Ads

Sabtu, 04 Juni 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 44

Gadis dan pemuda itu duduk berhadapan di sebuah hutan. Mereka duduk di atas batu dan di bawah naungan pohon yang rindang dan teduh. Mereka adalah Lo Siu Lan dan Gan Bu Tong. Kita masih ingat bahwa Lu Siu Lan adalah puteri dari ketua Kwi-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan) Lo Cit yang berjuluk Toat-beng Kiam-sian (Dewa Pedang Pencabut Nyawa). Adapun pemuda itu adalah Gan Bu Tong, suhengnya dan murid dari Toat-beng Kiam-sian.

Mereka sedang berburu binatang. Akan tetapi hari itu agaknya mereka sedang sial. Sampai matahari naik tinggi, mereka belum memperolet buruan seekor pun. Karena siang itu panas sekali, mereka lalu beristirahat, duduk di bawah pohon, minum dan bercakap-cakap.

“Sumoi,” kata Bu Tong, suaranya sedih dan penasaran. “Kita bergaul sejak kecil dan engkau tahu sendiri betapa besar kasihku kepadamu. Akan tetapi kenapa engkau tega menolakku kalau aku mengajak bicara tentang perjodohan kita?”

“Karena aku sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan, Suheng. Sudahlah, jangan bicara tentang perjodohan, aku tidak menyukainya!” jawab gadis itu dengan suara agak ketus.

Ia seorang gadis berusia kurang lebih sembilan belas tahun, cantik dan berkulit putih mulus, rambutnya hitam panjang diikat ke belakang dengan sanggul manis di atas kepalanya. Lo Siu Lan memang seorang gadis yang sudah dewasa dan menarik hati.

“Akan tetapi ketika pemuda bernama Keng Han itu berada di sini, engkau bersikap lain! Kau tentu tahu bahwa aku mencintaimu sejak lama, Sumoi. Dan selama ini aku melihat bahwa engkau juga suka kepadaku sehingga pergaulan kita akrab sekali.”

“Tentu saja aku suka padamu, Suheng. Bukankah engkau suhengku? Akan tetapi rasa suka itu berbeda sekali dengan cinta. Aku menyukaimu seperti seorang adik menyukai kakaknya, bukan seperti seorang wanita mencinta pria. Mengertikah engkau, Suheng?

Gan Bu Tong adalah seorang pemuda yang sudah berusia dua puluh lima tahun, tampan dan gagah tinggi besar dengan rambut panjang dikuncir tebal. Tentu saja dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh sumoinya itu. Dahulu pun dia mencinta sumoinya sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Akan tetapi setelah Siu Lan menjadi dewasa, nampak cantik jelita, cintanya sebagai kakak itu berubah menjadi cinta seorang pria terhadap wanita dan mengharapkan sumoinya itu untuk menjadi jodohnya.

Dan pada hari ini, berdua saja di dalam hutan itu, dia mengambil keputusan untuk minta ketegasan sumoinya. Mendengar jawaban bahwa sumoinya tidak mencintanya, melainkan hanya menyukainya sebagai seorang kakak, hatinya seperti ditusuk rasanya dan habislah harapannya. Kalau gadis itu menjawab belum ada rasa cinta, hal itu masih ada kemungkinan dan harapan bahwa kelak gadis itu akan tertarik dan jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi kalau gadis itu menyukainya sebagai kakak, tidak mungkin ia dapat mencintanya sebagai kekasih.

Melihat wajah yang murung itu, wajah yang biasanya berseri kini nampak demikian sedih, Siu Lan merasa iba kepada suhengnya itu.

“Suheng, harap jangan berduka. Cinta tidak selamanya berakhir dengan pernikahan, bukan? Kita dapat saling mencinta sebagai saudara, bersikap baik dan saling membantu, saling melindungi.”

“Akan tetapi, kepada Keng Han itu....”

“Terus terang saja, aku amat tertarik kepadanya, Suheng. Dia seorang pemuda yang bagiku amat menarik hati, apalagi kepandaiannya pun jauh lebih tinggi daripada kepandaian kita.”

“Akan tetapi dengan tegas dia menyatakan tidak mau kawin denganmu, Sumoi.”

Siu Lan menghela napas panjang.
“Itu adalah hak dia! Memang tidak mungkin dua orang menjadi suami isteri kalau cinta itu datangnya hanya sepihak.”

“Agaknya dia mempunyai hubungan erat sekali dengan gadis bercadar itu!” Gan Bu Tong memanaskan hati sumoinya.

Siu Lan tidak marah melainkan menghela napas lagi.
“Entah bagaimana wajah gadis bercadar itu. Akan tetapi yang jelas, ia pun lihai bukan main. Agaknya nasib kita sama, Suheng. Kita berdua menjadi korban cinta yang gagal, mencinta seorang yang tidak membalas cinta kita. Agaknya memang bukan jodoh kita. Kita tidak boleh putus asa. Suheng, di dunia ini wanita bukan aku seorang, seperti juga di dunia ini pria bukan hanya Keng Han saja. Kelak kita pasti akan bertemu dengan jodoh kita masing-masing! Mari kita teruskan berburu, Suheng, sudah terlalu lama kita beristirahat. Kalau kita pulang tidak membawa hasil buruan, tentu ayah akan mentertawakan kita.”

“Baiklah, mari kita menyusup ke tengah hutan.” jawab Bu Tong yang mendapatkan kembali kegembiraannya.

Betapapun juga, hatinya menjadi lega. Biarpun cintanya gagal, keadaan ini lebih baik daripada sebelumnya, harap-harap cemas. Kini dia telah mengetahui isi hati sumoinya dan yakin bahwa dia tidak boleh lagi mengharapkan sumoinya menjadi isterinya. Hal ini, kepastian ini melenyapkan keraguannya dan malah melegakan hatinya. Dia merasa bebas dari ikatan batinnya sendiri yang mencinta sumoinya, walaupun dia merasakan kepedihan cinta yang gagal. Sebagai seorang gagah dia harus mampu menahan pukulan ini!

Kedua orang muda itu menyusup ke tengah hutan dan tak lama kemudian mereka melihat sekawanan kijang sedang minum di tepi sungai kecil. Kijang-kijang itu berada di seberang sungai dan mereka tahu bahwa wilayah kekuasaan Kwi-kiam-pang hanya sampai di sungai itu.

Akan tetapi kijang-kijang itu berada begitu dekat dan mereka tidak tahu siapa yang menguasai wilayah seberang sungai itu. Kalau mereka tidak salah ingat, kabarnya yang berkuasa di seberang itu. adalah perkumpulan Hek-houw-pang (Perkumpulan Harimau Hitam).

Karena sungai itu kecil saja, dua orang muda yang sudah haus korban buruan itu tidak memperdulikan bahwa kijang-kijang itu berada di seberang sungai. Mereka sudah memasang anak panah pada busur mereka dan begitu melepaskan anak panah, dua ekor kijang terjungkal dan lainnya lari dengan cepat meninggalkan tempat itu.

Bu Tong dan Siu Lan bersorak gembira lalu mereka meloncati sungai kecil itu untuk mengambil hasil anak panah mereka. Akan tetapi baru saja mereka mencabut anak panah dari tubuh dua ekor kijang itu, muncul belasan orang yang berlompatan dari balik pohon-pohon dan semak belukar.






Melihat bahwa orang-orang itu memakai pakaian seragam yang ada gambarnya harimau hitam, tahulah Bu Tong dan Siu Lan bahwa mereka berhadapan dengan para anggauta perkumpulan Hek-houw-pang. Mereka itu dipimpin seorang pemuda yang gagah dan bermata lebar.

“Hemmm, dua orang yang lancang berani berburu binatang dalam wilayah kekuasaan kami?” bentak pemuda bermata lebar itu.

Gan Bu Tong cepat mengangkat tangan ke depan dada dan untuk memberi hormat kepada pemuda itu dan berkata,

“Kami adalah dua orang murid dari Kwi-kiam-pang. Aku bernama Gan Bu Tong dan sumoiku ini adalah puteri ketua kami bernama Lu Siu Lan. Kami melihat buruan kami di tepi sungai kecil ini dan memanahnya. Kami sama sekali tidak bermaksud lancang memasuki wilayah orang lain!”

Mendengar perkenalan diri ini, pemuda itu nampak tertegun dan dia memandang kepada Siu Lan dengan penuh perhatian.

“Jadi kalian adalah murid-murid Kwi-kiam-pang? Kwi-kiam-pang tidak pernah memandang kami sebagai sahabat. Kami dari Hek-houw-pang tidak mengijinkan siapapun juga untuk memasuki wilayah kami tanpa ijin. Kalian telah melanggar maka terpaksa kami akan menahan kalian, dan kalau Toat-beng Kiam-sian Lo Cit sendiri yang datang minta maaf, barulah kami dapat melepaskan kalian.”

Kini Siu Lan tak dapat menahan kesabarannya lagi.
“Kalian berani berkata demikian? Siapakah engkau yang berani tidak memandang muka ayahku dan bersikap kurang ajar!”

Pemuda bermata lebar itu tersenyum.
“Perkenalkan, namaku Tang Hun dan aku adalah putera dari ketua Hek-houw-pang!”

Kini mengertilah dua orang muda dari Kwi-kiam-pang itu. Setahun yang lalu, ketua Hek-houw-pang pernah datang bertamu ke Kwi-kiam-pang dan ketua ini mengajukan usul untuk menjodohkan puteranya dengan Siu Lan. Akan tetapi, karena gadis itu tidak mau, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit menolak dengan halus. agaknya penolakan itu menyinggung perasaan keluarga Tang sehingga kini Tang Hun hendak membalas penolakan yang dianggap menghina itu. Dia menangkap Siu Lan dan Bu Tong dan baru mau membebaskan mereka kalau ketua Kwi-kiam-pang sendiri yang datang memintakan maaf !

Bu Tong adalah seorang pemuda yang cerdik.
“Sobat, kalau engkau menganggap kami bersalah, maka maafkanlah kami dan kami tidak akan mengambil kijang buruan kami ini.”

“Tidak! Siapa berani berbuat harus berani menanggung resikonya. Kami akan menahan kalian dan sebelum ketua Kwi-kiam-pang sendiri yang minta maaf, kami tidak akan membebaskan kalian!” Tang Hun berkata tegas.

“Akan tetapi bagaimana mungkin? Kalau kalian menahan kami berdua, lalu siapa yang akan memberi kabar kepada suhu? Tangkap dan tahanlah aku, akan tetapi bebaskan Sumoi agar ia dapat melaporkan kepada suhu,” kata pula Bu Tong.

Tang Hun diam sejenak, lalu sambil memandang kepada Siu Lan dia berkata,
“Baiklah, aku akan menahan nona Lo di sini, dan engkau boleh pulang untuk melapor!” kata-kata itu demikian tegas dan pasti.

“Sobat, sungguh tidak enak dan tidak pantas kalau kalian menahan seorang wanita. Biar aku yang ditahan dan Sumoi....”

“Cukup! Kalian tinggal pilih. Keduanya akan kami tahan atau hanya Nona ini!”

“Suheng, biarlah engkau yang pulang melapor kepada ayah bahwa aku ditawan orang-orang Hek-Houw-pang dan jangan khawatir, mereka tidak akan dapat berbuat sesuatu kepadaku!” kata Siu Lan sambil meraba gagang pedangnya.

“Akan tetapi, Sumoi....”

“Sudahlah, apakah engkau lebih suka kalau kita berdua yang menjadi tawanan? Siapa yang akan memberitahu kepada ayah?” potong Siu Lan.

Bu Tong menghela napas panjang.
“Baik, aku akan pulang. Akan tetapi kalau kalian berani mengganggu sehelai rambut Sumoi, kami akan datang menghancurkan dan membinasakan kalian semua!”

”Hemmm, engkau boleh menggertak semaumu, Sobat. Kami tidak bersalah. Kami menahan orang yang melanggar perbatasan wilayah kami. Kalianlah yang bersalah, bukan kami!” tangkis Tang Hun sambil tertawa, wajahnya berseri.

Terpaksa Gan Bu Tong meloncati sungai kecil itu dan terus melakukan perjalanan pulang sebelum hari menjadi sore. Dia berlari cepat dan pada suatu tikungan yang tertutup oleh pohon-pohon besar, hampir dia bertabrakan dengan seorang yang berjalan cepat dari depan. Akan tetapi, bagaikan seekor burung saja, orang itu telah melayang melewati kepalanya!

Gan Bu Tong terkejut sekali dan juga kagum. Dia cepat membalikkan tubuhnya dan ternyata orang itu adalah seorang gadis yang cantik sekali. Gadis itu bukan lain adalah Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok. Bu Tong sampai ternganga saking kagumnya. Gadis yang cantik jelita, mukanya berseri dengan senyum tenang, kulitnya putih mulus, kedua pipinya kemerahan, mata dan bibirnya manis sekali, rambutnya agak keriting dan panjang.

“Hemmm, apakah engkau dikejar setan maka berlarian di tengah hutan seperti itu?” kata Niocu sambil tersenyum mengejek.

Akan tetapi matanya memandang penuh selidik. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, pikirnya.

“Maafkan aku, Nona. Aku tidak dikejar setan akan tetapi lebih dari itu. Aku hendak melapor kepada suhu bahwa puteri suhu ditawan gerombolan orang-orang Hek-houw-pang!”

Bi-kiam Nio-cu mengerutkan alisnya dan memandang wajah pemuda itu penuh perhatian.

“Kulihat engkau bukan orang lemah, kenapa engkau melarikan diri tidak menolong sumoimu itu?”

“Nona, kami telah dikepung oleh belasan orang yang dipimpin oleh putera ketua Hek-houw-pang. Kalau melawan kami pasti kalah. Mereka menyandera sumoi dan mengatakan bahwa mereka akan membebaskan sumoi hanya kalau suhu sendiri yang datang ke sana minta maaf.”

“Hemmm, kesalahan apakah yang kalian lakukan?”

”Kami sedang berburu binatang dan memanah dua ekor kijang yang berada di seberang sungai kecil, wilayah kekuasaan mereka. Kami telah minta maaf akan tetapi mereka memaksa untuk menawan sumoi.”

“Hemmm, siapa namamu dan siapa nama sumoimu itu?” tanya Niocu yang semakin tertarik.

“Namaku Gan Bu Tong dan sumoi bernama Lo Siu Lan.”

“Kalian dari perkumpulan apa dan siapa suhumu?”

“Suhu adalah ketua dari Kwi-kiam-pang berjuluk Toat-beng Kiam-sian bernama Lo Cit.” jawab Gan Bu Tong dengan bangga karena nama besar. gurunya itu pasti dikenal semua tokoh kang-ouw.

Benar saja dugaannya. Niocu tersenyum mendengar nama ini.
“Ah, kiranya engkau murid kakek pincang itu? Gurumu pernah bersikap baik terhadap muridku, biarlah sekarang aku membantu muridnya. Cepat bawa aku ke tempat sumoimu ditawan. Aku yang akan membebaskannya!”

Girang sekali hati Gan Bu Tong. Agaknya gadis itu tidak hanya membual. Gerakannya ketika meloncat di atas kepalanya menghindarkan tabrakan itu saja sudah membuktikan betapa hebat ginkangnya. Apalagi gadis ini sudah mengenal nama suhunya.

“Baik, Nona. Mari kita pergi ke sana!” kata Bu Tong dan dia pun lari kembali ke tempat tadi secepatnya.

Akan tetapi, gadis itu seakan berjalan melangkah seenaknya walaupun kenyataannya dia tidak pernah dapat meninggalkannya. Sungguh merupakan ilmu berlari cepat yang hebat.

Akan tetapi ketika mereka tiba di seberang sungai itu, tidak nampak bayangan Siu Lan.
“Tentu sumoi sudah mereka bawa ke sarang mereka!”

“Kita kejar!” kata Niocu dan tanpa menanti jawaban ia sudah melompat ke depan berlari cepat.

Bu Tong berusaha mengejarnya akan tetapi sebentar saja dia sudah tertinggal jauh. Niocu yang berlari lebih cepat segera dapat mengejar orang-orang Hek-houw-pang yang menawan Siu Lan.

Gadis ini berjalan dengan sikap tenang di tengah-tengah mereka. Ia tidak takut. Suhengnya tentu akan melapor dan ayahnya tentu akan datang untuk membebaskannya.

Kini Siu Lan teringat mengapa pemuda itu seperti menaruh dendam kepada ayahnya. Setahun lebih yang lalu, ketua Hek-houw-pang pernah berkunjung ke rumah ayahnya dan dari ibunya ia mendengar bahwa ia dipinang oleh ketua Hek-houw-pang untuk dijodohkan dengan puteranya. Akan tetapi ia berkeras menolak karena belum pernah ia melihat putera ketua Hek-houw-pang itu.

Ayahnya lalu menolak pinangan itu dengan halus. Agaknya itulah yang membuat pemuda itu hendak membalas dendam dengan menawannya agar ayahnya datang minta maaf kepada ketua Hek-houw-pang!

Kini setelah melihat orangnya, ia harus mengakui bahwa pemuda itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi matanya yang terlalu lebar itu tidak sedap dipandang, di samping ia belum mengetahui bagaimana watak pemuda itu. Kalau wataknya baik, belum tentu ia menolak pinangannya setelah melihat orangnya.

Selagi Siu Lan melangkah sambil melamun, tiba-tiba nampak sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan rombongan itu telah berdiri seorang wanita cantik. Wanita itu memandang dengan matanya yang bersinar tajam dan mulutnya tersenyum mengejek.

“Belasan orang laki-laki menawan seorang gadis muda, sungguh merupakan perbuatan yang tidak tahu malu!” kata wanita itu yang bukan lain adalah Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok.

Tang Hun yang tadinya berjalan dekat Siu Lan, segera melangkah maju menghadapi Niocu. Dia mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan lalu berkata,

“Kami tidak mengenal Nona, sebaliknya Nona tidak mengenal kami. Setiap perbuatannya tentu ada sebabnya yang kuat, maka harap Nona jangan mencela dulu dan tidak mencampuri urusan pribadi kami!” Suaranya itu sopan namun nadanya keras.

“Tidak mungkin aku tidak mencampuri. Melihat seorang wanita ditawan belasan orang, bagaimana menyuruh aku tidak campur tangan? Cepat bebaskan ia atau aku akan memberi hajaran keras kepada kalian!”

“Wanita sombong. Apa kau kira aku takut kepadamu?”

“Heh-heh-heh, bukankah engkau ini putera Hek-houw Tang Kwi? Daripada engkau babak-belur, lebih baik engkau suruh ayahmu datang ke sini melawanku.”

“Nona, sebetulnya siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusan ini? Ini adalah urusan antara Kwi-kiam-pang dan Hek-houw-pang. Nona tidak berhak mencampuri!”

”Hemmm, bocah seperti engkau hendak melawanku. Ketahuilah bahwa aku yang disebut orang Bi-kiam Nio-cu!”

Mendengar nama ini, Tang Hun terkejut. Tentu saja dia pernah mendengar akan nama Bi-kiam Nio-cu yang kabarnya amat kejam terhadap pria itu. Akan tetapi dia tidak merasa takut. Malu rasanya kalau takut melawan seorang wanita.

“Bagus! Nama Bi-kiam Nio-cu memang sudah terkenal di dunia kang-ouw akan tetapi aku Tang Hun tidak gentar menghadapimu. Engkau yang mencari perkara, bukan kami!” Pemuda itu berkata demikian sambil mencabut pedangnya.

Pada saat itu, Bu Tong sudah tiba di situ. Melihat ini. Bi-kiam Nio-cu berseru kepadanya.

“Gan Bu Tong, engkau bantulah sumoimu menghajar orang-orang itu, sedangkan bocah she Tang ini serahkan saja kepadaku!”

“Baik, Nona.” Bu Tong berseru girang dan berkata kepada sumoinya, “Sumoi, mari kita lawan mereka!”

Kalau tadi kakak beradik seperguruan itu tidak berani memberontak adalah karena di situ ada Tang Hun dan belasan orang anak buahnya. Kini, setelah Tang Hun ada yang menghadapi, mereka menjadi berani dan Siu Lan juga mencabut pedangnya. Dua orang kakak beradik ini lalu mengamuk dan dikepung serta dikeroyok belasan orang anak buah Hek-houw-pang.

Sementara itu Tang Hun mencabut pedangnya. Dia sudah mendengar akan kelihaian Bi-kiam Nio-cu, maka dia mencabut pedang lebih dulu lalu menyerang lawannya yang masih bertangan kosong.

Akan tetapi dengan gerakan yang cepat Nio-cu sudah menghindar dari serangan itu dan ia membiarkan pemuda itu menyerangnya sampai sepuluh jurus yang selalu dapat dielakkan oleh Niocu.

Setelah membiarkan lawan menyerang sampai sepuluh jurus, barulah Niocu mencabut pedangnya. Pedang ini baru karena pedangnya yang lama patah ujungnya ketika ia pinjamkan kepada Keng Han untuk melawan Thian It Tosu palsu yang mempergunakan pedang Pek-coa-kiam, pedang Bu-tong-pai. Ia membeli pedang baru yang juga baik sekali, terbuat dari baja pilihan.

Begitulah Niocu menggunakan pedang untuk melawan, Tang Hun segera terdesak hebat. Akan tetapi Niocu sekarang bukan seperti Niocu dahulu ketika ia masih liar membenci kaum pria. Ia tidak berniat membunuh Tang Hun, hanya membebaskan Siu Lan saja. Apalagi memang ilmu kepandaian Tang Hun sudah cukup tangguh sehingga biarpun terdesak dia masih dapat melakukan perlawanan!

Setelah pertandingan berjalan kurang lebih tiga puluh jurus, Tang Hun main mundur terus. Pertandingan antara lima belas anak buahnya yang mengepung Lo Siu Lan dan Gan Bu Tong juga berlangsung seru. Biarpun dikeroyok belasan orang, kakak beradik seperguruan ini dapat menggerakkan pedang mereka untuk melindungi diri, bahkan sempat merobohkan beberapa orang dengan tendangan kaki mereka.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Tang Hun, mundurlah, biarkan aku yang menghadapi?”

Tang Hun girang sekali mendengar suara ini karena suara itu adalah suara ayahnya! Memang yang baru datang itu adalah Hek-houw Tang Kwi sendiri, seorang kakek bermuka hitam berusia kurang lebih lima puluh tahun. Begitu tiba di situ dia melihat puteranya didesak hebat oleh seorang wanita cantik. Dia tidak mengenal wanita itu, maka dia cepat menyuruh puteranya mundur dan dia menangkis pedang di tangan wanita itu yang menyambar cepat.

"Tranggggg....!”

Keduanya terkejut karena merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang tergetar hebat. Hek-houw Tang Kwi menjadi penasaran dan segera berseru,

“Tahan senjata!”

Semua anak buahnya yang tadi mengeroyok Siu Lan dan Bu Tong juga menghentikan penyerangan mereka dan semua melompat ke belakang sehingga perkelahian itu terhenti.

“Apa artinya perkelahian ini? Heiii bukankah kalian itu puteri dan murid Toat-beng Kiam-sian Lo Cit? Dan engkau sendiri siapakah Nona?”

“Aku adalah Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok!” Niocu memperkenalkan diri.

“Ahhh....! Bukankah engkau murid Ang Hwa Nio-nio? Kenapa terjadi perkelahian dengan puteraku dan para anggaut kami? Tang Hun, apa yang telah terjadi di sini?” Hek-houw Tang Kwi bertanya kepada puteranya.

“Begini, Ayah. Mula-mula kami melihat puteri dan murid Toat-beng Kiam-sian ini berburu binatang di dalam wilayah kita. Karena mereka memasuki wilayah kita tanpa ijin, kami lalu menahan nona Lo untuk dihadapkan kepada Ayah, dan membebaskan pemuda itu untuk melapor kepada ketuanya. Akan tetapi mendadak pemuda itu datang kembali bersama Bi-kiam Nio-cu dan hendak memaksa kami membebaskan nona Lo. Kami menolak dan terjadilah perkelahian ini.”

Hek-houw Tang Kwi mengerutkan alisnya dan berkata kepada Bi-kiam Niocu,
“Bi-kiam Nio-cu, aku mendengar bahwa engkau seorang wanita gagah, akan tetapi mengapa engkau mencampuri urusan pribadi antara Hek-houw-pang dan Kwi-kiam-pang? Apa yang dilakukan puteraku sudah sepantasnya karena kedua orang murid Kwi-kiam-pang melanggar wilayah kekuasaan kami.”

“Hemmm, kalau puteramu itu bertanding satu lawan satu dengan puteri ketua Kwi-kiam-pang, tentu aku tidak akan mencampurinya, akan tetapi melihat belasan orang anak buahmu menggunakan kekuatan banyak orang untuk menawannya, hal ini kuanggap tidak adil dan merupakan tindakan seorang pengecut. Karena itulah aku turun tangan membantu mereka!” Jawab Nio-cu sambil tersenyum mengejek.

“Tang Hun, benarkah engkau menggunakan anak buah untuk menangkap mereka?”

“Tidak, Ayah. Di antara kami dan mereka tadinya tidak ada perkelahian. Kita menangkap mereka dan mereka merasa bersalah, maka nona Lo tidak keberatan kami tawan dan suhengnya itu pun pergi untuk melapor kepada gurunya. Baru setelah Bi-kiam-Nio-cu campur tangan terjadi pertempuran.”

“Beranikah engkau melawan nona Lo, satu lawan satu?”

Wajah pemuda itu berubah kemerahan ketika dia memandang kepada Siu Lan.
“Aku.... aku tidak ingin memusuhinya, Ayah.”

Bi-kiam Nio-cu tertawa mengejek.
“Orang muda, katakan saja engkau tidak berani. Hei, adik Lo, beranikah engkau melawan putera Hek-houw Tang Kwi ini?”

Siu Lan menegakkan tubuhnya dan menjawab,
“Mengapa tidak berani? Asal jangan main keroyokan!”

“Nah, kau dengar itu, Tang Hun? Untuk menyelesaikan urusan ini, sambutlah tantangan nona Lo. Siapa di antara kalian yang kalah harus minta maaf dan urusan ini habis sampai di sini saja. Bagaimana pendapatmu, Bi-kiam Nio-cu? Atau, apakah engkau ingin kita bertanding terus mati-matian hanya untuk urusan sekecil ini?”

Niocu merasa tidak enak. Sebetulnya ia memang sebagai orang luar yang tidak tersangkut urusan itu sama sekali. Kalau ia membantu, sebetulnya yang ia bantu adalah Gan Bu Tong karena ia tertarik dan suka kepada pemuda itu.

“Bertanding satu lawan satu itu baru adil dan aku tidak akan mencampuri hanya akan menonton agar jangan ada yang main curang.”

“Nah, Tang Hun, engkau sudah mendengar sendiri. Bersiaplah untuk bertanding dengan nona Lo Siu Lan!” kata Hek-houw Tang Kwi.

“Akan tetapi, Ayah. Aku tidak ingin melukainya.” kata pemuda itu ragu.