Ads

Sabtu, 04 Juni 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 45

Melihat sikap dan mendengar ucapan Tang Hun, Siu Lan merasa jantungnya berdebar. Tadi ketika ia ditangkap, pemuda itu bersikap sopan padanya, seolah ia bukan seorang tawanan melainkan seorang tamu. Dan kini, pemuda itu mengatakan tidak ingin memusuhinya dan juga tidak ingin melukainya! Hal ini hanya mempunyai satu arti, ialah bahwa pemuda itu suka padanya!

Hek-houw Tang Kwi menjadi marah kepada puteranya.
“Engkau tidak berani? Kalau begitu engkau harus minta maaf kepadanya!”

“Minta maaf? Aku tidak bersalah, melainkan mereka yang bersalah. Kenapa aku harus minta maaf? Dan aku tidak ingin berkelahi melawan nona Lo, sama sekali bukan karena takut melainkan....”

“Sudahlah jangan banyak bicara lagi. Layani nona Lo yang menantangmu!” berkata demikian Hek-houw Tang Kwi mendorong punggung puteranya supaya maju menghadapi Siu Lan.

Dengan terpaksa sekali dan sikap apa boleh buat Tang Hun maju menghadapi Siu Lan. Dia menyimpan pedangnya dan berkata dengan lembut.

“Nona Lo, terpaksa aku harus bermusuhan, maka kita bertanding dengan tangan kosong saja.”

“Tidak bersenjata boleh, bersenjata juga boleh!” kata Siu Lan yang juga menyimpan pedangnya. Kalau lawan tidak bersenjata tentu ia malu kalau harus melawan dengan pedangnya.

Mereka sudah memasang kuda-kuda akan tetapi Tang Hun belum juga mau menyerang.

“Hayo mulai!” kata Siu Lan. “Aku sudah siap!”

“Engkau adalah tamu maka engkaulah yang harus memulai lebih dulu, Nona.” kata Tang Hun.

“Baik, bersiaplah dan sambut seranganku ini!”

Siu Lan mulai memukul akan tetapi dapat dielakkan Tang Hun dengan baik. Dua orang itu segera terlibat dalam perkelahian yang seru. Akan tetapi Bi-kiam Nio-cu dan Hek-houw Tang Kwi keduanya dapat mengikuti gerakan mereka dengan baik dan mereka mendapat kenyataan bahwa dua orang itu tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh, Hek-houw Tang Kwi tahu benar bahwa puteranya tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya dan Bi-kiam Nio-cu juga melihat dengan jelas betapa Siu Lan juga tidak menyerang dengan sepenuh hatinya.

Pada saat itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek yang kaki kirinya timpang dan membawa tongkat.

"Apa yang terjadi di sini!" tanyanya. Ketika melihat puterinya berkelahi melawan Tang Hun, dia menghampiri Hek-houw Tang Kwi dan bertanya, "Eh, Hekhouw, kenapa engkau membiarkan anak kita saling serang seperti itu?"

"Ssstt, lihatlah baik-baik, Kiam-sian. Bukankah kedua anak kita itu serasi dan cocok sekali? Mereka saling serang? Hemmm, kurasa tidak. Mereka hanya latihan saja dan saling mengalah!"

Dan kenyataannya memang demikianlah. Kedua orang muda itu sama sekali tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, dan tidak ingin melukai lawan. Siu Lan melihat datangnya ayahnya, maka ia meloncat jauh ke belakang dan mendekati ayahnya.

"Ayah, mereka hendak menawanku!" katanya dengan manja.

"Apa? Siapa yang hendak menawan anakku?" bentak Toat-beng Kiam-sian dan sekarang barulah dia melihat adanya Bi-kiam Nio-cu di situ.

"Eh, engkau juga berada di sini, Bi-kiam Nio-cu? Apakah engkau yang hendak menawan anakku?"

Berkata demikian Lo Cit melangkah maju menghampiri Bi-kiam Nio-cu yang hanya memandang kepadanya dengan senyum mengejek.

"Suhu, tidak sama sekali, Suhu!" Gan Bu Tong meloncat mendekati suhunya. "Nona ini sama sekali tidak mengganggu kami berdua, ia malah datang untuk menolong sumoi yang tadinya ditawan oleh orang-orang Hek-houw-pang!"

"Hemmm, apa yang terjadi di sini? Kenapa anakku ditawan orang-orang Hek-houw-pang?"

Hek-houw Tang Kwi dengan sikap tenang berkata kepada Lo Cit.
"Kiam-sian, engkau dengarlah baik-baik keterangan dari anakku. Tang Hun, ceritakan semua kepada pamanmu Lo ini apa yang telah terjadi sebenarnya."

Tang Hun maju memberi hormat kepada Lo Cit lalu berkata,
"Sebetulnya begini, Paman. Kami mendapatkan puteri dan murid Paman telah melanggar wilayah kami dan membunuh dua ekor kijang. Karena mereka memasuki wilayah kami tanpa ijin, terpaksa saya menahan nona Lo untuk kami hadapkan kepada Ayah. Ia kami tahan sebagai seorang tamu, bukan sebagai tawanan. Akan tetapi tiba-tiba murid Paman ini datang bersama Bi-kiam Nio-cu dan menyerang kami. Untung ada Ayah, kalau tidak mungkin kita semua akan dibunuhnya!"

"Siu Lan, benarkah apa yang dikatakan Tang Hun itu?"

Dengan kedua pipi berubah kemerahan, Siu Lan menjawab,
"Benar, Ayah. Akan tetapi kami hanya melanggar perbatasan sungai itu untuk mengejar kijang."






"Kalau begitu, engkau dan Bu Tong berada di pihak yang salah. Hayo kalian berdua minta maaf kepada pamanmu Tang Kwi!" bentak Lo Cit.

Siu Lan dan Bu Tong terpaksa memberi hormat kepada Hek-houw Tang Kwi sambil berkata,

"Harap paman Tang sudi memaafkan kelancangan kami!"

"Ha-ha-ha, semua ini hanya merupakan salah paham saja. Di antara orang sendiri mengapa harus minta maaf? Akan tetapi, Kiam-sian, bukankah engkau sudah melihat sendiri betapa serasi dan cocok adanya putera-puteri kita? Kesempatan ini akan kupergunakan untuk mengulang pinanganku tempo hari. Bagaimana kalau kita menjodohkan mereka?"

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit tersenyum dan bertanya kepada puterinya,
"Siu Lan, engkau telah mendengar sendiri usul pamanmu Tang. Nah, bagaimana jawabanmu?"

Dengan muka kemerahan Siu Lan bersembunyi di belakang tubuh ayahnya dan berkata,

"Ah, urusan itu bagaimana baiknya terserah kepada Ayah saja!"

Jawaban ini saja sudah jelas bagi semua orang. Kalau seorang anak tidak setuju, tentu ia akan marah-marah atau menangis. Kalau ia setuju, tentu ia akan menyerahkan keputusannya kepada orang tuanya dan tersipu malu.

Melihat keadaan puterinya, Lo Cit menjadi girang sekali. Ketika pertama kali Tang Kwi meminang puterinya, sebetulnya dia sudah setuju sekali. Dia merasa suka kepada Tang Hun yang gagah dan tampan. Akan tetapi puterinya itu yang menolak. Kini dia tahu mengapa dulu puterinya menolak. Karena belum pernah melihat Tang Hun. Setelah kini berhadapan, bahkan saling serang dalam pertandingan tadi, ia setuju akan pinangan itu.

"Ha-ha-ha, bagus sekali. Mari singgah di rumah kami di mana kami dapat menjamu kalian sebagai tamu agung dan kita dapat bercakap-cakap mengenai persoalan ini. Kami juga mengundang Niocu untuk ikut datang sebagai tamu kehormatan."

Bi-kiam Niocu mengerling kepada Gan Bu Tong. Ia melihat betapa pemuda itu juga memandang kepadanya penuh kagum, maka iapun mengangguk.

"Baiklah, aku tanpa sengaja telah terlibat dalam urusan kalian, tidak apa menjadi saksi dari hubungan antara kalian yang menjadi baik."

Mereka semua lalu menuju ke perkampungan Hek-houw-pang. Dan dalam perjalanan ini dengan sengaja Niocu mendekati Gan Bu Tong dan mengajaknya bercakap-cakap. Dia bertanya-tanya tentang keadaan pemuda itu dan hatinya girang mendengar bahwa pemuda itu sudah yatim piatu dan belum bertunangan apalagi menikah. Dan pemuda itu pun jelas kelihatan amat kagum kepadanya. Juga usia Gan Bu Tong sudah dua puluh lima tahun, berarti dua tahun lebih tua daripada usianya.

Sebaliknya sikap yang amat ramah dan bersahabat dari Niocu membuat dia akrab sekali dengan gadis itu. Tadinya Bu Tong memang agak sungkan terhadap Niocu yang dianggapnya memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada dia, juga namanya sudah terkenal sekali di dunia kangouw sebagai tokoh yang ditakuti. Akan tetapi setelah bercakap-cakap dengan dia, dia mendapat kenyataan bahwa Niocu amat manis budi dan bijaksana sehingga dia merasa cocok dan tidak menjadi rendah diri.

Demikian pula dengan Lo Siu Lan. Ia berterima kasih sekali kepada Niocu yang telah membantu untuk membebaskannya. Maka setelah mereka semua dijamu sebagai tamu kehormatan oleh Hek-houw Tang Kwi yang membicarakan dengan Lo Cit tentang perjodohan antara anak mereka, Lo Siu Lan minta dengan sangat agar Niocu suka singgah di rumahnya. Permintaan ini diterima dengan senang hati oleh Niocu. Setelah tinggal beberapa hari di rumah keluarga Lo, yaitu di perkampungan Kwi-kiam-pang, hubungan antara Niocu dan Bu Tong menjadi semakin akrab.

Pada suatu sore Niocu dan Bu Tong berjalan-jalan di luar perkampungan di Kwi-kiam-pang. Niocu yang mengajaknya dan Bu Tong dengan girang menyambut ajakan itu.

"Tong-ko, aku heran sekali melihatmu." kata Niocu sambil melangkah perlahan.

"Kenapa heran, Niocu?"

"Engkau murid seorang ketua perkumpulan yang terkenal. Engkau memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi dan hidupmu sudah sebatang kara karena tidak memiliki orang tua atau keluarga lain. Akan tetapi kenapa sampai usia dua puluh lima engkau belum juga menikah?"

Gan Bu Tong tersenyum malu-malu mendengar ini.
"Ah, Niocu. Orang seperti aku ini siapa yang suka menjadi isteriku? Pula, aku menganggap suhu sebagai orang tuaku dan Lan-sumoi sebagai adik sendiri."

"Tidak keliru engkau memilih keluarga gurumu sebagai keluarga sendiri. Akan tetapi apakah engkau tidak ingin membentuk keluarga sendiri, berumah tangga dan mempunyai anak-anak?"

Bu Tong teringat kepada Siu Lan. Dia pernah jatuh cinta kepada sumoinya itu dan ingin memperisterinya, akan tetapi ternyata Siu Lan tidak mencintanya, melainkan suka sebagai seorang kakak. Bahkan Siu Lan agaknya kini tertarik kepada Tang Hun dan perjodohan mereka telah dibicarakan oleh orang tua masing-masing.

Habislah sudah harapannya untuk memperisteri Siu Lan. Sejak pertama kali bertemu dengan Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok, dia memang sudah tertarik dan kagum sekali. Apalagi setelah pergaulan mereka akrab, dia semakin tertarik. Akan tetapi sedikit pun dia tidak mempunyai pikiran untuk jatuh cinta kepada tokoh yang terkenal ini. Dia tidak berani. Siu Lan saja menolaknya, apalagi seorang tokoh besar seperti Bi-kiam Nio-cu!

Setelah menghela napas panjang beberapa kali, dia pun menjawab.
"Tentu saja kadang timbul keinginanku untuk berumah tangga, Niocu. Akan tetapi seperti kukatakan tadi, siapa orangnya mau mendampingi aku sebagai isteriku? Aku seorang pemuda yang yatim piatu, tidak mempunyai apa-apa." Kemudian dia teringat bahwa gadis ini bertanya terlalu mendalam, maka timbul keberaniannya untuk bertanya. "Akan tetapi engkau sendiri, Niocu. Kulihat usiamu pasti lebih tua dari sumoi, kenapa engkau juga beIum berumah tangga?"

Bi-kiam Nio-cu tersenyum dan Bu Tong memandang dengan terpesona. Bukan main manisnya wanita ini kalau tersenyum!

"Tentu saja aku jauh lebih tua dari Siu Lan. Usiaku sudah dua puluh tiga tahun. Terus terang saja, entah berapa banyak pria yang meminangku, akan tetapi semuanya itu kutolak. Aku belum menemukan seorang yang cocok untuk menjadi pilihanku. Karena itulah sampai kini aku belum juga menikah."

"Niocu, seorang gadis seperti engkau ini, cantik jelita, berilmu tinggi dan berbudi mulia, bijaksana, tentu saja berhak memilih seorang calon suami yang sebaik-baiknya."

"Ah, jangan terlalu memuji padaku, Tong-ko. Dengarkanlah pendapat dunia kang-ouw tentang diriku dan engkau akan tahu bahwa aku tidak patut dipuji seperti itu. Aku pernah terkutuk, pernah bersumpah bahwa aku akan membunuh pria yang berani mencintaku! Entah sudah berapa orang yang kubunuh karena itu. Akan tetapi aku sekarang telah terbebas dari kutukan, bahkan aku mendambakan cinta kasih yang tulus ikhlas dari seorang pria. Aku tidak memilih yang muluk-muluk, melainkan yang berhati bersih, jujur dan mencintaku tanpa pamrih."

"Niocu....!"

"Ada apakah, Tong-ko?"

"Kalau sekarang ada seorang pria yang jatuh cinta kepadamu, seorang pria yang tidak berharga, miskin dan papa, yang tidak mampu menjanjikan apa pun kepadamu, apakah engkau dapat menerima cintanya?"

"Aku tidak membutuhkan pria yang kaya raya atau pandai dan berkedudukan. Aku membutuhkan pria yang jujur dan baik."

"Niocu, aku.... Aku seorang tak berharga, yatim piatu tidak mempunyai apa-apa...." Dia berhenti bicara.

“Ya....? Mengapa?"

"Aku yang hina ini telah berani bermimpi tentang bintang yang tak terjangkau oleh tangan."

"Tidak oleh tangan, melainkan harus dijangkau oleh hati yang penuh cinta kasih."

"Aku.... maafkan aku, Niocu. Aku seperti dalam mimpi. Aku berani jatuh cinta padamu."

Bi-kiam Nio-cu menjadi merah padam kedua pipinya, jantungnya berdebar karena girang.

"Cintamu tidak sia-sia, Tongko!"

Bu Tong terbelalak memandang wajah yang cantik itu.
"Maksudmu, engkau tidak marah padaku?"

Niocu menggeleng kepalanya.
"Tidak, aku malah merasa girang dan berbahagia sekali karena pria dalam angan-anganku tadi sepertimu inilah, Tong-ko. Engkau jujur, engkau sederhana, engkau rendah hati."

Keduanya sudah berhenti melangkah sejak tadi dan berdiri saling berhadapan. Dua pasang mata saling bertemu bertaut dan dua pasang mata itu menjadi basah karena haru. Bu Tong melangkah maju dan memegang kedua tangan Niocu.

"Benarkah semua ini? Bukan mimpi kosong? Niocu, benarkah engkau dapat menerima cintaku? Maukah engkau menjadi isteriku?"

"Kita berdua sama-sama yatim piatu, tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Tentu saja aku mau menjadi isterimu, Tong-ko."

Bukan main girangnya hati Bu Tong di saat itu. Dengan kedua lengannya yang tegap itu dia memeluk Niocu demikian kuatnya seolah dia ingin membenamkan kepala yang tersayang itu ke dalam dadanya.

Setelah merasa yakin bahwa dalam hidupnya ada Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok, Gan Bu Tong menjadi pemberani. Dengan terus terang dia mengajak kekasihnya menghadap gurunya.

"Suhu, teecu mohon doa restu dan persetujuan Suhu, karena teecu dan Niocu sudah mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri!"

Pengakuan ini dia katakan di depan Toat-beng Kiam-sian, isterinya dan juga di depan Lo Siu Lan. Mendengar ini, Lu Siu Lan berteriak girang dan segera menghampiri Niocu dan merangkulnya.

"Ah, selamat kuucapkan kepada kalian! Enci Bi Kiok, hatiku merasa gembira bukan main mendengar berita yang membahagiakan ini!"

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit juga merasa heran dan gembira sekali. Dia menganggap bahwa muridnya itu berperuntungan baik sekali, dapat menjadi pilihan Bi-kiam Nio-cu untuk menjadi jodohnya.

"Tentu saja kami merasa berbahagia, Bu Tong. Semoga kalian menjadi suami isteri yang berbahagia. Dan karena engkau tidak mempunyai keluarga yang bisa menjadi wali, biarlah kami yang akan menikahkan, berbareng dengan pernikahan Siu Lan dengan Tang Hun!" kata Toat-beng Kiam-sian Lo Cit.

Demikianlah, semenjak hari itu Niocu tinggal di Kwi-san untuk menanti hari baik itu. Perjodohan antara mereka akan dibarengkan dengan perjodohan antara Siu Lan dan Tang Hun.

Di kota raja juga terjadi hal yang berbahagia. Setelah bertemu dengan Tao Kwi Hong, Cia Kun tergila-gila kepada saudara misan itu. Sebaliknya Kwi Hong juga tertarik sekali kepada putera Pangeran Cia Sun itu. Hubungan mereka menjadi semakin akrab dan akhirnya Cia Kun minta kepada ayah bundanya untuk melamarkan Tao Kwi Hong. Pinangan itu diterima baik oleh Pangeran Tao Kuang, karena selain puterinya setuju, juga dia melihat bahwa Pangeran Cia Sun adalah seorang pangeran yang baik. Sebagai seorang pangeran namanya cukup bersih dan terhormat.

Lalu bagaimana dengan Keng Han? Pemuda ini melakukan perjalanan ke Barat Laut dan pada suatu hari sampailah dia di perkampungan Khitan. Ternyata kakeknya, Khalaban, telah meninggal dunia dan yang ditunjuk sebagai penggantinya adalah Kalucin.

Silani, ibu Keng Han dan juga Kalucin yang disebutnya paman menyambut mereka dengan gembira. Bahkan sebuah pesta diadakan oleh Kalucin untuk menyambut pulangnya pemuda itu. Seluruh perkampungan itu bergembira ria.

Semenjak ditinggalkan puteranya, siang malam Silani menanti kembalinya dengan penuh harapan. Bahkan Kalucin sudah beberapa kali mengajukan pinangan kepadanya. Namun Silani selalu menolaknya, dan mengatakan bahwa dia masih isteri Pangeran Tao Seng yang belum diketahui bagaimana nasibnya itu. Sampai berusia empat puluh lima tahun Kalucin masih belum beristeri. Dia benar-benar mencinta Silani dan tidak dapat menikah dengan wanita lain sebelum Silani bertemu kembali dengan suaminya.

Biarpun pulangnya Keng Han amat membahagiakan mereka semua, namun diam-diam Silani kecewa karena suaminya tidak datang bersama puteranya. Setelah memperoleh kesempatan untuk bicara berdua saja dengan puteranya, Silani tidak dapat lagi menahan keinginan hatinya dan ia bertanya,

"Bagaimana, Keng Han, apakah engkau sudah bertemu dengan ayahmu? Kenapa dia tidak ikut datang bersamamu? Apakah dia menyuruh memboyongku ke sana?"

Dihujani pertanyaan itu, Keng Han merasa kasihan sekali kepada ibunya.
"Maafkan aku, Ibu. Aku datang tidak membawa berita yang baik. Ayah.... ayah.... telah meninggal dunia."

Silani terbelalak, mulutnya terbuka lalu perlahan-lahan air matanya berjatuhan ke atas pipinya yang menjadi pucat, lalu ia menutupi mukanya dan menangis. Keng Han maju dan merangkulnya dan wanita itu menangis di dada puteranya. Keng Han mengelus pundak ibunya dan menghiburnya. Setelah tangisnya mereda, dengan muka pucat sekali Silani bertanya apa yang telah terjadi dengan suaminya.

"Ayah memang seorang pangeran, Ibu. Akan tetapi dia bukan Pangeran Mahkota seperti yang diakuinya. Ketika dia meninggalkan ibu dan pulang ke kota raja, dia melakukan perbuatan yang buruk, yaitu dia hendak membunuh Pangeran Mahkota yang menjadi saudaranya sendiri. Dia ingin menjadi Pangeran Mahkota. Akan tetapi usahanya gagal, bahkan dia ditangkap dan dihukum buang selama dua puluh tahun."

"Ah, pantas dia tidak memberi kabar sama sekali. Kiranya dia dihukum."

"Ketika tiba di kota raja, aku mendapatkan ayah telah menyamar sebagai seorang hartawan she Ji dan kembali dia mendirikan komplotan untuk membunuh Kaisar dan Putera Mahkota karena dia ingin menjadi kaisar. Dan kembali usahanya gagal bahkan ayah terbunuh dalam usahanya itu. Aku dikeroyok oleh tiga orang datuk sakti dan ayah hendak menolong dan membelaku, dan dalam usahanya inilah dia terbunuh. Aku sudah menguburkan jenazahnya di suatu tempat dan sebelum dia tewas dia berpesan kepadaku untuk memintakan ampun darimu, Ibu!"

"Ahhhhh....!" Kembali ibunya menangis. Setelah tangisnya reda Silani bertanya kepada puteranya. "Akan tetapi mengapa engkau begitu lama pergi? Sampai hampir enam tahun engkau pergi, membuat hati kami semua selalu mengkhawatirkan keselamatanmu."

Mendengar pertanyaan ibunya ini, Keng Han lalu menceritakan semua pengalamannya dengan panjang lebar, betapa selama lima tahun dia terasing di Pulau Hantu dan mempelajari ilmu silat yang dia temukan di sana. Kemudian dia menceritakan semua yang telah dialaminya.

Ibunya memandang kepadanya dengan kagum.
"Demikian banyak dan hebat pengalamanmu, anakku. Akan tetapi engkau pulang bersama gadis yang berkerudung itu. Siapakah ia, Keng Han?"

"Ia seorang sahabat baik bernama The Cu In, Ibu. Puteri seorang panglima tinggi di kota raja."

"Hemmm, sahabat baik? Sampai di mana kebaikan itu?"

"Ia sudah seringkali menolongku dari kesulitan dan bahaya, Ibu. Kalau tidak ada ia yang menolong, mungkin sekali aku tidak dapat pulang hari ini."

"Akan tetapi mengapa ia ikut ke sini?"

"Ia ikut agar dapat berkenalan dengan Ibu. Terus terang saja, Ibu, ia bukan sahabat biasa. Kami berdua sudah mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri dan aku mengajaknya agar Ibu dapat mengenal calon mantunya." Wajah Keng Han berubah kemerahan ketika membuat pengakuan itu.

"Calon mantuku? Ahhh, aku girang sekali. Akan tetapi mengapa ia selalu menutupi mukanya dengan cadar? Suruhlah ia membuka cadarnya agar semua orang melihat betapa cantiknya calon mantuku!"

Jantung Keng Han berdebar tegang mendengar ucapan ibunya itu. Akan tetapi dia teringat bahwa Cu In hanya mau memperlihatkan mukanya kepada ibunya saja, tidak kepada orang lain.

"Ibu, Cu In sudah bersumpah bahwa ia baru akan membuka cadarnya di hari pernikahannya."

"Hemmm, sumpah yang aneh sekali. Bagaimana aku dapat menyetujui pilihanmu itu sebelum aku melihat wajah calon mantuku? Ia harus membuka cadarnya agar aku dapat melihat mukanya, Keng Han." kata Silani dengan tegas.

"Akan tetapi Ibu harus berjanji dulu padaku bahwa betapapun jelek wajah Cu In, aku telah mencintanya dan ingin ia menjadi isteriku, Ibu."

Ibunya memandang wajah puteranya penuh selidik.
"Cinta benarkah engkau kepadanya, anakku?"

"Aku mencintanya dengan jiwa ragaku. Bagiku, wajah tidak banyak artinya. Aku mencinta pribadinya, pembawaannya, sikap dan budinya Ibu. Banyak sudah aku bertemu wanita yang wajahnya cantik, akan tetapi aku tidak tertarik kepada mereka."

"Hemmm, dan bagaimana dengan gadis itu? Apakah dia juga mencintamu sebesar cintamu kepadanya?"

"Menurut pengakuannya begitu, Ibu. Dan juga sudah terbukti dari sepak terjangnya ketika menolongku. Aku percaya sepenuhnya kepadanya!"

"Hemmm, cinta memang dapat memabukkan manusia, anakku. Baiklah, aku tidak akan terpengaruh oleh baik buruknya muka calon mantuku. Aku sudah merasa puas asal diperbolehkan melihatnya sendiri dengan mataku.

"Kalau begitu, biar kupanggil ia menghadap Ibu!" kata Keng Han yang segera keluar dari kamar ibunya dan mencari Cu In di dalam kamar yang disediakan untuk gadis itu.

Dia mengetuk pintu. Cu In membukanya dari dalam.
"Cu In, apa yang kukhawatirkan telah terjadi." katanya dengan gelisah.

"Apakah itu, Han-ko?"

"Ibu ingin bicara denganmu, ingin bertemu dan ingin melihat wajahmu, In-moi!"

Tadinya Keng Han menduga bahwa kekasihnya tentu akan menjadi gugup dan gelisah pula. Akan tetapi dia kecelik. Cu In sama sekali tidak nampak gugup atau gelisah, bahkan sepasang matanya berseri-seri.

"Kalau memang itu yang ia kehendaki, aku harus menghadapnya sekarang juga, Han-ko." katanya sambil bangkit berdiri.

Keng Han memegang pundaknya.
"Tapi kau.... kau harus siap kalau ibuku terkejut, bahkan menolakmu. Jangan sampai perasaanmu tertusuk, In-moi."

"Aku tahu, Han-ko. Dan kurasa ibumu tidak akan begitu. Aku percaya sepenuhnya bahwa ia adalah seorang ibu bijaksana. Nah, biar aku menghadapnya, akan tetapi engkau tidak perlu ikut, Han-ko. Aku ingin berdua saja dengan ibumu."