Ads

Kamis, 02 Juni 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 35

Akan tetapi, begitu kakinya menginjak atap, terdengar bentakan yang mengejutkan hatinya.

“Berhenti, siapa engkau?”

Kiranya Keng Han sudah berdiri di depannya. Dia segera mengenal Keng Han, akan tetapi pemuda itu sendiri tidak mengenalnya karena kakek Itu memakai samaran sebagai seorang perajurit biasa. Melihat Keng Han menghadang dengan pedang bengkok di tangan, Tung-hai Lo-mo segera menggerakkan tombaknya. Sebagai perajurit tentu saja dia tidak mungkin membawa-bawa dayungnya, maka dia memilih memegang tombak daripada lain senjata karena tombak itu dapat dipergunakan sebagai senjata dayungnya.

Melihat perajurit itu menyerangnya dengan tombak, Keng Han menangkis dengan pedang bengkoknya.

“Tranggg....!”

Keduanya terdorong mundur tiga langkah. Keng Han terkejut. Orang yang dikirim ayahnya untuk membunuh kaisar ini ternyata lihai dan memiliki tenaga sinkang yang kuat!

Maka dia pun mengerahkan tenaganya dan segera mainkan pedangnya dengan ilmu silat Hong-in-bun-hoat. Pedang itu menyambar-nyambar dengan gerakan aneh seperti mencorat-coret di udara membuat huruf-huruf, akan tetapi akibatnya hebat, Tung-hai Lo-mo segera terdesak mundur.

Datuk sesat ini berpikir bahwa kalau bertempur di atas, berbahaya baginya. Selain atap itu licin dan miring, juga dia tidak mempunyai kawan. Kalau di bawah terdapat selosin anak buah Pek-lian-pai dan ada pula Lam-hai Koai-jin. Maka, dia membabatkan tombaknya menyerampang kedua kaki lawan. Ketika Keng Han meloncat untuk menghindarkan sambaran tombak, kesempatan ini dipergunakan oleh Tung-hai Lomo untuk meloncat turun ke bawah!

”Pembunuh jahat, engkau hendak lari ke mana?” bentak Keng Han dan dia pun meloncat ke bawah melakukan pengejaran.

Melihat Keng Han meloncat turun. Tung-hai Lo-mo menggunakan tombaknya menyambut dengan tusukan yang cepat dan kuat sekali. Akan tetapi Keng Han sudah waspada dan melihat lawannya menyambutnya dengan tusukan, dia pun memutar pedang bengkoknya untuk melindungi tubuhnya.

”Trang-tranggg....”

Bunga api berpercikan ketika kedua senjata itu bertemu dan mereka segera bertanding lagi dengan serunya.

Sementara itu, pertandingan antara Cu In melawan Lam-hai Koai-jin juga berlangsung seru. Akan tetapi karena Cu In membantu para perajurit pengawal yang diserang oleh orang-orang Pek-lian-pai yang menyamar, ia jadi terkeroyok dan ruyung di tangan Lam-hai Koai-jin membuatnya terdesak.

Akan tetapi dengan sabuk suteranya, gadis ini berhasil merobohkan lima orang anak buah Pek-lian-pai sehingga kini jumlah mereka tinggal tujuh orang lagi dan mereka itu dapat dilawan para perajurit pengawal yang tulen dan Cu In hanya menghadapi Lam-hai Koal-jin seorang saja!

Lam-hai Koai-jin adalah seorang datuk selatan yang gendut pendek. Permainan ruyungnya menggiriskan. Senjata berat itu dapat dia gerakkan dengan cepat sehingga mengeluarkan suara berdesing-desing. Namun, lawannya adalah Cu In yang memiliki ginkang yang luar biasa. Kecepatan gerakan Cu In membingungkan Lam-hai Koai-jin.

Sabuk sutera putih yang dimainkan Cu In bagaikan kilat menyambar-nyambar, atau bagaikan seekor naga bermain di angkasa. Ujungnya melecut dan menotok sehingga datuk gendut pendek itu seolah terkepung oleh belasan ujung sabuk yang menyerangnya secara bertubi-tubi.

Baik Tung-hai Lo-mo maupun Lam-hai Koai-jin kini maklum bahwa usaha mereka mengalami gangguan. Apalagi kini berdatangan pasukan pengawal lain yang mendengar akan perkelahian itu dan mereka datang berbondong-bondong untuk membantu teman-teman mereka.

Melihat ini, Tung-hai Lo-mo berseru,
“Lari....!”

Dia sendiri sudah meloncat jauh ke belakang untuk melarikan diri. Lam-hai Koai-jin juga meloncat jauh mengikuti jejak kawannya. Para anak buah mereka juga ingin lari, akan tetapi kini bantuan sudah datang dan mereka terkepung dengan ketat sehingga tak lama kemudian dua belas orang anak buah Pek-lian-pai yang menyamar sebagai perajurit pengawal itu dapat dirobohkan. Di antara mereka ada yang belum tewas dan hanya terluka, maka yang terluka lalu ditawan.

Pintu yang menuju ke kamar tidur kaisar terbuka dari dalam. Dua orang thaikam muncul. Mereka tadi mendengar suara ribut-ribut di luar kamar, maka mereka membuka pintu untuk melihat apa yang terjadi. Kaisar pun sudah terjaga dari tidurnya dan memerintahkan thaikam untuk memeriksa keadaan di luar.

”Para pembunuh menyamar sebagai perajurit pengawal datang menyerang, akan tetapi mereka semua sudah tertangkap!” Keng Han melapor kepada para thaikam dan mereka itu dapat melapor kepada Kaisar.

”Siapa yang menyuruh kalian? Hayo cepat katakan!”

Keng Han membentak kepada empat orang penyerbu yang terluka dan sudah diikat kedua tangannya. Akan tetapi empat orang itu diam saja tidak mau menjawab.

”Katakan kalian dari golongan apa?” tanya lagi Keng Han.

Seorang di antara mereka kini mengangkat muka memandang kepada Keng Han dan menjawab singkat.

“Kami anggauta Thian-li-pang!”

Keng Han dan Cu In terkejut sekali. Anggauta Thian-li-pang? Mereka teringat kepada Han Li yang berada di rumah Pangeran Mahkota. Gadis itu puteri ketua Thian-li-pang!

”Mungkin mereka berbohong. Kita undang Han Li ke sini untuk mengenali mereka.” kata Cu In dan Keng Han menyetujui. “Keadaan kini sudah aman. Tidak mungkin ada pembunuh yang dapat masuk dari luar istana yang sudah dijaga ketat oleh pasukan. Kalau tadi mereka kebobolan adalah karena para penjahat itu menyamar sebagai perajurit-perajurit pengawal istana.”






“Benar, di sini sudah aman. Kita serahkan para perajurit untuk menjaga keamanan selanjutnya dan kita harus cepat pergi ke rumah Pangeran Mahkota. Siapa tahu mereka membutuhkan bantuan.” kata Keng Han.

Keduanya lalu pergi meninggalkan istana. Dari para penjaga di luar istana mereka mendapat kabar bahwa dua orang pembunuh yang lihai dan menyamar sebagai perajurit-perajurit itu telah berhasil lolos. Mereka tidak mempedulikannya lagi. Penjahat-penjahat itu pasti tidak berani masuk kembali ke istana, pikir mereka. Dengan cepat mereka lalu menuju ke istana Pangeran Tao Kuang.

Di istana ini pun terjadi keributan. Menjelang tengah malam, ada bayangan tiga belas orang memasuki istana lewat pagar tembok dibelakang taman. Mereka segera ketahuan karena penjagaan sudah diatur dengan ketat dan terjadi pertempuran antara tiga belas orang itu dengan para perajurit.

Akan tetapi tiga belas orang itu ternyata lihai, terutama sekali seorang di antara mereka seorang kakek yang memegang pedang. Banyak Perajurit penjaga roboh di tangan kakek ini yang bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi. Akan tetapi Pangeran Tao Kuang segera dilapori penjaga dan Tao Kwi Hong bersama ibunya Liang Siok Cu, ditemani pula oleh Han Li dan Kai-ong Lu Tong Ki dengan cepat pergi ke tempat di mana terjadi pertempuran, yaitu di taman bunga. Sedangkan Pangeran Tao Kuang sendiri yang nyawanya terancam, telah masuk ke dalam kamar rahasia yang tidak akan dapat ditemukan orang luar.

Swat-hai Lo-kwi mengamuk dan dia mencari kesempatan untuk menerobos masuk ke dalam istana itu mencari Pangeran Tao Kuang. Pedangnya membabat ke sana sini.

“Tranggg....!” tiba-tiba pedangnya bertemu dengan sebatang tongkat bambu.

Biarpun hanya tongkat bambu, ternyata mampu membuat pedang di tangan Swat-hai Lo-kwi terpental dan tangannya terasa panas. Datuk sesat ini segera memandang penuh perhatian kepada penangkisnya dan ternyata yang menangkis pedangnya adalah seorang kakek tinggi kurus berpakaian tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat bambu, berdiri sambil tertawa bergelak dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Kiranya Swat-hai Lo-kwi yang memimpin penyerbuan ini. Tidak aneh kalau Swat-hai Lo-kwi dapat diperalat kaum pemberontak, tentu dengan janji pahala yang muluk-muluk!” kata Kai-ong Lu Tong Ki.

“Kai-ong, jangan mencampuri urusanku. Apakah engkau telah menjadi anjing peliharaan penjajah Mancu?”

“Heh-heh-heh, tidak perlu engkau berpura-pura bersikap sebagai seorang patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Aku, Kai-ong, sudah lama mengenal isi perutmu!”

“Keparat, mampuslah engkau!”

Swathai Lo-kwi menyerang dengan tangan kirinya, memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Kai-ong. Pukulan ini bukan sembarang serangan, melainkan serangan maut karena tangan itu terisi tenaga sakti yang amat dingin.

“Haiiiiit....,!” Swat-hai Lo-kwi mengeluarkan tenaga saktinya sambil memekik dahsyat.

“Hemmm....!”

Kai-ong juga mengerahkan tangan kirinya, menyambut pukulan tangan terbuka dengan tangannya sendiri.

“Desssss....!”

Kedua tangan bertemu dengan dahsyatnya. Akibatnya, Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur sampai tiga langkah sedangkan Kai-ong yang bergoyang-goyang saja tubuhnya akan tetapi dapat bertahan sehingga tidak sampai terdorong mundur.

“Haiiiiit!”

Kembali Swat-hai Lo-kwi memekik dan kini pedangnya menyambar. Kai-ong juga menggerakkan tongkat bambunya dan kedua orang tua ini sudah saling serang dengan hebatnya. Gerakan mereka tidak cepat, bahkan nampak lamban, akan tetapi setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat, menyambar-nyambar bahkan terasa oleh mereka yang berada dalam jarak tiga meter dari mereka.

Sementara itu, Kwi Hong dan ibunya Liang Siok Cu, dibantu oleh Han Li, sudah mengamuk menghadapi dua belas orang anak buah Pat-kwa-pai yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Para perajurit penjaga merasa lega dengan munculnya tiga orang wanita ini dan mereka segera membantu dengan pengeroyokan.

Liang Siok Cu menggunakan senjata sebuah tongkat kecil. Ia adalah seorang ahli tiam-hiat-to (menotok jalan darah) dan tongkatnya merupakan senjata andalannya karena tongkat itu menyambar-nyambar mengarah jalan darah para lawannya.

Tak lama kemudian, dua orang anak buah Pat-kwa-pai sudah roboh tak berkutik terkena totokan tongkat nyonya selir Pangeran Mahkota itu.

Kwi Hong mengamuk lebih hebat lagi. Dengan pedangnya ia mainkan Ngo-heng Sin-kiam dan lawan-lawannya menjadi repot melindungi dirinya dari sambaran pedang yang ampuh itu. Tak lama kemudian tiga orang lawan telah dapat dirobohkan oleh pedang di tangan Kwi Hong.

Han Li memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dibandingkan Kwi Hong atau ibunya. Ia telah mewarisi banyak ilmu silat dari ayah dan ibunya. Akan tetapi menghadapi para penyerbu ini, ia menyerang mereka dengan setengah hati. Bahkan ia tidak mencabut pedangnya, melainkan hanya membagi-bagi tamparan dan tendangan saja.

Namun, biarpun ia tidak bermaksud membunuh orang-orang yang menentang penjajah, tamparan dan tendangan sudah cukup membuat empat orang terpelanting roboh. Para perajurit mengeroyok tiga orang sisa para penyerbu dan mereka pun roboh menjadi korban senjata para perajurit. Sekarang tinggal Swat-hai Lo-kwi seorang yang masih bertanding melawan Kai-ong. Ketika Kwi Hong hendak membantu kakek itu, lengannya dipegang Han Li.

”Jangan, Suhu tidak memerlukan bantuan. Dia tidak akan kalah.”

Mendengar ucapan Han Li itu, Kwi Hong menghentikan gerakannya. Gadis yang suka bertualang di dunia kang-ouw ini mengerti bahwa banyak tokoh besar persilatan tidak suka dibantu apabila sedang bertanding satu lawan satu, tidak mau bersikap curang melakukan pengeroyokan. Maka, membantunya dapat juga diartikan penghinaan. Ia pun berdiri menonton pertandingan yang hebat itu.

Akan tetapi sekarang ternyata betapa perlahan-lahan Swat-hai Lo-kwi terdesak hebat oleh tongkat Kai-ong. Mereka bergerak cepat sekali. Yang nampak hanya dua gulungan sinar pedang dan sinar tongkat. Tiba-tiba terdengar suara nyaring

“tranggg....!” dan sesosok tubuh mencelat keluar dari medan pertandingan.

Yang meloncat itu adalah Swat-hai Lokwi dan dari bibir sebelah kiri mengalir darah dan tangannya menekan dadanya. Jelas bahwa dia telah terkena tongkat itu pada dadanya sehingga menderita luka dalam.

“Sekarang aku mengaku kalah, Kai-ong. Akan tetapi akan datang saatnya aku membalas kekalahan ini!” Dan dia pun sudah melompat jauh, melarikan diri dalam kegelapan malam.

Setelah semua musuh tidak dapat melakukan gerakan lagi, dua belas orang itu ada yang tewas dan ada yang hanya terluka, Pangeran Tao Kuang lalu diberi tahu. Pangeran itu keluar dari tempat persembunyiannya. Dia memerintahkan pengawal untuk menyeret seorang di antara mereka yang terluka dan dibawa ke depan Pangeran Tao Kuang.

“Kamu datang dari perkumpulan mana?”

“Dari Thian-li-pang!” jawab orang itu dengan lantang.

“Bohong!” bentak Yo Han Li sambil menghampiri orang itu. “Kalau engkau dari Thian-li-pang, coba katakan siapa aku ini!” Orang itu memandang kepada Han Li dan tidak menjawab. “Hayo katakan, siapa aku!” kembali Han Li membentak dan kini gadis yang marah itu telah mencabut pedangnya dan menodongkan ke dada orang itu.

Orang itu menjadi pucat wajahnya, lalu menggeleng kepalanya dan menjawab,
“Tidak....tidak tahu.”

“Nah, Paman Pangeran, jelas bahwa dia berbohong ketika mengaku sebagai anggauta Thian-li-pang.” Setelah berkata demikian, pedangnya membuat gerakan.

“Bret-bret-bret....!”

Baju bagian dada orang itu terbuka sehingga di bawah sinar lampu dapat terlihat jelas di dada itu ada cacahan gambar pat-kwa (segi delapan).

“Dia dari Pat-kwa-pai!” seru Kwi Hong yang mengenal tanda gambar itu.

Han Li mengangguk.
“Benar. Aku mendengar bahwa di Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai terdapat pasukan berani mati. Sampai mati pun mereka tidak mau mengaku bahwa mereka murid Pat-kwa-pai, maka sengaja tadi dia menyebut Thian-li-pang untuk mengalihkan kesalahan kepada Thian-li-pang.”

Pangeran Tao Kuang mengangguk-angguk dan memerintahkan para pengawal untuk menyingkirkan mayat-mayat itu dan untuk menawan mereka yang masih hidup. Pada saat itulah muncul Keng Han dan Cu In. Melihat pangeran berada di taman bersama Kwi Hong, ibunya dan Han Li. bersama gurunya, juga melihat banyak orang menggeletak berserakan di tempat itu mereka dapat menduga bahwa penyerangan terhadap diri Pangeran Mahkota juga telah dapat digagalkan.

“Mereka mengaku dari perkumpulan apa?” tanya Keng Han.

“Ada yang mengaku dari Thian-li-pang, akan tetapi nona Yo Han Li telah membuktikan bahwa mereka adalah anak buah Pat-kwa-pai. Lihat tanda di dadanya itu.”

Keng Han dan Cu In melihat tanda gambar pada dada orang itu dan Cu In mengangguk-angguk.

“Sudah kami duga! Akan tetapi kami tidak menduga bahwa ada tanda gambar perkumpulan mereka di dada. Orang-orang yang menyerbu ke istana juga mengaku dari Thian-li-pang.”

”Ah, kita harus dapat membuktikan bahwa mereka bukan dari Thian-li-pang.” kata Han Li. “Aku harus menjadi saksi di sana.“

”Untuk itulah kami datang ke sini. Selain untuk melihat keadaan di sini juga untuk menjemput engkau adik Han Li. Hanya engkau yang dapat memastikan bahwa mereka bukan dari Thian-li-pang.”

“Baik, mari kita berangkat.” kata Han Li tegas.

Gadis ini tentu saja ingin membersihkan nama perkumpulannya dari fitnah yang dilontarkan para calon pembunuh kaisar dan pangeran itu. Setelah mereka tiba di istana, seorang penyerbu yang terluka yang tadi mengaku dari Thian-li-pang, dibawa menghadap Han Li yang telah diterima menghadap Kaisar sendiri. Orang itu didorong dan dipaksa berlutut di depan Kaisar. Han Li lalu menghampiri orang itu dan bertanya,

“Engkau dari perkumpulan apa? “

Orang itu menjawab tanpa ragu-ragu lagi,
“Dari Thian-li-pang!”

Han Li lalu bertanya sambil mencabut pedangnya, ditodongkan ke arah dada orang itu. “Kalau engkau dari Thian-lipang, katakan siapakah aku?”

Orang itu berdongak memandang wajah Han Li. Akan tetapi dia tidak mengenalnya dan menggeleng kepala sambil berkata,

“Saya tidak tahu.”

Han Li memberi hormat kepada Kaisar.
“Nah, Yang Mulia. Orang ini jelas berbohong. Kalau dia orang Thian-li-pang pasti dia mengenal siapa hamba. Hamba adalah puteri ketua Thian-li-pang.”

Setelah berkata demikian, pedangnya bergerak beberapa kali dan baju di bagian dada tawanan itu pun robek-robek. Semua orang memandang dan melihat cacahan gambar berbentuk bunga teratai di dada itu.

“Dia seorang anggauta Pek-lian-kauw, Yang Mulia.” kata Han Li.

“Benar, dia anggauta Pek-lian-kauw!” kata Cu In.

Sekarang bagi mereka jelaslah bahwa selosin anak buah yang menyerbu istana adalah anak buah Pek-lian-pai sedangkan selosin yang menyerbu istana pangeran adalah anggauta Pat-kwa-pai! Maka terhapuslah dugaan bahwa Thian-li-pang yang mengirim orang-orangnya untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota.

Akan tetapi sudah terlanjur tersiar berita yang datangnya dari para pengawal yang menjadi saksi ketika tawanan-tawanan itu mengaku bahwa mereka orang Thian-li-pang sehingga umum berpendapat bahwa Thian-li-pang sudah mulai dengan pemberontakannya dan mengutus orang-orangnya untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota.

Setelah membuka rahasia para penyerbu itu di depan Kaisar sendiri, Keng Han dan Cu In berpamit kepada kaisar. Kaisar hendak memberi hadiah kepada mereka dan memberi anugerah pangkat, namun keduanya dengan hormat dan halus menolaknya. Mereka keluar dari istana dan waktunya sudah jauh lewat tengah malam.

Mendadak mereka melihat panah api diluncurkan orang di udara.
“Apa itu?” tanya Cu In.

“Panah api! Tentu menjadi suatu tanda yang dilakukan orang di dalam kota raja untuk mereka yang berada di luar kota raja. Aku khawatir penyerbuan akan dimulai.”

“Kenapa khawatir? Bukankah menurut Pangeran Mahkota, semua itu telah diaturnya dengan baik? Kita melihat saja. Kalau memang mereka menyerbu dan kota raja terancam, kita berdua membantu.”

“Kau benar, Cu In. Biarpun yang menggerakkan semua ini ayah kandungku sendiri, akan tetapi terpaksa aku harus menentangnya. Dia memberontak untuk dapat merampas tahta kerajaan dengan cita-cita menjadi kaisar! Andaikata yang memberontak itu para pejuang bangsa Han, biarpun aku keturunan Mancu dan Khitan, aku tidak akan membantu siapa-siapa.”

Cu In mengangguk.
“Aku setuju sekali dengan pendapatmu itu, Keng Han. pernberontakan dilakukan oleh orang-orang yang berambisi mengangkat diri sendiri menjadi penguasa, dan mereka telah mengnggunakan tokoh-tokoh sesat dan perkumpulan-perkumpulan jahat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Kalau Thian-li-Pai yang bergerak, tentu bukan menggunakan cara ini dan di belakangnya tentu mendapat dukungan rakyat jelata. Mari kita melihat lagi ke istana Pangeran Mahkota untuk mendapat petunjuk dari pangeran.”

Keduanya berlari cepat menuju ke istana Pangeran Tao Kuang. Ternyata mereka semua tidak beristirahat melainkan berkumpul di ruangan depan, juga menanti sesuatu yang pasti akan terjadi.

“Kami melihat panah api diluncurkan ke udara.” kata Keng Han setelah mereka berdua menghadap sang pangeran.

“Kami juga sudah mengetahui. Tentu itu merupakan tanda bagi pemberontak yang berada di dalam kota raja. Semua telah diatur oleh The Ciang-kun. Dia telah mengetahui semua siasat pemberontak dan sudah siap siaga menghadapi pemberontak, baik di dalam kota raja maupun yang berada di luar.”

Terkejut Cu In mendengar bahwa yang memimpin pertahanan adalah The-Ciang kun.
”Apakah yang dimaksutkan itu adalah ciangkun yang bernama The Sun Tek?” tanyanya.

“Benar,” jawab Pangeran Tao Kuang. “Dia adalah seorang panglima besar yang pandai ilmu silat dan ilmu perang, dan juga setia. Apakah engkau mengenalnya, Nona?”

“Saya mengenalnya dengan baik, Pangeran.” kata Cu In.

“Bagus, kalau begitu kalian pergilah membantunya. Nona Yo Han Li dan Kai-ong biar tetap di sini untuk menjaga kemungkinan penyerbuan mata-mata musuh.”

“Baik,” kata Keng Han dan Cu In.

Mereka lalu keluar dari, istana itu.
“Cu In, benarkah engkau mengenal Panglima The itu?”

“Tentu saja mengenalnya. Dia itu ayah kandungku.” kata Cu In terus terang.

“Ehhh....?” Keng Han menghentikan langkahnya dan memandang Cu In. Wajah bercadar itu hanya nampak garis-garisnya saja dalam malam yang hanya diterangi bintang-bintang itu. “Bukankah engkau pernah bercerita kepadaku bahwa ayah ibumu sudah mati terbunuh musuh, dan engkau mencari musuh itu?”

“Memang benar, akan tetapi belum waktunya aku menceritakan kepadamu. Lihat, di sana sudah terjadi pertempuran!”

Mereka lari ketempat itu dan ternyata yang bertempur itu adalah pasukan anak buah Panglima Ciu yang mempertahankan benteng mereka yang sudah dikepung pasukan anak buah Panglima The.

Sementara itu, tempat persembunyian pasukan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai di luar kota raja juga sudah ditemukan para penyelidiki dan begitu ada tanda panah api, sebagian pasukan Panglima The yang sudah mengepung tempat itu bertindak menyerbu.

Tiba-tiba terdengar suara lantang.
“Panglima Ciu! Di sini Panglima The dengan semua pasukannya yang kuat. Lebih baik engkau menyerah karena semua persekutuanmu dengan pihak pemberontak telah kami ketahui. Heiii, para perajurit dalam benteng! Kalau kalian tidak menyerah, tentu kalian semua akan mati ditumpas pasukan kami!”

Mendengar seruan ini, banyak pasukan dari benteng berlari keluar tanpa membawa senjata dan mengacungkan kedua tangan ke atas. Mereka membiarkan diri mereka ditangkap dan ditawan. Panglima Ciu yang maklum bahwa terlibatnya dalam persekutuan pemberontak itu tentu tidak akan mendapat pengampunan, dengan nekat memimpin anak buahnya yang masih setia untuk melakukan perlawanan.

Akan tetapi karena kalah banyak jumlahnya juga para anak buahnya sudah kehilangan semangat, dengan mudah pasukannya dapat dihancurkan dan Panglima Ciu sendiri dengan pedang di tangan menyerang Panglima The.

Cu In dan Keng Han melihat ini dan mereka tidak memberi bantuan karena melihat bahwa pasukan Panglima The jauh lebih kuat dari pada musuh. Juga ketika Panglima Ciu bertanding melawan Panglima The, Cu In hanya menonton tidak membantu ayah kandungnya. Memang tidak perlu dibantu karena belum sampai lima puluh jurus, pedangnya sudah menyambar dan memenggal leher Panglima Ciu.

Seorang pembantunya mengangkat kepala Panglima Ciu tinggi-tinggi dengan sebatang tombak dan berseru.

“Hentikan perlawanan kalian. Panglima kalian telah tewas!”

Mendengar dan melihat ini, para perajurit hilang nyalinya. Mereka membuang senjata dan menjatuhkan diri berlutut tanda menyerah.

Sementara itu, pertempuran yang terjadi di luar kota raja juga tidak berlangsung lama. Jumlah para pemberontak itu jauh lebih kecil dibandingkan pasukan pemerintah. Biarpun di antara mereka terdapat Gulam Sang yang dibantu Liong Siok Hwa dan beberapa orang tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, namun karena dikeroyok banyak sekali orang, akhirnya Gulam Sang mengajak Liong Siok Hwa untuk melarikan diri!

Demikianlah watak seorang yang licik. Demi memperoleh kedudukan tinggi dia mau melakukan perbuatan apa pun, akan tetapi begitu melihat usahanya gagal, dia lebih dulu melarikan diri. Gulam Sang mengajak Siok Hwa melarikan diri ke Bu-tong-pai di mana dia menyamar sebagai Thian It Tosu, ketua Bu-tong-pai yang tua itu.