Ads

Selasa, 31 Mei 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 21

Pada jurus ke enam, Keng Han sama sekali belum tersentuh pedang lawan, bahkan kini dia mampu membalas dengan gerakan corat-coretnya yang membingungkan lawan.

“Jurus ke delapan....!”

Toat-beng Kiam-sian menjadi marah bukan main. Sudah delapan jurus lewat dan lawannya masih mampu menandinginya, bahkan mampu membalas serangannya. Dan dia sendiri tidak mengenal ilmu silat pedang lawan yang seperti corat-coret menuliskan huruf itu. Dia membentak keras sambil berjongkok dan menyabetkan pedangnya untuk membabat kedua kaki lawan.

“Hyaaaaattttt....!”

Keng Han meloncat ke atas dengan gerakan ringan seperti seekor burung terbang sehingga babatan itu hanya lewat di bawah kedua kakinya.

“Jurus ke sembilan....!”

Cu In berseru girang, akan tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi pucat dan ia memandang dengan hati cemas ketika melihat serangan jurus ke sepuluh. Kini Lo Cit menggerakkan pedangnya ke atas, menyambut tubuh Keng Han yang melompat turun dan bukan pedangnya saja yang menyerang, akan tetapi juga tangan kirinya menghantam dengan ilmu pukulan Halilintar! Bukan main hebatnya pukulan dan tusukan pedang ini dan tubuh Keng Han masih berada di udara.

Sementara itu, melihat serangan lawan yang nekat dan berbahaya, Keng Han menggerakkan pedang bengkoknya untuk menangkis dan tangan kirinya juga dihantamkan ke depan menyambut pukulan Halilintar lawan.

“Tranggg.... desss....!”

Hebat bukan main pertemuan kedua pedang itu, akan tetapi lebih dahsyat lagi pertemuan kedua telapak tangan. Akibatnya, tubuh Lo Cit terdorong sehingga dia terhuyung ke belakang, sedangkan Keng Han turun ke bawah dengan selamat.

“Jurus ke sepuluh!” bentak Cu In.

Akan tetapi agaknya Lo Cit tidak mempedulikan teriakan itu dan kini bahkan menyerang lagi dengan lebih dahsyat ke arah Keng Han. Dan bersama dengan majunya Lo Cit, kini beberapa orang murid di antaranya Gan Bu Tong juga hendak melakukan pengeroyokan.

Melihat gelagat yang tidak baik ini, Cu In sudah meluncurkan sabuk suteranya yang berubah menjadi sinar putih menyerang kearah Lo Siu Lan. Siu Lan terkejut akan tetapi tidak sempat mengelak dan tahu-tahu pinggangnya telah terlibat ujung sabuk dan sekali Cu In menarik, tubuh Siu Lan terdorong ke arahnya dan ia sudah menangkap gadis itu dan menodongkan jari-jari tangan kirinya ke atas ubun-ubun kepala Siu Lan.

“Tahan semua senjata atau aku akan membunuh Siu Lan!” teriak Cu In dengan suara nyaring.

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit menengok dan wajahnya berubah ketika dia melihat puterinya telah berada dalam ancaman tangan Cu In. Dia maklum bahwa sekali menggerakkan tangan itu ke arah ubun-ubun kepala anaknya, gadis itu tentu akan tewas!

“Tahan semua senjata dan mundur!” bentaknya kepada para muridnya. Semua mundur dan memandang ke arah Cu In yang masih mengancam Siu Lan.






“Keng Han, mari kita pergi dari sini. Awas, jangan ada yang mengikuti kami kalau ingin gadis ini selamat!” kembali Cu In membentak dan ia mendorong Siu Lan berjalan di depan sedangkan ia dan Keng Han berjalan di belakangnya.

Dengan cara ini mereka dapat keluar dari sarang Kwi-kiam-pang tanpa ada yang berani menghalangi. Setelah tiba di luar, Cu In menotok Siu Lan sehingga gadis ini menjadi lemas dan roboh tak berdaya, kemudian mereka berdua berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Belasan li mereka berlari meninggalkan tempat itu sampai mereka memasuki sebuah hutan di lereng bukit. Mereka berhenti melepas lelah dan Keng Han berkata dengan nada suara menegur,

“Su-i, kenapa menggunakan cara yang curang itu untuk menyelamatkan diri?”

“Curang katamu? Bagaimana dengan Toat-beng Kiam-sian itu? Sudah sepuluh jurus engkau bertahan terhadap serangannya, ehhh, dia malah menyerang lagi dan maju mengeroyok. Mereka demikian banyak, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka? Kalau aku tidak menggunakan akal itu, apa kau kira kita bisa keluar dengan selamat.”

Keng Han menundukkan mukanya, harus mengaku kebenaran ucapan gadis itu.
“Ah, mengapa di dunia ini banyak orang yang tidak sungkan berlaku curang seperti ketua Kwi-kiam-pang tadi?”

“Itulah! Merupakan pelajaran pertama bagimu kalau engkau memasuki dunia kang-ouw, yaitu, jangan mudah percaya kepada siapapun juga atau engkau akan tertipu. Lebih banyak orang yang curang daripada yang jujur, lebih banyak yang jahat daripada yang baik. Nah, sekarang tiba saatnya kita harus berpisah mengambil jalan masing-masing.

“Su-i,” kata Keng Han dengan suara sungguh-sungguh. “Kalau perjalanan kita sama, menuju ke satu jurusan, yaitu kota raja, kenapa kita tidak melakukan perjalanan bersama saja?”

“Tidak pantas seorang pemuda melakukan perjalanan bersama seorang gadis!”

“Aih, Su-i, bukankah engkau ini bibi guruku? Kenapa tidak pantas? Yang penting kita tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas. Pula, agaknya memang sudah semestinya kita melakukan perjalanan bersama sehingga dapat saling melindungi. Bayangkan saja, kalau kita tidak melakukan perjalanan bersama, engkau sudah celaka di tangan Tung-hai Lo-mo dan aku sudah celaka di tangan Toat-beng Kiam-sian! Dengan berdua, kita dapat mengatasi semua bahaya itu.”

Souw Cu In termenung, agaknya melihat kebenaran dalam ucapan pemuda itu dan ia mempertimbangkan. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan bertanya.

“Keng Han, apakah engkau murid keluarga Pulau Es?”

“Bukan, Su-i. Bahkan aku selama hidup belum pernah bertemu dengan mereka.”

“Akan tetapi ilmu silatmu itu.... aku pernah mendengar subo bercerita tentang ilmu-ilmu keluarga itu. Katanya ada ilmu yang sifatnya seperti mencorat-coret dengan tangan atau pedang, yang disebut Hong-in Bun-hoat, dan tadi engkau menggunakan ilmu itu, bukan?”

Terhadap gadis ini Keng Han tidak ingin berbohong.
“Memang sesungguhnya aku tadi memainkan ilmu Hong-in Bun-hoat.”

“Dan kau bilang bukan murid Pulau Es?”

“Bukan, Su-i. Aku tidak berbohong. Kudapatkan ilmu ini di sebuah gua di Pulau Hantu, bersama ilmu-ilmu lain.”

“Ilmu apa saja? Ah, kau tidak perlu mengaku kalau hendak merahasiakannya.”

“Kepadamu aku tidak ingin menyembunyikan apa-apa, Su-i. Selain Hong-in Bun-hoat, aku juga menemukan pelajaran ilmu silat Toat-beng Bian-kun, ilmu tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang.”

Gadis itu terbelalak dan Keng Han terpesona. Sepasang mata itu demikian indahnya ketika terbelalak, seperti bintang kembar yang bercahaya terang.

“Tapi semua itu adalah ilmu-ilmu keluarga Pulau Es!”

“Entahlah, Su-i. Aku hanya menemukannya di Pulau Hantu dan telah kupelajari semua itu selama lima tahun.”

“Pantas saja engkau mampu menandingi Swat-hai Lo-kwi dan Toat-beng Kiam-sian. Dan suci telah mengangkatmu sebagai murid! Betapa lucunya. Padahal suci sendiri tak mungkin mampu menandingimu. Bahkan subo sendiri belum tentu mampu. Engkau telah menguasai ilmu-ilmu langka yang sakti, Keng Han.”

Keng Han tersipu.
“Aih, Bibi Guru terlalu memuji. Aku hanya seperti seekor burung yang baru belajar terbang dan baru saja meninggalkan sarangnya. Aku tidak mempunyai pengalaman apa-apa, maka kalau Su-i sudi melakukan perjalanan bersamaku, aku dapat belajar banyak.”

“Tidak bisa! Kalau subo mengetahui aku melakukan perjalanan dengan seorang pemuda, tentu ia akan marah sekali dan aku harus membunuhmu! Nah, pergilah!”

“Akan tetapi, Su-i....” Suara Keng Han penuh permohonan dan penuh kekecewaan.

“Tidak ada tapi-tapian, Keng Han. Kita harus berpisah. Pergilah, atau aku akan marah kepadamu!”

“Su-i....!” kata Keng Han, akan tetapi melihat sinar mata itu mencorong marah, dia lalu memberi hormat dan berkata, “Baiklah, Su-i, aku tidak berani membantah. Harap Su-i berhati-hati di jalan dan jagalah dirimu baik-baik, Su-i.”

Dengan wajah sedih sekali Keng Han lalu memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan gadis itu. Dia merasa tubuhnya menjadi lemas dan segala sesuatu nampak buruk baginya. Dia merasa kesepian, merasa ditinggalkan oleh sesuatu yang amat berharga baginya. Kalau tadinya, segala hal nampak menyenangkan, kini menjadi menyedihkan.

Dia menengok dan tidak melihat lagi bayangan Cu In. Kesedihan dan kesepian melanda dirinya sehingga Keng Han tidak mampu melangkah lagi. Dia menjatuhkan dirinya duduk di atas batu dan termenung. Hidupnya terasa hampa. Kerinduan kepada Cu In begitu mencengkeram hatinya. Membayangkan bahwa dia tidak akan dapat bertemu lagi dengan gadis itu, membuat matanya menjadi basah dan hampir saja dia menangis seperti anak kecil kalau tidak ditahan-tahannya.

Tiba-tiba dia menyadari keadaannya dan menepuk kepalanya sendiri.
“Huh! Kenapa engkau menjadi cengeng seperti itu?”

Dia merasa malu kepada diri sendiri, malu kepada Souw Cu In. Kalau bibi gurunya itu melihat keadaannya, tentu ia akan menegurnya.

“Tolol! Cengeng!”

Keng Han memaki diri sendiri sambil bangkit berdiri dan dengan langkah tegap dia melanjutkan perjalanannya menuju ke timur, ke kota raja! Dia masih memiliki tugas yang teramat penting. Mencari ayah kandungnya.

**** 021 ****