Ads

Sabtu, 04 Juni 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 43

Akan tetapi tiga orang datuk itu sudah mengurungnya lagi dan terpaksa dia melawan sekuat tenaga. Selagi keadaan amat gawat bagi Keng Han itu tiba-tiba terdengar seruan,

“Keng Han, terimalah pedangmu ini!”

Ternyata yang datang adalah Cu In! Gadis itu melemparkan pedang bengkok milik Keng Han yang telah diberikan kepadanya. Keng Han menyambut pedang bengkok itu dan melepaskan sabuk sutera putih dan melemparkannya ke arah Cu In.

Cu In menyambut senjatanya itu dan langsung saja ia menyerang kepada Tung-hai Lo-mo dengan sabuk suteranya. Di tangan Cu In sabuk sutera itu menjadi senjata yang ampuh, dapat melibat senjata lawan, dapat pula menotok jalan darah dan dengan sin-kangnya ia dapat membuat sabuk itu sebagai pecut yang dapat melecut dengan ganasnya!

Bagaimana Cu In dapat datang pada saat yang amat gawat bagi Keng Han itu! Ternyata berita tentang Bu-tong-pai mengundang para tokoh kang-ouw itu sampai ke kota raja dan terdengar pula oleh The-ciangkun, ayah Cu In. Mendengar ini, Cu In menduga bahwa Keng Han tentu pergi ke sana untuk mencari ayahnya. Maka hatinya merasa tidak enak dan ia berpamit dari ayah ibunya untuk pergi melihat-lihat keadaan di Bu-tong-pai.

“Aku dapat sekalian menyelidiki apa yang dikehendaki Bu-tong-pai dengan undangan itu, Ayah.” katanya kepada ayahnya.

Ayah dan ibunya tidak melarangnya dan pergilah The Cu In ke Bu-tong-pai, membawa pedang bengkok milik Keng Han yang tidak pernah lepas dari tubuhnya.

Ternyata ia datang terlambat dan pertemuan itu telah selesai dengan terbongkarnya rahasia penyamaran Gu Lam Sang dan ketika ia mendaki bukit Bu-tong-san, ia melihat Keng Han dikeroyok oleh tiga orang datuk itu. Maka ia cepat bertukar senjata dengan Keng Han dan segera menyerang Tung-tiai Lo-mo yang dibencinya karena datuk ini pernah menyingkap cadarnya dan melihat mukanya.

Diserang dengan hebat oleh sabuk sutera di tangan Cu In, Tung-hai Lomo lalu menggerakkan dayung bajanya untuk menyambutnya. Segera terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka. Lo-mo yang bersenjata dayung baja yang berat itu segera terdesak. Senjatanya terlalu berat dan lamban, sedangkan gadis baju putih itu memiliki gin-kang istimewa. Selain gerakannya amat lincah dan cepat, juga senjata yang ringan itu bergerak dengan kecepatan kilat yang menyambar-nyambar. Biarpun hanya sabuk sutera, namun berbahaya sekali kalau serangannya mengenai tubuh lawan. Tung-hai Lo-mo terpaksa menghindarkan diri sambil mundur terus, didesak oleh Cu In yang penuh semangat untuk merobohkan lawan.

Sementara itu, Keng Han juga mengamuk dengan pedang bengkoknya. Setelah menerima pedangnya dari Cu In, Keng Han seperti seekor harimau yang tumbuh sayap. Sepak terjangnya amat dahsyat, membuat dua orang pengeroyoknya kewalahan.

Swat-hai Lo-kwi menjadi penasaran dan suatu saat dia mengerahkan sinkangnya dan memukul dengan tangan kiri terbuka ke arah dada Keng Han. Itulah pukulan jarak jauh yang mengandung hawa dingin. Akan tetapi Keng Han tidak menyingkir. Dia pun merendahkan tubuhnya dan tangan kirinya didorongkan ke depan dengan tenaga Swat-im Sin-kang yang dilatihnya di Pulau Hantu.

“Wuuuuuttt....!! Desss....!!”

Benturan dua tenaga sakti yang hebat itu sampai terasa oleh Lam-hai Koai-jin. Dia merasa ada hawa yang amat dingin, hampir membuatnya menggigil kalau dia tidak cepat mengerahkan sin-kangnya untuk melindungi dirinya.

Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur. Mukanya pucat dan dia pun roboh terguling. Ternyata tenaga dinginnya itu masih kalah kuat. Keng Han sendiri terhuyung sedikit dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lam-hai Koai-jin untuk menyerangnya dengan ruyung.

Akan tetapi Keng Han sudah cepat menguasai dirinya dan segera mainkan Hong-in-bun-hoat untuk menghadapi ruyung Lam-hai Koai-jin. Lam-hai Koai-jin adalah seorang datuk dari selatan yang memiliki ilmu ruyung hebat. Akan tetapi, menghadapi Keng Han yang mencorat-corat dengan pedangnya seperti orang menuliskan huruf-huruf itu dia merasa bingung dan sebentar saja sudah terdesak hebat.

Swat-hai Lo-kwi yang telah menderita luka dalam tubuhnya itu, bangkit dan terhuyung meninggalkan tempat itu, tidak mempedulikan lagi kepada dua orang temannya karena dia harus menyelamatkan diri setelah terluka berat itu.

Tung-hai Lo-mo juga kewalahan menghadapi sabuk sutera putih di tangan Cu In. Dia hanya dapat memutar dayungnya sambil kadang-kadang mengelak, namun setelah lewat lima puluh jurus, ujung sabuk itu berhasil menotok pundaknya yang sebelah kanan. Seketika lengan kanannya menjadi lumpuh dan dayung baja itu terlepas dari pegangannya. Selagi dia terhuyung, ujung sabuk sudah menyambar lagi dan mengenai ubun-ubun kepalanya. Tung-hai Lo-mo berteriak keras dan dia pun roboh, tewas seketika!

Melihat dua kawannya sudah kalah, Lam-hai Koai-jin meloncat jauh ke belakang.
“Orang muda, aku mengaku kalah sekali ini. Di antara kita tidak terdapat permusuhan, biarlah lain kali aku mencarimu untuk membuat perhitungan.” Dia lalu meloncat jauh dan melarikan diri.

“Kau hendak lari ke mana?” Cu In hendak mengejar akan tetapi Keng Han berkata, sambil menghampiri Cu In dan memegang lengannya. “Musuh yang sudah mengaku kalah tidak perlu dikejar!”

Mendengar ini Cu In tidak jadi mengejar dan segera kembali menyimpan sabuk suteranya, dililitkan ke pinggangnya yang ramping.

Keng Han menghampiri ayahnya dan berlutut. Keadaan Tao Seng payah sekali. Keng Han menotok jalan darah untuk menggugah ayahnya dari keadaannya yang pingsan. Bekas pangeran itu membuka matanya.

“Kau.... Keng Han.... puteraku....?”






“Ayah, aku datang hendak mengajak Ayah menemui Ibu di Khitan.” kata Keng Han dengan nada sedih karena dia maklum, bahwa ayahnya tidak mungkin tertolong lagi. Pedang itu agaknya telah menembus jantungnya.

“Sudah.... sudah terlambat.... aku berdosa besar kepada ibumu.... Keng Han, maukah.... engkau memintakan maaf kepada Silani? Dan maukah engkau.... memaafkan.... aku....?”

Keng Han mengangguk dan mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Walaupun ayahnya telah berbuat jahat karena menuruti ambisi yang muluk namun pada saat terakhir ayahnya itu berusaha untuk menolongnya sampai tewas!

“Tentu saja, Ayah. Ibu pasti akan memaafkanmu....” katanya dengan terharu.

“Terima kasih.... ahhh, terima kasih, Tuhan! Sekarang.... aku dapat.... mati dengan tenang....!”

Leher itu terkulai dan mata itu terpejam, tanda bahwa Tao Seng telah menghembuskan napas terakhir.

“Ayah, ohhh.... Ayah....” Saking sedih dan terharunya, Keng Han menangisi kematian ayahnya.

“Keng Han, ayahmu telah tewas, tidak ada gunanya ditangisi lagi.” kata Cu In sambil memegang pundak pemuda itu dengan suara halus.

Keng Han sadar dan menghentikan tangisnya. Kemudian dia menoleh kepada Cu In.
“Kalau tidak ada engkau, agaknya aku pun sudah menemani ayahku tewas. Bagaimana engkau dapat berada di sini, Cu In?”

“Kebetulan saja, Keng Han. Agaknya Thian memang sudah menentukan begitu. Kami di kota raja mendengar akan pertemuan yang diadakan Bu-tong-pai dan aku menduga bahwa engkau akan mencari ayahmu di sini. Maka aku berpamit dari ayah ibuku untuk menyusulmu di Bu-tong-pai. Dan ketika mendaki bukit, aku melihat engkau dikeroyok tiga orang datuk itu.”

Keng Han menoleh ke arah mayat Tung-hai Lo-mo.
“Engkau membunuhnya?”

Cu In mengangguk.
“Aku sudah bersumpah untuk membunuhnya. Ketika dia bersama Swat-hai Lo-kwi dahulu menawanku, Tung-hai Lo-mo ini hendak memperkosaku, akan tetapi setelah dia menyingkap cadarku, dia tidak jadi bahkan hendak membunuhku. Orang seperti dia itu patut dilenyapkan dari muka bumi agar jangan suka menghina orang lagi.”

“Cu In, aku akan mengubur jenazah ayahku di tempat ini, juga jenazah Tung-hai Lo-mo.”

“Tung-hai Lo-mo? Untuk apa kita bersusah payah mengubur jenazah manusia sesat itu?”

“Jangan berpendapat seperti itu, Cu In. Boleh jadi dia jahat di waktu hidupnya. Akan tetapi dia telah tewas dan yang berada di sini bukan lagi Tung-hai Lo-mo yang jahat, melainkan sebuah jenazah yang perlu diurus dan dikuburkan.”

Cu In menggangguk dan matanya memandang kepada pemuda itu dengan penuh kagum. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang bukan saja gagah perkasa dan bersikap sopan, akan tetapi juga berpemandangan luas dan berbudi luhur.

Keng Han menggali dua buah lubang dan menguburkan jenazah itu di pekarangan depan rumah itu. Dia meletakkan sebuah batu besar di depan makam ayahnya, dan sebuah batu lebih kecil di depan makam Tung-hai Lo-mo. Kemudian dia bersamadhi sejenak di depan makam ayahnya. Cu In juga memberi hormat kepada makam Pangeran Tao Seng itu.

“Sekarang engkau hendak ke manakah, Keng Han?”

“Aku harus kembali dulu ke Khitan, Cu In. Pertama untuk mengabarkan kepada ibuku bahwa ayah telah meninggal dunia seperti seorang jantan karena dia tewas dalam membelaku, dan kedua kalinya aku hendak memberitahu tentang perjodohan kita.”

Tiba-tiba mereka mendengar suara orang memanggil dan melihat sesosok tubuh dengan cepatnya berlari ke arah mereka. Dari jauh saja Cu In sudah mengenal orang itu.

“Itu suci yang datang.” katanya.

Keng Han mengerutkan alisnya karena beberapa kali dia mrengalami kesulitan kalau berdekatan dengan Bi-kiam Nio-cu. Akan tetapi sekali ini Cu In bersamanya, maka apa yang akan dapat dilakukan oleh Nio-cu?

Bi-kiam Nio-cu cepat sekali berlari dan telah tiba di tempat itu. Napasnya tidak terengah, seolah berlari secepat itu tidak melelahkan baginya.

“Aku tadi khawatir kalau engkau bertemu para datuk itu Keng Han. Dan ternyata engkau sudah berada di sini bersama Sumoi. Dan dua makam ini, makam siapakah?”

“Yang itu adalah makam Pangeran Tao Seng atau Hartawan Ji, atau juga ayah kandungku. Sedangkan yang ini adalah makam Tung-hai Lo-mo!”

Bi-kiam Nio-cu terbelalak.
“Apa yang sudah terjadi? Bagaimana mereka dapat tewas di sini dan kau kuburkan, Keng Han?”

“Aku bertemu dengan Swat-hai Lokwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin di sini dan aku dikeroyok mereka bertiga. Kemudian muncul ayahku yang membelaku, akan tetapi dia tewas oleh Swat-hai Lo-kwi. Ketika aku masih dikeroyok tiga, datang In-moi yang membantuku. In-moi berhasil menewaskan Tung-hai Lo-mo, dan aku telah melukai Swat-hai Lo-kwi. Kemudian Swat-hai Lokwi dan Lam-hai Koai-jin melarikan diri.” Keng Han menceritakan dengan singkat.

“Aihhh, mereka bertiga begitu sakti, akan tetapi engkau mampu menandingi mereka. Sungguh hebat engkau, Keng Han. Kalau aku tahu, tentu aku akan membantumu.”

“Bukankah sepatutnya engkau membantu Gu Lam Sang, Niocu?” Keng Han mengejek.

Wajah Bi-kiam Nio-cu berubah merah.
“Laki-laki jahat dan palsu itu! Hampir saja dia dapat mengelabui aku. Hampir saja aku mabuk oleh puji rayuannya. Tidak, setelah engkau memberi tahu akan kepalsuannya aku sudah membencinya setengah mati. Sayang dia tewas tidak olehku, melainkan oleh Lama-lama Jubah Merah itu? Sumoi, bagaimana engkau dapat berada di sini. Bukankah engkau ikut.... ibu dan ayahmu ke kota raja?”

“Benar, Suci. Akan tetapi di sana aku mendengar akan undangan Bu-tong-pai kepada para tokoh kang-ouw. Aku menduga bahwa Keng Han tentu mencari ayahnya di sini dan aku khawatir sekali. Juga ayah menyuruhku menyelidiki apa yang terjadi di Bu-tong-pai ini.”
“Engkau belum sempat menceritakan kepadaku, Keng Han. Sebetulnya apakah yang telah terjadi di sana?”

Keng Han lalu menceritakan pengalamannya betapa dia menyusup ke dalam bangunan induk Bu-tong-pai dan berhasil membebaskan Thian It Tosu yang disekap di penjara bawah tanah oleh Gulam Sang. Betapa selama ini yang berada di Bu-tong-pai adalah Gulam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu.

“Aihhh, pantas kalau begitu mengapa Bu-tong-pai tiba-tiba saja berubah haluan dan bersekutu dengan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai serta dibantu pula oleh para datuk sesat.” kata The Cu In.

Keng Han menghela napas panjang.
“Harus diakui bahwa Gulam Sang itu memiliki otak yang cerdik sekali juga memiliki ilmu silat yang tinggi. Sayang dia pergunakan kepandaiannya untuk berbuat jahat.”

“Memang benar. Kalau saja dia itu seorang pemuda Han yang melakukan semua itu demi menghancurkan pemerintah penjajah dan membebaskan rakyat dari penjajahan, masih bagus! Akan tetapi dia melakukan semua itu demi ambisinya untuk menjadi Pangeran Mahkota seandainya berhasil dan Pangeran Tao Seng menjadi Kaisar.” kata Bi-kiam Niocu.

“Sudahlah, sekarang dia telah tewas, tidak perlu lagi membicarakan tentang kejahatannya. Selanjutnya. begini, In-moi. Setelah terbuka kedoknya, Gulam Sang ditangkap oleh orang-orang Bu-tong-pai. Akan tetapi dasar dia cerdik sekali, orang-orang Bu-tong-pai tidak berani membunuhnya karena dialah yang menyimpan obat pemunah racun yang meracuni tubuh Thian It Tosu. Gulam Sang mau menukar obat itu dengan pembebasannya. Orang-orang Bu-tong-pai yang tidak ingin melihat Thian It Tosu tewas, terpaksa menyetujui. Obat diberikan dan Gulam Sang dibebaskan. Tiba-tiba muncul dua orang pendeta Lama Jubah Merah yang diutus oleh Dalai Lama untuk menangkap Gulam Sang. Gulam Sang melawan dan tewas oleh dua orang pendeta Lama itu.”

“Lalu kenapa engkau berada di sini dan dikeroyok oleh tiga orang datuk itu?” tanya pula Cu In.

“Tiga orang datuk itu meninggalkan Bu-tong-pai setelah mereka mengetahui bahwa ketua Bu-tong-pai yang mereka bela itu adalah ketua palsu. Aku lalu mencari ayahku di dalam bangunan Bu-tong-pai, akan tetapi mendapat keterangan bahwa pangeran itu telah pergi. Cepat aku melakukan pengejaran dan tiba di tempat ini. Dan ternyata benar, ayahku berada di sini. Aku dikeroyok oleh tiga orang datuk sesat. Aku kewalahan dan terdesak. Lalu muncul Pangeran Tao Seng, ayahku itu, dia membelaku dan melarang tiga orang datuk itu membunuhku. Akan tetapi hal itu membuat para datuk marah kepadanya sehingga ayahku dibunuhnya. Aku terus mengamuk sampai engkau datang membantuku, In-moi.”

“Kalian memang serasi, selalu saling bantu dan saling menolong. Mudah-mudahan saja kelak kalian menjadi suami isteri yang berbahagia. Sekarang aku hendak kembali ke Beng-san.” kata Bi-kiam Niocu sambil memandang dengan hati iri.

Sumoinya yang berwajah cacat dan buruk itu memperoleh calon suami yang begitu baik, tampan dan gagah, juga berbudi mulia. Sedangkan ia, yang mempunyai kecantikan yang dikagumi banyak orang, selalu menemukan orang yang salah. Pertama, ia jatuh cinta kepada Keng Han yang sama sekali tidak membalas cintanya. Kedua, ia tertarik kepada Gulam Sang akan tetapi ternyata pemuda itu adalah seorang jahat yang berbahaya.

“Selamat jalan, Suci. Kuharap kalau engkau pergi ke kota raja, suka singgah di rumah kami.” kata Cu In dengan ramah.

Ia dahulu tidak suka kepada sucinya ini karena terlalu kejam terhadap kaum pria. Akan tetapi sekarang ia merasa kasihan kepadanya.

“Selamat berpisah, Niocu. Semoga engkau berbahagia,” kata Keng Han yang juga merasa kasihan karena gadis itu pernah jatuh cinta kepadanya namun tidak dapat dibalasnya.

“Hemmm....!”

Bi-kiam Nio-cu mendengus dan sekali berkelebat ia sudah lenyap dari situ. Memang Bi-kiam Niocu memiliki ginkang yang hebat.

“Kasihan....!” Tanpa terasa Keng Han berkata lirih.

“Eh? Kenapa kasihan, Han-ko?”

Bukan main senangnya hati Keng Han mendengar gadis itu menyebutnya Han-ko (kanda Han), karena biasanya gadis itu menyebut namanya begitu saja. Dia sendiri pun sudah mendahului Cu In dan menyebutnya In-moi (dinda In).

Tentu saja Keng Han tidak mau menceritakan tentang Bi-kiam Nio-cu yang jatuh cinta kepadanya.

“Kasihan karena ia telah keliru memilih pria yang dicintanya. Gulam Sang adalah seorang yang jahat dan kejam. Bahkan dia menyuruh anak buahnya membunuh kekasihnya ketika kekasihnya itu berteriak hendak membuka rahasia penyamarannya. Sucimu itu sudah sepantasnya mendapatkan seorang jodoh yang baik.”

“Kuharap juga begitu. Akan tetapi agaknya itu merupakan hukuman baginya karena dahulu, entah berapa banyak pria yang dibunuhnya hanya karena pria itu berani mencintainya.”

“Apakah engkau dahulu juga tidak seperti sucimu itu, In-moi? Bukankah gurumu.... eh, ibumu mengajar kalian untuk membunuh pria yang menaruh hati kepadamu?”

“Tidak, Han-ko. Untung aku mempunyai wajah yang buruk dan aku selalu menyembunyikan wajahku di belakang cadar sehingga tidak ada orang yang sempat jatuh cinta kepadaku.”

“Siapa bilang tidak ada yang jatuh cinta padamu? Buktinya aku jatuh cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku!”

Dahi gadis itu berubah merah mendengar ucapan ini.
“Engkau lain lagi, Han-ko. Engkau adalah seorang pendekar yang tampan dan gagah, akan tetapi bodoh!”

“Bodoh?”

“Ya, bodoh! Kalau tidak bodoh, mana mungkin engkau jatuh cinta kepada seorang gadis yang mukanya cacat dan buruk?”

“Sudahlah, jangan bicara tentang wajah! Aku mencintaimu dengan setulus hatiku, bukan karena baik atau buruknya wajahmu. Sekarang pulanglah engkau ke kota raja, ke rumah orang tuamu.”

“Dan engkau?”

“Aku? Karena ayahku telah tewas, aku akan pulang dulu ke Khitan melaporkan kepada ibu bahwa ayah telah tewas dan juga mohon doa restunya agar aku dapat menikah denganmu.”

“Ah, aku akan ikut, Han-ko! Aku pun ingin berkenalan dengan ibu, calon mertuaku!” kata Cu In dengan suara bersungguh-sungguh.

“Akan tetapi, engkau belum memberitahu kepada ayah ibumu! Tentu mereka akan khawatir sekali kalau sampai lama engkau belum juga kembali ke kota raja!”

“Ibu akan mengerti dan tidak akan mengkhawatirkan aku. Ia pun dapat memberitahu kepada ayah bahwa sejak muda sekali aku sudah sering berkelana di dunia kang-ouw dan selalu pulang dalam keadaan selamat. Apalagi sekarang, melakukan perjalanan bersamamu. Apa bahayanya? Kita pasti akan mampu menanggulangi berdua!”

“Bukan bahaya yang kukhawatirkan, In-moi. Akan tetapi.... seperti para ibu lain di dunia ini, ibuku tentu ingin sekali melihat wajahmu.”

“Biarkan ia melihatnya! Bukankah engkau juga sudah melihatku dan hal itu tidak mengurangi cintamu kepadaku?”

“Ah, itu lain lagi, In-moi. Kalau ibuku melihat wajahmu lalu melarangku berjodoh denganmu, aku tidak akan dapat menyalahkannya. Hal itu wajar saja, bukan? Aku tidak termasuk hitungan karena aku mencintamu dengan hati yang tulus ikhlas. Sebaiknya engkau tidak ikut, In-moi. Aku tidak akan lama tinggal di Khitan. Dan setelah kita menikah baru engkau akan kupertemukan dengan ibuku dan kakekku.”

“Tidak, Han-ko. Aku tidak percaya bahwa seorang ibu yang melahirkanmu akan bersikap sepicik itu. Engkau bijaksana, dan ibumu tentu lebih bijaksana lagi!”

“Ibuku adalah seorang Khitan yang tidak berpendidikan dan tentu saja pikirannya masih kolot. Aku khawatir....”

“Khawatir kalau ia menolakku? Tenangkan hatimu. Aku telah siap menghadapi apa saja. Andaikata ibumu menolak aku menjadi calon mantunya sekalipun, perasaanku terhadapmu tidak akan berubah. Kita harus bersikap jujur terhadap ibumu, Han-ko. Kalau ia menolakku itu sudah wajar. Akan tetapi kalau ia menerimaku tanpa melihatku, bagaimana akibatnya di belakang hari kalau ia menyesal mempunyai mantu seperti aku?”

Keng Han merasa terharu sekali dan dia memegang kedua tangan gadis itu.
“Alangkah gagah beraninya engkau dalam menghadapi apa pun juga, In-moi. Aku menghargai sikapmu dan marilah kita berangkat ke Khitan.”

Sepasang orang muda itu dengan bergandeng tangan melanjutkan perjalanan setelah sekali lagi memberi hormat kepada makam Pangeran Tao Seng. Mereka nampak gembira dan bahagia menyongsong masa depan mereka. Cinta kasih di antara mereka membuat mereka merasa kuat sekali.

Cinta kasih yang murni hanya memberi dan sama sekali tidak mementingkan diri sendiri, bersih dari nafsu menyenangkan diri sendiri. Kalau cinta itu didasari menyenangkan diri sendiri, maka cinta itu tidak akan tahan lama. Karena segala macam kesenangan di dunia ini selalu disusul kebosanan dan keinginan mencari yang lebih menyenangkan lagi.

Akan tetapi kalau cinta itu didasari pementingan diri orang yang dicinta, kita selalu berusaha untuk menyenangkannya, untuk membahagiakannya karena kebahagiaan dia yang dicinta itu menimbulkan kebahagiaan bagi diri sendiri. Cinta yang terdorong wajah tampan dan cantik, terdorong harta benda atau kedudukan, cinta seperti itu mudah luntur. Menimbulkan kebosanan dan kebencian yang berakhir dengan perpisahan atau perceraian. Cinta nafsu hanya menghendaki keuntungan bagi diri sendiri.

Seorang sahabat yang melakukan seribu satu kebaikan kepada kita akan terhapus oleh satu saja keburukan kepada kita. Cinta yang sejati tak lapuk oleh panas tak lekang oleh hujan. Seperti cinta kasih Tuhan kepada semua mahluk ciptaannya. Baik itu berupa tumbuh-tumbuhan, hewan, terutama sekali manusia. Semua mendapatkan berkahNya, semua dapat menikmati hidup. Baru matahari saja, seolah diciptakan Tuhan untuk kehidupan semua mahluk di dunia. Tanpa sinar matahari takkan ada yang dapat hidup. Dan diberiNya tanpa pilih kasih, kepada siapa saja, yang kaya maupun yang miskin, yang berkedudukan tinggi maupun yang rendah, yang hidup benar dan baik maupun yang hidup buruk dan jahat.

Tuhan memang bukan manusia, akan tetapi kita manusia seyogianya mawas diri dan mengkaji kembali cinta kasih kita kepada kekasih, kepada teman hidup, kepada anak-anak, keluarga, tetangga dan masyarakat. Kalau kita semua hidup dengan cinta kasih kepada sesamanya tanpa nafsu mementingkan diri sendiri, adanya hanya memberi dan membantu, maka kehidupan di dunia ini akan merupakan keindahan sorgawi!

**** 43 ****