Ads

Kamis, 02 Juni 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 34

“Cu In, sekali lagi engkau menyelamatkan nyawaku. Hutang budi terhadapmu bertumpuk-tumpuk, bagaimana aku akan dapat membalasnya? Dan engkau yang sudah menyaksikan betapa aku akan membunuh Paman Tao Kuang karena aku dihasut oleh ayah kandungku sendiri, kenapa engkau masih saja mau menolong aku yang sesat ini?” Keng Han bertanya setelah dia dan Cu In lolos dari rumah Hartawan Ji.

“Tidak ada hutang piutang budi, Keng Han. Aku membantumu karena melihat bahwa engkau tidak bersalah. Engkau hendak membunuh Pangeran Tao Kuang karena engkau dihasut dan mendapat keterangan yang keliru.”

“Akan tetapi bagaimana engkau dapat menduga bahwa aku akan tertimpa malapetaka di rumah Hartawan Ji yang bukan lain adalah Pangeran Tao Seng itu?”

“Sudah kuduga bahwa setelah menerima keterangan dari Pangeran Tao Kuang, engkau tentu akan menuntut balik kepada ayah kandungmu sendiri yang telah menghasutmu. Dan kalau engkau lakukan itu, besar sekali kemungkinan engkau akan ditentang, ditawan atau dibunuh karena Pangeran Tao Seng ternyata adalah seorang yang mabuk kedudukan dan sudah melupakan putera sendiri. Maka aku lalu mencari keterangan lebih lanjut dan sesudah merasa pasti bahwa Hartawan Ji adalah Pangeran Tao Seng, malam ini aku segera pergi ke sana. Akan tetapi sudahlah, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Yang penting sekarang ini, apa yang hendak kau lakukan?”

”Aku harus menyelamatkan Sribaginda Kaisar beliau terancam bahaya maut!”

“Ah, benarkah itu? Bahaya apa yang mengancamnya?”

Keng Han lalu bercerita tentang ucapan-ucapan Pangeran Tao Seng yang hendak membunuh kaisar dan pangeran mahkota dan betapa kini di rumah pangeran Itu telah berkumpul datuk-datuk sesat seperti Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo, dan Lam-hai Koai-jin. Juga disana terdapat Gulam Sang yang lihai.

“Kalau begitu, kita harus memberi peringatan kepada Pangeran Tao Kuang. Hanya beliau yang dapat mengatur semua penjagaan agar jangan sampai terjadi pembunuhan itu.”

“Baik, mari kita menghadap beliau.”

“Keng Han, sudah kau pikirkan masak-masak semua ini? Ingat, jika kau bertindak begini, itu berarti bahwa engkau melawan ayah kandungmu sendiri!”

“Ayah kandung atau siapa saja yang bertindak salah, harus ditentang. Ayahku itu telah menyia-nyiakan kehidupan ibuku sehingga ibu hidup merana dan selalu menanti di Khitan. Kemudian ayahku itu telah bertindak curang hendak membunuh adiknya sendiri, apalagi sekarang dia telah bertindak sedemikian jauhnya untuk membunuh ayahnya sendiri dan juga adiknya yang menjadi pangeran mahtkota. Tentu saja aku menentangnya!”

Mendengar ini, Cu In termenung. Hampir bersamaan nasib yang dialami oleh Keng Han dan ia sendiri. Hanya bedanya, kalau yang menyusahkan hati Keng Han itu ayahnya, ia lain lagi. Ibu kandungnya yang membuatnya bersusah hati. Ibunya mendidiknya sebagai murid, menghasutnya agar ia membunuh ayah kandungnya! Akan tetapi dapatkah ia membenci ibu kandungnya?

“Keng Han, apakah engkau membenci ayahmu itu?”

“Tidak, aku tidak membenci orangnya, melainkan perbuatanya. Maka perbuatannya yang kutentang”.

“Bagaimana kalau ayahmu itu mau mengubah sikapnya dan tidak lagi melakukan kejahatan?”

“Aku sudah membujuknya, bahkan hendak memaksanya untuk ikut bersamaku menemui ibu di Khitan. Akan tetapi usahaku itu dihalangi oleh para datuk. Kami berkelahi dan aku dikeroyok empat sampai akhirnya aku tertawan.”

“Jadi engkau akan memaafkan ayahmu kalau dia mengubah sikapnya?”

“Tentu saja kalau perbuatannya sudah benar maka dia itu ayahku dan aku harus berbakti kepadanya.”

“Ahhh....! “

“Kau kenapakah, Cu In?” tanya Keng Han khawatir melihat gadis itu seperti tertegun.

“Tidak apa-apa. Marilah kita menghadap Pangeran Mahkota.”

“Sebetulnya aku merasa sungkan dan malu menghadap beliau. Baru kemarin aku berusaha untuk membunuhnya!”

“Jangan khawatir. Ada aku yang akan menjelaskan kepadanya.”

Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke istana Pangeran Tao Kuang. Ketika mereka hampir tiba di istana itu, Keng Han kembali bertanya,

“Cu In, mengapa engkau begini baik terhadap diriku? Kanapa engkau begini membela aku?”

”Hemmm, mengapa? Karena engkau pun baik sekali kepadaku. Ingat, engkau pun pernah menolongku, bukan?”

“Cu In, suci-mu mengatakan bahwa engkau lebih kejam daripada ia, akan tetapi aku melihat engkau sama sekali tidak kejam, bahkan engkau lembut hati dan mulia. Aku menyebut namamu begitu saja, bukan menyebut Su-I (Bibi Guru), engkau pun tidak marah. Aku sungguh kagum kepadamu sejak pertama kali kita bertemu, aku.... aku terpesona melihat sinar matamu dan aku suka sekali kepadamu. Apakah engkau akan marah dan membunuhku kalau aku mengatakan bahwa aku suka kepadamu?”

Sepasang mata itu mencorong, akan tetapi hanya sebentar. Tadinya Cu In hendak marah sekali karena ia sudah terbiasa menganggap bahwa kalau ada pria menyatakan suka kepadanya, maka pria itu hanya merayu saja dan pernyataannya itu palsu adanya separti yang sering kali dikatakan gurunya.






Akan tetapi kemudian ia teringat bahwa gurunya atau ibunya itu bersikap demikian karena sakit hati terhadap kekasihnya, maka kemarahannya pun hilang. Ia tidak perlu percaya lagi kepada semua pendapat ibunya. Ia sendiri tidak dapat menyangkal bahwa ia pun suka sekali kepada Keng Han. Baru sekarang ia menyadari bahwa pria pun sama saja dengan wanita, ada yang baik dan ada yang jahat. Dan Keng Han ini jelas bukan laki-laki yang jahat. Ia menyadari bahwa kebiasaannya mengenakan cadar agar mukanya jangan sampai terlihat lakl-laki itu merupakan kebiasaan yang keliru. Akan tetapi sekarang sudah kepalang, bahkan hal itu dapat dipakainya untuk menguji sampai dimana rasa suka Keng Han terhadap dirinya.

“Aku tidak marah dan tidak akan membunuhmu karena pernyataan itu, Keng Han. Akan tetapi bagaimana mungkin engkau mengatakan bahwa engkau suka kepadaku padahal engkau belum pernah melihat wajahku?”

“Aku tidak peduli akan wajahmu, Cu In. Bagaimanapun bentuk wajahmu aku tetap akan merasa suka kepadamu. Aku kagum akan kepribadianmu, watakmu, cara engkau bicara, gerak-gerikmu, dan sinar matamu.”

“Tidak, Keng Han. Jangan katakan begitu. Aku.... aku tidak berharga bagimu. Aku gadis kang-ouw, petualang yang hidup menyendiri, sedangkan engkau seorang putera pangeran! Tidak, aku sama sekali tidak sebanding denganmu.”

“Cu In, jangan merendahkan diri sampai demikian! Aku cinta padamu, bukan karena rupa atau kedudukan. Aku mencinta dirimu, pribadimu, tidak peduli engkau berwajah bagaimana dan dari golongan apa”.

“Ah, engkau akan menyesal kelak dan kalau engkau menyesal aku kembali akan menjadi pembenci pria yang teryata berhati palsu, kata-katanya tidak dapat dipercaya.”

“Aku tidak akan menyesal, Cu In. Aku cinta padamu dan tidak ada apa pun yang dapat mengubah cintaku.”

“Akan tetapi wajahku buruk sekali, Keng Han. Aku seorang wanita yang cacat mukanya.”

“Aku tidak percaya! Dan andaikata benar wajahmu cacat, aku tetap akan mencintamu.”

“Benarkah? Ingin aku melihat apakah pendapat guruku tentang pria benar, bahwa pria hanya merupakan perayu besar yang tidak setia dan palsu. Kau lihatlah baik-balk, Keng Han!”

Setelah berkata demikian, Cu In menyingkap cadarnya memperlihatkan mukanya dari hidung ke bawah. Keng Han memandangnya dan pemuda itu terbelalak, terkejut dan heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa wajah yang di bagian atasnya demikian cantik jelita, bagian bawahnya mengerikan. Wajah itu totol-totol hitam, seperti bekas luka yang memenuhi permukaan wajahnya sehingga biarpun hidung dan mulutnya berbentuk sempurna, namun karena bertotol-totol hitam menjadi buruk untuk dipandang.

Cu In menutupkan kembali cadarnya dan berkata dengan nada suara mengejek,
“Engkau terkejut? Engkau ngeri? Wajahku seperti setan, bukan? Nah, apakah masih ada ada rasa cinta di dalam hatimu, Keng Han?”

Keng Han sudah dapat menyadari lagi keadaannya dan menguasai perasaannya yang terkejut.

“Aku tetap mencintamu, Cu In. Biarpun wajahmu cacat, engkau tetap Cu In yang tadi, yang bercadar, yang kucinta. Akan tetapi mengapa wajahmu seperti itu, Cu In? Aku merasa iba kepadamu dan aku akan berusaha agar supaya cacat di wajahmu dapat hilang. Akan kucarikan tabib terpandai di dunia ini yang akan dapat menyembuhkanmu.”

“Kau tidak benci kepadaku? Tidak jijik melihat mukaku!” tanya Cu In, suaranya mengandung keheranan.

Keng Han mendekat dan memegang kedua tangan gadis itu.
“Sudah kukatakan, aku mencinta pribadimu, bukan sekedar kecantikanmu. Aku tetap mencintaimu biarpun wajahmu cacat. Jadi itulah sebabnya engkau memakai cadar selama ini! Agar mukamu yang cacat tidak kelihatan orang lain.”

“Benar, aku tidak ingin ada orang melihat mukaku dan kemudian membenciku. Engkau benar-benar tidak peduli akan cacat di mukaku?” tanya Cu In tanpa melepaskan pegangan Keng Han pada kedua tangannya.

“Aku bukan tidak peduli, akan tetapi aku bahkan kasihan sekali padamu dan ingin membantumu mencarikan obat untuk menghilangkan bekas luka di wajahmu itu. Akan tetapi cacat di mukamu itu tidak mengubah perasaan hatiku yang mencintamu.”

Cu In melepaskan kedua tangannya dan membalikkan tubuhnya membelakangi pemuda itu.

“Aku.... aku tidak percaya.” suaranya mengandung isak.

“Kenapa engkau tidak percaya? Kenyataan bahwa engkau murid Ang Hwa Nio-nio dan sumoi Bi-kiam Nio-cu yang jahat dan kejam itu pun tidak mengubah cintaku padamu, padahal aku sama sekali tidak menyukai watak mereka. Aku bersumpah bahwa aku tetap mencintamu Cu In.”

“Ssttt, sudahlah. Soal itu dapat kita bicarakan kemudian. Sekarang ada pekerjaan yang lebih penting. Mari kita menghadap Pangeran Tao Kuang.”

Baru teringat oleh Keng Han betapa lama mereka berhenti di jalan yang sunyi itu. Dia tersenyum kepada Cu In dan berkata,

“Perasaan hati kita lebih penting dari segala urusan, Cu In. Aku sudah mengutarakan isi hatiku dan hal ini melegakan sekali. Walaupun aku belum tahu bagaimana tanggapanmu tentang perasaanku, namun kini aku merasa lega bahwa engkau mengetahui akan perasasn hatiku kepadamu. Nah, mari kita lanjutkan perjalanan kita.”

Ketika mereka tiba di istana Pangeran Tao Kuang, mereka segera disambut oleh Sang Pangeran sendiri yang ditemani oleh Kwi Hong dan ibunya, juga Kai-ong dan muridnya, Yo Han Li masih berada di situ. Melihat munculnya Keng Han bersama Cu In, Kwi Hong segera meloncat ke depan ayahnya dengan pedang terhunus di tangan.

“Han-ko, apakah engkau hendak membunuh ayahku?” bentaknya.

Keng Han tersenyum. Sudah lama dia mengetahui bahwa Kwi Hong adalah adiknya sendiri, adik sepupu dan semarga. Dia menggelengkan kepalanya dan berkata.

“Tidak, Hong-moi. Aku bahkan datang untuk minta maaf kepada ayahmu.”

Lega hati Kwi Hong mendengar ini dan ia pun segera melangkah ke pinggir dekat ayahnya.

“Saya datang pertama-tama untuk mohon maaf kepada Paman Pangeran!” kata Keng Han sambil memberi hormat kepada Pengeran Tao Kuang.

Pangeran itu tersenyum dan berkata,
“Aku maafkan engkau, Keng Han. Engkau kemarin bersikap demikian karena hasutan orang. Apakah engkau sekarang sudah mengerti benar akan duduknya perkara?”

“Sudah, Paman. Bahkan bukan itu saja. Kami, yaitu Cu In dan saya, mengetahui hal-hal lain yang amat membahayakan keselamatan Paduka dan juga keselamatan Yang Mulia Kaisar. Ada komplotan yang hendak membunuh Paman dan Kaisar.”

Pangeran Tao Kuang terkejut mendengar ini dan segera mengajak Cu In dan Keng Han ke ruangan dalam untuk membicarakan hal itu. Setelah tiba di ruangan dalam Keng Han menceritakan semua pengalamannya, menceritakan pula rencana ayahnya yang hendak membunuh Pangeran Mahkota dan Kaisar.

“Dia yang kini memakai nama Hartawan Ji telah mengundang datuk-datuk besar yang berilmu untuk melaksanakan pembunuhan itu. Karena itulah maka kami berdua segera menghadap Paman untuk menghadapi komplotan pembunuh itu. Di antara mereka yang bersekutu itu terdapat pula seorang Tibet bernama Gulam Sang yang agaknya sudah mengadakan persekutuan dengan pihak Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Mungkin mereka akan mengadakan penyerbuan ke kota raja. Juga Bu-tong-pai bekerja sama dengan mereka. Keadaan ini gawat sekali kalau tidak dipersiapkan penjagaan yang ketat.” demikian antara lain Keng Han berkata.

“Untuk menjaga keselamatan Paduka, di sini sudah terdapat adik Kwi Hong, adik Han Li dan Locianpwe Kai-ong, Akan tetapi untuk menjaga keselamatan Kaisar, perlu ada tenaga yang boleh diandalkan untuk mencegah terjadinya pembunuhan.” kata Cu In.

“Wah, ini perkara penting sekati. Aku harus segera menghubungi ayahanda Kaisar dan para panglima untuk melakukan penjagaan dan untuk menyelidiki gerakan musuh di luar kota raja. Bagaimana kalau kami minta bantuan kalian, Keng Han dan Cu In, untuk ikut menjadi pengawal Kaisar untuk sementara waktu?”

“Saya bersedia, Paman.” kata Keng Han.

“Kalau memang dibutuhkan, saya pun suka membantu,” kata pula Cu In penuh semangat.

“Bagus, kalau begitu sekarang juga kalian berdua ikut dengan aku menghadap Kaisar. Kwi Hong, engkau menjaga di rumah dan saya mohon bantuan Locianpwe Kai-ong dan nona Yo untuk membantu Kwi Hong.”

“Baik, Ayah. Aku dan ibu akan siap siaga.”

“Ha-ha-ha, setelah siang malam makan dan tidur dengan enak di sini kami tentu saja suka membantu. Ada pekerjaan itu baik sekali, makan tidur saja setiap hari membuat aku menjadi malas!” kata Kai-ong.

Maka berangkatlah Pangeran Tao Kuang menuju ke istana Kaisar, dikawal oleh Keng Han dam Cu In. Setelah tiba di istana dan diterima oleh Kaisar, Pangeran Tao Kuang menceritakan keadaan yang berbahaya itu. Mendengar laporan ini, Kaisar yang sudah tua itu memukul lengan kursinya.

“Aahhh, anak-anak macam apa Tao Seng dan Tao San itu? Mereka sudah dihukum, tidak jera malah membikin ulah lagi. Kami serahkan penanggulangan pengacau ini kepadamu, Tao Kuang. Selesaikan sampai tuntas urusan ini. Aaahh, kalau kami yang harus memikirkan masalah anak-anak durhaka ini, hanya akan mendatangkan penyesalan saja di dalam hati!”

“Baik, Ayah. Serahkan saja semua ini kepada hamba. Di sini hamba mengajak dua orang pendekar yang menjadi saksi usaha pemberontakan itu dan hamba harap agar Ayah menerimanya sebagai pengawal sementara untuk menghadapi mereka yang berani masuk ke Istana.”

Kaisar menerima Keng Han dan Cu In dengan senang. Akan tetapi melihat Cu In yang bercadar, Kaisar mengerutkan alisnya dan berkata,

“Kenapa gadis ini memakai cadar? Sebaiknya kalau cadar itu dilepas agar kami dapat melihat wajahnya.”

“Ampun.., Yang Mulia. Hamba telah bersumpah untuk tidak membuka cadar ini. Yang berhak melakukan hanya suami hamba kelak?” kata Cu In.

Keterangannya ini tidak seluruhnya bohong karena di dalam hatinya ia pun mengambil keputusan bahwa yang berhak membuka cadar adalah tangan suaminya. Mendengar ini Keng Han merasa jantungnya berdebar. Gadis ini sudah membuka cadar di depannya, bukankah itu menunjukkan bahwa gadis ini setuju dia menjadi calon suaminya?

“Hemm.., sumpah yang aneh. Akan tetapi sudahlah, karena putera kami yang membawamu ke sini, engkau boleh bercadar.” akhirnya Kaisar berkata sambil mengangguk walaupun merasa heran akan sumpah yang aneh itu.

Keng Han dan Cu In ditinggalkan dalam istana untuk menjadi pengawal pribadi kaisar. Walaupun kaisar sudah mempunyai pasukan pengawal pribadi, namun hadirnya dua orang muda yang oleh puteranya diperkenalkan sebagai dua orang pendekar yang berilmu tinggi, kaisar suka menerimanya dan hal ini menambah tenang hatinya.

Pangeran Tao Kuang sendiri lalu membawa sepasukan pengawal untuk mengawalnya. Dia tidak segera pulang melainkan mendatangi rumah panglima The Sun Tek yang dikenalnya sebagai Panglima besar yang memiliki ilmu silat tinggi. Kepada panglima itu dia menceritakan tentang usaha persekutuan yang dipimpin oleh Pangeran Tao Seng dan dia menyerahkan penyelidikan dan pembasmian gerombolan pemberontak yang mungkin bersembunyi dekat kota raja untuk mencegah gerombolan itu menyerbu kota raja.

Setelah Panglima The Sun Tek menyatakan siap untuk melaksanakan perintah Kaisar melalui Pangeran Mahkota itu, Pangeran Tao Kuang baru pulang ke rumahnya, dikawal pasukan pengawal dengan ketat.

Panglima The Sun Tek mengerahkan pasukan istimewa untuk menambah kekuatan penjagaan di istana, lalu menyebar penyelidik untuk menyelidiki apakah ada gerombolan yang bersembunyi di sekitar kota raja.

Kaisar Cia Cing yang usianya sudah lebih dari tujuh puluh lima tahun itu nampak tenang saja mendengar bahwa dirinya terancam bahaya maut. Apalagi dengan adanya Keng Han dan Cu In, dia merasa aman. Adapun penambahan pengawal istana membuat dia lebih tenang lagi karena penjagaan ketat sekali.

Keng Han dan Cu In sama sekali tidak menyangka bahwa di antara pengawal istana itu terdapat Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Mereka ini di selundupkan oleh panglima yang sudah dipengaruhi Pangeran Tao Seng, yaitu Panglima Cau, ke dalam pasukan pengawal istana!

Adapun Swat-hai Lo-kwi oleh Panglima Ciu diselundupkan ke dalam pasukan penjaga istana Pangeran Mahkota. Tentu saja ketiga orang datuk sesat ini menyamar sehingga kelihatan muda dan seperti anggauta pasukan biasa.

Dua orang datuk, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin, bertugas untuk membunuh kaisar dan bersama dengan mereka diselundupkan pula anak buah Pek-lian-pai sebanyak selosin orang untuk membantu usaha dua orang datuk itu. Sedangkan Swat-hai Lo-kwi dibantu oleh selosin perajurit pula, yaitu para anggauta Pat-kwa-pai.

Gulam Sang sendiri memimpin pasukan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai bersama para tokoh kedua gerombolan itu, mempersiapkan pasukannya di luar kota raja, siap untuk membantu apabila saatnya tiba. Penyerbuan itu akan dibarengi dengan gerakan pasukan Panglima Ciu dari dalam dan kalau saatnya tiba, Panglima Ciu akan melepaskan anak panah berapi di udara sebagai tanda kepada gerombolan yang bersembunyi di luar kota raja. Penyerbuan akan dilakukan pada malam hari.

Pangeran Tao Kuang yang sudah menerima keterangan sejelasnya dari Keng Han dan Cu In, berhubungan terus dengan Panglima The Sun Tek. Panglima ini adalah seorang panglima perang yang sudah hafal akan liku-liku siasat perang. Maka dia tidak terpancing keluar dan mengerahkan pasukannya keluar kota raja. Dia menaruh curiga kalau-kalau pihak pemberontak telah menyelundupkan banyak pasukan ke dalam kota raja.

Mudah saja untuk menyusup dengan menyamar sebagai pedagang atau petani yang menjual hasil ladang mereka ke kota raja. Maka dia pun membagi pasukannya menjadi dua bagian. Yang satu bagian diperuntukkan membasmi gerombolan yang berada di luar kota raja, sedangkan sebagian lagi tetap menjaga di kota raja kalau-kalau pihak musuh sudah menyelundupkan pasukan ke dalam kota raja untuk menyerbu istana. Penjagaan di istana diperketat.

Malam itu teramat indah. Biarpun tidak ada bulan di angkasa namun malam itu penuh bintang. Langit bersih sehingga semua bintang nampak di angkasa bagaikan butir-butir mutiara di hamparan beludru hitam. Kalau ada orang yang menengadah, maka akan nampaklah keindahan yang luar biasa, nampaklah kekuasaan Tuhan yang tiada taranya.

Bintang-bintang itu berkelap-kelip, ada yang berkejap ada pula yang tenang diam tanpa sinar gemerlapan. Cahaya sekian banyaknya bintang di angakasa, tidak terhitung banyaknya, membuat cuaca di bumi nampak remang-remang. Cahaya bintang-blntang itu demikian lembut sehingga malam terasa sejuk. Kalau ada angin semilir, barulah terasa betapa dinginnya hawa udara di saat itu.

Dingin dan sunyi, penuh pesona dan rahasia. Kadang nampak bintang meluncur lalu lenyap membuat kita bertanya-tanya apa sebenarnya yang terjadi jauh di atas itu. Benarkah pendapat kuno bahwa setiap bintang itu mewakili seorang manusia. Agaknya pendapat kuno ini berlebihan. Buktinya banyak bintang yang sudah beratus tahun masih nampak cemerlang di angkasa sedangkan manusia sudah berganti beberapa generasi.

Apakah di bintang itu terdapat mahluk hidup? Mungkin, siapa tahu. Tuhan Maha Kuasa, maka tidak ada hal yang tidak mungkin. Kalau Tuhan menghendaki, mungkin saja di antara bintang-bintang itu ada bintang yang seperti dunia kita ini.

Malam yang indah. Akan tetapi malam yang mencekam bagi para penjaga di istana. Beberapa orang melihat berkelebatnya bayangan orang di luar kamar tidur Kaisar. Akan tetapi ketika diperiksa, ternyata tidak ada siapa-siapa.

Ketika mendengar laporan para penjaga itu, Keng Han dan Cu In siap siaga dengan penuh kewaspadaan. Keng Han menyuruh para perajurit pengawal untuk mengepung kamar tidur kaisar, sedangkan dia sendiri bersama Cu In sudah melayang naik ke atas atap, menjaga kalau-kalau ada yang menyerbu dari atas.

Penjagaan itu demikian ketatnya sehingga siapapun yang akan memasuki kamar kaisar, dari luar maupun dari atas, pasti akan ketahuan. Kecuali kalau ada yang masuk melalui bawah tanah, suatu hal yang tidak mungkin.

Tengah malam tiba. Bintang-bintang semakin jelas kelihatan, membuat Keng Han dan Cu In yang berada di atas atap menjadi kagum bukan main. Terutama sekali Keng Han. Sudah sering dia melihat malam penuh bintang, akan tetapi entah bagaimana, belum pernah nampak seindah malam ini. Dia tersenyum seorang diri, maklum mengapa hatinya demikian tenteram dan bahagia, walaupun menghadapi tugas yang berbahaya. Bukan lain karena Cu In berada di situ, di dekatnya!

Terdengar bunyi langkah dua losin perajurit pengawal datang dari arah luar. Mereka itu adalah seregu perajurit pengawal yang datang untuk menggantikan para perajurit yang sudah berjaga sejak sore tadi. Setelah komandan perajurit yang baru datang menerima laporan dari komandan perajurit yang diganti bahwa tadi nampak bayangan mencurigakan berkelebat akan tetapi kini suasana aman dan tenang dan bayangan itu tidak dapat ditemukan.

“Mungkin hanya bayangan burung yang terbang lewat,” komandan itu menutup keterangannya kepada komandan yang baru. “Betapapun juga, harap menjaga dengan hati-hati dan waspada.”

Dia tidak menceritakan bahwa Keng Han dan Cu In berada di atas atap karena dia sendiri tidak tahu dimana dua orang pengawal pribadi kaisar itu bersembunyi.

Pergantian pengawal sudah dilakukan dan para perajurit pengawal yang baru nampak masih segar dan mereka mengepung kamar kaisar, bahkan kadang melakukan perondaan di sekeliling tempat itu.

Keng Han dan Cu In mendengar suara mereka dan melongok ke bawah. Mereka tahu bahwa ada pergantian pengawal, maka mereka tidak mengacuhkan lagi.

Tak lama kemudian mereka mendengar suara gedebak-gedebuk seperti orang jatuh.
“Cu In, cepat kau periksa di bawah, biar aku yang menjaga di sini!” kata Keng Han.

Cu In melayang turun dan terkejutlah ia melihat beberapa orang perajurit pengawal menyerang kawan-kawannya sendiri! Dia sama sekali tidak tahu bahwa di antara dua losin perajurit itu, yang empat belas orang adalah anak buah Pek-lian-pai yang menyamar sebagai perajurit dan juga dua orang datuk sesat, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin! Melihat sepuluh orang perajurit diserang oleh perajurit yang lain dan empat orang sudah roboh tak bergerak lagi Cu In berseru,

“Tahan....!!”

Akan tetapi, para perajurit penyerang itu bahkan menyerangnya dan seorang di antara mereka yang memegang ruyung berseru,

“Lo-mo, cepat bergerak dari atas!”

Tung-hai Lo-mo mengenal Cu In yang bercadar. Tahu betapa lihainya wanita itu, dia menyerahkannya kepada Lam-hai Koai-jin dan selosin anak buah Pek-lian-pai. Maka mendengar seruan Lam-hai Koai-jin, Tung-hai Lo-mo segera meloncat naik ke atas atap. Diperhitungkannya, kalau memasuki kamar lewat atap tentu tidak ada yang tahu dan kalau dia dapat membunuh kaisar dengan tangannya sendiri, tentu pahalanya besar dan Pangeran Tao Seng akan memberi hadiah yang besar.