Ads

Kamis, 02 Juni 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 40

Bi-kiam Nio-cu Siok Bi Kiok melakukan perjalanan seorang diri. Berulang kali ia menarik napas panjang karena hatinya murung dan kecewa sekali. Sampai usianya yang dua puluh dua tahun, ia belum pernah merasa jatuh cinta kepada seorang pria. Apalagi dengan penekanan dari subonya bahwa semua pria itu jahat dan palsu, ia bahkan membenci kaum pria.

Dan karena ia seorang gadis yang berwajah cantik, maka tentu saja dalam perjalanan ia banyak digoda pria yang mengakibatkan pria-pria itu tewas terbunuh olehnya. Akan tetapi semenjak ia bertemu Keng Han, entah bagaimana ia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu. Ilmu kepandaian dan watak serta ketampanan wajah itu membuatnya tergila-gila. Bahkan ia menjadikan pemuda itu sebagai muridnya dan ikut membantunya menghadap Dalai Lama saking cintanya.

Akhirnya ia minta pemuda itu agar suka menjadi suaminya walaupun maksud ini bertentangan dengan ajaran subonya. Ia berani menentang maut demi cintanya terhadap pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu menolaknya. Sakit sekali rasa hatinya dan ingin ia membunuh pemuda itu, akan tetapi kembali hatinya kecewa karena ternyata ia tidak mampu mengalahkan Keng Han bahkan sebagian rambutnya putus di tangan pemuda itu.

Rasa sakit hatinya bertambah, apalagi ketika Keng Han mengakui bahwa dia mencintai Cu In yang berwajah cacat dan buruk! Dari pada memilihnya, pemuda itu malah memilih gadis yang cacat wajahnya! Hal ini amat menyakitkan dan mengecewakan hatinya dan kini ia pergi ke Bu-tong-pai untuk menghibur diri dan melihat apa yang terjadi di sana.

Pada suatu hari tibalah ia di kota Hue-nam. Kota ini cukup besar dan Niocu memasuki pintu gerbang kota itu. Karena hari telah senja, ia hendak melewatkan malam di kota itu dan mulailah ia mencari rumah makan yang juga merupakan penginapan. Setelah melihat rumah penginapan yang dari papan namanya diketahui bernama Losmen Hok-lai, ia lalu masuk ke rumah makan di depan penginapan itu.

Masuknya seorang wanita seperti Niocu, cantik jelita dan sendiri pula, tentu saja menarik perhatian banyak orang, terutama para prianya. Kebetulan dalam rumah makan itu maslh terdapat meja yang kosong dan Nio-cu disambut seorang pelayan dan diajak menuju ke sebuah meja kosong di sudut.

Puluhan pasang mata pria mengikutinya dan memandang dengan kagum. Akan tetapi Niocu tidak mengacuhkan. Sudah terbiasa baginya melihat mata pria menatapnya penuh kagum. Asal tidak ada yang berucap atau berbuat kurang ajar, ia tidak ambil peduli.

Akan tetapi ia tertarik sekali melihat seorang pemuda yang juga duduk seorang diri menghadapi meja. Pemuda itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, bertubuh tinggi besar, matanya lebar dan wajahnya berbentuk bundar. Pemuda itu duduknya menghadap ke arahnya, akan tetapi pemuda itu bersikap tak acuh.

Melihat ini hati Niocu menjadi penasaran. Belum pernah dara ini melihat laki-laki yang bersikap acuh tak acuh terhadap kehadirannya. Sekalipun pemuda itu tidak memandang kepadanya!

Wanita memang aneh. Diperhatikan orang tidak suka, akan tetapi tidak diacuhkan juga tidak senang dan penasaran. Dengan sengaja Niocu menaruh pedangnya di atas meja dengan agak membantingnya untuk menimbulkan suara agar pria di depan itu memperhatikannya. Akan tetapi pria itu mengangkat muka dan memandang kepada pedangnya di atas meja, sama sekali tidak melirik kepadanya! Padahal semua pria yang berada di rumah makan itu menoleh kepadanya.

Kepada pelayan yang mengantarnya ke meja itu ia lalu memesan masakan yang mahal, juga dengan suara tinggi agar terdengar pemuda di depannya itu. Akan tetapi kembali sang pemuda tidak mengacuhkannya, bahkan mulai makan kacang goreng yang berada di mejanya sambil sesekali minum araknya dari cawan.

Kalau pemuda itu tidak mempedulikan Niocu, sebaliknya ada empat orang pemuda yang tidak menyembunyikan kekaguman mereka. Empat orang pemuda ini jelas merupakan pemuda-pemuda bangsawan atau hartawan. Pakaian mereka mewah sekali dan usia mereka rata-rata dua puluh lima tahun.

“Bukan main cantiknya nona itu! Hatiku seketika jatuh!” terdengar seorang di antara mereka berkata, suaranya cukup lantang untuk dapat terdengar oleh Nio-cu.

“Kasihan ia makan seorang diri, bagaimana kalau kita undang ia makan di meja kita?” kata orang kedua.

“Bagus sekali. Meja kita cukup lebar untuk ditempati lima orang. Akan tetapi bagaimana kalau ia menolak undangan kita dan marah?” kata yang ketiga.

“Hemmm, siapa yang tidak mengenalku, si penakluk wanita? Belum, pernah ada wanita yang menolak undanganku. Kalian lihat saja!” kata orang keempat, seorang pemuda yang paling pesolek di antara mereka dan memang wajahnya tampan sekali.

Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja Niocu. Kepada gadis itu dia memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada. Niocu menghadapinya dengan dingin dan tenang, tidak membalas penghormatan itu.

“Maafkan aku, Nona. Namaku Teng Sin, dan melihat Nona duduk seorang diri, kami berempat merasa kasihan. Maka saya mengundang Nona untuk duduk makan bersama di meja kami. Semua pesanan Nona kami yang akan membayarnya! Marilah, Nona, kami mengundang dengan hormat!”

Niocu mengerutkan alisnya. Biarpun pemuda itu secara tidak wajar mengundangnya makan bersama namun ucapannya sopan dan ia masih dapat menahan diri. Pemuda ini tidak kurang ajar, hanya mengundang makan dengan hormat walaupun undangan itu tidak wajar karena mereka tidak saling mengenal.

“Terima kasih. Aku ingin makan sendiri di sini, tidak ingin ditemani siapapun juga.” jawabnya dingin.

“Aih, Nona. Mengapa Nona menolak undangan kami? Kami bermaksud baik, Nona. Aku Teng Sin selalu memandang tinggi gadis-gadis cantik dan amat menghargai mereka. Marilah, Nona, harap jangan malu-malu.”

Kalau tadinya Niocu hanya menunduk, kini ia mengangkat muka dan matanya bersinar tajam memandang kepada pemuda itu. Pemuda yang tampan dan pesolek, model pemuda-pemuda yang suka mempermainkan wanita.






“Sudahlah, jangan ganggu aku lagi. Pergilah!” kata Niocu, masih dapat menahan kesabarannya. “Pergi atau engkau akan menyesal nanti!”

Akan tetapi mana pemuda itu mau pergi? Dia telah berdiri dekat Niocu dan melihat betapa cantiknya gadis itu.

“Nona begini cantik seperti bidadari, tentu berbudi mulia seperti bidadari pula dan tidak akan menolak maksud baik kami. Marilah, nona manis, engkau tentu mendapatkan kegembiraan makan semeja dengan kami. Kami adalah pemuda-pemuda hartawan bahkan di antara kami ada yang menjadi putera jaksa. Engkau akan terhormat kalau memenuhi undangan kami.” Pemuda itu tidak mau kalah dan terus membujuk.

“Hemmm, sudah ditolak masih terus minta-minta dan merengek. Sungguh bermuka tebal dan tidak tahu malu!”

Terdengar suara orang dan ketika semua orang menoleh, ternyata yang bicara adalah pemuda yang makan kacang goreng itu. Niocu juga memandang dan melihat pemuda itu masih makan kacang goreng, akan tetapi kini pandang matanya ditujukan kepada pemuda hartawan itu.

Pemuda hartawan itu menjadi marah sekali dan dengan langkah lebar menghampiri pemuda yang mengeluarkan kata-kata mengejeknya tadi.

“Siapa engkau? Berani mencampuri urusanku?”

Dan tiga orang pemuda lain juga sudah bangkit berdiri siap mengeroyok pemuda bermata lebar itu.

Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum, lalu mengambil empat biji kacang goreng, dimasukkan ke dalam mulutnya dengan tiba-tiba dia menyemburkan empat biji kacang itu dari mulutnya dan empat orang pemuda itu mengaduh sambil meraba pipi mereka. Ternyata semburan kacang itu mengenai pipi mereka dan terasa nyeri bukan main seolah pipi mereka disambar benda keras yang membuat pipi itu lecet dan kulitnya pecah!

Empat orang pemuda itu adalah pemuda-pemuda kaya yang biasanya tidak pernah disentuh orang. Apalagi di antara mereka terdapat putera jaksa yang membuat mereka berani melakukan apa saja. Kini, melihat ada orang berani menentang mereka bahkan melukai mereka, empat orang pemuda itu menjadi semakin marah.

“Orang lancang dan kurang ajar! Engkau pantas dihukum!” kata mereka dan empat orang itu maju hendak menghajar laki-laki itu.

Kini pria itu menenggak arak dari cawan dan kembali dia menyemburkan arak itu ke arah empat orang yang mengancamnya. Kini empat orang itu terhuyung ke belakang, muka mereka rasanya seperti ditusuk banyak jarum sehingga mata mereka juga sukar dibuka. Barulah mereka menyadari bahwa pemuda itu seorang yang berilmu tinggi. Mereka menjadi ketakutan dan tanpa dikomando, mereka serentak mundur dan melarikan diri keluar dari rumah makan itu!

Niocu menjadi kagum. Orang itu tentu lihai sekali dan ketika laki-laki itu memandang kepadanya, ia mengangguk berkata,

“terima kasih atas bantuanmu.”

Pemuda itu pun mengangguk dan melanjutkan makan minum. Niocu juga makan minum seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Pemuda itu selesai makan dan setelah membayar harga makanan, keluar lebih dulu. Tak lama kemudian, Niocu juga selesai makan, membayar harga makanan ia lalu berkata kepada pelayan bahwa ia hendak bermalam di rumah penginapan Hok-lai itu.

Si pelayan segera mengantar Niocu masuk ke dalam dan mendapatkan sebuah kamar di loteng. Kamar itu menghadap ke jalan sehingga dari jendela kamarnya Niocu dapat menjenguk keluar dan melihat lalu lintas di jalan raya yang berada di luar losmen itu.

Baru saja Niocu melepaskan buntalan pakaiannya dan bersiap-siap hendak mandi, tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia menghampiri jendela dan menjenguk keluar. Dan Ia melihat betapa tidak begitu jauh dari losmen itu, terdapat seorang pemuda yang dikeroyok belasan orang. Ia segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang membantunya. Cepat ia turun dari loteng dan keluar.

Pemuda itu benar-benar tangguh. Para pengeroyoknya adalah tukang-tukang pukul yang memegang senjata golok dan ruyung, akan tetapi pemuda itu dengan kedua tangan kosong saja melawan mereka membagi pukulan dan tendangan.

Melihat ini, Niocu tidak sabar lagi dan segera lari ke tempat itu dan terjun ke dalam perkelahian. Belasan orang itu yang tadinya memang sudah kewalahan mengeroyok si pemuda, kini menjadi kalang kabut diterjang oleh Niocu. Niocu juga tidak menggunakan pedangnya, hanya menggunakan kedua tangan dan kaki saja akan tetapi dalam waktu singkat ia sudah merobohkan lima orang!

Pemuda itu pun merobohkan beberapa orang. Para pengeroyok menjadi jerih dan mereka segera melarikan diri sambil memapah teman-teman mereka yang sudah roboh.

Pemuda itu berhadapan dengan Niocu.
“Terima kasih atas bantuanmu!” katanya sambil mengangguk.

Niocu balas mengangguk dan keduanya lalu pergi karena di situ terdapat banyak orang yang menonton. Niocu kembali ke losmen dan segera mandi dan bertukar pakaian. Akan tetapi ia tidak pernah dapat melupakan pemuda yang tadi dibantunya. Seorang pemuda yang gagah, pikirnya dan diam-diam ia merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya. Bukan pemuda mata keranjang, bukan pemuda usil yang suka menggoda wanita. Akan tetapi pemuda itu sungguh gagah dan lihai.

Pada keesokan harinya, Niocu melanjutkan perjalanan menuju ke Bu-tong-pai. Ketika ia tiba di luar kota Huenam, ia melihat seorang pria berjalan di depannya, menuju arah yang sama. Biarpun ia melihat dari belakang, namun hatinya berdebar karena dia mengenal orang itu sebagai pemuda yang kemarin. Ia mempercepat langkahnya mengejar dan ternyata dugaannya benar. Ia melampaui pemuda itu, pura-pura tidak melihatnya karena rasanya tidak pantas kalau ia sebagai seorang wanita menegur lebih dulu,

“Perlahan dulu, Nona?” terdengar suara pemuda itu dan Niocu menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya.

Kini ia berhadapan dengan pemuda itu.
“Ah, kiranya engkau!” katanya dengan wajar.

“Nona, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Kalau aku boleh bertanya, Nona hendak pergi ke manakah?”

“Aku hendak pergi ke Bu-tong-san.”

Wajah pemuda yang tampan itu berseri.
“Ah, sungguh suatu kebetulan yang menyenangkan. Aku pun sedang menuju ke Bu-tong-pai, Nona!”

Niocu memandang dengan tajam seolah hendak menjenguk isi hati pemuda itu. “Apakah engkau murid Bu-tong-pai?”

“Sama sekali bukan. Akan tetapi aku mengenal baik ketua Bu-tong-pai dan aku menjadi tamu di sana. Kalau engkau hendak pergi ke Bu-tong-san, apabila Nona tidak berkeberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama.” Ucapan pemuda itu wajar saja. “Akan tetapi kalau Nona keberatan, aku pun tidak akan memaksa atau kecewa.”

Niocu diam-diam merasa gembira sekali. ia sudah tertarik kepada pemuda ini dan ingin mengenalnya lebih baik. Ternyata secara kebetulan sekali bertemu di sini dan arah perjalanan mereka ternyata sama! Tentu saja ia tidak tahu sama sekali betapa sejak pagi sekali tadi, pemuda itu dengan sembunyi telah mengamatinya dan tahu bahwa ia meninggalkan losmen dan pergi keluar kota. Pemuda itu selalu membayanginya dan ketika melihat ia pergi ke jurusan itu, pemuda itu dengan jalan memutar mendahuluinya!

“Aku hendak ke Bu-tong-pai dan mendengar bahwa di sana akan diadakan pertemuan orang-orang kang-ouw, aku pergi ke sana untuk meluaskan pengalaman. Engkau tentu mengetahui tentang Bu-tong-pai, apakah benar akan ada pertemuan besar di sana?”

“Benar sekali, Nona. Bahkan aku baru pulang setelah mengirim undangan-undangan dari Bu-tong-pai. Aku dimintai bantuan oleh ketua Bu-tong-pai. Dan sekarang, biarlah kami mengundang juga Nona untuk menghadiri pertemuari itu sebagai tamu agung.”

“Aih, kebetulan sekali kalau begitu.”

“Jadi Nona tidak keberatan kalau melakukan perjalanan bersamaku ke sana?”

“Tentu saja tidak.”

“Terima kasih atas kepercayaan Nona padaku. Nona, namaku Gu Lam Sang. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama Nona?”

“Namaku Siang Bi Kiok, akan tetapi dunia kang-ouw mengenalku sebagai Bikiam Nio-cu.”

“Ahhh! Jadi Nona yang disebut Bikiam Nio-cu? Sudah lama sekali aku mendengar dan mengagumi Bi-kiam Niocu yang kabarnya pandai sekali menggunakan pedang. Kiranya Nonalah orang itu dan sekarang bahkan aku mendapat kehormatan untuk melakukan perjalanan bersama?”

Melihat kegembiraan pemuda itu Niocu merasa senang. Semua itu begitu wajar dan pemuda ini tidak bermuka-muka.

“Melihat namamu tentu engkau seorang asing. Boleh aku mengetahui dari mana engkau berasal?”

Gu Lam Sang menjawab cepat.
“Memang aku berasal dari Tibet, Nona. Akan tetapi setelah berada di sini aku tidak merasa sebagai orang asing.”

“Mari kita lanjutkan perjalanan kita sambil bercakap-cakap, saudara Gu Lam Sang. Ah, aku harus menyebut apa padamu? “

“Sebut saja namaku tanpa embel-embel, dan aku akan menyebut Niocu kepadamu.” kata Gu Lam Sang merendah.

“Baiklah, Gu Lam Sang. Aku melihat betapa hebat kepandaianmu ketika menghadapi empat pemuda di rumah makan dan ketika tadi dikeroyok banyak tukang pukul. Engkau dari perguruan manakah? Dan siapakah gurumu?”

”Guruku hanya satu, yaitu Sang Dalai Lama di Tibet.”

“Aih, tidak mengherankan kalau begitu. Dalai Lama adalah seorang yang sakti. Aku pernah menghadap dia dan menyaksikan kehebatan ilmunya. Kenapa waktu aku ke sana engkau tidak berada di sana, Gu Lam Sang?”

“Aku sudah lama sekali meninggalkan Tibet. Sudah lebih dari lima tahun. Tentu aku sudah pergi dari sana ketika engkau menghadap guruku. Akan tetapi, mengapa engkau pergi menghadap guruku, Niocu? Ada keperluan apakah engkau dengan guruku?”

“Ah, aku sendiri tidak mempunyai urusan dengannya. Akan tetapi aku mengantar seorang kawan bernama Si Keng Han yang mendendam kepada Dalai Lama karena Dalai Lama menyuruh para Lama untuk membunuh gurunya yang namanya Gosang Lama.”

Berdebar jantung dalam dada Gu Lam Sang. Tentu saja dia sudah mengetahui semuanya. Gosang Lama itu adalah ayah kandungnya sendiri yang dihukum mati oleh Dalai Lama karena telah memberontak. Dan dia pun pernah bertemu dengan Keng Han beberapa kali, bahkan pernah bertanding melawan pemuda itu yang dia tahu amat lihai. Dan Niocu ini agaknya bersahabat baik dengan Keng Han!

Pada saat itu dia membutuhkan pembantu yang pandai dan begitu bertemu dengan Niocu hatinya tertarik, apalagi mendengar bahwa nona ini Bikiam Nio-cu yang namanya tersohor. Timbul niat di dalam hatinya untuk memikat gadis ini agar suka menjadi pembantunya. Setelah menggunakan siasat, akhirnya dia dapat berkenalan dengan gadis ini.

“Niocu, sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti engkau ini, apakah engkau tidak mempunyai cita-cita untuk masa depan?”

Niocu menoleh sambil terus berjalan.
“Cita-cita? Apa maksudmu? Aku sudah puas dengan keadaanku yang sekarang.”

“Ah, mana mungkin orang puas dengan keadaannya sekarang? Orang harus memiliki cita-cita untuk memperoleh kemajuan dalam hidupnya.”

Niocu menghela napas. Cita-cita apa? Dia mengharapkan menjadi jodoh Keng Han ternyata gagal dan ditolak pemuda itu! Ia pun tidak kerasan tinggal di Beng-san, di bekas rumah gurunya yang kini telah mengikuti The-ciangkun, hidup di kota raja! ?

“Aku saat ini belum memiliki cita-cita, Gu Lam Sang. Bagaimana dengan engkau? Apakah engkau memiliki cita-cita yang muluk?”

“Tentu saja! Aku bercita-cita membantu gerakan Bu-tong-pai yang berusaha menggulingkan pemerintah Mancu. Kalau gerakan itu berhasil, tentu aku memperoleh kedudukan yang tinggi sebagai pahalaku. Alangkah senangnya kalau aku memperoleh kedudukan tinggi. Aku akan memiliki kekuasaan, harta dan juga dihormati dan dimuliakan orang! Apakah engkau tidak ingin seperti itu?”

Niocu diam saja, alisnya berkerut dan ia pun membayangkan, mengingat-ingat. Kemudian ia mengangguk.

“Kalau bisa demikian, tentu aku akan senang. Aku pun bercita-cita seperti itu, Gu Lam Sang. Akan tetapi bagaimana caranya?”

“Mudah saja, Niocu. Kalau engkau mau membantu aku, kelak tentu engkau akan memperoleh pahala yang besar. Aku yang menanggung itu. kita bekerja sama dengan Bu-tong-pai dan dengan perkumpulan-perkumpulan lain, mengadakan pemberontakan dan menggulingkan pemerintah Mancu. Nah, mudah saja, bukan? Aku sendiri ingin sekali bekerja sama denganmu. Kawan-kawan lain tentu akan bergembira mendengar bahwa Bi-kiam Niocu mau bekerja sama dengan kami!”

Hati Bi-kiam Nio-cu semakin tertarik. Dara ini tidak tahu betapa diam-diam Gu Lam Sang telah mengerahkan ilmu sihirnya sehingga dalam penglihatan Niocu, Gu Lam Sang kelihatan sebagai orang yang amat baik hati dan wajahnya amat menarik hatinya.

Mereka melanjutkan perjalanan. Gu Lam Sang cukup cerdik sehingga dia bersikap sopan sekali terhadap Niocu. Bahkan pada suatu malam yang dingin, ketika mereka terpaksa melewatkan malam di hutan, ketika melihat Niocu seperti orang yang sudah pulas, padahal dia tahu betul wanita itu belum tidur nyenyak, dia melepaskan jubahnya dan dipergunakan untuk menyelimuti Niocu!

Niocu tahu akan hal itu, dan dia diam saja karena cara Gu Lam Sang menyelimutinya dilakukan dengan sopan, sedikit pun tangan pemuda itu tidak menyentuh kulit tubuhnya dan Gu Lam Sang berjaga semalam suntuk untuk menjaga agar perapian yang dibuat dari api unggun itu tidak sampai padam.

Demikian pula kalau mereka membutuhkan makanan, Gu Lam Sang selalu mencarikan untuk mereka. Dalam perjalanan bersama ini Niocu melihat bahwa Gu Lam Sang lebih memperhatikan dirinya dibanding Keng Han dahulu. Tanpa kata ia dapat mengerti bahwa Gu Lam Sang jatuh cinta kepadanya! Dan hal ini mendatangkan kebanggaan di hatinya. Kini ia pun sama sekali tidak membenci pria yang jatuh hati kepadanya, semenjak gurunya menyatakan bahwa semua pantangan dan larangan itu telah dihapus. Ia boleh menikah dengan pria yang dicinta dan mencinta dirinya.

Bagi Gulam Sang sendiri, Bi-kiam Niocu merupakan tenaga yang sangat penting baginya. Selain gadis ini cantik jelita sehingga dia akan merasa puas dan senang kalau dapat memperisterinya, juga gadis ini memiliki ilmu yang tinggi sehingga dapat menjadi pembantu yang berharga.

Berbeda dengan Liong Siok Hwa yang kini menjadi kekasihnya itu. Siok Hwa juga seorang gadis manis, namun masih kalah dibandingkan dengan Niocu. Dan Siok Hwa hanya memiliki ilmu silat rendah saja, tidak banyak gunanya untuk membantunya. Juga tidak ada orang tahu bagaimana hubungannya dengan Siok Hwa yang kini berada di Bu-tong-pai. Para murid Bu-tong-pai hanya menganggap bahwa Siok Hwa merupakan tamu dari ketua mereka dan sahabat dari Gu Lam Sang!

Ketika mereka tiba di Bu-tong-pai, Gu Lam Sang disambut para murid dengan sikap hormat karena orang ini merupakan tamu kehormatan ketua mereka. Pernah Thian It Tosu, tentu saja sebagai penyamaran Gu Lam Sang memesan kepada para muridnya agar memperlakukan Gu Lam Sang sebagai tamu terhormat karena Gu Lam Sang merupakan kenalan dekat dengan Thian It Tosu!

Bi-kiam Nio-cu sudah mempunyai nama besar maka orang-orang Bu-tong-pai sudah mendengar akan kelihaian pendekar wanita itu maka semua orang menghormatnya. Oleh Gu Lam Sang, Niocu diberi sebuah kamar yang bersih dan lengkap. Ketika Niocu bertanya di mana adanya Thian It Tosu, Gu Lam Sang menjawab bahwa Thian It Tosu kini seringkali mengurung diri di dalam ruangan bersamadhi dan tidak mau diganggu. Pada waktunya dia akan keluar sendiri dari kamar samadhi itu. Sebelum dia keluar, tak seorang pun boleh mengganggunya.

Pada keesokan harinya, benar saja Thian It Tosu keluar dari dalam kamarnya dan murid kepala memberi laporan bahwa keadaan Bu-tong-pai baik-baik saja dan bahwa Gu Lam Sang telah pulang akan tetapi karena ada urusan ke dusun di kaki bukit, pagi-pagi tadi sudah berangkat meninggalkan Bu-tong-pai!

Tentu saja tidak ada yang tahu kecuali Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang mengetahui bahwa Gu Lam Sang tidak turun gunung, melainkan menyamar sebagai Thian It Tosu yang dihadap para murid itu. Selain dua orang ini yang diancam bahwa Thian It Tosu yang asli akan dibunuh kalau mereka membocorkan rahasia, orang ke tiga yang mengetahuinya adalah Liong Siok Hwa yang terpaksa mau dijadikan kekasih Gu Lam Sang. Ia telah ternoda, ayahnya telah tewas dan biarpun bagaimana juga, ia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Gu Lam Sang.

Akan tetapi semenjak Bi-kiam Niocu datang bersama Gu Lam Sang dan mendapatkan sebuah kamar yang besar, hati Liong Siok Hwa menjadi tidak enak. Gadis itu terlalu cantik untuk tidak dicurigai. Apalagi melihat sikap Gu Lam Sang terhadap gadis itu yang begitu manis budi dan menghormat, hati Liong Siok Hwa dipenuhi rasa cemburu yang hebat. Ia sudah terlalu mengenal Gu Lam Sang sehingga ia tahu pula bahwa Gu Lam Sang mencinta gadis yang baru datang itu. Dan sejak kehadiran Bi-kiam Nio-cu di Bu-tong-pai, Gu Lam Sang tidak pernah berkunjung ke kamarnya di waktu malam seperti biasanya, seolah Gu Lam Sang telah lupa kepadanya.

Pada hari yang ditentukan, berdatanganlah para tokoh kang-ouw di Bu-tong-pai. Sebuah panggung didirikan dan dikelilingi kursi-kursi untuk para tamu. Thian It Tosu sendiri sebagai tuan rumah duduk di belakang panggung, didampingi oleh Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang merupakan murid-murid kepala dari Bu-tong-pai.

Dua orang murid ini sama sekali tidak berani berkutik, apalagi membongkar rahasia Gu Lam Sang karena orang ini telah mengancam akan membunuh guru mereka yang ditahan di ruangan tahanan bawah tanah oleh Gu Lam Sang dan dijaga siang malam oleh orang-orang Pek-lian-pai yang membantu Gu Lam Sang.

Di antara para tokoh persilatan yang berkedudukan tinggi, termasuk ketua-ketua partai dan para datuk, hadir pula di situ Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan puterinya, Yo Han Li. Han Li telah meninggalkan kota raja bersama gurunya, Kai-ong Lu Tong Ki. Han Li mengatakan kepada Kai-ong bahwa sudah tiba saatnya ia harus pulang ke Bukit Naga, pusat Thian-li-pang.

“Engkau telah dapat menguasai ilmu Tongkat Pemukul Iblis, maka tidak perlu lagi mengikuti aku. Pulanglah, Han Li, dan selalu bersikaplah sebagai seorang pendekar wanita yang menegakkan kebenaran dan keadilan.”

“Apakah Suhu tidak ikut bersama teecu ke Bukit Naga dan bertemu dengan ayah bundaku?”

Lu Tong Ki menggoyang-goyang tangan kirinya.
“Bertemu Pendekar Tangan Sakti dan pendekar wanita Si Bangau Merah? Wah, tidak, aku malu telah mengangkat engkau menjadi muridku.”

“Tidak apa-apa, Suhu. Aku yang menanggung kalau orang tuaku tidak akan marah kepadamu.”

“Tidak, aku lebih senang merantau dan mencari makanan yang enak-enak. Selamat jalan!” kata kakek itu yang lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan muridnya itu.