Ads

Selasa, 31 Mei 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 27

Akan tetapi tepat seperti yang diramalkan Thiat It tosu, pertemuan itu gagal karena penolakan Yo Han ketua Thiar-li-pang. Apalagi dengan munculnya Tao Kwi Hong yang mengancam mereka dan sepak terjang Keng Han yang mencari tahu sebab permusuhan gurunya, Gosang Lama dengan Bu-tong-pai.

Ketika Thian It Tosu palsu ditanya tentang permusuhan dengan Gosang Lama, dia terkejut sekali. Akan tetapi dasar orang cerdik, Gulam Sang pandai mencari alasan tentang sebab permusuhan itu dan menjatuhkan kesalahannya di pundak Gosang Lama, atau ayah kandungnya sendiri!

Ketika sebagai Gulam Sang dia bertemu Keng Han yang dianggapnya sebagai teman karena dia adalah putera gurunya, Gulam Sang berhasil pula mengajak pemuda itu untuk bekerja sama, bahkan memberi alamat Ji Wan-gwe di kota raja yang banyak mengetahui tentang keadaan Pangeran Tao Seng.

Tentu saja secepatnya dia mengirim utusan dengan pemberitahuan kepada Pangeran Tao Seng atau ayah angkatnya itu bahwa akan datang seorang pemuda bernama Keng Han yang mencari tahu tentang Pangeran Tao Seng yang diakui sebagai ayah kandungnya. Juga dia memberi tahu bahwa Keng Han memiliki ilmu silat yang amat lihai sehingga kalau perlu pemuda itu dapat dimanfaatkan.

Yang merasa tersiksa hatinya adalah Thian-yang-cu dan Thian-tan Tosu. Mereka merasa tidak berdaya karena takut akan ancaman Gulam Sang untuk membunuh Thian It Tosu yang selalu dijaga oleh lima orang jagoan dari Pek-lian-pai itu. Juga mereka tahu benar akan kelihaian Gulam Sang yang mungkin akan melaksanakan ancamannya yaitu membasmi Bu-tong-pai kalau rahasianya terbongkar.

Keng Han merasa kagum dan terpesona ketika dia tiba di kota raja. Belum pernah dia melihat bangunan-bangunan sebesar dan seindah itu. Dia benar-benar seperti seorang dusun yang baru pertama kali memasuki sebuah kota besar.

Tidak sukar baginya mencari rumah Hartawan Ji karena nama itu sudah terkenal di kota raja. Dan dia pun mengunjungi rumah itu, sebuah gedung besar yang mempunyai pintu gerbang besar dan tebal, dijaga pula oleh orang-orang yang nampaknya seperti tukang-tukang pukul atau ahli-ahli silat.

Kepada para penjaga pintu ini dia mengaku bernama Si Keng Han dan ingin menghadap Hartawan Ji karena urusan penting. Dia disuruh menanti sebentar sementara seorang penjaga melaporkan ke dalam, tak lama kemudian dipersilakan memasuki kamar tamu yang besar dan mewah. Keng Han memandangi semua keindahan itu. Gambar-gambar, sajak-sajak, hiasan-hiasan dan bahkan meja kursi di situ berukir indah. Oleh pengawal yang mengantarnya dia dipersilakan duduk menanti dan pengawal itu sendiri lalu keluar lagi.

Bunyi langkah kaki membuat jantung Keng Han berdebar tegang. Benarkah cerita Gulam Sang bahwa dia akan mendapat keterangan yang lebih jelas tentang ayahnya? Begitu tuan rumah muncul, dia cepat bangkit berdiri dan memberi hormat sambil mengamati wajah orang itu.

Dia melihat seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang masih gagah dan tampan, berpakaian sutera sebagaimana pakaian seorang hartawan. Sebaliknya, tuan rumah itu yang bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri juga mengamati pemuda yang kini memberi hormat didepannya. Diam-diam dia merasa kagum dan bangga. Puteranya! Akan tetapi tidak terasa ada keharuan dalam hati yang sudah mengeras itu, melainkan perasaan girang karena mungkin dia akan mendapatkan seorang pembantu yang amat berguna.

“Maafkan, Tuan.”

“Jangan sebut aku tuan, panggil saja paman.” kata Pangeran Tao Seng atau Hatawan Ji ramah.

“Maafkan kalau kedatangan saya ini mengganggu kesibukan Paman.”

“Ah, tidak mengapa. Silakan duduk dan, perkenalkanlah siapa dirimu dan ada kepentingan apa ingin bertemu denganku.”






Keng Han mengambil tempat duduk. Bantalan kursinya lunak sekali, enak diduduki,
“Nama saya Si Keng Han, Paman, dan nama Paman diperkenalkan kepada saya oleh seorang sahabat yang bernama Gulam Sang.”

“Aha, begitukah? Gulam Sang itu adalah putera angkatku sendiri.”

Baru sekarang Keng Han mengetahui dan dia pun terkejut. Kiranya putera gurunya itu telah diambil anak oleh hartawan ini.

“Kalau begitu semua keterangannya tentang Paman tentu benar semua.”

“Keterangan apakah tentang diriku?”

“Bahwa Paman pernah mengenal ayah kandung saya dan mengetahui tentang semua peristiwa yang menimpa diri ayah kandung saya.”

“Siapakah ayah kandungmu?”

“Dahulu ayah kandung saya adalah seorang pangeran, namanya Pangeran Tao Seng.”

“Akan tetapi bukankah namamu Si Keng Han nama margamu Si?”

“Itu hanya untuk penyamaran saja, Paman. Tidak baik kiranya kalau saya menggunakan nama keluarga istana, hanya akan menarik perhatian orang saja.”

Tao Seng mengangguk-angguk, menyatakan bahwa dia mengerti.
“Lalu apa yang hendak kau tanyakan tentang Pangeran Tao Seng? Siapa pula ibumu dan dimana ia sekarang berada?”

“Saya hendak mencari ayah kandung saya akan tetapi saya mendengar bahwa ayah saya difitnah orang sehingga dihukum buang. Ibu saya adalah seorang wanita Khitan, puteri kepala suku. Ibu yang mengutus saya pergi mencari ayah kandung saya karena setelah meninggalkan ibu selama dua puluh tahun, dia tidak pernah memberi kabar sedikit pun.”

Ji Wan-gwe kini merasa yakin bahwa yang berhadapan dengan dia adalah putera kandungnya, putera Silani. Bahkan dia yang dahulu memesan kepada Silani. bahwa kalau isterinya itu melahirkan seorang anak laki-laki agar diberi nama Tao Keng Han! Akan tetapi kalau ada sedikit getaran pada jantungnya karena terharu bertemu putera kandungnya, ingatannya akan cita-citanya lebih besar dan lebih kuat sehingga dia dapat menekan perasaannya. Dia menghela napas besar seperti orang bersedih, padahal napas panjang itu untuk menekan rasa harunya.

“Menyedihkan sekali nasib ayahmu itu, Kongcu. Ketahuilah bahwa saya dahulu menjadi pengawal dari ayah kandungmu. Bahkan ketika Pangeran Tao Seng dibuang ke barat, saya tetap mengikutinya untuk menemani dan melayaninya. Dia memang terkena fitnah, Kongcu.”

“Demikian kata Gulam Sang. Bukankah ayah seorang pangeran mahkota? Bagaimana dia bisa terkena fitnah dan siapa pula yang memfitnahnya?”

“Semua itu terjadi karena iri hati. Salah seorang pangeran lain yang bernama Tao Kuang merasa iri hati karena ayahmu yang terpilih sebagai pangeran mahkota. Maka dia lalu melakukan fitnah menuduh ayahmu hendak memberontak dan membunuh kaisar. Memang ada bukti-bukti karena bukti itu memang sudah disediakan lebih dulu oleh Pangeran Tao Kuang. Ayahmu dituduh hendak membunuh kaisar dan membunuh Pangeran Tao Kuang, maka dia dihukum buang selama dua puluh tahun. Saya mengikutinya sampai di tempat pembuangannya.”
”Ah, kasihan sekali ayah kandungku! Dan sekarang dia berada dimana, Paman Ji?”

Hartawan Ji menghela napas lagi.
“Agaknya Pangeran Tao Kuang tidak puas karena ayahmu hanya dihukum buang. Dia menghendaki kematian ayahmu maka dia menyuruh orang untuk menyusul ke barat, dan disana orang-orangnya berhasil meracuni ayahmu sehingga meninggal dunia!”

“Ahhh....!!”

Keng Han menundukkan mukanya karena tidak ingin kelihatan menangis atau berduka. Sampai lama keduanya diam, kemudian terdengar Hartawan Ji berkata dengan suara yang mengandung kemarahan.

“Akan tetapi kita tidak tinggal diam Kongcu! Dendam sedalam lautan ini harus ditebus dengan kematian Pangeran Tao Kuang dan kaisar!”

“Akan tetapi bagaimana mungkin, Paman? Kita hanyalah orang-orang biasa, bagaimana mungkin dapat menentang kekuasaan yang memiliki ratusan ribu pasukan?”

“Kita tidak bergerak sendiri, Kongcu. Dengarlah. Dengan bantuan anakku Gulam Sang kita telah menghimpun persekutuan yang cukup kuat. Banyak partai persilatan besar, para tokoh kang-ouw yang sakti, sudah siap membantu. Kalau engkau suka membantu, kiranya tidak akan sukar untuk membunuh Pangeran Tao Kuang atau bahkan kaisar sekalipun.”

”Tentu saja saya suka membantu. Dimana jenazah ayahku dimakamkan, Pamain Ji?”

“Atas permintaannya sendiri sebelum dia meninggal, jenazahnya diperabukan, akan tetapi sampai sekarang abunya belum dapat kukubur atau kubuang ke laut. Aku masih takut kalau-kalau ada yang tahu dan mengenalku sebagai pengawal ayahmu, bisa celaka aku. Abu jenazah itu masih kusimpan di rumah ini, kubuatkan sebuah meja abu. Kalau Kongcu hendak bersembahyang di depan meja abu, silahkan, Kongcu.”

Keng Han berterima kasih sekali dan dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam yang hiasannya lebih indah dan mereka tiba di sebuah kamar dimana terdapat sebuah meja dan abu itu tersimpan didalam sebuah bejana dari perak. Tidak ada tulisan apa pun di situ dan hal ini dapat dimengerti Keng Han karena hartawan itu tidak ingin ketahuan bahwa dia bekas pengawal Pangeran Tao Seng.

Keng Han lalu bersembahyang dan berlutut di depan meja abu itu. Dia terkenang kepada ibunya dan hatinya seperti diremas. Lima tahun lebih dia meninggalkan ibunya dengan harapan akan dapat bertemu ayahnya. Siapa kira sekarang dia hanya dapat bersembahyang di depan abunya.

“Ayah, saya bersumpah untuk membalas dendam kematian ayah!" katanya kuat-kuat dan Hartawan Ji yang berdiri di belakangnya tersenyum penuh arti.

Setelah bersembahyang mereka bercakap-cakap lagi berdua saja, di ruangan lain.
"Untuk membunuh kaisar memang merupakan hal yang sulit karena kaisar selalu terkurung rapat oleh para pengawalnya. Akan tetapi membunuh Pangeran Tao Kuang yang kini menjadi Putera Mahkota itu tentu lebih mudah. Dia tidak terjaga begitu ketat. Hanya saja, Pangeran Tao Kuang mempunyai seorang selir yang pandai ilmu silat. Tadinya ayah mertuanya juga berada di sana, akan tetapi setelah ayah mertuanya meninggal, yang perlu diperhitungkan adalah selirnya itu. Apakah engkau berani menyerbu kesana dan melawan selirnya yang lihai itu?"

"Untuk membalas dendam, saya berani melakukan apa saya, Paman Ji!"

"Bagus! Kalau begitu engkau tinggallah disini beberapa waktu lamanya untuk mempelajari keadaan dalam Istana Pangeran Mahkota. Setelah hafal akan keadaan disana barulah engkau bergerak. Apakah engkau membutuhkan bantuan, Tao-kongcu?"

"Tidak dalam hal ini jangan sampai Paman tersangkut. Untuk membalaskan dendam ayah, biar aku sendiri yang bertanggung jawab."

"Baiklah, kalau begitu akan kuusahakan menemukan denah istana pangeran mahkota itu sehingga engkau akan lebih mudah bergerak kalau sudah berhasil masuk kesana."

Keng Han mengucapkan terima kasih dan merasa gembira sekali. Biarpun dia tidak dapat bertemu dengan ayahnya, kalau dia dapat membalaskan sakit hatinya, dia sudah merasa puas. Tentu hal ini juga merupakan hiburan bagi ibunya mendengar tentang kematian ayah kandungnya.

**** 27 ****