Ads

Selasa, 31 Mei 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 28

Yo Han Li dan Kai-ong Lu Tong Ki memasuki kota raja. Sejak kecil Han Li tinggal di Bukit Naga dan biarpun dia pernah melihat kota besar, akan tetapi baru sekali ini dara ini melihat kota raja, maka banyak hal yang membuatnya menjadi bengong!

Banyaknya toko, rumah penginapan dan rumah makan yang serba besar, taman-taman yang besar dan indah, banyaknya orang berlalu lalang, pagoda-pagoda yang nampak dari jauh di lereng bukit, semua itu membuatnya berulang kali memuji.

"Uh, apa sih bagusnya semua itu? Hanya dapat dipandang akan tetapi tidak dapat dirasakan! Lihat nanti kalau kita bisa mendapatkan hidangan kaisar atau pangeran, baru engkau akan benar-benar kagum! Hidangan-hidangan itu bukan hanya dapat dipandang dan dicium sedapnya, akan tetapi juga dapat dirasakan dengan lidah! Wahhh, mulutku menjadi basah mengingat semua itu."

Han Li tersenyum geli. Gurunya ini yang diingat hanya makanan saja. Selama ini, hampir setiap hari ia harus memasak makanan untuk gurunya yang mengatakan bahwa ia pandai memasak dan bahwa masakannya sedap sekali.

"Engkau berbakat seni memasak, Han Li!" pujinya berulang-ulang. "Tahukah engkau bahwa memasak itu merupakan seni yang tinggi nilainya? Cara mengerat daging atau memotong sayurnya, cara membesarkan atau mengecilkan apinya berapa lamanya memasak, semua itu mengandung seni tersendiri. Bumbu-bumbu sederhana saja di tangan seorang ahli akan mendatangkan kelezatan pada masakan. Apa saja yang dimasak oleh seorang yang berbakat seni memasak, tentu enak!"

Gurunya memang tukang makan. Kalau perlu dia akan mencuri makanan! Pernah ketika mereka lewat sebuah rumah makan yang memamerkan bebek panggang, Kai-ong berjalan dekat rumah makan itu dan ketika dia keluar dari situ, di bawah baju rombengnya sudah tersembunyi seekor bebek panggang utuh.

Dilahapnya bebek panggang itu di sepanjang jalan sambil memberi komentar tentang rasa bebek panggang itu. Jarang ada makanan yang dipuji kakek ini, ada saja kekurangannya, kurang asin atau terlalu manis, terlalu kering dan sebagainya. Kalau sekarang sebelum merasakan hidangan istana dia sudah memuji setinggi langit, Han Li percaya bahwa hidangan itu tentu benar-benar istimewa.

Ketika mereka berjalan lewat depan sebuah gedung seperti istana, Kai-ong berhenti.
"Ahhh, itu rumah Pangeran Mahkota. Aku yakin hidangan masakan disini tidak kalah lezat daripada yang berada di istana kaisar. Kaisar sudah terlalu tua tentu giginya sudah banyak yang ompong dan masakannya tentu yang lunak-lunak saja. Berbeda dengan masakan di istana Pangeran Mahkota, tentu lengkap dengan yang agak keras. Han Li, kita makan di dapur Pangeran Mahkota saja!"

Han Li memandang dengan khawatir. Di depan istana itu saja sudah terdapat perajurit pengawal yang berjaga. Tentu istana itu di jaga ketat. Bagaimana mereka dapat makan di dapur istana ini? Han Li merasa ngeri kalau sampai ketahuan dan dikeroyok lalu ditangkap. Alangkah malunya. Ditangkap sebagai pencuri makanan!

"Akan tetapi gedung itu tentu dijaga ketat, Suhu."

"Heh-heh-heh, tentu saja. Akan tetapi apa artinya segelintir penjaga itu untuk kita. Mari ikuti aku!"

Kai-ong lalu mengambil jalan memutar dan tibalah mereka di luar tembok pagar yang mengelilingi gedung itu bagian belakang. Setelah melihat bahwa disitu tidak ada orang, Kai-ong mengajak muridnya untuk meloncati pagar tembok yang tinggi itu.

Mula-mula Kai-ong yang lebih dulu melompat dan dia sudah mendekam di atas pagar tembok. Han Li menyusul. Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung ia melayang naik ke atas pagar tembok dan mendekam di sebelah gurunya. Ternyata di sebelah dalam pagar tembok itu terdapat sebuah taman yang amat indah.

"Nah, sudah kuduga. Tentu dalamnya sebuah taman atau kebun. Mari kita loncat ke dalam dan kau bersembunyi di belakang rumpun bambu disana itu!"

Kai-ong memberi petunjuk dan keduanya lalu berlompatan masuk. Han Li segera lari ke belakang rumpun bambu seperti yang dikehendaki Kai-ong, sementara kakek itu sendiri berindap-indap menghampiri bangunan itu dari belakang.

Bagaikan sebuah bayangan, Kai-ong menyelinap masuk. Han Li yang disuruh bersembunyi hanya menanti. Jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau mereka ketahuan? Ia tidak takut akan ancaman pengeroyokan, hanya merasa malu kalau sampai ketahuan masuk ke rumah orang untuk mencuri makanan!

Tak lama kemudian, Kai-ong muncul lagi dan memberi isyarat dengan tangan kepada Han Li untuk mengikutinya. Kiranya kakek tadi lebih dahulu menyelidiki dimana adanya dapur istana itu.

Han Li berlari menghampirinya dan keduanya lalu menyelinap masuk melalui pintu belakang. Tiba-tiba Kai-ong menarik tangan Han Li untuk bersembunyi. Baru saja Han Li bersembunyi di balik tembok, ia melihat tiga orang pengawal yang membawa tombak lewat di dekat mereka. Untung mereka sudah bersembunyi. Terlambat sebentar saja mereka tentu sudah ketahuan!

Setelah tiga orang pengawal itu lewat, kembali Kai-ong mengajak Han Li melanjutkan perjalanan memasuki bagian yang lebih dalam di istana itu. Setibanya di dapur, Han Li melihat ada kesibukan di dalam dapur. Kai-ong memberi isyarat untuk mengikutinya dan kakek itu lalu melayang naik ke atas dapur. Han Li mencontoh perbuatan gurunya dan kini mereka mendekam di atas atap dapur mengintai ke bawah.

Sebelum dapat melihat apa-apa, lebih dulu hidung Han Li disambut bau masakan yang amat sedap. Cepat ia mengintai dan melihat lima orang koki sedang membuat masakan. Bermacam-macam masakan itu.

"Hemmm, udang besar saus tomat itu nampak menggapai-gapai kepadaku," bisik Kai-ong dan dia menjilat bibirnya sendiri.

Han Li merasa geli dan juga heran ketika gurunya mengeluarkan segulung tali yang di ujungnya dipasangi besi kaitan seperti sebuah pancing! Ia baru mengerti setelah gurunya menurunkan pancing itu ke bawah dan menanti sampai para koki itu lengah, barulah dia mengayun pancingnya dan besi kaitan itu dengan tepat sekali mengait seekor udang goreng saus tomat yang segera ditariknya ke atas. Segera ditangkapnya udang yang masih panas itu dan dimakannya dengan lahap sekali.

"Wah, enaknya bukan main!"

Dia memuji dan di lain saat dia sudah mengait seekor lagi yang lalu diberikan kepada Han Li. Sebetulnya Han Li tidak berselera makan masakan curian itu, akan tetapi ia tidak mau mengecewakan gurunya, maka dimakannya udang itu. Ternyata memang lezat sekali.

Setelah menghabiskan lima ekor udang besar, dan selagi matanya mencari-cari masakan lain, di bawah terjadi keributan. Si tukang masak udang goreng saus tomat itu yang membuat ribut.

"Heiii!! Udangku kemana? A Sam, jangan main-main kau!" tegurnya kepada temannya yang sedang memasak masakan ayam tanpa tulang. "Tentu engkau yang makan udang-udangku. Tinggal setengahnya!"






"Ngawur! Siapa makan udang-udangmu? Sejak tadi aku mempersiapkan masakanku sendiri, mana ada waktu untuk memperhatiakn udangmu, apalagi mencurinya dan memakannya."

"Akan tetapi udang besar itu tadinya berjumlah belasan ekor, sekarang tinggal delapan ekor lagi! Yang berada di dekatku hanya engkau. Siapa lagi yang mencurinya kalau bukan engkau!"

"Aku tidak mencuri udangmu. Jangan main tuduh sembarangan kau!"

Teman-teman yang lain melerai.
"Sudahlah, mungkin dimakan kucing."

"Tidak ada kucing masuk kesini." bantah koki udang yang merasa kehilangan.

Sementara itu, di dalam keributan itu selagi para koki bicara dan lengah, seekor ayam tanpa tulang telah melayang naik ke atas. Kai-ong membaginya dengan Han Li dan mereka makan masakan istimewa. Ayam itu masih utuh, akan tetapi ketika digigit, sama sekali tidak ada tulangnya dan ayam itu diisi cacahan daging dengan bumbunya yang sedap.

"Heiii....! Mana ayamku?" tiba-tiba Asam yang tadi dituduh mencuri udang, berteriak.

"Ayam apa lagi!" tanya teman-temannya.

"Tadi masih disini, baru saja kuangkat dari tempat masak. Semua ada lima ekor, akan tetapi lihat, hanya tingga empat ekor. Yang seekor lagi terbang kemana?"

"Mana ada ayam tanpa tulang itu dapat terbang?"

"Tentu ada yang mencuri dan menyembunyikan. A-cui, engkau tadi menuduh aku mencuri udang-udangmu, agaknya engkau hendak membalas dan engkau yang menyembunyikan ayamku!"

"Kau gila! Aku tidak mencuri ayammu!" A-cui membentak.

Dua orang itu sudah saling mengacungkan pisau dapur yang tajam, akan tetapi dilerai teman-temannya. Akhirnya keributan itu mereda dan mereka melanjutkan pekerjaan mereka.

Sementara itu, seekor ayam cabut tulang tadi telah habis memasuki perut Kai-ong dan Han Li. Kai-ong menjilati jari-jari tangannya yang berlepotan minyak dan menggumam,

"Wah, enak.... lezat....!"

"Suhu, aku sudah kenyang. Mari kita pergi dari sini." bisik Han Li. .

"Wah, nanti dulu. Baru mencicipi sedikit sudah mau pulang! Dan lagi, makan seperti ini kurang enak. Aku ingin mencicipi masakan rebung kaki biruang itu, dan itu ada swi-ke pemakan burung, dan panggang bebeknya, goreng burung merpati, wah, masih begitu banyak dan engkau mengajak pulang. Nanti dulu ah!" Kai-ong mematahkan ujung genting diremasnya menjadi potongan kecil-kecil lalu mulai menyambitkan ke bawah.

"Aduh, siapa memukul kepalaku?" teriak seorang koki gendut sambil menggosok-gosok kepalanya yang botak.

"Aduh! Aku juga dipukul. Kamu yang memukul kepalaku, ya?" teriak A-sam dan dia langsung saja menuduh A-cui. Acui menjadi marah lagi.

"Siapa yang memukul? Aduh, siapa mengetuk kepalaku?"

Kemudian terdengar mereka semua mengaduh dan suasana menjadi kacau. Dalam keadaan seperti itu, Kai-ong memberi isyarat kepada Han Li dan mengajak gadis itu melayang turun ke dalam dapur!

Dengan cekatan, Kai-ong sudah mengambil semangkok sop ayam muda dan sambil berjongkok dan bersembunyi di belakang meja dia menyambar pula sepasang sumpit dan mulailah dia makan dengan lahapnya. Dia memberi isyarat kepada Han Li agar meniru perbuatannya.

Akan tetapi Han Li yang juga ikut bersembunyi di belakang meja menggerakkan pundaknya, lalu menyambar sepotong bak-pauw dan memakannya. Bak-pauw adalah sebuah roti biasa yang berisi daging dan sayur, akan tetapi bak-pauw yang terdapat dalam dapur Pangeran Mahkota ini lain rasanya. Memang enak sekali.

Setelah mencicipi berbagai macam masakan, Kai-ong ingin minum dan merangkaklah dia ke tempat penyimpanan guci-guci arak. Dibukanya sebuah guci dan dituangkan isinya begitu saja ke mulutnya.

"Heiii, kemana masakan goreng burung merpatiku?"

"Dan kenapa sop ayam muda ini tinggal sedikit?"

"Ca rebung muda kaki biruangku juga tinggal sedikit!"

"Wah, bau arak! Jangan-jangan ada guci arak yang pecah!",

Lima orang koki itu ribut-ribut dan mencari kesana kemari. Tentu saja guru dan murid itu sibuk berloncatan kesana kemari untuk menyembunyikan diri. Akan tetapi Kai-ong yang keenakan minum arak, tidak sempat lagi bersembunyi. Seorang diantara lima. koki itu melihatnya dan berteriak,

"Wah, ini dia malingnya. Seorang pengemis tua!"

"Celaka, masakan kita diusiknya, banyak yang dimakannya. Apakah keluarga pangeran hanya mendapatkan sisanya?"

"Hayo kita tangkap pencuri itu!"

Dua orang sudah menerjang maju untuk menangkap Kai-ong, akan tetapi Han Li melompat ke depan. Lima orang koki itu terbelalak ketika melihat seorang gadis cantik melindungi kakek itu.

"Paman sekalian, maafkanlah kami yang sudah mencicipi sedikit masakan kalian. Suhu, mari kita pergi!"

"Heh-heh-heh, nanti dulu, Han Li. Kabarnya Pangeran Mahkota adalah seorang dermawan. Siapa kira, makanan untuk keluarganya demikian mewah sedangkan di luar istananya, banyak rakyat kelaparan!" Kai-ong minum terus dan nampaknya seperti sudah mabuk.

"Mari kita lapor ke dalam!" Lima orang koki itu lalu berlarian keluar dari dalam dapur.

"Suhu, mari kita cepat pergi. Para pengawal tentu segera berdatangan!"

"Heh-heh-heh, aku tidak pernah melarikan diri dari dapur sebelum perutku benar-benar kenyang. Mari kita makan dengan leluasa, Han Li. Begini lebih enak. Ini ada nasi dari Hang-ciu, nasinya lembut dan harum sedap."

Kai-ong tidak mau pergi malah kini duduk menghadapi meja, menyambar mangkok dan sumpit lalu mulai makan dengan lahapnya.

Han Li membanting-banting kaki dengan bingung. Sudah terdengar suara banyak kaki lari ke tempat itu.

"Wah, ini bagaimana, Suhu? Mereka sudah berdatangan!"

"Biarkan saja. Kalau mereka berani mengganggu aku makan, akan kuhajar! Nih, kau makan nasi, Han Li. Atau ingin buah-buahan segar. Itu disana banyak anggur, buah leci dan apel. Tinggal pilih mana yang kau suka, heh-heh-heh!"

"Akan tetapi, Suhu....!"

Han Li tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu di ambang pintu dapur telah bermunculan pasukan pengawal yang belasan orang jumlahnya. Seorang komandan pengawal menudingkan goloknya ke arah Kai-ong yang sedang melahap makanan,

"Pencuri busuk, engkau mengacau di dapur istana pangeran?"

"Heh-heh-heh, makanan ini datangnya dari perahan keringat rakyat, apakah kami tidak boleh merasakannya? Aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota adalah seorang yang dermawan dan bijaksana. Apakah dia tidak mengijinkan kami mencicipi makanan ini?" kata Kai-ong sambil menggigit paha ayam dan menyeringai ke arah para pengawal.

"Keparat, berani engkau.!"

"Tahan dulu, Ciangkun. Biarkan kami bicara dengan mereka!" tiba-tiba terdengar suara lembut dan perwira pengawal itu terpaksa mundur lagi karena yang menegurnya adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang sendiri.

Han Li dan Kai-ong memandang penuh perhatian dan melihat munculnya seorang laki-laki bangsawan yang tampan dan berwibawa. Usianya sekitar empat puluh tahun. Di sebelah kanannya berdiri seorang wanita cantik dan di sebelah kirinya berdiri seorang gadis manis. Baik wanita cantik maupun gadis manis itu membawa sebatang pedang di punggung mereka sehingga mereka nampak anggun dan juga gagah.

Pria itu adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Gadis manis itu bukan lain adalah Tao Kwi Hong dan wanita cantik itu ibunya. Mereka tadi sedang bersiap hendak makan siang ketika mendengar laporan para koki bahwa di dapur terdapat kakek pengemis yang mencuri makanan. Pangeran Mahkota Tao Kuang tertarik mendengar ini dan dikawal oleh Tao Kwi Hong dan ibunya, Liang Siok Cu, mereka bergegas menuju ke dapur.

Pangeran Mahkota Tao Kuang memiliki watak seperti kakeknya, yaitu suka bergaul dan menghargai orang-orang kang-ouw. Maka, begitu melihat kakek berpakaian pengemis itu bersama seorang gadis cantik yang mendatangkan kekacauan di dapurnya, dia melarang para pengawal turun tangan. Dia sendiri lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai pemberian hormat dan berkata dengan lembut,

"Apakah kunjungan Locianpwe dan Nona ini hanya untuk mencicipi makanan?"

"Habis, untuk apa lagi? Kami tidak mempunyai urusan dengan Pangeran Mahkota Tao Kuang, heh-heh-heh!" kata Kai-ong.

"Kamilah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Kalau begitu, biarlah kami mengundang Locianpwe dan Nona untuk makan bersama!"

Penawaran ini diajukan dengan sikap lembut dan manis sehingga Han Li merasa tidak enak dan malu sendiri.

"Kau dengar itu, Han Li?" kata Kai-ong sambil tertawa girang. "Sudah lama aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota Tao Kuang adalah seorang yang bijaksana dan sekarang terbukti kebenaran berita itu. Terima kasih, Pangeran, kami menerima undanganmu itu, ha-ha-ha!"

Han Li diam saja akan tetapi merasa tidak enak hati. Sejak kecil ia mendengar tentang penjajahan bangsa Mancu terhadap negara dan bangsanya. Ia sendiri adalah puteri ketua Thian-li-pang yang bercita-cita memerdekakan bangsa dan sekarang ia diundang makan bersama oleh keluarga Pangeran Mahkota bangsa Mancu! Akan tetapi, menolak pun tidak mungkin karena gurunya sudah menerima, maka ia pun mengikuti saja ketika mereka dipersilahkan masuk ke dalam ruangan makan yang luas.

Setelah mereka duduk menghadapi meja makan, hidangan-hidangan yang paling lezat disuguhkan. Pangeran Tao Kuang memberi isyarat kepada pelayan untuk mengisi arak dalam cawan-cawan perak di depan tamunya lalu menyulangi dua orang tamunya dengan secawan arak.

"Silakan Ji-wi (Anda Berdua) minum untuk ucapan selamat datang kami dan untuk perkenalan ini."

Sambil tersenyum lebar Kai-ong minum secawan arak itu dan Han Li hanya mencontoh gurunya, Pangeran Tao Kuang memperkenalkan selirnya dan puterinya lalu bertanya,

"Siapakah nama Locianpwe yang terhormat dan siapa pula Nona ini?"

"Heh-heh-heh, Pangeran. Terima kasih bahwa Paduka suka menyambut kami orang-orang biasa dengan ramah tamah. Saya bernama Lu Tong Ki orang biasa saja, bahkan pengemis yang tidak pernah minta-minta."

"Lu Tong Ki....? Apakah bukan Kai-ong (Raja Pengemis) Lu Tong Ki?" tiba-tiba Liang Siok Cu bertanya dengan kaget.

"Heh-heh-heh, saya hanyalah rajanya para pengemis, Nyonya."

"Mendiang ayahku Liang Cun, sering bicara tentang Locianpwe." kata nyonya itu kagum.

Kini sepasang mata Lu Tong Ki terbelalak,
"Liang Cun? Ah, Sin-tung Koai-jin sudah meninggal dunia dan Nyonya adalah puterinya? Pantas, kalian begini ramah. Kiranya keturunan seorang datuk dari Thai-san!"

"Ha-ha-ha, kiranya kita berada di antara orang sendiri!" Pangeran Tao Kuang tertawa gembira.

"Dan engkau, Enci yang baik, siapakah namamu?" tiba-tiba Kwi Hong bertanya kepada Han Li sambil memandang gadis itu penuh perhatian. "Apakah engkau murid Locianpwe ini'?"

"Benar, aku murid Suhu, namaku Yo Han Li," jawab Han Li singkat.

Mereka mulai makan dan minum. Setelah selesai makan dimana Kai-ong dapat memuaskan seleranya, tiba-tiba Raja Pengemis itu tertawa dan mengelus perutnya.

"Aihhh, kalau setiap hari makan begini, dalam waktu sebulan aku akan menjadi orang gendut!"

Semua orang tertawa dan Kai-ong kembali berkata,
"Ha-ha-ha, Pangeran tentu tidak menduga siapa adanya nona yang mengaku saya sebagai gurunya ini. Sesungguhnya ia jauh lebih terkenal dari pada saya yang hanya raja kaum pengemis. Ibunya terkenal dengan julukan Si Bangau Merah, ayahnya lebih terkenal lagi dengan julukan Pendekar Tangan Sakti yang juga menjadi ketua Thiani-pang."

"Ahhh....!!"

Liang Siok Cu berseru kaget sambil memandang Han Li, sedangkan wajah Pangeran Tao Kuang juga berubah agak pucat. Akan tetapi Kwi Hong berseru girang,

"Aih, kiranya Enci ini puteri Paman Yo? Senang sekali bertemu dengan puteri Paman Yo Han!"

"Kwi Hong, apakah engkau mengenal ketua Thian-li-pang?" tanya Pangeran Mahkota Tao Kuang, sedangkan isterinya siap untuk melindungi suaminya kalau-kalau puteri pemberontak itu mempunyai niat jahat.

"Ayah, aku tidak tahu apakah paman Yo itu ketua Thian-li-pang. Yang aku ketahui dia adalah seorang yang gagah perkasa dan telah menolongku dari pengeroyokan pemberontak Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Aku kagum sekali kepadanya!"

Han Li tadi terkejut bukan main mendengar gurunya memperkenalkan ayahnya sebagai ketua Thian-li-pang, akan tetapi ia merasa heran dan juga lega mendengar bahwa Kwi Hong pernah ditolong ayahnya. Ketika ia melirik ke arah gurunya. Ia melihat Kai-ong tersenyum-senyum kepadanya dan ia pun dapat menduga bahwa gurunya sengaja menyebut Thian-li-pang untuk menguji sampai dimana ketulusan hati dan kebijaksanaan Pangeran Mahkota itu!

Dan memang sebenarnya begitulah. Maklum bahwa ucapannya tadi bisa mendatangkan bahaya, maka diam-diam Kai-ong juga sudah bersiap-siap. Dia cerdik sekali dan andaikata disebutnya Thian-li-pang itu membuat Pangeran Mahkota marah dan mengerahkan pasukan pengawalnya, dia tentu akan bertindak menawan sang pangeran lebih dulu agar dia dan muridnya dapat keluar dari istana itu dengan aman!

Akan tetapi dia pun merasa lega ketika ucapan Kwi Hong membuyarkan suasana yang tegang tadi. Kini Pangeran Mahkota yang berkata kepada Han Li, suaranya mengandung perasaan heran.

"Aneh sekali! Ketua Thian-li-pang menolong puteriku dan hari ini aku menjamu puterinya! Dan semua orang tahu bahwa Thian-li-pang adalah sebuah perkumpulan yang berjiwa pemberontak!".

“Ayah saya tidak pernah membenci perorangan, Pangeran. Yang ditentangnya adalah penjajah dan penindasan!" jawab Han Li dengan tegas.

"Heh-heh-heh, dalam anggapan Paduka memang Thian-li-pang pemberontak, Pangeran." kata pula Kai-ong. "Akan tetapi dalam anggapan kami rakyat jelata, Thian-li-pang berjiwa pendekar dan pejuang."

"Berjuang untuk apa?" Pangeran Mahkota mendesak.

"Berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, berjuang untuk kemerdekaan tanah air dan bangsa." kata pula Kai-ong dan ketika mengucapkan kata-kata ini, dia tidak lagi tertawa melainkan berkata dengan suara dan wajah serius.

"Sama saja, itu pemberontakan namanya, menentang pihak yang berkuasa." bantah Pangeran Mahkota Tao-Kuang.

"Harap Paduka mempertimbangkan dengan hati dan kepala yang tenang dan dingin." kata pula Kai-ong. "Coba Paduka tempatkan diri Paduka sebagai rakyat kami. Apakah Paduka tidak mempunyai keinginan untuk memerdekakan tanah air dan bangsa dari belenggu penjajah? Salahkah itu kalau seseorang bercita-cita untuk kebebasan dan kemerdekaan bangsanya?"

Pangeran Tao Kuang mengangguk-angguk.
"Mungkin juga kami akan berpendirian yang sama. Akan tetapi kami bukan penindas. Kami menganggap bangsa Han seperti bangsa sendiri. Kami ingin menjalankan pemerintahan yang adil, ingin menyejahterakan rakyat."

"Kami percaya, Pangeran. Akan tetapi yang ditentang oleh para pejuang adalah pemerintahan penjajah, bukan perorangan, seperti dikatakan murid saya Han Li tadi."

"Akan tetapi sekarang terbukti bahwa di antara kita tidak ada kebencian atau permusuhan. Anak kami telah diselamatkan ketua Thian-li-pang dan anak ketua Thian-li-pang kami undang makan menjadi tamu terhormat kami!" kata Pangeran Tao Kuang sambil tersenyum.

"Ayah, kuharap enci Han Li menjadi tamu kita untuk beberapa waktu lamanya. Aku ingin mengenalnya lebih dekat dan berbincang-bincang tentang ilmu silat dengannya!" kata Kwi Hong kepada ayahnya.

Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk dan tersenyum ramah kepada Kai-ong,
"Aku tidak keberatan dan mereka ini boleh tinggal di istana sebagai tamu berapa lama pun mereka kehendaki!"

Kai-ong tertawa.
"Bagus! Aku suka sekali tinggal di sini beberapa lamanya sampai puas makan enak setiap hari, Han Li, kita tinggal di sini sampai bosan!"

Kwi Hong merasa gembira sekali. Dengan senyum manis ia bangkit menghampiri Han Li dan menggandeng tangan gadis itu.

"Mari kita melihat-lihat taman, enci Han Li. Dan kutunjukkan kamarmu dimana engkau boleh tinggal!"

Kedua orang gadis itu pergi dan meninggalkan Kai-ong yang diajak bercakap-cakap oleh Pangeran Tao Kuang. Raja pengemis itu bersama muridnya menjadi tamu dari Pangeran Mahkota!

**** 28 ****