu, terima kasih. Kalau begitu, sekarang juga, hari ini juga, engkau harus ikut bersamaku ke Ban-goan.”

“Ehhh?” Siangkoan Kongcu mengerutkan alisnya dan memandang heran. “Ikut denganmu ke Ban-goan?” tanyanya ragu. “Mau apa?”

Ci Hwa yang terbelalak.
“Mau apalagi? Bukankah engkau sudah menggauli diriku, bukankah aku telah menyerahkan diriku kepadamu dan kita seperti sudah menjadi suami isteri? Tentu saja untuk menghadap ayahku dan untuk melamarku menjadi isterimu. Apalagi!”

“Ah, ini tidak mungkin!”

Seketika pucat wajah Ci Hwa. Kemudian mukanya merah sekali dan ia pun menyambar pakaiannya dan mengenakan pakaianya sejadinya. Hal ini diturut pula oleh Siangkoan Kongcu dan kini mereka berdiri di kamar itu, berdiri saling berhadapan.

“Siangkoan Kongcu, setelah apa yang kau lakukan semalam.“

“Engkau juga, bukan aku sendiri!”

“Benar, setelah apa yang kita lakukan bersama semalam, apakah engkau masih berani mengatakan bahwa engkau tidak akan melamarku dan mengambil aku sebagai isterimu?”

Pemuda itu memandang tajam, lalu menarik napas panjang. Dalam keadaan seolah-olah dia terdesak itu, dia masih bersikap tenang dan halus.

“Kwee Ci Hwa, dengarlah baik-baik. Engkau datang ke sini tanpa diundang. Aku menyambutmu dengan baik, bahkan untuk keselamatanmu dan harga dirimu, aku telah membunuh dua orang anggauta perkumpulan kami. Kemudian kita saling mencinta, dan saling menumpahkan perasaan cinta dan kasih sayang, tanpa paksaan dan dengan suka rela. Akan tetapi sekarang engkau menuntut aku agar mengambil engkau sebagai isteri!”

“Bukankah itu sudah pantas dan seharusnya?” Ci Hwa membantah dengan suara mendesak.






Siangkoan Liong menggeleng kepala.
“Tidak ada paksaan dalam hubungan kita. Engkau tahu bahwa aku seorang pangeran, seorang keturunan bangsawan dan tidak mudah mengikatkan diri menikah begitu saja. Kita saling suka, dan aku pun cinta padamu. Mengapa kita tidak tetap seperti sekarang saling mencinta dan melakukan hubungan setiap kali kita inginkan? Apa perlunya ikatan pernikahan? Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu itu, Ci Hwa.”

Wajah gadis itu berubah pucat, matanya terbelalak dan kembali air mata bercucuran keluar.
“Kongcu, setelah apa yang kau lakukan setelah engkau meniduriku, merenggut keperawananku.... ah, bagimu sebagai pria memang mungkin tidak apa-apa, akan tetapi aku seorang wanita! Seorang wanita, seorang gadis! Tahukah engkau akibatnya? Aku akan dikejar aib, namaku akan rusak dan hina, lebih hebat daripada kematian!”

Siangkoan Liong menggeleng kepala dan tersenyum.
“Bodoh kau! Tetap saja menjadi kekasihku seperti sekarang, dan aku akan melindungimu.”

“Tidak! Engkau harus melamarku, harus mengambilku sebagai isterimu, kalau tidak....“

“Hemmm, kalau tidak mengapa?” Siangkoan Liong kini bertanya dengan alis berkerut dan pandang matanya mencorong marah.

“Kalau tidak, engkau atau aku harus mati!”

Dan tiba-tiba Ci Hwa yang sudah merasa putus asa itu lalu menyerang dengan hebatnya, menghantam ke arah dada pria yang pernah membahagiakannya selama sehari semalam itu. Serangannya dilakukan dengan sepenuh tenaga karena kini, perasaan cintanya sudah berubah seketika menjadi kebencian yang bernyala-nyala.

Kini baru terbuka matanya orang macam apa adanya pemuda yang tampan, halus dan perkasa itu. Ia telah terjebak dan tahulah ia bahwa semua sikap baik, kehalusan, bahkan pertolongan itu, ditambah dengan makan minum dan terutama sekali minuman anggur merah itu, hanya merupakan perangkap saja untuknya. Ia telah terperangkap, telah menjadi korban.

Pemuda ini sama sekali tidak mencintanya, tidak menginginkannya menjadi isteri, melainkan mempermainkannya saja! Oleh karena kesadaran ini, ia pun menyerang dengan sekuatnya, serangan dahsyat walaupun tubuhnya masih terasa lemas karena malam tadi menghabiskan tenaga dan kurang tidur.

Akan tetapi, tingkat kepandaian Siangkoan Liong jauh lebih tinggi dibandingkan Ci Hwa, maka serangan itu dengan mudah dihadapinya dan begitu pemuda itu menggerakkan kedua tangannya, bukan dia yang terserang, bahkan Ci Hwa sudah dapat ditangkap dan ditelikungnya.

Kedua lengan gadis itu dipuntir ke belakang, dipegang dengan satu tangan dan tangan lain merangkul, Ci Hwa hendak meronta, namun sekali jari tangan pemuda itu menekan, tubuh Ci Hwa menjadi lemas dan ia pun terkulai dalam pelukannya tanpa dapat melawan lagi kecuali menangis.

“Sayang, jangan menangis. Bukankah kita saling mencinta? Ingatlah betapa mesra dan bahagianya kita semalam, dan aku masih saja rindu padamu, belum juga puas aku minum madu darimu.” Siangkoan Liong memondongnya dan membawanya kembali ke pembaringan.

Ci Hwa menangis. Menangis dalam batin. Kini, biarpun dibelai dan dihujani pernyataan dan pencurahan cinta kasih yang mesra, sama sekali ia tidak merasa senang. Sebaliknya ia merasa tersiksa tanpa mampu menolak, tanpa mampu meronta. Ia merasa diperkosa, dihina sampai sehebat-hebatnya oleh pria yang kini amat dibencinya itu. Seperti bumi dan langit bedanya dengan hubungan antara mereka mulai kemarin siang sampai semalam, begitu penuh dengan kemesraan dan perasaan cinta kedua pihak. Kini ia merasa diperkosa dan ditekan, dihancurkan dipatah-patahkan.

Hubungan sex antara pria dan wanita sesungguhnya merupakan hubungan puncak kemesraan yang indah dan suci apabila dilakukan oleh kedua pihak karena dorongan cinta kasih. Hubungan sex merupakan puncak kemesraan pernyataan sayang, saling mengisi, saling membahagiakan melalui perasaan yang paling halus dan paling dalam, di mana masing-masing sudah bebas dari keakuan masing-masing, melebur menjadi satu dan tidaklah mengherankan kalau saat yang amat suci dan indah itu menjadi sarana penciptaan seorang manusia baru!

Sex adalah suatu hubungan antara dua jenis mahluk berlawanan kelamin yang indah, suci dan nikmat. Akan tetapi, betapa kenikmatan itu selalu berubah menjadi kesenangan! Kenikmatan adalah suatu pengalaman perasaan pada saat itu, detik itu, dan kalau sudah disimpan di dalam ingatan, dijadikan kenangan, lalu diharapkan dan dikejar sebagai suatu kesenangan! Alangkah jauh bedanya antara kenikmatan dan kesenangan! Kenikmatan datang seketika, pada saat itu, tanpa adanya aku yang mengecamnya, tanpa adanya aku yang mencatatnya. Sebaliknya, kesenangan adalah suatu bayangan yang digambarkan oleh si aku yang selalu mengejar-ngejarnya. Kalau sudah begini, maka terjadilah penyelewengan yang timbul dari pengejaran itu!

Cinta kasih bukanlah sex semata, walaupun sex merupakan sebagian dari cinta kasih, merupakan kembangnya yang indah. Kalau sex sudah menjadi alat bersenang diri, dikejar, maka ia berubah menjadi nafsu yang akan membakar diri lahir batin. Sex merupakan suatu hubungan yang suci di mana terdapat cinta kasih. Tanpa cinta kasih, sex hanya merupakan suatu permainan untuk memuaskan nafsu yang tak kunjung padam, tak kunjung habis, dan nafsu ini kalau dituruti akhirnya akan membakar diri sampai hangus!

Bagi seorang wanita yang lebih halus perasaan ketimbang pria, sikap cinta kasih jauh lebih berkesan di dalam hati sanubarinya daripada sekedar hubungan sex yang baik saja. Pada umumnya, wanita mendambakan kasih sayang dalam sikap, pandang mata, tutur kata, dan perbuatan yang pada puncaknya akan menuju kepada hubungan sex. Sebaliknya, pria kurang peka terhadap sikap ini, dan biasanya, pria lebih condong minta bukti melalui hubungan sex dan kepatuhan, dan kesetiaan.

Dapat dibayangkan betapa hancurnya hati Ci Hwa ketika ia digelut oleh Siangkoan Liong pada pagi hari itu. Ia merasa malu, terhina, tersiksa namun tidak berdaya walaupun pemuda itu berusaha sedapat mungkin untuk menyenangkan tubuhnya. Hanya air matanya saja yang menjadi saksi kehancuran hatinya. Bercucuran membasahi bantal.

Setelah merasa puas, Siangkoan Liong membebaskan totokan pada tubuh Ci Hwa. Gadis itu terisak dan mengenakan pakaiannya, kepalanya pening dan ia tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.

“Kwee Ci Hwa, engkau seorang gadis yang tidak tahu diri dan tidak mengenal budi. Gadis-gadis lain akan saling berebutan agar dapat tidur dengan aku. Aku bukan hanya tidur bersamamu, bahkan aku telah menyelamatkanmu, aku suka dan cinta padamu, akan tetapi engkau tidak mau menerimanya. Nah, sekarang tinggal kau pilih, tinggal di sini sebagai kekasihku, bukan isteri, atau engkau boleh pergi.”

Ci Hwa sudah selesai mengenakan sepatunya. Kini ia mengangkat mukanya yang pucat dan matanya yang merah itu seperti hendak membakar wajah Siangkoan Liong. Kedua tangannya dikepal.

“Kalau aku mampu, tentu aku akan membunuhmu, keparat! Biar Tuhan mengutukmu!”

Setelah berkata demikian, Ci Hwa lalu meloncat keluar dari dalam kamar itu, terus melarikan diri keluar. Masih ia mendengar suara tawa pemuda itu mengikutinya sampai ia jauh meninggalkan perumahan Tiat-liong-pang. Ia berlari sambil menangis, tanpa suara, hanya terisak dan air matanya terus berjatuhan di sepanjang jalan.

Ia tidak tahu harus pergi ke mana, satu-satunya keinginannya hanya menjauhi tempat laknat itu sejauh dan secepat mungkin. Tubuhnya terasa nyeri semua, terutama karena perbuatan Siangkoan Liong tadi yang diterimanya dengan batin yang meronta.

Ci Hwa memasuki sebuah hutan yang penuh dengan semak belukar dan pohon-pohon liar dan akhirnya kakinya terantuk akar pohon dan tubuhnya pun terpelanting jatuh ke atas rumput. Ia tidak bangun dan sekaranglah baru ia menangis sesenggukan seperti anak kecil, menangis sampai mengguguk sambil menelungkup di atas tanah itu. Kedua tangannya dikepal dan ia memukuli tanah juga kakinya menendang-nendang tanah.

Penyesalan demi penyesalan datang bagaikan gelombang samudera yang maha dahsyat, melanda dirinya, menyeretnya sehingga ia gelagapan dalam tangisnya, kehilangan pegangan. Ia merasa menyesal sekali mengapa ia telah bertindak demikian bodoh, kurang waspada, mudah terbujuk rayu sampai ia mengorbankan keperawanannya, kehormatannya, bahkan ia telah disia-sia, dihina tanpa daya sama sekali.

Andaikata ia diperkosa saja, kiranya penyesalannya tidak sehebat ini. Akan tetapi tidak, ia sama sekali tidak diperkosa untuk pertama kalinya, ia menyerah dengan suka rela, bahkan menikmatinya, meneguk minuman beracun. Betapa memalukan! Betapa rendah dirinya.

“Aku layak mampus! Aku tidak berharga lagi untuk hidup!” teriaknya ketika teringat akan itu semua.

Ia meninggalkan rumah dengan cita-cita untuk mencuci nama ayahnya yang ternoda karena dituduh membunuh, akan tetapi ia sendiri, apa yang dilakukannya? Menjadi perempuan hina, lebih hina dari pelacur. Seorang pelacur menyerahkan diri dengan harapan imbalan. Akan tetapi ia? Menyerah secara membuta, tak tahu bahwa ia dipermainkan orang!

“Aku harus mampus!”

Dan gadis itu pun menanggalkan ikat pinggangnya, memasangnya di atas cabang sebatang pohon, mengalungkan ujung yang lain di lehernya dan ia pun meloncat turun dari cabang itu. Tali itu mengikat dan menjerat lehernya yang berkulit halus mulus, dan tubuhnya tergantung!

Ci Hwa merasa betapa kulit lehernya nyeri dan perih, napasnya terhenti, akan tetapi ia tidak meronta dan siap menerima kematian dengan tenang. Matanya yang terpejam nampak cahaya kuning, lalu merah api, lalu kabur agak kelabu, mulai menghitam.

“Anak bodoh!”

Tiba-tiba saja tubuhnya terlepas dan ia tidak tergantung lagi! Ci Hwa yang sudah hampir pingsan itu merintih, lehernya tidak terikat lagi dan ia roboh di atas tanah, merasakan ada jari tangan menekan pundak dan tengkuknya, pernapasannya yang terengah itu kembali normal. Ia lalu membuka mata dan melihat seorang pemuda sudah berlutut di dekatnya!

Hampir ia memaki karena mengira bahwa pemuda itu Siangkoan Liong, akan tetapi setelah pandang matanya dapat melihat jelas, ia melihat bahwa pemuda itu sama sekali bukan Siangkoan Liong! Pemuda itu jelas lebih tua daripada Siangkoan Liong, usianya tentu sedikitnya dua puluh enam tahun. Ia mengerutkan alis, mengingat-ingat dan merasa tak pernah bertemu dengan pemuda ini.

Dia seorang pemuda yang mengenakan pakaian kebiruan sederhana, mukanya berkulit bersih, cerah dan dapat dibilang tampan. Sinar matanya lembut, seperti sinar mata Siangkoan Liong, akan tetapi terdapat kejujuran pada sinar mata dan mulut yang tersenyum lembut itu. Sepasang mata itu kini mengamati wajahnya seperti orang yang menyesal dan menyalahkannya. Alis itu agak berkerut, dan pada pandang matanya yang lembut itu, jelas nampak penasaran dan juga keheranan. Siapa orangnya takkan heran melihat seorang gadis semuda ia berada dalam hutan sedang berusaha membunuh diri dengan menggantung?

Akan tetapi, perasaan hati Ci Hwa yang sudah dipenuhi perasaan dendam kebencian kepada pria, segera membuat ia memandang pria ini sebagai seorang musuh, seperti setan yang tentu juga berniat jahat terhadap dirinya!

Pertama kali ia terjatuh ke tangan lima orang pemburu, semuanya laki-laki yang berniat buruk memperkosanya, kemudian berganti jatuh ke tangan dua orang anggauta Tiat-liong-pang, sama saja, mereka juga hendak memperkosanya. Terakhir kali ia terjatuh ke tangan Siangkoan Liong, yang disangkanya sebaik-baiknya orang, ternyata juga ia malah terperangkap. Sekarang, ketika ia sudah di ambang pintu maut, ia diselamatkan seorang laki-laki muda pula. Orang macam apalagi ini kalau bukan seorang calon pemerkosa berikutnya?

“Engkau sama busuknya dengan mereka!” teriak Ci Hwa dan tiba-tiba saja ia pun sudah meloncat dan langsung saja menyerang dengan pukulan tangannya ke arah dada laki-laki yang sedang berlutut di dekatnya itu.

Pemuda itu sama sekali tidak pernah menyangkanya dan dari jarak sedemikian dekat, tanpa menduga akan diserang, maka tentu saja pukulan tangan Ci Hwa tepat mengenai dadanya.

“Dukkk....!”

Tubuh laki-laki itu terjengkang dan bergulingan, akan tetapi dia meloncat bangun dan tidak terluka, hanya memandang dengan mata terbelalak dan agaknya bingung, mengira bahwa gadis yang malang yang ditolongnya itu mungkin sudah menjadi gila!

“Eih, Nona.... kenapa.... kenapa kau memukulku?” tanyanya, suaranya tetap tenang dan pandang matanya jelas memancarkan belas kasihan karena dia menduga bahwa gadis ini tentu gila atau tergoncang jiwanya.

“Engkau menolongku, mencegah aku mati, tentu hanya dengan satu niat yang keji dan buruk! Karena itu, akan kuhunuh engkau lebih dulu sebelum aku membunuh diri!” Ci Hwa berteriak-teriak dan ia pun sudah lari maju dan menerjang kalang kabut!

Akan tetapi sekali ini, pemuda itu sudah siap siaga. Dari pukulan gadis itu tadi, dia pun tahu bahwa gadis itu bukanlah seorang wanita sembarangan, bukan wanita lemah dan pukulannya tadi merupakan pukulan gaya ilmu silat dan mengandung tenaga dalam yang cukup ampuh. Dia pun tertarik sekali dan kini menghadapi serangan bertubi-tubi itu dia pun mengelak dan berloncatan ke kanan kiri sambil memperhatikan gerakan silat penyerangnya itu.

Setelah lewat dua puluh jurus, dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini dapat bersilat dengan baik sekali, dan cukuplah kepandaian itu untuk membela diri dalam perjalanan, sehingga tidak aneh kalau gadis itu berani melakukan perjalanan seorang diri.

Akan tetapi mengapa di sini hendak menggantung diri? Dan pakaian atasnya itu terobek, rambutnya kusut, matanya merah, jelas bahwa gadis itu menderita kedukaan dan penekanan batin yang amat hebat.

Sementara itu, Ci Hwa semakin terkejut, dan semakin marah karena kembali ia bertemu dengan seorang pemuda yang jauh lebih lihai darinya. Semua serangannya yang dilakukan sepenuh hati terdorong dendam dan kemarahan, sama sekali tidak pernah menyentuh tubuh pemuda itu, padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah menangkis, hanya mengelak saja dengan gerakan aneh dan amat lincahnya.

Timbul dugaan bahwa tentu ia akan ditangkap lagi, dipermainkan lagi dan mengingat ini, ia merasa khawatir sekali. Lebih baik mati kalau ia harus mengalami lagi penderitaan diperkosa orang seperti tadi! Pikiran ini membuat ia putus asa. Tak mungkin ia menang dan ketika ia melihat batang pohon di mana tadi ia bergantung diri, tiba-tiba ia memperoleh akal dan ia pun melompat untuk membenturkan kepalanya pada batang pohon itu, sekuat tenaganya.

“Bukkk!”

Kepalanya tidak membentur benda keras, bahkan tidak membentur apa-apa karena tubuhnya tertahan ketika dua buah tangan menerima kedua pundaknya dengan lembut. Ketika Ci Hwa melihat, ternyata pemuda itu telah mendahuluinya berdiri di depan batang pohon dan menerima tubuhnya tadi! Dengan sendirinya ia semakin marah dan penasaran.

“Kau.... kau berani menghalangiku!” bentaknya dan kini ia memukul, mencakar, menendang kalang kabut, tidak memakai gerakan silat lagi melainkan gerakan seekor harimau betina yang marah.

Terdengar bunyi kain robek ketika cakarannya mengenai baju pemuda itu. Pemuda itu cepat menotok pundaknya dan Ci Hwa terkulai lemas. Dengan sopan dan hati-hati, pemuda itu membaringkan tubuh Ci Hwa di bawah pohon dan kembali ia berlutut seperti tadi. Diusapnya kulit dada yang agak berdarah terkena cakaran kuku Ci Hwa.

“Nona, engkau telah bersikap keliru sama sekali. Kenapa engkau bertekad untuk membunuh diri? Sudah demikian burukkah kehidupan ini sehingga seorang gadis semuda engkau sudah putus asa dan lebih memilih mati saja?”

Ci Hwa hanya tertotok tak mampu bergerak, akan tetapi masih dapat bicara dan ia membentak ketus,

“Apa urusannya denganmu? Apa pedulimu kalau aku hidup atau mampus?”

“Nona, agaknya hatimu sudah penuh prasangka buruk terhadap manusia lain. Agaknya hatimu telah disakitkan orang, maka setiap kali bertemu orang lain, engkau selalu menyangka buruk. Memang tidak ada hubungannya mati hidupmu dengan diriku, akan tetapi manusia mana yang dapat membiarkan orang lain membunuh diri begitu saja? Nona, dengar baik-baik. Ketika engkau dilahirkan oleh ibumu, apakah ada engkau minta kepadanya atau kepada Tuhan agar engkau dilahirkan?”

Mendengar pertanyaan seperti itu, Ci Hwa terbelalak. Kaget dan heran. Gilakah orang ini, bertanya seperti itu? Memikirkannya saja tentang itu belum pernah ia lakukan!

“Ibuku sudah tidak ada.”

“Ah, maaf, engkau tidak mempunyai ibu lagi? Akan tetapi, kuulangi pertanyaanku tadi, ketika engkau dikandung dan dilahirkan, apakah hal itu terjadi atas permohonanmu kepada Tuhan atau kepada mendiang ibumu atau ayahmu?”

Ci Hwa mengerutkan alisnya.
“Tentu saja tidak! Mana bisa! Apa engkau ini orang gila, bertanya seperti itu?”

Pemuda itu tersenyum lembut dan tidak ada sedikit pun tanda bahwa dia terpikat oleh kewanitaan Ci Hwa.

“Kalau engkau tidak pernah minta dilahirkan, tidak pernah minta dihidupkan, berarti engkau tidak berhak pula untuk memaksa kehidupan terhenti dengan bunuh diri! Rasakan saja, bukankah detak jantungmu bekerja tanpa kau rasai? Bukankah pernapasanmu juga berjalan tanpa kau sengaja? Dan setiap anggauta tubuhmu, rambut, kuku, bulu badan, semuanya bertumbuh tanpa kau sengaja? Semua itu bukan milikmu, bukan milik pikiranmu, dan engkau berani hendak melenyapkan semua itu yang sesungguhnya bukan hakmu? Seperti juga hidupmu, matimu pun bukan berada dalam kekuasaanmu, bukan milikmu. Kalau yang berkuasa akan hidup matimu menghendaki, biar kau usahakan bagaimanapun, engkau takkan mati, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya engkau harus mati, biar ada seribu orang dewa sekali pun takkan mampu menghidupkanmu!”

Ci Hwa termenung. Belum pernah selama hidupnya ia mendengar ucapan seperti itu, dan ia menjadi bingung.

“Apa kau kira kalau menghadapi kesulitan maka kesulitan itu akan berakhir dengan kematian, Nona? Ingat, yang kesulitan itu bukanlah badannya, melainkan batinnya, dan kau kira kalau sudah mati, batinmu tidak akan terus berkelanjutan menjadi setan penasaran?”

Ci Hwa semakin terpukul dan kini air matanya mengalir, tubuhnya terkulai lemas
“....aku tidak tahu.... ah, aku tidak tahu.“

Melihat keadaan gadis ini, pemuda itu lalu mengurut pundaknya dan terbebaslah Ci Hwa dari totokannya. Akan tetapi, begitu dapat bergerak, Ci Hwa lalu teringat akan nasibnya dan ia pun menangis, meraung-raung seperti anak kecil sambil duduk dan menutupi mukanya. Ia megap-megap seperti ikan dilempar ke daratan.

Pemuda itu tiba-tiba memegang kedua pundaknya, mengguncangnya keras-keras beberapa kali sampai kepala Ci Hwa terguncang ke kanan kiri, kemudian pemuda itu melayangkan tangannya ke arah pipi Ci Hwa, dua kali.

“Plak! Plakkk!”

Tentu saja Ci Hwa terkejut bukan main. Seperti ia diseret kembali kedunia kenyataan oleh dua kali tamparan yang membuat kedua pipinya terasa panas, perih dan nyeri itu. Ia memandang terbelalak.

“Kau.... kau jahanam, berani memukulku!” katanya dan ia pun membalas dengan dua kali tamparan ke arah pipi pemuda itu.

“Plak! Plakkk!”

Pemuda itu tidak mengelak, membiarkan pipinya ditampar dan Ci Hwa melihat bekas tangannya nampak jelas di kedua pipi itu, bekas tangan yang membuat tanda merah di situ. Ia terbelalak dan terheran memandang pemuda aneh itu. Akan tetapi pemuda itu tersenyum girang.

“Nah, engkau sudah waras kembali. Ditampar balas menampar. Baru ditampar saja membalas, kenapa bodoh amat membunuh diri? Tidak ada persoalan di dunia ini yang tidak dapat diatasi! Iba diri terlalu besar membuat orang kehilangan kesadaran. Dan ingat, di dunia ini tidak semua orang jahat, Nona. Aku tidak berani mengaku bahwa aku ini orang baik, akan tetapi setidaknya aku selalu berjaga dalam hidupku agar tidak melakukan kejahatan. Karena itu, jangan takut kepadaku, Nona. Aku tidak akan mengganggumu, dan dalam keadaan seperti ini engkau membutuhkan seorang kawan yang jujur dan beriktikad baik. Bagaimana kalau engkau anggap aku ini kakakmu saja?”

Sejak tadi Ci Hwa memandang dengan mata terbelalak, mata yang masih basah, akan tetapi sinar matanya penuh selidik, seolah-olah hendak menjenguk isi hati orang ini melalui matanya.

Orang itu kembali tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya.
“Namaku Gu Hong Beng dan selama hidupku, aku tidak pernah mau mengganggu orang lain.”

Sikap ini diterima oleh Ci Hwa dan ia pun tiba-tiba menangis dan menubruk pemuda itu, merangkul lehernya dan gadis itu menangis di atas pundak Hong Beng, merasa seperti menangis di dada ayahnya sendiri atau seorang kakaknya sendiri. Dan pemuda itu tersenyum, mengelus rambut itu penuh belas kasihan.

“Menangislah, menangislah sepuas hatimu, itu cara terbaik untuk mencairkan segala yang membeku dalam hatimu,” katanya lirih dan kata-kata ini seperti mendorong Ci Hwa untuk menangis lebih hebat lagi sampai sesenggukan.

Para pembaca Suling Naga tentu masih ingat siapa adanya Gu Hong Beng ini. Dia seorang pemuda sederhana, putera seorang tukang kayu sederhana pula, di kota Siang-nam di Propinsi Hunan. Dia sudah kehilangan ayah bundanya dan hidup sebatang kara, kemudian dia beruntung diambil murid seorang pendekar sakti keluarga Pulau Es, yaitu Suma Ciang Bun!

Banyak sudah dialami oleh Gu Hong Beng sebagai seorang pendekar muda, bekerja sama dengan para pendekar lainnya untuk menentang kejahatan. Dia pernah jatuh cinta kepada seorang pendekar wanita Can Bi Lan, akan tetapi cintanya bertepuk tangan sebelah karena pendekar wanita Can Bi Lan itu memilih Sim Houw sebagai suaminya. Sim Houw yang terkenal sebagai Pendekar Suling Naga.

Namun Gu Hong Beng dapat menerima kenyataan pahit ini dan sudah lama dia dapat melupakan kepahitan itu, juga dia pernah diikat perjanjian ketika dia membantu nenek Teng Siang In, yaitu ibu kandung pendekar Suma Ceng Liong yang bertempur melawan seorang datuk jahat Sai-cu Lama. Nenek sakti itu tewas dan cucunya, yaitu puteri Suma Ceng Liong yang bernama Suma Lian, dilarikan Sai-cu Lama.