Ads

Selasa, 31 Mei 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 22

Souw Cu In sendiri merasa kesepian dan hatinya terasa berat harus berpisah dari Keng Han. Gadis ini merasa heran sekali. Belum pernah ia merasa kehilangan seperti ini! Apalagi kehilangan seorang sahabat, seorang pria. Tekanan yang diberikan subonya sejak ia masih kecil membuat ia menganggap setiap orang pria itu palsu dan jahat. Apalagi setelah ia melihat sendiri betapa kaum pria selalu bersikap menjemukan kalau bertemu dengannya di manapun. Pria semua mata keranjang dan ingin menggoda kalau bertemu dengannya.

Akan tetapi kini ia bertemu Keng Han yang sama sekali berlainan dengan pria yang seringkali ia bayangkan dan yang pernah ia temukan. Keng Han sama sekali tidak kurang ajar, bahkan amat sopan dan bersikap baik sekali kepadanya. Maka, begitu Keng Han meninggalkannya dengan sikap demikian kecewa dan sedih, ia merasa kasihan sekali dan ikut pula berduka dan kehilangan. Baru sekarang ia merasa kesepian melanda hatinya.

Akan tetapi gadis yang dididik menjadi keras hati ini dapat menekan perasaannya dan ia pun melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat sekali. Pada suatu hari tibalah ia di sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Bahkan ia menemukan sebuah kedai makan di dusun itu. Karena perutnya sudah lapar Souw Cu In memasuki kedai itu dan memesan makanan dan minuman teh.

Kedai teh itu sudah banyak tamu yang sedang makan. Seperti biasa dialami Cu In, begitu ia memasuki kedai makan itu, banyak mata memandang dan banyak kepala menengok lalu terdengar suara berbisik-bisik dan tawa yang dibuat-buat. Namun ia tidak mempedulikan itu semua dan memesan makanannya kepada pelayan yang menghampirinya.

Tiga orang pria yang duduk di meja sebelahnya, menghentikan makan mereka ketika melihat Cu In. Mereka itu terdiri dari orang-orang yang berpakaian gagah, berusia antara tiga puluh dan empat puluh tahun. Seorang di antara mereka, yang berusia tiga puluh tahun, agaknya menjadi pemimpin mereka.

“Sayang ia bercadar sehingga kita tidak dapat melihat. mukanya,” kata seorang diantara mereka yang berusia hampir empat puluhan tahun.

“Aku yakin ia cantik seperti bidadari,” kata orang kedua yang usianya empat puluhan tahun.

“Sudahlah, lanjutkan makan kalian dan jangan pedulikan orang lain.” kata pemuda yang berusia tiga puluhan tahun.

Dia itu bertubuh tinggi besar dan nampak gagah dan tampan, mukanya bundar dan sepasang matanya lebar sehingga wajah itu nampak asing.

“Akan tetapi, Kongcu, yang ini berbeda dengan wanita biasa. Kami berani bertaruh bahwa ia seorang yang luar biasa sekali, penuh rahasia karena muka itu bercadar.” kata orang pertama.

Orang yang disebut kongcu itu mencela,
“Kalau orang menutupi mukanya, apalagi kalau ia wanita, tentu itu cacat. Sudahlah, mari kita cepat selesaikan makan, kita harus melanjutkan perjalanan!”

Mereka melanjutkan makan minum dan karena Cu In makan cepat dan tidak banyak, gadis ini lebih dulu selesai dan segera membayar makanan dan pergi meninggalkan kedai makanan itu tanpa mempedulikan orang lain. Tiga orang itu juga sudah selesai makan dan mereka juga cepat-cepat meninggalkan kedai.

Ketika Cu In berjalan keluar dari dusun itu, ia pun tahu bahwa tiga orang itu membayanginya. Ia pura-pura tidak tahu dan melangkah terus. Akan tetapi setelah tiba di jalan yang sepi, tiga orang ini berlari cepat menyusulnya.

“Tahan dulu, Nona!” terdengar suara pria pertama yang berkumis dan berjenggot seperti kambing.

Cu In berhenti dan menghadapi tiga orang itu. Ia melihat bahwa dua diantara mereka memandangnya dengan mulut menyeringai, akan tetapi pemuda berusia tiga puluhan tahun yang berwajah tampan dan gagah itu bersikap acuh tak acuh.

“Nona, tadi kita melihatmu di rumah makan.” kata orang kedua yang hidungnya pesek.

“Lalu, mengapa kalian mengejarku?” tanya Cu In dengan ketus.

“Begini, Nona. Aku dan temanku ini bertaruh. Aku yakin bahwa wajahmu cantik seperti bidadari, sebaliknya dia yakin bahwa wajahmu cacat dan buruk. Nah, karena itu kami harap Nona suka membuka cadar Nona itu sebentar saja agar kami dapat melihatnya dan menentukan siapa yang menang bertaruh.”

“Aku tidak peduli kalian bertaruh atau tidak, akan tetapi aku tidak akan membuka cadarku!” kata Cu In dengan suara ketus dan marah.

“Aih, Nona. Mengapa Nona begitu pelit? Memperlihatkan muka sebentar saja, apa keberatan. Nah, kalau begitu biarlah aku yang membuka dan menyingkap cadar itu!” kata si jenggot kambing dan tangannya meraih ke arah cadar di muka Cu In.

Gadis ini mengelak mundur dan sambaran tangan itu luput.
“Siapa berani membuka cadarku dia akan mati!” kata Cu In dengan suara membentak.

Akan tetapi agaknya si jenggot kambing dan si hidung pesek menganggap kosong gertakan Cu In ini. Bahkan si hidung pesek tertawa,

“Ha-ha-ha, Thian-ko. Mari kita bertaruh lagi, siapa di antara kita yang lebih dulu dapat membuka cadar Nona ini!”

Si jenggot kambing tertawa.
“Ha-ha-ha, baik sekali! Jadi taruhan kita ada dua, mengenai muka gadis ini dan siapa yang lebih dulu menyingkap cadar!”






Keduanya lalu menerjang maju dan tangan mereka meraih untuk menyambar cadar putih yang menutupi muka Cu In. Laki-laki ketiga yang berwajah tampan itu masih memandang dengan tidak peduli.

Marah sekali hati Cu In. Cepat ia mengelak sambil berloncatan dari serangan kedua orang yang hendak merenggut cadarnya dan ia pun menampar dengan pukulan Tangan Beracun. Akan tetapi kagetlah ia melihat betapa dua orang itu pun mampu mengelak dengan cepat. Kini keadaannya berubah. Dua orang itu bukan berebutan membuka cadar melainkan mengeroyok gadis itu. Terjadilah perkelahian yang seru.

Akan tetapi, dua orang itu kecelik karena kini mereka bertemu batunya. Ternyata gadis bercadar itu lihai bukan main dan mereka terdesak hebat oleh pukulan dan tendangan Cu In. Padahal, kedua orang itu mengira bahwa mereka adalah orang-orang lihai yang jarang bertemu tanding! Melihat ini, sepasang mata lebar dari pemuda tampan itu bersinar-sinar.

“Kalian mundurlah!” bentaknya, dan kini dia sendiri yang maju melawan Cu In. Dua orang kawannya mentaati perintahnya dan mundur menjadi penonton.

Cu In yang maklum bahwa kawannya tangguh, segera melolos sabuk suteranya yang menjadi senjatanya yang ampuh, dan mulai menyerang dengan sabuk suteranya. Akan tetapi pemuda itu dapat mengelak atau menangkis sambil mencoba untuk menangkap ujung sabuk sutera putih itu.

Akan tetapi usahanya selalu gagal. Sabuk sutera itu seolah hidup di tangan Cu In, bergerak seperti seekor ular dan setiap kali ditangkap dapat melesat cepat menghindar lalu menyerang lagi dengan patukan yang mengarah jalan darah karena sesungguhnya senjata lemas itu dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah.

Selagi ramai-ramainya kedua orang ini bertanding, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar suara Keng Han,

“Bibi guru harap minggir biar aku yang menghadapinya?”

Bagaimana Keng Han dapat tiba di situ! Perjalanannya dengan Cui In memang searah, sama-sama ke timur sehingga tidak aneh kalau dia juga lewat di situ. Ketika dari jauh melihat perkelahian itu, jantungnya berdebar penuh kegembiraan dan ketegangan karena seorang wanita yang berpakaian putih bersenjata sabuk sutera putih itu siapa lagi kalau bukan Souw Cu In?

Melihat orang yang dirindukannya ini hatinya merasa girang sekali, akan tetapi juga tegang melihat betapa lawan bibi gurunya itu amat tangguh. Apalagi setelah dekat dia mengenal pemuda itu sebagai Gulam Sang yang pernah ditandinginya! Gulam Sang, putera mendiang gurunya! Bahkan gurunya sebelum meninggal dunia berpesan agar dia bekerja sama dengan puteranya itu. Maka cepat dia meloncat datang dan menyuruh bibi gurunya minggir.

Gulam Sang juga mengenal Keng Han sebagai pemuda tangguh yang pernah dilawannya. Dia menjadi penasaran karena tadi belum sempat mengalahkan Cu In yang sudah didesaknya.

“Siapakah engkau yang mencampuri urusan kami?” bentaknya dan dia memandang kepada Keng Han dengan mata yang lebar itu mencorong.

“Bukankah namamu Gulam Sang dan engkau adalah putera dari Gosang Lama?” tanya Keng Han sambil membalas pandang mata mencorong itu.

Gulam Sang nampak terkejut dan melangkah mundur setindak mendengar pertanyaan itu.

“siapa engkau? Apa hubunganmu dengan Gosang Lama?”

Keng Han melihat betapa kekejutan pemuda tinggi besar itu dibuat-buat karena suaranya Masih biasa saja, hanya tadi seolah sengaja melangkah mundur.

“Aku adalah muridnya. Sebelum suhu Gosang Lama meninggal dunia, dia berpesan kepadaku agar dapat bekerja sama denganmu. Akan tetapi kenapa engkau bertempur melawan bibi guruku ini? Ia adalah bibi guruku dan mustahil ia melakukan kesalahan sehingga engkau turun tangan bertempur dengannya.”

Wajah Gulam Sang berubah kemerahan dan dia menoleh kepada dua orang kawannya.
“Kawan-kawanku ini yang usil maka terjadi perkelahian. Mereka hendak menyingkap tabir yang menutupi wajah Nona ini.”

Keng Han mengerti mengapa mereka berkelahi. Tentu saja bibi gurunya tidak sudi dibuka cadarnya dan masih beruntung mereka berdua itu tidak sampai dipukul mati.

“Kalian sudah bertindak lancang. Mengingat engkau putera suhu Gosang Lama, biarlah aku mintakan ampun kepada bibi guruku.” kata Keng Han sambil menoleh.

Akan tetapi ternyata Cui In sudah tidak nampak, sudah pergi dari tempat itu tanpa pamit. Ketika tadi Keng Han muncul, Cu In juga merasa berbahagia sekali. Akan tetapi ketika mendengar bahwa pemuda tinggi besar itu putera guru Keng Han, Cu In menjadi marah dan pergi tanpa pamit.

“Eh, kemana bibi guru?”

Si jenggot kambing yang menjawab.
“Ia sudah pergi sejak tadi.”

Keng Han memandang kepada si jenggot kambing dan si hidung pesek dengan marah.
“Kalian berdua telah melakukan kesalahan, hayo cepat minta maaf kepadaku dan aku akan memaafkan atas nama bibi guruku!”

Kedua orang itu memandang kepada Gulam Sang yang mengangguk. Keduanya lalu mengangkat kedua tangan di depan dada, memberi hormat kepada Keng Han,

“Harap sampaikan maaf kami kepada nona tadi.”

“Saudara yang baik, siapakah namamu dan sejak kapan engkau menjadi murid ayahku?”

“Namaku Si Keng Han dan sejak berusia sepuluh tahun aku menjadi murid Gosang Lama selama lima tahun.”

“Kalau begitu engkau masih saudaraku sendiri walaupun aku sendiri sejak kecil tidak pernah bertemu dengan mendiang ayahku. Apa saja yang dipesankan ayah kepadamu sebelum dia meninggal?”

“Dia berpesan agar aku bekerja sama denganmu, saling bantu.”

“Bagus sekali! Mari kita kembali ke dusun dan mencari penginapan agar kita leluasa bicara.”

Keng Han tidak menolak, karena percuma saja andaikata dia akan mengejar Cu In yang pergi tanpa pamit . Dan dia pun ingin mengenal lebih baik putera suhunya ini yang berkepandaian tinggi dan yang menurut Dalai Lama pernah menjadi murid Dalai lama yang sakti. Mereka kembali ke dusun dan menyewa kamar, kemudian bercakap-cakap berdua saja di kamar yang disewa Keng Han.

“Nah, sekarang katakan apa yang hendak kau bicarakan, Gulam Sang. Kerja sama yang bagaimana yang dapat kita bersama lakukan.”

“Nanti dulu, Keng Han. Aku ingin tahu siapakah orang tuamu dan sekarang ini engkau hendak kemana? Kita harus terbuka dan menceritakan keadaan masing-masing, baru kita dapat bekerja sama, bukan?”

Keng Han mengangguk-angguk. Dia belum percaya kepada pemuda tinggi besar ini, akan tetapi bagaimanapun juga, pemuda ini adalah putera Gosang Lama yang pernah menjadi gurunya yang baik.

“Terus terang saja, saudara Golam Sang. Ibuku adalah seorang wanita Khitan, puteri seorang kepala suku di sana dan ayahku....” Ia berhenti dan meragu. Harus dikatakankah rahasia tentang ayahnya?

“Dan ayahmu tentu bukan orang Khi-tan!” kala Golam Sang.

“Engkau benar. Ayahku adalah seorang pangeran kerajaan Ceng.”

“Ahhh....!” Gulam Sang nampak terkejut. “Siapa nama ayahmu yang pangeran itu?”

“Nama ayahku adalah Tao Seng, jadi aku she Tao Keng Han.”

“Ahhh....!” kembali Golam Sang terkejut. “Apakah Pangeran Tao Seng yang dihukum buang itu?”

“Agaknya engkau mengetahui banyak hal tentang ayahku, saudara Golam Sang.”

“Aku hanya mendengar saja bahwa ada dua orang pangeran yang dihukum buang.”

“Dan tahukah engkau dimana ayahku itu sekarang?”

“Aku tidak tahu, mungkin di kota raja, mungkin masih di tempat pembuangannya, di Barat. Akan tetapi engkau tentu dapat mencari keterangan di kota raja. Kebetulan aku mengenal seorang pensiunan pejabat tinggi yang dahulu berhubungan erat dengan ayahmu. Kau carilah dia di kota raja dan dia pasti akan dapat memberitahu dimana ayahmu. Namanya Ji Soan dan dikenal dengan sebutan Ji-wangwe (hartawan Ji) karena sekarang dia telah menjadi seorang saudagar yang kaya raya. Kau tanyakan kepada siapa saja di mana rumahnya Ji-wangwe dan tentu engkau akan dapat menemukannya.”

“Ah, terima kasih, Gulam Sang. Keteranganmu ini penting sekali bagiku. Besok pagi-pagi aku akan langsung menuju ke kota raja untuk mencari Ji-wangwe itu.”

“Kabarnya, ayahmu itu difitnah dan dia dihukum dalam keadaan penasaran sekali.”

“Difitnah?” tanya Keng Han, ingin sekali tahu.

“Ya, kabarnya yang melakukan fitnah adalah seorang pangeran lain yang kini menjadi Pangeran Mahkota.”

“Aku mendengar dari ibuku bahwa ayahku itu adalah Pangeran Mahkota.”

“Mungkin benar demikian. Mungkin karena dia seorang Pangeran Mahkota, ada pangeran lain yang iri hati dan melakukan fitnah sehingga dia dihukum buang.”

“Siapakah pangeran jahat itu?”

“Dia adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Akan tetapi urusan itu aku pun tidak tahu banyak. Yang lebih mengetahui adalah Hartawan Ji itulah. Bagaimanapun juga, Pangeran Tao Kuang dan Kaisar Cia Cing itu adalah musuh besarmu karena merekalah yang mencelakakan dan menghukum ayahmu.”

“Kalau benar ayah terhukum dengan penasaran, aku akan membalas dendam!” kata Keng Han dengan hati panas.

“Bagus! Dalam hal ini, kita dapat bekerja sama. Kita sama-sama berjuang menggulingkan pemerintahan Ceng yang dipegang oleh Cia Cing dan kelak di pegang oleh Pangeran Tao Kuang itu!. Kita bekerja sama dengan teman-teman seperjuangan.”

“Hemmm, kau maksudkan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang dulu kau bantu mengeroyok kami itu? Mereka itu bukan orang-orang baik. Aku sudah mendengar sepak terjang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai itu. Mereka adalah orang-orang jahat yang berkedok perjuangan. Bagaimana kita dapat bekerja sama dengan mereka?”

“Nah, disini letaknya kesalah-pahaman itu. Engkau berpikiran seperti ketua Thian-li-pang itu. Kalau kita benar-benar hendak berjuang menentang pemerintahan, kita harus mempersatukan semua tenaga dari pihak manapun. Kita harus bersatu padu tanpa mempedulikan watak masing-masing, untuk bersama-sama mengadapi pasukan pemerintah yang kuat. Aku lebih condong menyetujui pendapat ketua Bu-tong-pai!”

“Ah, engkau juga hadir ketika ada rapat besar itu?”

“Tentu saja. Aku hadir sebagai pendengar saja. Nah, bagaimana pendapatmu?”

Keng Han meragu.
“Agaknya engkau benar. Aku harus membalas dendam atas kematian ayahku kalau benar dia sudah mati secara penasaran dan difitnah. Aku suka bekerja sama denganmu, Gulam Sang.”

Gulam Sang menjabat tangan Keng Han.
“Bagus, kita akan bekerja sama kelak. Kau tunggu saja di rumah Hartawan Ji, karena dia pun telah menjadi sekutu kami untuk melakukan pemberontakan. Pergilah engkau ke sana, cari keterangan tentang ayahmu dan katakan kepada Ji-wangwe bahwa engkau adalah sahabat dan sekutuku yang suka untuk bekerja sama.”

Demikianlah, Keng Han yang masih hijau dalam pengalamannya itu percaya sepenuhnya kepada Gulam Sang karena orang ini adalah putera gurunya yang sudah meninggalkan pesan agar dia bekerja sama dengan Gulam Sang.

**** 22 ****