Ads

Kamis, 02 Juni 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 38

Ang Hwa Nio-nio memandang kepada Cu In. Hatinya seperti ditusuk rasanya. Puteri kandungnya sendiri berkata seperti itu!

“Cu In, jangan berkata begitu, Nak!” katanya.

“Mengapa baru sekarang ibu memanggilku seperti itu? Kenapa ibu mengingkari dan mengatakan bahwa aku yatim piatu dan dipungut menjadi murid, kemudian bahkan disuruh membunuh ayah kandungku sendiri? Mengapa?” Kini dalam suara gadis berkerudung itu terdengar isak tangis.

Ang Hwa Nio-nio menghela napas panjang.
“Engkau tidak mengetahui penderitaanku selama itu, Cu In. Hidup seorang diri, menahan semua rasa rindu. Bahkan peristiwa itu membuat aku membenci dan ingin membunuh semua pria! Akan tetapi setelah bertemu dengan ayahmu, aku menginsyafi kekeliruanku. Ternyata tidak semua laki-laki itu jahat. Juga ayahmu sama sekali bukan seorang laki-laki jahat.”

Mendengar semua itu, Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok menjadi terheran-heran. Ia membelalakkan matanya yang indah, memandang kepada The Sun Tek, lalu kepada gurunya.

“Jadi.... Paman ini.... dia suami Subo?” tanyanya dengan suara lirih terputus-putus.

Ang Hwa Nio-nio hanya mengangguk dan kedua matanya menjadi basah, berlinang air mata! Makin heranlah Niocu. Belum pernah selama ini ia melihat subonya menangis.

“Aku.... aku memang bersalah diracuni sakit hatiku, Cu In. Maafkan ibumu, Nak.”

The Sun Tek berkata,
“Sudahlah, mari kita lupakan semua yang terjadi dan memulai hidup baru yang penuh kasih sayang dan berbahagia. Cu In, ibumu telah minta maaf. Cairkan perasaan hatimu yang membeku itu.”

“Benar, Cu In. Bagaimanapun juga, beliau adalah ibu kandungmu yang melahirkanmu kemudian memeliharamu sampai menjadi dewasa.” kata Keng Han membujuk.

Sejak melihat ibunya menangis dan bicara dengan suara terputus-putus mengakui kesalahannya, Cu In sudah menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran akan tetapi tidak kelihatan ia menundukkan mukanya. Kini mendengar bujukan ayahnya dan Keng Han, ia lalu bangkit dan berlari menubruk kedua kaki ibunya.

“Ibuku....!”

“Cu In.... Cu In.... engkau anakku, anak tunggal. Kau maafkan aku, ya?” Ibunya juga merangkul dan keduanya bertangisan.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ibu. Aku dapat memaklumi perasaan Ibu.”

“Subo, bagaimanakah ini? Jadi Sumoi adalah puteri Subo sendiri dan Paman ini adalah suami Subo?”

Keng Han melangkah maju menghampiri Niocu sambil berkata,
“Sesungguhnya begitulah, Subo”

“Jangan kau panggil subo kepadaku! Seperti orang mengejek saja. Panggil saja Niocu seperti dulu. Siapa tidak tahu bahwa Ilmumu jauh lebih tinggi dari Ilmuku? Jangan sekali-kali panggil subo atau aku akan menganggap engkau menghinaku.”

Ang Hwa Nio-nio yang tahu benar bahwa hati para muridnya itu penuh kebencian kepada pria seperti yang sejak dulu ia tekankan, tahu pula akan watak Bi-kiam Niocu.

“Bi Kiok, sudahlah. Mulai sekarang, jangan membenci setiap orang pria. Hanya yang jahat saja boleh kau benci. Akan tetapi kalau pria itu baik, tidak ada salahnya menjadi sahabat.”

”Ibu, bagaimana kalau ada pria yang mencinta Suci? Apakah dia harus dibunuh?”

“Tidak, tidak. Dulu itu aku sudah gila. Jatuh cinta bukanlah hal yang jahat. Kalau Bi Kiok tidak membalas cintanya, jauhi saja dan katakan terus terang.”

“Bagaimana kalau teecu yang jatuh cinta, Subo? Apakah pria itu harus dibunuh?”

“Tidak! Kalau engkau mencinta seseorang dan orang itu pun mencintamu, maka tiada halangannya engkau berjodoh dengan, dia.”

“Aih, terima kasih, Subo! Adik Cu In, mulai sekarang engkau tidak perlu menutupi mukamu lagi. Kutukan itu telah dihapuskan oleh Subo!”

“Suci, aku tidak mau menjadi buah tertawaan dengan mukaku yang penuh cacat ini! Tidak, aku kini mempunyai sumpah bahwa aku tidak akan membuka cadar ini sebelum aku menikah. Dalam malam pengantin aku membuka dan membuang cadarku untuk selamanya!”






“Sumoi....!” kata Niocu sambil memandang kepada Keng Han.

Dari sikap mereka, ia dapat menduga bahwa keduanya saling mencinta. Akan tetapi kalau kelak Keng Han melihat wajah sumoinya itu, apakah Keng Han akan mau menjadi suaminya?

“Bi Kiok, Cu In sudah mempunyai pendirian begitu, engkau tidak boleh mencampurinya!” kata Ang Hwa Nio-nio sambil tersenyum.

Niocu memandang bengong. Belum pernah dilihatnya gurunya itu tersenyum apalagi tertawa dan ia melihat wajah subonya itu kini penuh senyuman dan ternyata gurunya itu masih cantik walaupun usianya sudah lima puluh tahun!

“Hong Bwe, anak kita ini sudah mempunyai calon jodohnya bahkan sudah pernah melihat mukanya.”

“Ayah....!” Cu In berseru dan dahinya nampak kemerahan.

“Cu In, engkau tidak dapat menyembunyikan perasaanmu di depan ayahmu, Ha-ha-ha!”

“Benarkah itu?” Ang Hwa Nio-nio berseru, nada suaranya gembira bukan main, “Siapakah laki-laki yang bijaksana itu?”

“Orangnya dekat di sini, apa engkau tidak dapat menduganya, Hong Bwe?”

“Ah, engkaukah, orang muda? Benarkah engkau mencinta Cu In dengan setulus hatimu?”

Biarpun perasaan sungkan dan tersipu, Keng Han menjawab dengan lantang,
“Benar, Bibi. Saya mencinta Cu In dengan segenap jiwa ragaku.”

“Ah, tidak mungkin!!” tiba-tiba Bikiam Nio-cu berseru nyaring. “Sama sekali tidak mungkin!” tentu saja ia merasa terkejut sekali mendengar ucapan Keng Han itu.

Ia pernah mencinta Keng Han dan mengharapkan pemuda itu menjadi suaminya. Akan tetapi Keng Han menolaknya. Dan sekarang Keng Han menyatakan bahwa dia mencinta Cu In? Rasanya tidak mungkin. Ia sendiri seorang wanita cantik dan ia menyadari benar akan hal Ini. Sebaliknya, ia sudah melihat wajah sumoinya yang totol-totol hitam, buruk sekali. Kalau Keng Han pernah melihat wajah itu, bagaimana mungkin dia jatuh cinta kepada wanita yang wajahnya sedemikian buruknya?

The Sun Tek berkata, suaranya tegas dan berwibawa,
“Mengapa tidak mungkin? Ada dua macam cinta di dunia ini. Yang pertama cinta murni yang tidak dipengaruhi oleh buruknya rupa, buruknya nama atau kemiskinan. Yang kedua adalah cinta nafsu yang digerakkan oleh keadaan yang dicinta seperti wajah elok, terkenal, berkuasa atau hartawan. Dan cinta Keng Han seperti cinta yang pertama tadi.”

“Ucapan suamiku ini benar, Bi Kiok. Lihat cinta suamiku kepadaku. Biarpun namaku buruk dan terkenal sebagai seorang yang disebut kejam dan sesat, namun cintanya kepadaku sama sekali tidak pernah berkurang. Usahakan agar engkau menemukan seotang pria seperti itu, yang mencintamu bukan sekedar pelampiasan nafsu belaka!”

The Sun Tek berkata kepada Ang Hwa Nio-nio,
“Hong Bwe, sebaiknya engkau berkemas dan sekarang juga kita pergi ke kota raja, pulang ke rumah kita.”

“Pulang....?” Ang Hwa Nio-nio bertanya suaranya seperti orang kebingungan, seperti dalam mimpi.

“Ya, pulang ke rumah kita di kota raja.”

“Aku sudah bersiap-siap, lama sebelum engkau datang,” kata Ang Hwa Nio-nio dengan kedua pipinya berubah kemerahan. “Aku hanya membawa sebuah buntalan saja.”

“Subo, apakah Subo akan pergi meninggalkan tempat ini?” tanya Bi-kiam Nio-cu.

“Benar, Bi Kiok. Aku akan pergi, akan pulang ke kota raja, meninggalkan Beng-san dan tidak akan kembali ke sini lagi. Rumah beserta isinya ini kutinggalkan kepadamu, menjadi milikmu.”

Ang Hwa Nio-nio lalu mengambil buntalan yang menjadi bekalnya, kemudian mengajak suami dan puterinya untuk segera berangkat.

Keng Han tidak ikut.
“Paman, sebagai seorang anak, saya harus mencari ayah saya, membujuknya agar dia menghentikan usahanya memberontak dan mengajaknya pulang ke Khitan. Setelah itu barulah orang tua saya akan mengajukan pinangan resmi atas diri Cu In.”

The Sun Tek mengangguk-angguk, diam-diam memuji calon mantunya itu,
“Itu adalah suatu niat yang mulia sekali. Pergilah, kami akan menantimu di kota raja. Memang sudah semestinya kalau orang tuamu merestui perjodohanmu.”

The Sun Tek, Ang Hwa Nio-nio dan Cu In segera berangkat. Akan tetapi belum jauh mereka pergi, Cu In membalikkan tubuhnya dan lari menghampiri Keng Han.

“Keng Han, kuharap engkau suka menyimpan ini baik-baik!” Ia meloloskan sabuk suteranya yang putih. “Selama ini sabukku menjadi teman yang setia.”

Keng Han merasa terharu sekali ketika menerima sabuk sutera putih itu. Dia pun lalu mengambil pedang bengkoknya dan diserahkan kepada Cu In.

“Terima kasih, Cu In. Dan ini pedangku harap kau simpan baik-baik. Pedang ini pemberian ibuku dan biarlah sekarang untuk sementara disimpan oleh calon isteriku yang tercinta.”

“Selamat tinggal, Keng Han.” kata Cu In sambil menerima pedang bengkok itu.

“Selamat jalan dan selamat berpisah untuk sementara, Cu In.” kata Keng Han. Gadis itu lalu pergi dengan cepat menyusul orang tuanya.

“Hi-hi-hik, sungguh lucu. Seperti orang bermain sandiwara saja. Alangkah mesranya, Keng Han!” Bi-kiam Nio-cu mengejek sambil tertawa.

“Kalau dua hati sudah bertemu dalam cinta, tentu saja timbul kemesraan, Niocu “

“Aku heran sekali. Apakah matamu sudah buta, Keng Han?”

“Niocu, harap engkau jangan menghinaku. Mengapa engkau mengatakan mataku buta?”

“Benarkah engkau sudah menyaksikan bagaimana bentuk wajah sumoi Cu In?”

“Sudah, mengapa?”

“Wajahnya begitu buruk dan menjijikkan! Engkau dapat mencinta gadis dengan wajah seperti itu?”

“Niocu, engkau belum mengenal apa artinya cinta. Aku mencinta Cu In sejak la belum memperlihatkan mukanya. Aku mencinta ia, mencinta pribadinya, bukan mencinta wajahnya. Setelah aku melihat mukanya, cintaku semakin kuat karena ada dorongan perasaan iba kepadanya. Aku kelak akan mencarikan tabib terpandai di seluruh dunia untuk mengobatinya!”

“Hi-hi-hik, percuma saja. Cacat di mukanya itu menurut kata subo dan sumoi sendiri, adalah cacat bekas cacar. Mana mungkin pulih kembali. Kelak engkau akan menyesal. Kalau semua orang menertawakanmu ketika engkau bersanding dengan isterimu yang wajahnya seperti setan....!”

“Cukup, Niocu! Jangan engkau menghina Cu In atau aku akan menghajarmu!”

“Eh-eh-eh, engkau akan menghajarku? Lupakah, engkau bahwa aku ini gurumu?”

“Hemmm, memang engkau pernah mengajari cara menghadapi tok-ciang, akan tetapi engkau sendiri yang menyuruh aku memanggil Niocu. Jadi sekarang aku bukan lagi muridmu.”

“Hemmm, pedangmu sudah kau berikan kepada kekasihmu, bagaimana engkau akan melawan aku? Dengan sabuk sutera putih pemberian kekasihmu itu?”

“Niocu, untuk melawanmu tidak perlu aku mempergunakan senjata!” kata Keng Han sambil mengikatkan sabuk sutera putih itu di pinggangnya.

“Keparat! Berulang kali engkau menghinaku, menolakku, dan sekaranglah kesempatan bagiku untuk membunuhmu! kalau aku tidak dapat memperolehmu, orang lain juga tidak boleh!”

Berkata demikian, Bi-kiam Nio-cu mencabut pedangnya lalu menyerang dengan cepat dan dahsyat. Namun Keng Han dengan tenang saja menggerakkan tubuhnya mengelak dari tusukan ke arah dada itu.

“Percuma, Niocu. Engkau tidak akan menang. Hentikanlah seranganmu itu dan jangan ganggu aku lagi!” Keng Han masih mencoba untuk memperingatkan lawannya.

“Mampuslah!” Niocu membentak dan menyerang lebih hebat lagi.

“Wuuuuuttt.... singgg....!”

Pedang yang menebas ke arah leher itu luput karena dielakkan oleh Keng Han. Keng Han mengalah dan terus mengelak sampai sepuluh jurus. Ketika melihat gadis itu semakin nekat menyerangnya, dia pun lalu membalas. Tangan kirinya menampar ke arah leher Niocu, akan tetapi ketika Niocu mengelak, ia disambut oleh tangan kanan Keng Han yang menjotos ke arah lambungnya. Niocu berseru kaget dan melompat mundur ke belakang sehingga jotosan ke lambung itu luput.

Keng Han segera bersilat dengan ilmu Toat-beng Bian-kun, sebuah di antara ilmu silat pusaka Pulau Es. Nampaknya saja ilmu silat ini lemah lembut seperti kapas, akan tetapi di dalamnya terkandung tenaga sinkang yang mengancam lawan dengan dahsyatnya! Menghadapi ilmu silat aneh dan berbahaya sekali ini, Niocu terdesak mundur terus.

“Hentikan seranganmu, Niocu. Hentikan!”

Keng Han berkali-kali membujuk. Akan tetapi Niocu yang sudah menjadi penasaran itu tidak mempedulikan seruannya dan menyerang terus. Tiba-tiba ia menggerakkan kepalanya ke belakang dan gelungan rambutnya terlepas sehingga rambut itu menjadi riap-riapan dan panjang sampai ke pinggang. Rambut ini, yang lembut dan berbau harum, merupakan senjata yang tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan kanan Niocu. Bahkan gerakan rambut ini datangnya tidak terduga-duga, bisa dipergunakan untuk menyolok mata, melibat dan mencekik leher, bahkan menotok ke arah jalan darah lawan.

Namun Keng Han sudah mengenal kelihaian rambut panjang itu. Ketika Niocu menusukkan pedangnya ke arah perut, tiba-tiba rambutnya melibat leher Keng Han! Keng Han mengelak ke kiri akan tetapi tidak dapat mengelak dari rambut yang sudah melilit lehernya. Dia menggunakan tangan kirinya, menangkap rambut itu dan sekali tarik, rambut itu putus setengahnya!

Niocu menjerit kaget. Rambutnya yang tadinya sepanjang pinggang itu kini tinggal sepundak! Akan, tetapi ketika sedang mundur dan kaget melihat rambutnya, Keng Han sudah maju dan menendang ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang.

Kembali Niocu menjerit kaget dan pedangnya terlepas dari pegangan, mencelat ke atas. Tiba-tiba nampak bayangan tubuh orang yang menangkis pedang yang terpental itu. Ketika bayangan itu turun, ternyata dia seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun. Wajahnya penuh brewok seperti muka harimau dan brewok serta rambutnya sudah putih semua!

“Bi-kiam Nio-cu, ini pedangmu! Apakah engkau perlu bantuanku menghadapi bocah lancang ini?”

Bi-kiam Nio-cu bukan orang yang curang. Sebaliknya, ia menghargai kegagahan dan tanpa malu lagi ia mengaku dalam hati bahwa kepandaiannya tidak mampu menandingi kepandaian Keng Han. Ia menyimpan kembali pedangnya menyanggul rambutnya yang tinggal sepundak, lalu berkata kepada orang itu.

“Pek-thou-houw (Harimau Kepala Putih), tidak perlu engkau mencampuri urusanku. Dan ada keperluan apakah engkau datang ke sini?”

Orang yang berjuluk Harimau Kepala Putih itu menghela napas panjang. Bi-kiam Nio-cu ini ternyata masih sama angkuhnya dengan dulu. Seorang wanita yang dingin dan angkuh! Maka dia pun tidak mau bicara panjang lebar, hanya menyampaikan tugasnya saja.

“Bi-kiam Nio-cu, aku diutus oleh Thian It Tosu dari Bu-tong-pai untuk mengundang Ang Hwa Nio-nio ke Bu-tong-san, karena di sana akan diadakan rapat besar antara para datuk dan tokoh kang-ouw. Harap engkau suka minta pada gurumu untuk menemuiku atau aku yang menghadap ke dalam.” kata Pek-thou-houw sambil memandang ke arah rumah itu.

“Guruku sudah pergi dan tidak akan kembali,” kata Bi-kiam Nio-cu, “maka tidak mungkin dapat pergi. Akan tetapi aku yang akan mewakilinya datang ke Bu-tong-san.”

“Begitupun bagus, Niocu. Kami semua telah mendengar nama besar Bi-kiam Nio-cu. Niocu, bagaimana kalau sebelum aku pergi, aku memberi hajaran kepada bocah ini agar lain kali dia tidak akan menggodamu lagi?”

Bi-kiam Nio-cu tersenyum mengejek.
“Sesukamulah!” katanya.

Pek-thou-houw menghampiri Keng Han yang sejak tadi hanya menjadi penonton saja.
“Heh, orang muda, siapa namamu? Aku tidak biasa membunuh orang yang tidak mempunyai nama!” bentak Harimau Kepala Putih itu dengan sikap bengis.

“Namaku Si Keng Han dan kuharap engkau tidak mencampuri urusan antara aku dan Niocu.” kata Keng Han dengan lembut.

“Apa katamu? Kalau aku mencampuri, kau mau apa?”

“Sesukamulah kalau begitu. Aku sudah memperingatkan!” kata Keng Han, kini tidak lembut lagi bahkan suaranya mengandung gertakan.

“Awas seranganku. Heh-heiiiiittt!”

Si Kepala Putih itu mengeluarkan gerakan seperti seekor harimau dan tubuhnya sudah meloncat ke depan, sikapnya persis harimau yang hendak menerkam korbannya, kedua tangan dibentangkan dengan jari-jari membentuk cakar harimau.

“Hemmm....!”

Keng Han mengenal ilmu silat harimau ini. Akan tetapi harus diakui bahwa Si Harimau Kepala Putih ini telah mempelajari segala bentuk gerakan harimau dengan seksama dan seorang ahli dalam Houw-kun (silat Harimau) itu. Dia percaya bahwa dua cakar itu sanggup merobek kulit dan daging lawan! Karena telah mengenal ilmu itu, dengan mudah dia mengelak dengan lompatan ke kiri dan begitu “harimau” itu turun ke atas tanah, dia sudah menampar dengan tangan kiri.

“Wuuuuuttt.... plakkk....!!”

Keng Han terkejut sendiri. Tanpa disadari tangan kirinya masih memegang potongan rambut Niocu sehingga ketika dia menampar, rambut itu yang melecut ke arah muka Pek-thou-houw!

Pek-thou-houw berteriak kesakitan. Lecutan cambuk istimewa itu keras sekali sehingga meninggalkan jalur merah pada pipi dan lehernya. Sementara itu, Keng Han yang baru teringat akan rambut itu sudah mendekati Niocu dan menjulurkan tangan mengembalikan rambut.

“Maafkan aku, Niocu. Aku menyesal sekali.” katanya.

Bi-kiam Nio-cu menyambar rambutnya sambil menggigit bibir menahan keluarnya air mata, lalu ia membalikkan tubuhnya dan berlari pergi meninggalkan tempat itu. Ketika melihat bahwa Bi-kiam Niocu lari pergi, dan teringat akan lecutan rambut tadi, dia merasa jerih. Tahulah dia bahwa Bi-kiam Nio-cu tadi agaknya kalah oleh pemuda itu, apalagi dia! Maka, tanpa pamit lagi dia pun lari meninggalkan Keng Han.

Keng Han memandang ke arah bayangan Niocu dan berulang kali dia menghela napas panjang. Mudah-mudahan dia mendapatkan seorang pria yang benar-benar mengasihinya, pikirnya. Dia merasa kasihan kepada Bi-kiam Nio-cu. Dia mengerti bahwa Bi-kiam Nio-cu mencintainya, bahkan pernah mengajaknya menikah lalu lari minggat dari subonya.

Sekarang, melihat dia saling mencinta dengan Cu In, tentu hati wanita itu penuh iri dan cemburu, maka berusaha mati-matian untuk membunuhnya. Dia tahu bahwa Bi-kiam Nio-cu bukan orang jahat, dan kalau wataknya menjadi kejam terhadap kaum pria, hal itu adalah karena sejak kecil dara ini dididik untuk membenci pria. Akan tetapi mulai sekarang dia mengharapkan gadis itu berubah pula setelah melihat betapa subonya kembali kepada kekasihnya, bahkan merestui perjodohan antara dia dan Cu In.

“Semoga engkau menemukan jodohmu yang tepat,Niocu.” kata Keng Han sambil menarik napas panjang dan dia pun pergi ke Bu-tong-san.

Dia tertarik mendengar dari Pek-thou-houw tadi bahwa Bu-tong-pai akan mengadakan pertemuan besar. Siapa tahu dia akan dapat bertemu dengan ayahnya di sana, mengingat bahwa gerakan ayahnya itu sejalan dengan sikap Bu-tong-pai yang hendak memberontak.

**** 38 ****