Ads

Selasa, 31 Mei 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 29

Cu In tidak peduli bahwa dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang yang dijumpainya di jalan dalam kota raja.

Mukanya yang tertutup sutera putih dari batas hidung ke bawah itulah yang menarik perhatian orang. Akan tetapi tidak ada seorang pun mengganggunya. Tentu mereka itu mengira bahwa ia seorang wanita dari Turki atau negara Islam lainnya. Wanita-wanita Islam biasanya menutup mukanya dengan cadar seperti itu.

Tidak sukar bagi Cu In untuk mendapat keterangan dimana adanya rumah Panglima The Sun Tek. The-ciangkun adalah seorang panglima yang terkenal di kota raja. Dialah yang memimpin pasukan memadamkan pemberontakan di selatan. The-ciangkun seorang panglima yang bukan hanya pandai ilmu perang, akan tetapi juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi.

Cu In tidak tahu orang macam apa adanya The Sun Tek. Yang penting baginya adalah bahwa ia harus membunuh orang itu. Menurut gurunya, panglima The itu adalah musuh besar gurunya, dan lebih daripada itu, panglima The itulah yang membunuh ayah bundanya sehingga ia menjadi seorang yatim piatu sejak masih bayi!

Dan sejak bayi ia dipelihara oleh subonya, maka kini tugas untuk membunuh musuh besar subonya itu akan dilaksanakan sebaik mungkin. Bukan hanya untuk membalas budi gurunya, melainkan juga untuk membalas dendam ayah bundanya.

Cui In merasa agak heran namun girang melihat kenyataan bahwa rumah itu tidak dijaga regu keamanan seperti rumah para panglima tinggi lainnya. Rumah itu dari luar nampak sunyi saja. Cui In lalu mengelilingi pagar tembok rumah itu dan ternyata rumah itu memiliki pekarangan dan taman yang luas sekali.

Hari itu panas sekali. Matahari telah naik tinggi. Bagaikan seekor burung saja ringannya, Cui In sudah melompati pagar tembok di bagian belakang rumah itu dan mendekam diatas untuk mengintai ke sebelah dalam pagar.

Ternyata di sebelah dalamnya terdapat sebuah taman yang luas, penuh dengan bunga warna warni yang sedang berkembang sehingga suasana di taman itu nyaman dan indah sekali. Ia melompat turun ke sebelah dalam dan menyelinap diantara pohon-pohon.

Agak jauh di tengah taman itu terdapat sebuah pondok dengan dinding Rendah dan bagian atasnya terbuka. Semacam tempat untuk duduk bersantai menikmati keindahan taman. Di depan pondok itu terdapat sebuah kolam ikan dengan bunga teratai dan ikan-ikan emas berenang di dalam kolam. Gemercik suara air di kolam yang jatuh dari sebuah pancuran mendatangkan suara yang menyejukkan hati.

Cui In cepat menyusup ke balik rumpun bunga. Ia melihat seorang laki-laki melangkah seenaknya dengan santai menuju ke panggung atau pondok itu, memasukinya dan duduk di atas bangku menghadapi kolam ikan. Cui In mengintai dan melihat bahwa pria itu berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi rambut kepalanya sudah banyak beruban.

Rambut itu dikuncir ke belakang dan diikat dengan sutera biru. Wajah yang mulai berkerut merut itu masih nampak tampan dan gagah. Akan tetapi sinar matanya mengandung duka. Sampai lama pria itu termenung memandangi kolam ikan dan berulang kali dia menghela napas panjang. Tiba-tiba pria itu menengadahkan mukanya, memandangi awan yang berarak di angkasa, dan dia membaca sajak.

"Seperti awan bergerak di angkasa
kita bercanda penuh suka dan tawa
sumpah saling mencinta saling setia
berbahagia memadu asmara
semua itu hilang musnah
ketika angin datang menerpa kita
berpisah dan merana
yang tertinggal hanyalah air mata!"

Cui In tertegum. Ia mengenal betul sajak itu karena gurunya, Ang Hwa Nio-nio, sering menyanyikan sajak itu dalam sebuah lagu yang sedih. Dan sekarang pria itu bersajak yang sama! Karena perasaan terguncang, tubuh Cui In membuat gerakan. Biarpun gerakan itu tidak menimbulkan suara keras, akan tetapi pria itu memutar tubuhnya dan terdengar suaranya lantang,

"Sobat, tidak ada gunanya lagi engkau bersembunyi. Aku telah mengetahui keberadaanmu di situ!" Pria itu memandang ke arah Cui In.

Cu In terpaksa muncul dari balik rumpun bunga lalu menghampiri pondok itu. Pria itu nampak terkejut dan terheran-heran melihat bahwa yang muncul adalah seorang gadis yang mukanya ditutup cadar putih, pakaiannya juga serba putih.

"Siapa engkau? Apa keperluanmu datang ke tempat ini tanpa diundang?" tanya pria itu dan suaranya mengandung wibawa yang kuat.

Akan tetapi Cu In tidak menjawab, melainkan balas bertanya,
"Apakah engkau yang bernama The Sun Tek?"

"Tidak salah, akulah The Sun Tek. Siapakah engkau, Nona?"

"Namaku Souw Cu In dan aku datang kesini untuk membunuhmu, The Sun Tek!"

The Sun Tek tidak menjadi terkejut mendengar pengakuan itu. Sebagai seorang panglima besar, dia tahu bahwa banyak orang menginginkan kematiannya untuk membalas dendam karena dia sudah sering menghancurkan usaha pemberontakan di mana-mana sehingga tidaklah aneh kalau ada yang mendendam kepadanya. Sering pula terdapat usaha orang-orang yang memusuhinya untuk membunuhnya. Akan tetapi baru sekarang usaha itu akan dilakukan seorang gadis muda. Hal ini mendatangkan rasa penasaran dalam hatinya.

"Membunuh orang tentu ada alasannya yang kuat, Nona. Kenapa engkau hendak membunuhku. Kita belum pernah bertemu dan diantara kita tidak terdapat urusan apa pun!"






"Kita memang tidak pernah bertemu akan tetapi engkau keliru kalau mengira diantara kita tidak pernah terdapat urusan apa pun. Alasanku datang untuk membunuhmu ini cukup kuat. Pertama, aku hendak membalaskan dendam kematian ayah bundaku yang telah kau bunuh! Dan kedua, aku datang mewakili guruku yang menjadi musuh besarmu!"

The Sun Tek mengerutkan alisnya. Kedudukannya sebagai panglima besar yang memimpin pasukan memang banyak resikonya. Entah berapa banyak orang yang dapat menaruh dendam kepadanya karena orang tuanya terbunuh dalam perang.

"Hemmm, siapakah nama ayah bundamu itu, Nona? Aku tidak merasa pernah membunuh orang, kecuali tentu saja dalam perang. Apakah ayah bundamu tewas dalam peperangan melawan pasukanku?"

"Aku tidak tahu siapa ayah bundaku, tidak pernah mengenalnya karena sejak aku masih bayi engkau telah membunuh mereka."

"Lalu bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku pembunuh mereka?"

"Guruku yang memberi tahu."

"Aha, gurumu yang kau wakili untuk menghadapi aku sebagai musuh besarnya itu? Dan siapa gerangan nama gurumu itu, Nona?"

"Guruku adalah Ang Hwa Nio-nio!"

The Sun Tek membelalakkan kedua matanya, lalu wajahnya nampak muram dan mengandung duka.

"Ahhh, Hong Bwe.... Hong Bwe, sampai begitu mendalamkah bencimu kepadaku? Bertahun tahun aku mencarimu dan kini tiba-tiba muncul muridmu untuk membunuhku?"

Cu In tidak mengerti apa yang dimaksudkan pria itu. Ia sudah melolos sabuk suteranya dan berkata,

"The Sun Tek, bersiaplah engkau untuk menghadapi seranganku!"

"Nanti dulu, nona Souw. Bersabarlah karena aku tidak akan pernah melarikan diri darimu. Engkau tidak dapat membunuh orang begitu saja tanpa alasan yang kuat. Engkau harus yakin benar bahwa aku adalah pembunuh orang tuamu. Dan tentang permusuhanku dengan gurumu Ang Hwa Nio-nio itu, tidakkah engkau ingin untuk mengetahui sebab sebabnya?"

"Aku hanya mendengar tentang kematian ayah bundaku dari guruku, dan kalau guruku sampai menganggap bahwa engkau musuh besarnya, tentulah engkau telah melakukan hal yang amat jahat terhadap subo."

"Tahan dulu dan dengarlah sebentar penjelasanku. Aku melihatmu sekarang ini, tiada ubahnya seperti ia ketika itu! Bentuk tubuhmu, matamu itu, dan suaramu! Engkau seperti pinang dibelah dua dengan Hong Bwe! Karena itulah aku ingin engkau mendengar penjelasanku."

Cu In meragu. Ia tidak mengenal siapa itu Hong Bwe, akan tetapi ia pun tidak dapat menolak keinginan orang tua ini untuk menceritakan persoalannya dengan gurunya. Ia pun meragukan, jangan-jangan bukan orang ini pembunuh ayah bundanya dan subonya bercerita demikian agar ia membenci orang ini.

"Sesukamu, bicaralah, akan tetapi jangan harap aku akan percaya begitu saja keteranganmu."

"Percaya atau tidak terserah. Terima kasih kalau engkau suka untuk mendengar ceritaku. Silahkan duduk, nona Souw."

The Sun Tek mempersilakan Cu In duduk dan gadis ini pun mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu, terhalang meja kecil.

Setelah menghela napas panjang beberapa kali, The Sun Tek berkata,
"Aku tidak tahu sampai tingkat apa ilmu silatmu, akan tetapi kalau gurumu sudah mengutusmu untuk membunuhku, aku percaya bahwa engkau tentu cukup lihai. Barangkali aku akan terbunuh olehmu, maka aku senang bahwa engkau suka mendengar ceritaku.

Terjadinya cerita ini kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Ketika itu, aku belum menjadi seorang panglima, akan tetapi aku suka bertualang di dunia kang-ouw dan mengenal banyak tokoh kang-ouw. Aku lalu bertemu seorang gadis kang-ouw bernama Sim Hong Bwe. Kami berkenalan dan saling jatuh cinta. Ketika itulah aku melamar pekerjaan sebagai seorang perwira muda. Karena orang tuaku mengenal panglima yang bertugas menerima para perwira muda, maka aku pun dapat diterima sebagai seorang perwira.

Orang tuaku lalu mendesakku untuk menikah. Ketika aku memberitahu bahwa aku telah mempunyai seorang pilihan hati, yaitu Sim Hong Bwe, ayahku marah. Menikah dengan seorang gadis kang-ouw? Tidak, katanya. Karena aku telah mempunyai tugas dan kedudukan, aku harus menikah dengan seorang gadis baik-baik, dari keluarga yang terhormat. Aku tidak mampu membantah ayahku dan terpaksa aku menerima saja dijodohkan seorang gadis puteri seorang bangsawan."

Sampai disini The Sun Tek menghentikan ceritanya, agaknya dia mengingat kembali peristiwa yang membuatnya selalu berduka itu. Dia memandang kepada Cu In, akan tetapi Cu In tidak mengacuhkannya karena ia tidak tahu apa hubungannya semua itu dengan tugasnya membunuh musuh besarnya ini.

"Aku harus menghadapi kemarahan Sim Hong Bwe. Ia tidak mau mendengar alasanku, bahkan ia menolak keras ketika aku mengusulkan agar ia suka menjadi selirku. Kalau hanya sebagai selir, tentu ayahku tidak akan keberatan. Akan tetapi Hong Bwe menolak dan menuntut agar aku menikahinya sebagai isteri yang sah. Aku tidak mungkin memenuhi permintaannya dan ia menjadi demikian marah sehingga meninggalkan aku begitu saja. Padahal, pada waktu itu ia telah mengandung! Ia mengandung anakku dan sejak itu aku tidak pernah dapat menemukan. Aku selalu mencarinya, bahkan sampai sekarang aku masih mencarinya. Akan tetapi ia menghilang begitu aku dapat menemukan tempat persembunyiannya. Aku mendengar bahwa ia telah melahirkan seorang anak perempuan, akan tetapi tidak pernah aku melihat anakku itu pula."

Cu In mengamati wajah di depannya dengan tajam dan penuh selidik. Wajah itu kelihatan jujur dan tidak berbohong. Ia menjadi bingung ketika mulai dapat menangkap bahwa yang disebut Hong Bwe itu tentulah nama kecil subonya. Akan tetapi subonya tidak mempunyai anak perempuan! Anak laki-laki pun tidak. Subonya tidak mempunyai anak!

"Nah, demikianlah keadaannya, nona Souw. Sim Hong Bwe itu adalah gurumu. Aku sudah mendengar bahwa ia memakai nama Ang Hwa Nio-nio karena di rambutnya selalu ada kembang merah. Dan itu adalah kesenangan dan kebiasaan Hong Bwe, menghias rambutnya dengan bunga merah. Itulah sebabnya maka ia membenciku dan mengutusmu untuk membunuhku. Akan tetapi aku mencintainya, sampai sekarang masih tetap mencintainya. Sekarang isteriku telah meninggal dunia karena sakit, dan aku mengharapkan Hong Bwe untuk menjadi isteriku. Akan tetapi, agaknya ia tidak dapat memaafkan aku. Nona Souw, engkau muridnya, tentu engkau mengerti bagaimana keadaannya dengan puterinya. Sudah besarkah sekarang anakku itu? Siapa pula namanya?"

Cu In menggeleng kepalanya.
"Subo tidak mempunyai seorang puteri, juga tidak mempunyai putera. Subo tidak pernah menikah dan tidak mempunyai anak."

Ia tidak menceritakan betapa subonya amat benci kepada laki-laki, bahkan sejak ia masih kecil ia pun dilatih untuk membenci dan tidak percaya kepada pria, terutama kepada pria yang mencintanya! Agaknya sakit hati subonya kepada The Sun Tek demikian mendalam, membuat ia menjadi pembenci laki-laki.

"Nah, demikianlah ceritaku. Aku tidak pernah membunuh orang begitu saja karena urusan pribadi. Kalau aku membunuh orang, tentu hal itu terjadi dalam perang. Maka, aku merasa tidak pernah membunuh ayah bundamu. Mungkin ayahmu berada dalam pasukan musuh sehingga dalam perang aku membunuhnya, akan tetapi tidak mungkin ibumu juga ikut berperang. Aku yakin bahwa itu hanya suatu akal dari Hong Bwe untuk membuat engkau membenci padaku dan membalas dendam kematian ayah bundamu.

Dan melihat keadaan dirimu, walaupun mukamu tertutup cadar, aku hampir yakin bahwa engkaulah anak itu, Nona! Engkaulah anak dari Hong Bwe sendiri. Engkaulah anakku. Perasaanku mengatakan demikian. Suaramu dan pandang matamu itu tidak dapat menipuku. Itulah suara dan mata Hong Bwe! Ya Tuhan demikian bencikah ia kepadaku sehingga ia ingin melihat anakku sendiri membunuhku?"

Cu In bangkit berdiri. Mukanya menjadi pucat. Kemungkinan itu menyerbu pikirannya. Besar sekali kemungkinan apa yang diduga orang tua ini benar. Ia sendiri mempunyai perasaan yang aneh terhadap panglima ini. Tidak ada rasa benci, bahkan ada perasaan iba kepadanya. Jangan-jangan dia benar ayahnya!

Pada saat itu terdengar bentakan suara lembut,
"Cu In, cepat laksanakan perintahku. Jangan dengar dia dan bunuhlah musuh besar kita itu!"

Yang muncul adalah Ang Hwa Nio-nio. Mukanya kemerahan dan sepasang matanya mencorong penuh kebencian ditujukan kepada The Sun Tek.

Panglima itu melangkah maju menghampiri,
"Hong Bwe....! Ah, bertahun-tahun aku mencarimu, Hong Bwe. Akan tetapi engkau selalu menyingkir. Kembalilah kepadaku, Hong Bwe dan sekarang aku dapat memenuhi permintaanmu. Engkau dapat menjadi isteriku. Dan anak kita! Bukankah nona Souw ini anak kita? Begitu kejamkah engkau menyuruh anak kita untuk membunuhku?"

"Kejam katamu? Orang seperti engkau ini masih bisa mengatakan orang lain kejam? Engkau yang membuat aku hidup sengsara dan merana selama dua puluh tahun! Engkaulah manusia yang paling kejam di dunia. Cu In, cepat kau bunuh dia!"

Akan tetapi kini Cu In memandang kepada subonya dengan sinar mata penuh tuntutan.
"Subo, benarkah dia itu ayahku?"

"Hemmm, Cu In, jangan sebut subo kepadanya, melainkan ibu!" kata The Sun Tek, kini hampir yakin bahwa gadis itu pasti anaknya dari Hong Bwe.

"Tidak peduli dia itu apamu, engkau harus membunuhnya. Sekarang juga! Hayo, cepat serang dan bunuh dia!" kembali Ang Hwa Nio-nio membentak, suaranya bercampur tangis saking jengkel hatinya.

"Akan tetapi, Su.... bo....!"

"Tidak ada tetapi, hayo laksanakan perintahku!"

"Tidak! Kalau benar dia itu ayahku, aku tidak akan membunuhnya!"

"Kau.... kau.... berani membantah perintahku? Dari kecil kau kubesarkan, kupelihara, kudidik, hanya untuk melaksanakan keinginanku ini. Kalau engkau tidak mau, aku akan membunuhmu di depan matanya!" Ang Hwa Nio-nio menggertak sambil menghunus pedangnya.

"Jawab dulu, apakah benar dia itu ayahku dan engkau ibuku? Kalau sudah kau jawab, baru aku akan menentukan sikapku."

"Ya atau tidak, engkau harus membunuhnya atau engkau akan kubunuh sendiri!"

"Tidak! Aku tidak mau!"

"Kalau begitu mampuslah kau di depan matanya!"

Ang Hwa Nio-nio lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang Cu In dengan ganasnya. Cu In meloncat ke belakang akan tetapi pedang gurunya mengejar terus.

"Tranggg....!"

Pedang itu tertangkis dan terpental oleh sebatang pedang lain, yaitu pedang dalam tangan The Sun Tek.

"Hong Bwe, tahan dulu! Apakah engkau sudah menjadi gila? Gila oleh dendam yang kau buat sendiri? Hong Bwe, aku memang bersalah kepadamu, kesalahan karena keadaan, karena desakan orang tua. Aku bersedia minta maaf kepadamu sejak lama, dan aku bersedia menerimamu sebagai isteriku yang sah. Mengapa engkau masih mendendam dan hendak memaksa anak kita membunuhku? Kalau dia tidak mau engkau akan membunuhnya di depan mataku? Begitu kejamkah hatimu, Hong Bwe? Tidak ingatkah engkau betapa dahulu kita saling mencinta dan sampai sekarang pun aku masih mencintamu? Hong Bwe, aku menyesal sekali, aku minta maaf kepadamu, aku mohon ampun kepadamu. Kalau engkau masih mendendam, nah, ini dadaku, tusuklah dan aku tidak akan melawanmu. Aku rela mati di tanganmu kalau hal itu akan membahagiakan hatimu. Akan tetapi jangan paksa anakku membunuhku!"

Sim Hong Bwe atau Ang Hwa Nionio tertegun, memandang pria itu dan tiba-tiba tangannya gemetar, pedangnya terlepas dari tangannya, lalu telunjuknya menuding ke arah muka The Sun Tek.

"Kau.... kau.... ahhhhh....! "

Tubuhnya terhuyung dan ia tentu akan jatuh kalau tidak cepat The Sun Tek merangkul dan memapahnya. Akan tetapi Ang Hwa Nio-nio telah jatuh pingsan dalam rangkulannya.

Cu In memalingkan mukanya. Kedua matanya basah air mata, bukan hanya karena keharuan melainkan karena sedih hatinya bahwa ibu kandungnya sendiri yang hendak memaksa ia membunuh ayah kandungnya. Sungguh ibunya keterlaluan. Karena sakit hati, membuahkan pembalasan dendam yang teramat kejam. Dendam ibunya kepada ayahnya sedemikian mendalam sehingga ia tidak puas kalau harus membunuhnya sendiri melainkan menyuruh anak kandung mereka yang membunuhnya.

Dan pada saat terakhir, ucapan The Sun Tek agaknya membuatnya lemas, lemah lunglai dan tidak dapat menahan jeritan hatinya sendiri bahwa selama ini, sampai kini, ia masih mencintai pria itu! Cu In berlari meninggalkan tempat itu dengan air mata bercucuran.

"Cu In....!"

Terdengar The Sun Tek memanggi-manggil, akan tetapi Cu In tidak peduli dan berlari terus, meloncati pagar tembok meninggalkan rumah besar itu.

Sementara itu, Ang Hwa Nio-nio sadar dari pingsannya. Melihat ia berada dalam rangkulan bekas kekasihnya, ia meronta dan meloncat berdiri. The Sun Tek berlutut di depan kakinya.

"Hong Bwe, aku mohon ampun darimu. Lihat, aku benar-benar menyesal dan ingin menebus kesalahanku kepadamu. Aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk membahagiakanmu. Kalau perlu aku akan mengundurkan diri dari jabatanku. Seharusnya hal ini sejak dahulu kulakukan. Maafkanlah aku dan terimalah uluran tanganku, Hong Bwe."

Wanita itu seperti nanar, memandang sekeliling.
"Mana ia....? Mana Cu In anakku.?" Baru sekarang ia terang-terangan menyebut gadis itu sebagai anaknya.

"Ia telah lari. Dapat kubayangkan betapa sakit hatinya melihat ayah dan ibunya sendiri hampir saling bunuh. Ah, kelak kita harus memberi cinta kasih dan sayang kepada anak kita."

"Aku juga telah bertindak keliru menuruti hatiku yang panas dan penuh dendam. Aku telah membuat ia menjadi pembenci pria dan ia bahkan rela memakai cadar agar mukanya jangan sampai terlihat pria. Aku mabuk dendam karena engkau."

"Aku menyesal. Sekarang marilah kita bangun kembali rumah tangga kita, kita hidup bahagia seperti dulu." The Sun Tek memegang kedua tangan wanita itu.

Pada saat itu muncul seorang pemuda usia dua puluhan tahun, pemuda yang tampan dan gagah. Melihat The Sun Tek bercakap-cakap dengan seorang wanita asing di taman dalam suasana yang begitu akrab, memegang kedua tangan, dia berhenti melangkah, memandang dan tidak berani bertanya.

The Sun Tek mendengar langkahnya dan menoleh, lalu berkata kepada Ang Hwa Nio-nio.

"Dia ini The Kong, anakku, anak kita karena ibunya telah meninggal. Aku hidup menduda sejak isteriku meninggal dan selalu mengharapkan kedatanganmu. Kong-ji, ini adalah ibumu, pengganti ibumu. Beri hormat kepadanya dan tinggalkan kami berdua di sini!"

The Kong dengan patuh memberi hormat kepada wanita itu dengan menyebut "ibu", kemudian pergi dari taman meninggalkan mereka berdua.

"Hong Bwe, seperti kukatakan tadi. Bertahun-tahun aku hidup menduda, tidak mau kawin lagi karena aku mengharapkan engkau. Sekarang engkau sudah datang, hiduplah bersamaku sebagai isteriku, Hong Bwe. Rumah ini seolah dunia gelap memperoleh matahari kalau engkau berada di sini. Anakku Kong-ji adalah seorang anak yang baik dan patuh. Tadi pun dia sudah menyebutmu sebagai ibu, pengganti ibunya."

"Hemmm, kau kira luka di hati yang hancur luluh ini sedemikian mudahnya sembuh? Kalau engkau benar-benar hendak memperisteri aku, engkau harus dapat mencari Cu In dan membawanya pulang kepadaku di Beng-san. Aku hanya mau kau boyong ke sini kalau Cu In bersamaku. Kalau sudah begitu, kita boleh melupakan semua kesalahan masa lalu”.

“Nah, aku pergi dulu dan menunggu kedatanganmu bersama Cu In!" Setelah berkata demikian, wanita itu menyambar pedangnya, melompat dan pergi dengan cepat.

"Hong Bwe....!"

Akan tetapi The Sun Tek maklumi bahwa wanita itu tidak akan mau berhenti. Mau atau tidak terpaksa dia harus melaksanakan permintaan Hong Bwe kalau dia menghendaki hidup sebagai suami isteri dengannya. Sambil menghela napas panjang karena hatinya merasa lega seolah-olah batu yang amat berat dan yang selama ini menindih hatinya telah diangkat pergi. Harapan baru bagaikan cahaya matahari menggantikannya menyentuh hatinya. Dia berjanji kepada diri sendiri untuk dapat menemukan Cu In dan membujuknya agar mau pulang ke Beng-san bersamanya.

**** 29 ****