Ads

Kamis, 02 Juni 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 37

Bhe Seng Kok adalah seorang pria berusia empat puluh lima tahun dan tinggal di kota Cian-an. Sepuluh tahun yang lalu, ketika diadakan pemilihan bengcu, dia juga hadir. Tadinya semua orang memilih dan menunjuk Pendekar Sakti Yo Han untuk menjadi ketua baru, akan tetapi Yo Han yang sudah menjadi ketua Thian-li-pang menolak.

Kemudian atas usul Yo Han yang mengenal baik Bhe Seng Kok, pendekar Siauw-lim-pai inilah yang dipilih menjadi bengcu. Bhe Seng Kok menerimanya dan sejak itu dialah yang menjadi bengcu. Tugas seorang bengcu adalah mengepalai seluruh dunia kang-ouw dan kalau terjadi bentrokan antara orang kang-ouw, bengcu inilah yang akan menyelesaikannya.

Akan tetapi ketika terjadi perang antara pemberontak dan pemerintah, dia sama sekali tidak mau mencampurinya. Biarpun banyak anggauta kang-ouw yang terlibat, akan tetapi Bhe Seng Kok menganggap itu urusan pemerintah dan dia tidak mau melibatkan diri, hanya mendengar laporan dari orang-orang kang-ouw saja.

Bhe Seng Kok, hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga dan tidak pernah menikah. Bahkan ada keinginan dalam hatinya untuk kembali ke biara Siauw-lim-pai dan menjadi hwesio disana.

Pada suatu hari Bhe Seng Kok sedang duduk sendiri di dalam rumahnya yang tidak besar. Tiba-tiba terdengar langkah kaki orang di depan rumahnya dan dia cepat keluar untuk menyambut tamu yang datang.

Ternyata yang datang adalah dua orang, seorang pemuda yang gagah dan seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang dayung baja. Bhe Seng Kok yang menjadi bengcu tentu saja mengenal hampir semua orang kang-ouw, apalagi tokoh-tokoh yang tua. Maka begitu melihat kakek yang memegang dayung baja, dia teringat dan segera menyambut dengan ramah.

“Ah, kiranya Tung-hai Lo-mo yang datang berkunjung. Selamat datang dan marilah kita duduk di dalam agar dapat bicara dengan leluasa.”

“Terima kasih, Bengcu.” kata Tunghai Lo-mo dan dia masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Gu Lam Sang, pemuda gagah itu.

“Silahkan Ji-wi (Kalian berdua) duduk!” Bhe Seng Kok mempersilakan dua orang tamunya.

“Terima kasih, Bengcu.” kata Tunghai Lo-mo sambil tersenyum. “Perkenalkan pemuda ini bernama GuLam Sang, seorang pemuda yang memiliki ilmu silat tinggi bukan main.”

Bhe Seng Kok mengangguk dan memandang kepada GuLam Sang sambil berkata,
“Maafkan kalau aku belum mengenal Sicu, karena Sicu masih muda dan baru muncul di dunia kang-ouw. Tunghai Lo-mo, keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini?”

“Yang mempunyai keperluan justeru GuLam Sang kongcu ini. Aku hanya mengantarkannya saja.”

”Ah, begitukah? Sicu, ada keperluan apakah maka Sicu datang menemuiku?”

GuLam Sang tersenyum mengejek.
“Aku mendengar bahwa engkau adalah bengcu yang mengepalai seluruh dunia kang-ouw. Benarkah?”

“Benar, dan aku menjadi bengcu karena dipilih dan didorong oleh para saudara di dunia kang-ouw.”

“Seorang bengcu tentu mempunyai ilmu silat yang tak terkalahkan. Karena tertarik dan ingin sekali membuktikan sendiri bagaimana hebatnya ilmu silat bengcu, maka aku sengaja datang untuk menantangmu mengadu ilmu silat!” kata Gu Lam Sang terus terang.

Bhe Seng Kok tersenyum lebar dan berkata,
“Orang muda, menjadi bengcu bukan diukur dari ilmu silatnya saja, melainkan harus pula memiliki kebijaksanaan dan rasa keadilan. Bengcu bukan jagoan yang membanggakan ilmu silatnya, maka tidak perlu kita harus mengadakan pibu (mengadu ilmu silat).”

“Maaf, Bengcu. Kurasa pendapat itu tidak benar”, kata Tung-hai Lo-mo. “Kongcu GuLam Sang ini datang dari jauh di Barat. Kalau permintaannya untuk pibu tidak dipenuhi, tentu dia akan menceritakan kepada semua orang bahwa Bengcu takut bertanding dengan dia.”

GuLam Sang tertawa.
“Ha-ha-ha, kalau memang Bengcu takut bertanding melawanku, akuilah saja. Asalkan engkau suka berlutut memberi hormat tiga kali padaku, aku tidak akan memaksamu lagi.”

Berkerut alis Bhe Seng Kok.
“Tidak ada yang takut dan tidak ada yang perlu berlutut! Aku menolak diadakan pibu hanya karena menyayangkan Sicu yang masih muda. Kalau sampai Sicu terluka dalam pibu, aku akan ditertawakan orang sedunia. Seorang bengcu melayani tantangan seorang pemuda yang tidak ternama tanpa alasan. Tidak, aku tidak mau pibu denganmu!”

Gu Lam Sang bangkit dan mencabut pedangnya.
“Engkau telah menghinaku. Pendeknya, mau atau tidak engkau harus melawanku untuk menentukan siapa di antara kita yang lebilh lihai!”

Melihat kenekatan Gu Lam Sang, Bhe Seng Kok mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk.

“Begitukah yang kau kehendaki? Kalau begitu terpaksa aku akan melayanimu!” Setelah berkata demikian, Bhe Seng Kok menyambar pedangnya yang tergantung di dinding. “Mari kita pergi ke kebun di belakang agar lebih leluasa bertanding!”

Mereka pergi ke kebun di belakang rumah itu. Di kebun ini biasanya Bhe Seng Kok bercocok tanam.

“Nah, di sini tempatnya luas dan engkau boleh mulai, orang muda!”






“Bengcu, jagalah seranganku!” kata Gu Lam Sang dan dia sudah menyerang dengan ganasnya.

Melihat serangan ini, diam-diam Bhe Seng Kok terkejut karena dia mengenal ilmu silat yang dahsyat. Maka dia pun menangkis dengan pedangnya lalu membalas serangan itu. Gu Lam Sang juga dapat menghindarkan diri dan mereka sudah bertanding dengan seru.

Melihat betapa semua serangan Gu Lam Sang bukan sekedar untuk menguji kepandaian, melainkan benar-benar menyerang dengan serangan maut yang berbahaya, Bhe Seng Kok terpaksa mengimbanginya dengan ilmu pedangnya yang kokoh kuat.

Bengcu ini adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai maka tentu saja ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Gu Lam Sang yang pernah mempelajari ilmu-ilmu dahsyat dari Dalai Lama, maka pertandingan itu berlangsung seimbang dan amat hebatnya. Sinar kedua pedang itu bergulung-gulung dan dua orang yang bertanding itu merasa betapa tangguh lawannya. Seratus jurus telah lewat tanpa ada yang terdesak dan ternyata tingkat mereka seimbang!

Tiba-tiba sebatang dayung baja yang kuat dan berat menyambar ke arah Bhe Seng Kok. Bengcu itu terkejut bukan main. Dia mengelak dengan cepat dan menahan pedangnya menudingkan telunjuknya kepada Tung-hai Lo-mo sambil berseru,

“Lo-mo, kau....!”

Akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Gu Lam Sang telah menyerangnya dari belakang. Bhe Seng Kok sedang mencurahkan perhatiannya kepada Tung-hai Lo-mo, maka dia tidak tahu akan kecurangan itu dan tahu-tahu punggungnya telah ditembusi pedang. Bengcu itu roboh terlentang, matanya mendelik ke arah kedua orang itu dan berseru,

“Kalian keji dan curang.!” Dan dia pun terkulai, menghembuskan napas terakhir.

“Bagus!” kata Tung-hai Lamo. “Perkelahian ini tidak nampak oleh orang lain. Mari cepat pergi dari sini, jangan sampai terlihat orang lain!”

Keduanya lalu melarikan diri, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon kemudian melompat keluar dari pagar tembok rumah itu. Tidak ada orang lain yang melihatnya dan baru beberapa hari kemudian mayat Bhe Seng Kok ditemukan tetangganya yang mencium bau mayat.

Tidak ada orang mengetahuinya siapa yang membunuh bengcu itu. Melihat bengcu itu tewas dengan luka di punggung dan masih memegang sebatang pedang, semua orang tahu bahwa bengcu itu terbunuh dalam perkelahian akan tetapi tidak ada yang tahu siapa pembunuh itu.

Matinya beng-cu ini segera tersiar ke seluruh pelosok negeri. Dan dua hari setelah kematian beng-cu itu, Thian It Tosu dari Bu-tong-pai mengundang para tokoh kang-ouw dan partai-partai besar untuk datang ke Bu-tong-pai.

Bu-tong-pai hendak menjadi pelopor untuk pemilihan beng-cu baru. Undangan ini pun tersiar cepat sehingga terdengar sampai ke kota raja. Maka The Sun Tek juga mendengar tentang undangan Bu-tong-pai itu walaupun dia belum mendengar akan kematian Bhe Seng Kok.

Orang yang memiliki pamrih besar yang dia sendiri sebut sebagai cita-cita, memang mempunyai seribu satu macam akal untuk mencapai apa yang dituju. Dia tidak peduli lagi akan caranya, segala macam cara dianggap halal dan pantas dilakukan demi mencapai apa yang dicita-citakan.

Seperti Gulam Sang dan kawan-kawannya itu. Baru saja dia gagal dalam usaha membunuh kaisar dan pangeran mahkota, juga penyerbuan ke kota raja gagal, mereka kini sudah menjalankan siasat lain dan untuk keberhasilan siasat itu, mereka tidak segan-segan membunuh orang yang sama sekali tidak bersalah. Siapapun yang dianggap menghalangi jalan mereka tentu akan dihancurkan.

Mereka bertiga melakukan perjalanan dengan cepat dan pada suatu hari tibalah mereka di kaki Beng-san. The Sun Tek berjalan di depan, kemudian di belakangnya Cu In berjalan di samping Keng Han.

Cu In yang menjadi penunjuk jalan.
“Di depan itu terdapat jalan simpangan ke kiri. Jalan itulah yang harus diambil Ayah. Membelok ke kiri.”

Kini Cu In sudah tidak asing lagi menyebut ayah kepada The Sun Tek dan hal ini benar-benar membahagiakan hati panglima itu dan juga menyenangkan hati Keng Han.

“Kita sudah berjalan lebih dari setengah hari, apakah tidak baik kalau kita beristirahat lebih dulu?” Keng Han mengusulkan. Dia sendiri sebetulnya masih dapat bertahan, akan tetapi dia melihat betapa dahi Cu- In sudah berkeringat dan dia merasa kasihan kepada gadis itu.

Mendengar ini, The Sun Tek tersenyum dan menghentikan langkahnya.
“Engkau benar, Keng Han. Saking besarnya semangatku hendak cepat-cepat bertemu isteriku, aku sampai lupa akan kelelahan, dahaga dan kelaparan. Mari kita beristirahat sejenak sambil makan bekal kita.”

Cu In diam saja akan tetapi juga tidak membantah, mereka memilih tempat yang teduh di bawah pohon besar dan duduk di atas batu yang terdapat di situ. Keng Han lalu membuka. buntalan dan mengeiuarkan beberapa potong roti kering dan dendeng kering. Juga seguci anggur dan tiga buah cawan.

Tanpa banyak cakap lagi mereka duduk makan dan minum. Karena mereka sudah lelah dan lapar, maka makanan sederhana itu bagi mereka terasa nikmat sekali. Setelah selesai makan mereka lalu duduk beristirahat melepas lelah.

“Cu In, anakku. Engkau mengenakan cadar di mukamu karena tekanan ibumu agar mukamu tidak sampai terlihat pria yang dianggapnya semua jahat. Akan tetapi, kukira sekarang pendapat ibumu itu lain lagi, maka pantangan itu pun harus kau buang jauh-jauh. Tidak semua pria jahat. Contohnya Keng Han ini. Apakah engkau dapat mengatakan bahwa dia seorang laki-laki yang jahat?”

“Tidak, Ayah.” kata Cu In sambil menundukkan mukanya.

“Apakah engkau menganggap ayahmu ini laki-laki yang jahat pula?”

“Tidak juga, Ayah.”

“Nah, kalau begitu kenapa engkau selalu memakai cadar itu rnenyembunyikan mukamu dari kami?. Aku ayahmu, Cu In. Aku ingin sekali melihat mukamu. Maka kuminta, bukalah cadar itu, Cu In.”

Melihat gadis itu menjadi bingung, Keng Han lalu berkata dengan lembut.
“Cu In, bukalah cadarmu dan biarkan ayahmu melihatmu. Seorang ayah yang baik tentu akan tetap menyayang anaknya, bagaimanapun juga wajah anaknya itu “

“Ayah, kau berjanji tidak akan membenciku atau malu mengakui aku sebagai anakmu setelah melihat wajahku?”

“Ah, bagaimana mungkin? Engkau anakku, tidak peduli bagaimanapun bentuk wajahmu. Bukalah cadar itu sebentar saja, untukku.”

Cu In lalu menghadapi ayahnya dan berkata,
“Lihatlah Ayah, betapa buruk rupaku!”

Ia menyingkap cadarnya dan The Sun Tek sampai melangkah mundur dua langkah saking kagetnya.

“Engkau.... jijik melihatku, Ayah?”

“Tidak, ah, tidak....!” Ayah itu menghampiri dan memeluk Cu In yang sudah menutupkan lagi cadarnya. “Aku tetap sayang kepadamu, bahkan aku iba kepadamu. Kenapa mukamu sampai begini, anakku? Kenapa?”

“Ketika kecil aku diserang penyakit cacar yang berat sehingga setelah sembuh mukaku bercacat seperti ini.”

“Nah, apa kataku, Cu In. Orang yang mencinta dengan hati tulus tidak akan berubah hanya karena melihat muka yang dicintanya itu cacat. Bahkan rasa iba memperdalam rasa cinta itu. Jangan khawatir, kelak aku akan mengobati dan menghilangkan cacat di mukamu itu!”

Dari ucapan ini The Sun Tek dapat menduga bahwa pemuda itu pun sudah pernah melihat muka anaknya yang cacat. Sudah melihat bahwa muka gadis itu mengerikan akan tetapi tetap mencintanya, sungguh merupakan seorang pemuda yang sulit dicari keduanya di dunia ini.

“Ucapan Keng Han benar, anakku. Kami akan mencarikan tabib terpandai untuk mengobatimu. Nanti setelah kita hidup serumah dengan ibumu, aku akan menyebar anak buahku untuk mencarikan tabib itu. Nah, setelah sekarang engkau melihat buktinya bahwa kami tidak berubah sikap terhadapmu setelah melihat mukamu yang cacat, tentu engkau menyadari bahwa tidak semua laki-laki di dunia ini jahat seperti yang diajarkan ibumu. Baru dua orang yang melihat wajahmu, yaitu aku dan Keng Han, akan tetapi kami tidak menjadi jijik atau membencimu.”

“Bukan baru Ayah dan Keng Han yang melihatnya. Ada seorang lain yang melihatnya dan begitu dia melihatku, langsung saja aku akan dibunuh.”

“Siapakah orang itu, Cu In?” tanya Keng Han dengan cepat.

“Tung-hai Lo-mo. Kau ingat, Keng Han ketika engkau menolongku dari tangan Tung-hai Lo-mo dan Swat-hai Lokwi? Nah, ketika itu Tung-hai Lo-mo yang menawanku telah membuka cadarku dan begitu melihat wajahku, dia hendak membunuhku. Baiknya engkau datang dan menolong.”

”Tung-hai Lo-mo? Datuk sesat itu memang orang jahat. Biarpun tidak membuka cadarmu pun dia tetap seorang jahat yang harus dibasmi! Orang laki-laki macam dia tidak masuk hitungan, Cu In. Seperti juga julukannya, dia memang seorang iblis!” kata The Sun Tek marah.

“Aku sendiri akan membunuhnya, Ayah, sesuai dengan sumpahku dahulu bahwa siapa yang berani membuka cadarku, dia harus mati di tanganku.”

“Ah, sumpah itu mengerikan sekali anakku. Aku sendiri dan Keng Han juga sudah melihat wajahmu, apakah engkau juga akan membunuh kami?”

“Tidak, Ayah. Sumpahku itu sudah kuanggap habis begitu aku bertemu dengan Keng Han dan kemudian melihat bahwa kebencian ibuku terhadap pria hanya sekadar pelampiasan amarahnya terhadapmu. Akan tetapi perkenankan aku memakai cadar ini, Ayah. Pertama, karena aku sudah terbiasa memakainya sehingga kalau ditanggalkan aku merasa malu seolah telanjang, dan kedua kupakai agar tidak menjadi perhatian orang. Ketiga, agar engkau dan Keng Han tidak akan menjadi malu.”

“Aku? Malu? Kenapa aku harus malu.”

“Punya anak yang cacat wajahnya.”

“Aku adalah seorang yang berani menghadapi kenyataan betapapun pahitnya, Cu In. Cacatnya wajahmu tidak mengurangi kasih sayangku kepada engkau sebagai puteriku!”

“Dan kenapa aku harus malu, Cu In?” tanya Keng Han dengan suara mengandung penasaran.

“Kalau orang-orang melihat wajahku lalu mendengar bahwa engkau.... cinta padaku, bukankah engkau akan menjadi bahan tertawaan?” .

Keng Han terkejut. Gadis ini membuka rahasia hatinya begitu saja di depan ayahnya! Dia menjadi tersipu dan salah tingkah, lalu memandang kepada The Sun Tek. Panglima ini juga memandangnya dengan wajah berseri dan mulut tersenyum, lalu kepalanya mengangguk perlahan.

“Cu In, apa pun yang terjadi padaku, aku tidak peduli. Orang boleh menertawakan aku sesuka hati mereka, namun aku tetap seorang sahabat yang amat mencintamu.”

“Ayah, kau dengar itu? Apakah ucapan seperti itu dapat dipercaya? Bagaimana mungkin seorang pemuda yang tampan dan gagah tanpa cacat dapat mencinta aku yang berwajah buruk mengerikan ini? Aku belum dapat percaya sepenuhnya!”

“Cu In, engkau belum mengerti tentang cinta. Bagaikan aku dan ibumu. Apa pun yang telah dilakukan ibumu, aku tetap mencinta dan menyayangnya. Bagi seorang yang mencinta dengan tulus, segala macam cacat pada diri orang yang dicintanya tidak ada artinya. Bukankah begitu, Keng Han?”

”Benar sekali, Paman. Aku mencinta Cu In karena kepribadiannya, bukan karena wajahnya. Setelah melihat wajahnya, aku bahkan merasa semakin sayang karena iba, dan kelak aku akan mencarikan tabib yang pandai untuk mengobati cacatnya itu.”

“Nah, anakku. Engkau beruntung sekali menemukan pemuda seperti ini. Cintanya tulus dan suci, dan aku pun setuju sekali kalau dia menjadi mantuku!”

“Ayah. Apakah Ayah telah tahu siapa dia? Dia adalah putera Tao Seng, pangeran yang memberontak itu! Nah, apakah Ayah masih setuju juga berbesan dengan pengkhianat Pangeran Tao Seng itu?”

“Menilai orang dengan melihat ayahnya adalah picik. Belum tentu seorang ayah yang baik budi memiliki anak yang baik pula dan tidak semua ayah yang jahat memiliki anak yang jahat pula. Aku tidak peduli calon mantuku itu anak siapa yang penting asal pribadinya baik. Dan kulihat Keng Han seorang pendekar yang baik dan gagah perkasa.”

Cu In menundukkan mukanya, akan tetapi terlihat betapa sepasang mata itu mencorong berseri.

“Aku sendiri tidak dapat menjawab sekarang. Kita lihat nanti sajalah. Sekarang yang penting kita harus bertemu ibu dulu. Masih ada ibuku yang memiliki hak untuk menentukan siapa calon mantunya.”

Keng Han diam saja akan tetapi The Sun Tek mengerutkan alisnya. Dia sudah tahu akan watak isterinya yang keras. Kalau isterinya tidak menyetujui Keng Han, sampai mati pun ia tentu tidak akan menyetujuinya!

Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita yang cantik jelita. Usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun, cantik jelita kulit mukanya putih mulus, pipinya kemerahan, mata dan bibirnya begitu manisnya sehingga setiap orang pria pasti akan tertarik. Rambutnya yang dibiarkan terurai panjang di punggungnya itu diikat sutera merah dekat kepala. Punggungnya membawa sebatang pedang.

“Suci kiranya engkau!” tegur Cu In.

Keng Han merasa tidak enak juga kalau tidak menyapa wanita itu.
“Subo....!” katanya, terpaksa menyebut subo kepada Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok karena dia pernah diberi pelajaran cara menghindarkan totokannya yang amat lihai.

Akan tetapi Bi-kiam Nio-cu mengerutkan alisnya dan memandang kepada Keng Han dengan mata bersinar marah. Ia sudah merendahkan diri begitu rupa terhadap pemuda itu, bahkan menemani pemuda itu sampai dapat menghadap Dalai Lama, akan tetapi apa balasan Keng Han kepadanya? Diajak berjodoh dan lari minggat meninggalkan subonya, pemuda itu tidak mau! Dan sekarang nampak bergaul akrab sekali dengan sumoinya!

Nio-cu menudingkan telunjuknya yang runcing ke arah muka bercadar itu dan terdengar suaranya lantang.

“Sumoi, apa artinya ini? Engkau bukan saja telah melanggar pantangan subo, bahkan engkau berani membawa dua orang laki-laki ke sini! Apa kau sudah bosan hidup? Hayo lekas bunuh dua orang laki-laki itu, atau aku akan segera melaporkan kepada subo!”

“Kebetulan sekali kalau begitu, Suci. Cepat laporkan kepada subo bahwa aku datang menghadap bersama ayahku dan saudara Keng Han yang sudah berulang kali menyelamatkan diriku.”

“Apa kau bilang? Ayahmu.?” Nio-cu mengamati The Sun Tek dengan penuh perhatian.

“Ya, Ayahku. Sudahlah jangan bertanya panjang lebar. Beritahukan saja bahwa aku datang bersama ayahku dan sahabat baikku tentu subo akan mengerti.”

Betapapun marahnya, Niocu yang galak dan kejam ini masih jerih terhadap Cu In yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi darinya.

“Baik, dan kalian tentu akan dibunuh semua!” Ia. pun berkelebat dan pergi.

“Cu In, itukah yang terkenal dengan julukan Bi-kiam Nio-cu? “ tanya The Sun Tek kepada puterinya.

“Benar, Ayah. Ia suciku dan ia pun patuh sekali kepada guru kami sehingga ia melaksanakan semua perintah guru. Entah berapa banyak laki-laki yang berani bersikap ceriwis kepadanya telah dibunuhnya.”

The Sun Tek menghela napas panjang.
“Mudah-mudahan aku dapat menghentikan semua perintah ibumu yang keterlaluan itu.”

Mereka mendaki bukit Beng-san dengan cepat.
“Kita mengambil jalan pintas, Ayah, agar supaya lebih dekat. Akan tetapi kita harus berhati-hati karena daerah ini termasuk wilayah yang dilindungi oleh keluarga Gak.”

“Keluarga Gak adalah keluarga yang sakti. Paman Gak Ciang Hun sendiri adalah seorang yang dekat dengan keluarga Pulau Es, ilmu silatnya lihai sekali. Juga isterinya memiliki ilmu silat yang hebat. Bahkan subo sendiri kalau tidak perlu sekali tidak mau lewat daerah ini.”

Keng Han tertarik sekali.
“Kalau begitu, dia tentu mengenal baik Paman Yo Han.”

“Kiranya demikian. Sudah lama aku mendengar akan nama besar Pendekar Tangan Sakti Yo Han. Apalagi isterinya yang berjuluk Bangau Merah, adalah seorang wanita sakti. Kabarnya ia pernah belajar dari locianpwe Suma Ceng Liong yang merupakan keturunan langsung dari Keluarga Pulau Es.”

Keng Han mengangguk-angguk.
“Kalau begitu tidak salah lagi bahwa Pulau Hantu itu adalah Pulau Es yang dulu tenggelam dan kini muncul lagi. Paman Yo Han mengenal semua ilmu silat yang kupelajari dari pulau itu.”

”Ah, kalau begitu engkau adalah pewaris ilmu-ilmu keluarga Pulau Es!” seru The Sun Tek dengan kagum.

“Ah, hanya kebetulan saja aku menemukan dan mempelajari, Paman. Dibandingkan dengan orang-orang keturunan keluarga itu tentu kepandaianku tidak ada artinya. Aku belajar sendiri tidak ada yang membimbing.”

“Jangan merendahkan diri, Keng Han. Aku sendiri sudah melihat betapa hebatnya ilmu kepandaianmu, dapat menandingi ilmu silat para datuk sesat.”

“Engkau terlalu memuji, Cu In. ilmumu sendiri juga hebat sekali?”

Dua orang muda itu saling memuji dan saling merendahkan dirinya sehingga The-ciangkun yang mendengarnya menjadi senang. Pertanda baik bagi orang yang saling mencinta dan calon berjodoh.

Akan tetapi mereka tidak menemui halangan sehingga mereka menduga bahwa keluarga Gak itu disegani dan ditakuti orang karena adalah pendekar-pendekar yang lihai. Akan tetapi mereka sendiri tidak pernah usil mencampuri urusan orang lain sehingga biarpun ada orang asing memasuki wilayah mereka asal orang asing itu tidak mengganggu, juga tidak dilarang.

Ketika mereka tiba di pondok tempat tinggal Ang Hwa Nio-nio ternyata wanita itu sudah menunggu di serambi depan bersama Bi-kiam Nio-cu. Dan wanita itu agaknya mengenakan pakaian yang masih baru dan rambutnya tersisir rapi dengan hiasan kembang merah. Agaknya ia sudah diberitahu oleh Niocu akan kedatangan Cu In, Keng Han, dan laki-laki setengah tua itu. Ketika melihat The-ciangkun, Ang Hwa Nio-nio menyambutnya dengan ucapan dingin.

“Hemmm, kiranya engkau memenuhi janjimu, menemukan dan membawa Cu In ke sini.”

Mendengar sikap dan mendengar ucapan yang nadanya dingin itu, Cu In yang merasa marah sekali kepada wanita yang menjadi ibu dan gurunya itu berkata,

“Kalau tidak dibujuk Ayah dan Keng Han, sampai mati pun aku tidak akan mau datang ke sini lagi!”