Ads

Sabtu, 04 Juni 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 41

Han Li merasa kehilangan. Sudah lama ia hidup di dekat kakek itu, menerima pelajaran Tongkat Pemukul Iblis dan ikut pula makan enak di dapur istana Pangeran Mahkota bahkan sampai menjadi tamu pangeran itu selama beberapa pekan. Han Li tidak tahu betapa gurunya itu pergi dengan wajah muram dan hati yang merasa sengsara.

Manusia memang sukar membebaskan diri daripada ikatan-ikatan antara manusia, ikatan dengan harta benda, dengan kedudukan, dengan kepandaian. Segala sesuatu yang menyenangkan segera melekat dan mengikat manusia sehingga dia merasa sedih kalau harus berpisah dengan yang menyenangkan itu.

Han Li pulang dan banyak sekali yang diceritakan kepada ayah bundanya. Juga tentang orang-orang yang hendak membunuh kaisar dan pangeran mahkota, dan orang-orang itu yang tertangkap hidup mengaku bahwa mereka itu orang Thian-li-pang, padahal kenyataannya mereka adalah orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.

“Keparat!” Yo Han marah sekali. “Kiranya begitu permainan mereka? Mereka melakukan fitnah keji untuk memburukkan nama Thian-li-pang. Kalau pemerintah mendengar ini tentu kita akan diserbu pasukan!”

“Harap jangan khawatir, Ayah. Aku sudah menjadi saksi bahwa mereka bukan orang Thian-li-pang karena tidak ada yang mengenal aku dan ketika kurobek baju di dada mereka terdapat tanda-tanda Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai di dada mereka. Baik kaisar maupun pangeran mahkota melihat sendiri sehingga kita bebas dari tuduhan yang merupakan fitnah itu.”

Han Li lalu bercerita betapa ia bertemu dengan Kai-ong Lu Tong Ki dan menjadi muridnya mempelajari ilmu Tongkat Pemukul Iblis dan betapa dengan gurunya itu ia menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota.

“Aku melihat sendiri bahwa Pangeran Mahkota sekeluarganya adalah orang-orang yang baik dan dapat menghargai orang-orang gagah.”

Yo Han yang marah kepada Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ketika mendengar bahwa Thian It Tosu dari Bu-tong-pai mengadakan undangan kepada orang-orang gagah, lalu berangkat dan kini dia ditemani isterinya, Si Bangau Merah, dan puterinya.

Nafsu memang menguasai manusia, tidak peduli orang itu kaya atau miskin, pintar atau bodoh. Nafsu yang semula diikut-sertakan manusia agar manusia dapat hidup bahagia, ternyata nafsu yang tadinya hanya menjadi peserta dan alat, sebaliknya malah menjadi majikan manusia.

Dalam segala tindakannya, manusia selalu dikendalikan nafsu. Rasa benci, marah, dendam, iri dan sebagainya adalah akibat dari batin yang dikuasai nafsu. Nafsu menghendaki kesenangan dan kalau kesenangan itu diganggu maka timbullah marah dan benci yang akibatnya melahirkan duka.

Sejak jaman dahulu sampai sekarang, orang sudah menyadari akan hal ini. Dan banyak usaha dilakukan manusia untuk mengendalikan nafsu. Melalui agama, melalui bertapa, menyiksa diri dan sebagainya. Akan tetapi semua itu telah gagal. Kegagalan ini terbukti dari keadaan dunia di jaman dahulu sampai saat ini. Permusuhan terjadi di mana-mana, bukan hanya permusuhan antara negara dan bangsa, bahkan permusuhan antara bangsa sendiri, antara rekan, teman dan bahkan keluarga.

Padahal mereka itu semua beragama, semua maklum akan bekerjanya nafsu yang menyeret manusia kepada perbuatan jahat dan permusuhan. Mengapa demikian? Karena pengertian mereka hanya sebatas akal pikiran saja. Padahal, nafsu daya rendah sudah menguasai hati dan akal pikiran kita. Dalam keadaan demikian maka hati akal pikiran ini bahkan membela perbuatan-perbuatan kita yang sesat.

Kalau dua orang bermusuhan, tentu hati akal pikiran selalu membela diri sendiri sebagai pihak yang benar dan lawannya sebagai pihak yang bersalah! Bahkan seorang pencuri pun, yang tentu tahu bahwa mencuri itu tidak baik atau jahat, dibela hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu yang mengatakan bahwa manusianya mencuri karena kelaparan sehingga mereka membutuhkan uang, karena ini dan itu. Pendeknya, hati akal pikiran membela perbuatan mencuri itu sebagai perbuatan yang tidak jahat.

Karena hati akal pikiran sudah bergelimang nafsu, maka pengertian tidak ada gunanya, tidak dapat mengekang dan mengendalikan nafsu yang sudah menyusup diri kita sampai ke tulang sumsum, sampai ke pembuluh darah. Buktinya cukup banyak. Orang-orang yang katanya berkepandaian tinggi, berilmu, para sarjana dan cerdik pandai banyak yang melakukan tindakan menyimpan dari kebenaran. Ada yang korup, ada yang menyalah-gunakan kekuasaannya, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa pengertian atau kepandaian hati akal pikiran tidak berdaya menghadapi nafsu yang selalu ingin mencari enak, ingin mencari senang dan kepuasan lahir maupun batin.

Kalau sudah begitu, bagaimana kita dapat mengendalikan nafsu? Hanya satu yang dapat mengendalikan nafsu, yaitu Penciptanya. Kekuasaan Tuhan yang dapat menyingkirkan nafsu, yang dapat mengembalikan nafsu ke tempat semula, yaitu menjadi peserta dan pembantu manusia dalam kehidupannya, tidak menjadi majikan dari manusia.

Karena itu, jalan satu-satunya bagi kita adalah menyerah kepada Tuhan! Penyerahan yang tulus ikhlas, dengan segala kerendahan hati, dengan tawakal dan kesabaran. Kalau kekuasaan Tuhan yang bekerja, tidak ada hal tidak mungkin dilakukan. Kekuasaan Tuhan yang akan membimbing kita dan menundukkan nafsu.

Yo Han, isterinya Tan Sian Li, dan puteri mereka Yo Han Li, berangkat meninggalkan rumah untuk pergi berkunjung ke Bu-tong-pai, semua urusan perkumpulan Thian-li-pang diserahkan kepada para murid kepala untuk bekerja seperti biasa dan menjauhkan diri dari pertikaian dan permusuhan.

“Cu-wi (Saudara sekalian) yang terhormat tentu sudah mendengar akan berita yang menyedihkan itu, yaitu bahwa bengcu Bhe Seng Kok telah tewas terbunuh orang yang tidak kita ketahui siapa orangnya. Oleh karena kedudukan bengcu sekarang ini sedang lowong, maka pinto (saya) memberanikan diri untuk mengundang Cu-wi hari ini berkumpul di Bu-tong-pai untuk melakukan pemilihan bengcu baru!” demikian Thian It Tosu berkata kepada para tamunya.

“Kami setuju....!!”

Banyak orang-orang berteriak. Mereka yang berteriak itu adalah orang-orang kang-ouw golongan sesat yang memang telah diatur terlebih dahulu oleh Gu Lam Sang. Terutama sekali para tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, mereka itu tanpa kecuali segera menyambut dengan teriakan setuju.






Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, melebihi suara banyak orang yang menyatakan setuju.

“Tunggu dulu!”

Teriakan ini membuat semua orang yang berseru setuju berhenti berteriak dan semua orang menengok ke arah pembicara. Ternyata yang berseru nyaring tadi adalah Yo Han dan pendekar ini melompat naik ke atas panggung di mana Thian It Tosu berdiri.

Melihat ini Thian It Tosu merangkap kedua tangan depan dada dan berkata lantang,
“Siancai! Kiranya Yo-taihiap yang berseru tadi. Mengapa Taihiap berseru agar kami menunggu dulu? Apa lagi yang harus ditunggu?”

Yo Han menjawab, suaranya lantang sehingga terdengar semua orang.
“Thian It Totiang, di antara kita telah terjalin persahabatan yang erat dan aku Yo Han mengakui bahwa Totiang adalah seorang ketua yang bijaksana dan para murid Bu-tong-pai adalah pendekar-pendekar yang menjadi pembela kebenaran dan keadilan. Akan tetapi akhir-akhir ini telah terjadi perubahan besar di Bu-tong-pai. Totiang tidak lagi memegang teguh kependekaran Bu-tong-pai. Seperti dahulu, kini pun aku melihat orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai di sini! Mereka dan orang-orang golongan sesat tidak berhak untuk melakukan pemilihan bengcu!”

“Siancai, ucapan Yo-taihiap keterlaluan. Bengcu adalah pemimpin dari dunia kang-ouw tidak hanya milik orang-orang seperti Yo-taihiap. Dunia kang-ouw milik semua orang yang gagah perkasa, ahli-ahli silat di dunia tanpa membedakan golongan.” jawab Thian It Tosu.

“Tidak!” bentak Yo Han. “semua locianpwe dan sahabat dari dunia kang-ouw pasti tidak menyetujui ikutnya golongan sesat dalam pemilihan ini. Terutama sekali Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai! Aku pribadi mempunyai perhitungan dengan kedua perkumpulan sesat itu. Mereka mengirim pembunuh-pembunuh ke kota raja untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota. Hal itu bukan urusan kami, akan tetapi ketika di antara mereka ada yang tertangkap hidup, mereka mengaku sebagai anggauta Thian-li-pang. Itu merupakan fitnah keji dan sekarang kita kebetulan berkumpul di sini, maka aku tantang para pimpinan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai untuk menyelesaikan urusan denganku melalui pertandingan!” Yo Han memang marah sekali karena nama Thian-li-pang difitnah oleh mereka.

Sesosok tubuh melayang ke atas panggung dan seorang tosu telah berdiri di depan Yo Han sambil tersenyum mengejek.

“Pinto Koai Tosu adalah seorang di antara pimpinan Pat-kwa-pai. Tidak kami sangkal bahwa Pat-kwa-pai mengirim orang-orangnya untuk membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang. Semua pejuang yang menghendaki berakhirnya penjajahan Mancu tentu akan setuju dengan usaha kami itu. Akan tetapi tahukah Cu-wi, apa yang terjadi di sana? Orang-orang kita itu dihadapi oleh puteri Yo-pangcu! Puteri Yo-pangcu membela pangeran mahkota! Dan tahukah Cu-wi apa artinya itu? Artinya bahwa Thian-li-pang telah menjadi antek penjajah!”

“Tutup mulutmu yang kotor!” Yo Han berteriak lantang, memandang Koai Tosu. “Puteri kami berada di sana sebagai tamu, dan sudah wajar kalau tamu membela tuan rumah yang hendak dibunuh. Sudah kukatakan dahulu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan para patriot, akan tetapi kami hendak menumbangkan kekuasaan penjajah bukan dengan cara yang curang dan keji. Justeru puteri kami yang mengetahui bahwa orang-orang yang mengaku orang Thian-li-pang itu sebetulnya adalah orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.”

“Kami mengaku orang Thian-li-pang bukan untuk melakukan fitnah melainkan untuk menggugah semangat perjuangan Thian-li-pang yang agaknya menjadi lemah.” kata pula Koai Tosu penuh semangat.

“Cukup! Di sini sekali lagi kukatakan bahwa Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai tidak berhak ikut pemilihan bengcu dan aku menantang kalian untuk menyelesaikan urusan itu dengan pertandingan!” Yo Han berseru dengan tegas.

“Siancai! Agaknya Yo-pangcu menganggap diri sendiri yang paling hebat! Akan tetapi pangcu kami tidak hadir di sini sehingga tidak dapat memenuhi tantangan Yo-pangcu!”

Tiba-tiba Thian Yang Ji, tokoh Pek-lian-pai, juga meloncat dan berdiri di samping Koai Tosu.

“Siancai tantangan Yo-pangcu tidak dapat kami sambut karena ketua kami juga tidak berada di sini. Kalau Yo-pangcu merasa penasaran, boleh datang ke tempat kami agar ketua kami dapat menyambut!” kata Thian Yang Ji.

Melihat dua orang tosu ini, Yo Han sudah menjadi marah sekali.
“Kalian berdua pernah mengerahkan anak buah untuk mengeroyok kami dahulu ketika kami meninggalkan Bu-tong-pai. Kalian menggunakan banyak orang untuk mengeroyok kami. Kalau kalian memang ada kepandaian, kalian berdua boleh mewakili ketua kalian dan sekarang kalian berdua menghadapi aku!”

“Siancaii Ketika itu pun sudah ternyata bahwa ketua Thian-li-pang bersekutu dan menjadi antek penjajah. Ketika itu pun muncul pasukan penjajah membantu Yo-pangcu. Apakah Yo-pangcu akan menyangkal hal itu?

“Sama sekali tidak!” jawab Yo Han. “Akan tetapi pasukan itu bergerak untuk menyelamatkan nona Tao Kwi Hong, puteri Pangeran Mahkota, bukan untuk membantuku!”

Melihat suasana semakin panas, Thian It Tosu maju melerai.
“Sudahlah, tempat ini didirikan untuk pemilihan bengcu, sama sekali bukan untuk berkelahi. Urusan pribadi boleh diselesaikan di tempat lain, bukan di Bu-tong-pai. Kalau Samwi (Kalian berdua) masih menghargai Bu-tong-pai sebagai sahabat, harap pertikaian ini tidak dilanjutkan disini.”

Yo Han menyadari kebenaran ucapan Thian It Tosu maka dia pun memberi hormat dan berkata,

“Maafkan aku, Totiang. Ucapan Totiang benar dan aku tidak akan memaksa mereka untuk bertanding di sini. Akan tetapi aku tetap tidak setuju kalau yang dipilih itu orang dari golongan sesat!”

Ketika orang-orang membicarakan ucapan Yo Han yang mereka anggap mewakili para pendekar, disebelah dalam bangunan induk Bu-tong-pai terjadi hal yang menarik. Ketika semua perhatian ditujukan ke dalam, sesosok bayangan yang cepat seperti seekor burung walet telah menyelinap masuk ke dalam gedung itu tanpa diketahui seorang pun. Bayangan ini bukan lain adalah Keng Han. Pemuda ini datang ke Bu-tong-pai bukan tertarik oleh pemilihan bengcu, melainkan dia hendak mencari ayahnya, Pangeran Tao Seng yang disangkanya bersembunyi di Bu-tong-pai.

Di ruangan tengah dia melihat seorang wanita muda sedang dipegangi dua orang laki-laki yang tinggi besar. Wanita itu meronta dan berteriak,

“Aku harus membuka kedoknya! Thian It Tosu itu palsu adanya. Dia adalah Gu Lam Sang!”

Akan tetapi baru saja ia mengucapkan itu, seorang di antara dua orang tinggi besar menggerakkan tangannya, dihantamkan ke tengkuk gadis itu yang terkulai lemas. Tewas seketika!

Keng Han yang bersembunyi tertegun. Dia tidak mengenal siapa adanya gadis itu tidak mengetahui persoalannya. Pula, untuk menolong gadis itu sudah tidak keburu lagi, maka dia diam saja. Ucapan gadis itu yang membuat dia tertegun. Thian It Tosu adalah Gu Lam Sang yang menyamar! Kalau begitu, dimana adanya Thian It Tosu yang sesungguhnya? Dan wanita itu dibunuh karena membocorkan rahasia itu.

Dia mencari terus tidak mempedulikan dua orang dan gadis yang dibunuh itu. Setiap kamar dijenguknya, akan tetapi dia tidak melihat adanya ayahnya di situ. Tiba-tiba seorang murid Bu-tong-pai berjalan, agaknya dia yang bertugas menjaga dalam bangunan itu. Keng Han menanti sampai bayangan itu mendekat. Dia meloncat, dan menyergapnya dengan totokan sehingga orang itu tidak mampu bergerak atau bersuara lagi.

“Cepat katakan, di mana adanya Thian It Tosu?” katanya sambil membebaskan totokan pada leher orang itu sehingga dapat bicara.

“Suhu? Suhu jelas berada di luar, menyambut para tamu.” kata murid itu dengan heran.

“Dan dimana adanya Pangeran Tao Seng?”

”Tidak ada pangeran disini!”

Keng Han mengingat-ingat, lalu bertanya,
“Apakah di sini ada tempat tahanan rahasia?”

“Ada....”

Keng Han lalu menotok lagi lehernya sehingga orang itu tidak mampu bersuara lagi, lalu melepaskan totokan sehingga orang itu mampu bergerak lagi. Dapat bergerak akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara.

“Hayo cepat antarkan aku ke tempat tahanan itu! Awas, kalau engkau meronta atau lari, aku akan membunuhmu!”

Orang itu mengangguk lalu melangkah ke belakang, tangan kirinya dipegang oleh Keng Han. Dia membawa Keng Han ke belakang bangunan dan di taman terdapat sebuah pondok.

“Di sana tempat tahanan itu?” Orang itu menunjukkan ke pondok lalu ke bawah.

Terpaksa Keng Han membebaskan totokannya pada leher sehingga orang itu dapat bicara lagi. Sebetulnya dia tidak suka melakukan ini karena sekali saja orang itu berteriak, semua usahanya akan gagal! Akan tetapi orang itu sudah menjadi begitu takut sehingga dia tidak berani berteriak.

“Katakan, apakah penjara itu berada di bawah pondok itu?”

“Benar, merupakan penjara rahasia.”

“Bagaimana caranya masuk?”

“Di sana ada arca dan setelah diputar tiga kali ke kanan, akan terbuka pintu yang menuju ke lorong bawah tanah.”

“Kau tidak berbohong?”

“Tidak, akan tetapi kalau engkau hendak masuk ke sana, engkau akan menempuh bahaya. Tempat itu di jaga ketat oleh orang-orang Pek-lian-kauw!”

“Terima kasih! Terpaksa aku membuatmu tidak berdaya sampai aku berhasil keluar lagi.”

Kembali jari-jari tangannya bergerak cepat dan orang itu roboh terkulai dan tidak mampu bersuara. Keng Han menyeret tubuh orang itu, disembunyikan di belakang semak-semak dan berindap-indap dia memasuki pondok. Pondok itu kosong dan setelah diperiksanya, benar saja terdapat sebuah arca singa di atas meja. Dia menghampiri arca itu dan memutarnya ke kanan tiga kali, waspada karena dia khawatir itu merupakan jebakan. Akan tetapi tidak begitu, karena terdengar bunyi berderit dan di lantai kamar itu terbuka sebuah lubang dengan tangga yang menurun ke bawah.

Keng Han menuruni tangga dengan hati-hati sekali. Ternyata anak tangga itu menembus sebuah lorong yang diterangi lampu-lampu dinding. Dia melangkah maju terus dengan hati-hati dan berhenti ketika mendengar suara orang bercakap-cakap. Dia mengintai. Di depan terdapat lima orang penjaga yang membawa golok di tangan. Agaknya itulah orang-orang Pek-lian-kauw yang berjaga di situ.

Keng Han memperhitungkan dengan teliti sebelum bergerak, kemudian secara tiba-tiba dia meloncat ke depan dan kedua tangannya yang bergerak cepat sudah merobohkan dua orang! Tiga orang yang lain terkejut melihat munculnya seorang pemuda dan robohnya dua orang rekan mereka. Tiga orang itu lalu menyerang dengan golok mereka.

Akan tetapi mereka kalah cepat. Dua orang roboh oleh kedua tangan Keng Han sedangkan yang seorang lagi roboh oleh tendangannya. Keng Han cepat menotok lima orang itu agar jangan mampu bergerak maupun bersuara. Dia maju terus dan akhirnya dia melihat sebuah kamar tahanan dengan pintu besi dan jendela beruji besi. Ketika dia memandang ke dalam, dia melihat seorang tosu tua sedang bersila dan bersamadhi. Dan tosu itu bukan lain adalah Thian It Tosu yang asli!

“Totiang....!”

Keng Han berseru lirih. Akan tetapi cukup untuk menggugah tosu itu dari samadhinya dan dia menoleh ke kanan, ke arah ruji jendela. Dia melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya.

“Siapa engkau orang muda?”

“Ssttt, Totiang, saya datang untuk membebaskan Totiang.”

Pendeta itu terkejut dan girang lalu meloncat dari lantai dan berdiri di balik ruji besi.
“Pintu ini terkunci kuat sekali, juga jendela ini agaknya terlalu kuat untuk dijebol.” kata kakek itu.

Keng Han teringat.
“Akan saya cari kuncinya!”

Dia lalu menghampiri kelima orang itu dan memeriksa mereka satu demi satu. Akhirnya dia dapat menemukan kuncinya di dalam saku seorang di antara mereka. Cepat dia menggunakan kunci untuk membuka pintu besi yang tebal dan berat itu.

Melihat para penjaga menggeletak tak mampu berdaya, tahulah Thian It Tosu bahwa penolongnya seorang pemuda yang berilmu tinggi. Padahal orang-orang Peklian-kauw yang berjaga di situ rata-rata merupakan anggauta pilihan yang sudah memiliki ilmu silat yang tangguh!

“Ke mana engkau hendak membawa pinto, orang muda? Apakah yang telah terjadi?”

Dengan singkat Keng Han menceritakan.
“Gu Lam Sang telah menangkap Totiang dan menyekap dalam penjara ini. Dan dia sendiri menyamar sebagai Totiang. Dia membawa Bu-tong-pai untuk bersekutu dengan orang-orang sesat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, kemudian dia membawa Bu-tong-pai untuk memberontak, mengirim orang untuk mencoba membunuh Kaisar dan Pangeran Mahkota. Akan tetapi usahanya gagal dan kini dia mengundang para tokoh kang-ouw untuk mencari bengcu baru karena bengcu yang lama telah terbunuh orang tanpa diketahui siapa yang membunuh. Marilah, Totiang. Kita ke sana dan membuka rahasia penyamaran Gu Lam Sang.”

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Nio-cu telah berada di depan mereka.

“Niocu, kau.... di sini?” Keng Han benar-benar terkejut melihat wanita itu.

“Dan engkau pun mau apa berada di sini? Aku di sini sebagai tamu Thian It Tosu, bukankah demikian, Totiang?”

“Siancai! Pinto tidak pernah bertemu denganmu, Nona.”

“Apa? Baru kemarin dulu Totiang menerimaku sebagai tamu dan sahabat Gu Lam Sang. Bagaimana baru dua hari Totiang sudah lupa lagi padaku?”

“Niocu, engkau telah ditipu orang! Ketahuilah bahwa aku baru saja membebaskan Thian It Tosu dari penjara bawah tanah.”

“Tapi....tapi Thian It Tosu kemarin dulu benar-benar menerimaku. Aku tidak berbohong, Keng Han.”

“Engkau memang tidak berbohong, melainkan dibohongi orang. Thian It Tosu yang kemarin dulu menerimamu itu bukan lain adalah Gu Lam Sang yang menyamar. Gu Lam Sang menguasai Bu-tong-pai dengan menyamar sebagai Thian It Tosu dan dia menahan Totiang ini di bawah tanah.”

”Ihhh.... rasanya tidak mungkin. Gu Lam Sang adalah seorang yang baik budi dan gagah perkasa.”

“Hemmm, agaknya engkau sudah melupakan sama sekali nasihat gurumu. Di dunia ini memang terdapat banyak pria yang jahat dan Gu Lam Sang merupakan seorang yang paling jahat di antara mereka.”

“Benarkah begitu, dapatkah aku percaya padamu, Keng Han?”

“Buktikan saja sendiri. Kami mau keluar untuk membongkar rahasia ini. Mari kau lihat dan dengar sendiri!”

Pada saat itu, Thian It Tosu penyamaran Gu Lam Sang sedang berdiri di atas panggung dan berkata dengan suara lantang.

“Saudara sekalian, bengcu telah dibunuh orang. Untuk menjaga kesatuan dan ketertiban, kita harus memilih seorang bengcu baru. Kalau sudah mendapatkan bengcu yang baru tentu kita dapat memulai dengan perjuangan kita.”

“Tahan dulu.!”

Terdengar teriakan nyaring dan sesosok bayangan melompat ke atas panggung. Ternyata dia Keng Han. Melihat pemuda ini Gulam Sang merasa terkejut sekali.

“Orang muda, telah kami katakan padamu, bahwa gurumu Gosang Lama itu seorang penjahat dan kami dari Bu-tong-pai terkenal sebagai para pendekar! Engkau muncul lagi mempunyai keperluan apakah?”

Keng Han tidak menjawab melainkan berpaling kepada semua orang yang hadir.
“Cu-wi, apakah Cu-wi (Saudara sekalian) mengenal orang ini?” Dia menuding ke arah Thian It Tosu yang palsu.

Banyak orang tertawa menanggapi pertanyaan yang mereka anggap aneh itu.
“Heiii, orang muda! Siapa yang tidak mengenalnya? Dia adalah Thian It Tosu ketua Bu-tong-pai. Siapapun yang berada di sini tentu tahu akan hal itu. Kenapa engkau menanyakannya?”

“Ketahuilah, Cu-wi yang mulia. Orang ini bukan Thian It Tosu Dia adalah Thian It Tosu palsu!”

“Orang muda, enak saja engkau bicara! Pinto adalah Thian It Tosu, kenapa engkau bilang palsu?”

“Cu-wi menghendaki bukti?” suara Keng Han nyaring mengatasi suara semua orang yang riuh rendah terheran-heran mendengar bahwa Thian It Tosu yang di atas panggung adalah palsu.

Keng Han lalu memberi isyarat dengan tangannya dan sesosok tubuh lain melayang dan berada di atas panggung. Ketika semua orang memandang mereka, mereka berseru terheran-heran karena orang itu juga Thian It Tosu! Di panggung itu berdiri dua orang Thian It Tosu yang sama, baik bentuk tubuh, wajah dan pakaiannya!

Selagi semua orang ribut bicara sendiri mengomentari pemunculan dua orang Thian It Tosu itu, Keng Han berkata dengan lantang,

“Nah, saudara sekalian telah melihat buktinya. Thian It Tosu yang baru muncul inilah yang asli, sedangkan Thian It Tosu yang pertama tadi adalah palsu. Dia adalah Gu Lam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu!”

Tentu saja Gu Lam Sang menjadi marah sekali dan juga bingung. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Keng Han mampu membebaskan Thian It Tosu dan kedoknya terbongkar. Akan tetapi dia masih ingin mempertahankan diri dan dia segera berseru.

“Dia itu yang palsu! Lihat ini, Pek-coa-kiam ini jelas milik Thian It Tosu yang asli. Akulah yang asli dan dia itu palsu!”

Setelah berkata demikian, dengan pedang Pek-coa-kiam di tangan, Gu Lam Sang menyerang dan menusukkan pedangnya kepada Thian It Tosu.

“Tranggg....!”

Pedangnya itu tertangkis oleh pedang di tangan Bi-kiam Niocu. Wanita ini marah sekali kepada Gu Lam Sang. Pemuda itu diharapkan untuk menjadi suaminya, akan tetapi ternyata pemuda itu menipu dan membohonginya.