Ads

Selasa, 24 Mei 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 17

“Yo-pangcu, engkau tadi menantang kami. Nah, sekarang kami datang untuk mencoba kepandaian ketua Thian-li-pang!” kata Thian-yang-ji dengan marah.

“Ketua Thian-li-pang ternyata hanya seorang penakut yang berpura-pura menjadi patriot, tidak berani diajak berjuang melawan penjajah!” kata pula Koai Tosu.

Yo Han memandang dengan senyum mengejek. Sikapnya yang tenang membuat Keng Han dan Kwi Hong kagum sekali. Dikepung lima puluh orang lebih masih demikian tenangnya. Benar-benar seorang gagah perkasa ketua Thian-li-pang ini. Diam-diam Keng Han mengambil keputusan untuk membela ketua Thian-li-pang ini sekuat tenaga.

“Menggunakan banyak orang untuk menggertak, apakah ini yang dinamakan gagah perkasa? Mengandalkan pengeroyokan untuk mencapat kemenangan, anak kecil pun bisa dan terutama orang-orang yang curang sekali!” kata Kwi Hong dengan lantang.

“Gadis lancang mulut! Tadi pun di sana engkau bicara seolah engkau membela kerajaan Mancu, apakah engkau menjadi antek atau mata-mata Mancu? Untuk melawanmu, tidak perlu keroyokan, pinto sendiri saja pun cukup untuk melawanmu!” kata Koai Tosu menantang gadis itu.

“Bagus! Siapa takut kepada segala macam tosu bau? Jubahmu saja seperti tosu dan pertapa, akan tetapi siapa tidak tahu dalamnya? Engkau seperti buaya berkulit ikan emas, di luarnya bagus di dalamnya busuk. Aku tidak takut kepadamu!”

Kata Kwi Hong sambil mencabut pedangnya. Gadis yang pakaiannya serba biru ini membusungkan dada dan memandang dengan mata bersinar-sinar.

“To-yu, hati-hatilah. Melihat hiasan rambut gadis itu, agaknya ia yang disebut orang Si Bangau Emas!” kata Thian-yang-ji memperingatkan kawannya.

“Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Benarkah engkau Si Bangau Emas, Nona?” tanya Koai Tosu.

“Kalau benar, mau apa? Lekas engkau minggat dari sini kalau takut!”

“Ha-ha-ha, masih muda namun mulutnya tajam sekali dan lagaknya seperti seekor naga. Bagus, mari kita main-main sebentar, Nona!”

Koai Tosu juga mencabut pedangnya dan Kwi Hong segera menyerang dengan hebatnya. Demikian ganas serangannya sehingga lawannya terkejut dan tidak berani memandang ringan. Apalagi ketika Kwi Hong memainkan Ngo-heng Sinkiam, tosu itu segera terdesak dan terpaksa harus memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan yang dahsyat sekali itu.

Sementara itu, Thian-yang-ji berkata kepada Yo Han,
“Yo-pangcu, mari kita selesaikan urusan di antara kita dengan senjata!” kata-kata ini dilanjutkan dengan pencabutan pedangnya.

“Majulah, Totiang. Senjataku hanyalah kaki tanganku yang diberikan Tuhan kepadaku!” jawab Yo Han dan memang ketua Thian-li-pang ini tidak pernah menggunakan senjata.

Selain dia mengandalkan kaki tangannya, juga ilmu kepandaiannya sudah sedemikian tingginya sehingga apa pun yang dipegangnya dapat di jadikan senjata!

“Bagus, engkau sendiri yang mengatakan jangan bilang bahwa pinto curang!” kata tosu itu sambil menyerang dengan pedangnya.

Akan tetapi dengan mudahnya Yo Han mengelak sambil membalas serangan tosu yang cukup lihai itu.

Keng Han melihat betapa lihainya lawan Kwi Hong sehingga dia merasa khawatir akan keselamatan nona ini.

“Hong-moi, biarkan aku saja melawan tosu itu!” katanya.

Akan tetapi pemuda tinggi besar dan gagah itu sudah maju menghadapinya.
“Sobat, engkau adalah lawanku. Mari majulah kalau engkau memang memiliki kegagahan!”

Sebetulnya Keng Han enggan berkelahi dengan orang itu tanpa alasan apapun. Maka dia ragu-ragu dan tidak menjawab, hanya memperhatikan Kwi Hong yang sesungguhnya bertemu lawan yang tangguh. Biarpun gadis ini memiliki ilmu pedang Ngo-keng Sin-kiam yang ampuh, namun ia kalah pengalaman sehingga setelah tosu itu mulai mengenal gerakannya, gadis itu berbalik terdesak mundur.

Pemuda itu karena tidak ditanggapi oleh Keng Han, juga memperhatikan jalannya perkelahian antara Yo Han dan Thian-yang-ji. Alisnya berkerut melihat betapa Yo Han mempermainkan Thian-yang-ji. Biarpun ketua Thian-li-pang itu hanya bertangan kosong saja dan Thian-yang-ji bersenjata pedang, namun jelas nampak betapa dalam belasan jurus saja Thian-yang-ji mulai terdesak hebat. Melihat ini, pemuda itu mengeluarkan teriakan mengguntur dan melompat dekat lalu menyerang Yo Han dengan pukulan jarak jauh yang mendatangkan angin besar.

Yo Han tekejut dan menangkis. Tangkisan itu membuat dia mundur dua langkah, akan tetapi pemuda itu pun terhuyung mundur. Melihat pemuda itu melakukan pengeroyokan, Keng Han menjadi penasaran.

“Jangan curang!”

Keng Han berseru dan dia lalu menyerang pemuda itu. Pemuda itu menangkis dan kembali dua tenaga yang dahsyat bertemu. Akibatnya Keng Han terdorong mundur, akan tetapi pemuda itu pun terhuyung. Keduanya sama-sama terkejutnya dan maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang kuat sekali.

Kini pertandingan menjadi tiga pasang. Kwi Hong masih terdesak oleh Koai Tosu yang lihai sekali ilmu pedangnya. Untung Kwi Hong telah menguasai Ngo-heng Sin-kiam sehingga la masih mampu melindungi dirinya sehingga pedang lawan tidak pernah dapat menembus pertahanannya. Kalau tidak tentu sudah sejak tadi ia roboh, perkelahian antara Yo Han melawan Thian-yang-ji sebaliknya membuat tosu itu terdesak. Walaupun dia berpedang dan Yo Han tidak, namun dia hampir tidak kuat lagi menghadapi ilmu Bu-tek Hoat-keng dari Yo Han yang amat hebat.






Akan tetapi yang paling ramai dan dahsyat adalah pertandingan antara Keng Han dan pemuda itu. Mereka ternyata memiliki tenaga yang seimbang. Keng Han memainkan ilmu-ilmu yang didapatinya di Pulau Hantu, yaitu Hong-In Bun-hoat dan Toat-beng Bian-kun, bahkan mengerahkan tenaga panas dan dingin yang berada di tubuhnya.

Namun, pemuda itu masih dapat mengimbanginya dengan ilmu silat yang aneh dan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir. Kalau saja Keng Han tidak memiliki sin-kang kuat sekali berkat latihan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, tentu dia terpengaruh oleh bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir itu.

Tiba-tiba Thian-yang-ji yang terdesak itu berseru dan anak buahnya maju mengeroyok, demikian pula dengan anak buah Koai Tosu. Lima puluh orang maju mengeroyok tiga pendekar itu.

Tentu saja Yo Han, Kwi Hong dan Keng Han harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya menghadapi pengeroyokan itu. Mereka sudah merobohkan beberapa orang pengeroyok, akan tetapi karena lawan mereka tangguh sekali, pengeroyokan itu membuat mereka sibuk juga. Terutama Kwi Hong. Menghadapi Koai Tosu seorang saja ia sudah repot, apalagi dikeroyok belasan orang. Ia mulai mundur dan lelah karena harus menangkis sekian banyak senjata yang menyerangnya. Keadaan gadis itu mulai gawat, sedangkan Yo Han dan Keng Han tidak berdaya menolongnya karena mereka sendiri repot. dengan pengeroyokan itu.

Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda yang banyak sekali, dan tak lama kemudian muncul pasukan pemerintah yang tidak kurang dari seratus orang banyaknya. Seorang perwira yang memimpin pasukan itu berseru,

“Tuan puteri dalam bahaya! Cepat selamatkan beliau!”

Dan dia sendiri sudah menyerbu dengan pedangnya membantu Kwi Hong yang dikeroyok banyak orang. Para anak buah pasukan itu pun menyerbu dan kini anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai berbalik menjadi kalang kabut dan terdesak oleh pasukan yang dua kali lipat banyaknya itu.

Melihat ini, Thian-yang-ji terkejut bukan main. Dia memutar pedangnya, melompat mundur dan melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, dia berteriak,

“Gulam Sang, cepat melarikan diri!”

Pemuda tinggi besar yang masih melawan Keng Han mendengar seruan ini lalu melompat ke belakang, sementara Keng Han sendiri tertegun mendengar suara Thian-yang-ji tadi sehingga dia tidak mengejar. Gulam Sang? Dia teringat akan pesan mendiang gurunya, Gosang Lama agar kelak bekerja sama dengan putera suhunya itu yang bernama Gulam Sang! Jadi pemuda tinggi besar itu putera gurunya! Menurut Dalai Lama, putera gurunya itu telah menjadi murid Dalai Lama. Tidak mengherankan kalau dia memiliki ilmu yang tinggi sehingga dalam pertandingan tadi dia tidak mudah mengalahkannya.

Koai Tosu juga melarikan diri bersama Thian-yang-ji, diikuti teman-temannya yang belum roboh.

“Jangan kejar!” teriak Kwi Hong kepada komandan pasukan itu,

Perwira itu, menghampiri Kwi Hong dan memberi hormat.
“Tuan Puteri tidak apa-apakah? Tidak terluka?”

“Sama sekali tidak. Untung kalian muncul membantu, kalau tidak tentu kami akan celaka. Bhok-ciangkun, bagaimana engkau dapat muncul bersama pasukanmu di sini?”

“Kami mendapat tugas dari Yang Mulia Pangeran Mahkota untuk mencari Tuan Puteri. Sudah sebulan lebih kami mencari dan kebetulan saja kami mendapatkan Paduka di sini. Kami pikir, bahwa mungkin sekali Paduka pergi ke Bu-tong-san.”

Sementara itu, Yo Han dan Keng Han mendengar semua percakapan itu. Wajah Keng Han berubah saking kagetnya mendengar ucapan panglima itu terhadap Kwi Hong. Tuan puteri? Pangeran Mahkota? Apa artinya ini? Jadi Kwi Hong adalah seorang puteri istana dan masih ada hubungannya dengan Pangeran Mahkota?

Yo Han juga tercengang dan dia lalu memberi hormat kepada Kwi Hong.
“Kiranya Nona adalah Tuan Puteri dari istana. Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat.”

“Ah, Paman Yo. Puteri atau bukan aku tetap saja sama, dan aku yang berterima kasih. Kalau tidak ada Paman tadi, tentu aku sudah celaka di tangan mereka.”

Keng Han memandang gadis itu dan Kwi Hong juga memandangnya. Dua pasang mata bertemu pandang dan melihat pemuda itu diam saja tidak mengeluarkan suara, Kwi Hong tersenyum dan berkata,

“Han-ko, mengapa engkau diam saja?”

“Engkau.... engkau adalah puteri istana.... dan aku....”

Keng Han tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia tadinya hendak berkata bahwa dia pun putera Pangeran Mahkota. Untung dia masih ingat dan menyimpan rahasianya. Sebelum dia bertemu dengan ayahnya, dia tidak akan membuka rahasianya.

“Benar, aku memang puteri Pangeran Mahkota dan namaku Tao Kwi Hong, lalu mengapa, Han-ko? Aku masih Kwi Hong yang biasa itu bagimu.”

“Akan tetapi, Tuan Puteri....”

“Aih, sebut aku Hong-moi seperti biasa, Han-ko. Kita masih tetap sahabat, bukan?”

“Benar, Hong-moi, kita tetap bersahabat.”

Pada saat itu, Bhong-ciangkun memberi hormat kepada Kwi Hong dan berkata,
“Sudah berbulan Paduka meninggalkan istana. Yang Mulia Pangeran amat gelisah, maka harap Paduka segera mengikuti kami untuk pulang ke kota raja.”

“Itu benar sekali, Tuan Puteri. Sebaiknya Tuan Puteri segera mengikuti pasukan ini pulang ke kota raja.” kata Yo Han yang ikut merasa tidak enak sekali. Tanpa disengaja, dia malah melindungi puteri pangeran penjajah!

Keng Han merasa tidak enak kalau diam saja.
“Memang itu yang paling tepat, Hong-moi. Orang tuamu tentu cemas memikirkan keselamatanmu.”

“Engkau ikutlah dengan kami ke kota raja, Han-ko. Bukankah dahulu engkau mempunyai niat melihat-lihat kota raja?”

“Tidak sekarang, Hong-moi. Lain kali kalau aku ke kota raja, aku tentu akan mencarimu.”

“Benarkah, Han-ko? Datang saja ke istana ayahku. Ayahku adalah Pangeran Mahkota dan semua orang tahu di mana istananya.”

Keng Han merasa terharu. Jangan-jangan gadis ini adalah saudaranya seayah!
“Baik, Hong-moi.”

Kwi Hong lalu diberi seekor kuda yang bagus dan berangkatlah ia dikawal pasukan itu meninggalkan kaki Pegunungan Bu-tong-san. Setelah gadis itu pergi dan derap kaki kuda tidak terdengar lagi, bayangannya tidak nampak lagi, Keng Han terharu dan menghela napas panjang, Yo Han agaknya mengerti akan isi hati pemuda itu dan dia pun menghibur,

“Ada waktunya berpisah dan ada waktunya bertemu, Sobat Muda. Aku melihat gadis itu baik sekali padamu sehingga kelak kalian tentu akan dapat saling berjumpa kembali.”

Tiba-tiba timbul keinginan di hati Keng Han untuk minta keterangan dari Yo Han ini. Sebagai ketua Thian-li-pang dan seorang pendekar kenamaan, tentu Yo Han mengetahui banyak tentang keluarga kaisar.

“Paman Yo, kalau boleh aku bertanya, siapakah nama Pangeran Mahkota itu?”

Pertanyaan yang diajukan sambil lalu ini tidak menarik kecurigaan Yo Han dan dianggap pertanyaan biasa seorang yang ingin tahu karena Pangeran Mahkota itu ayah dari gadis yang menjadi sahabat pemuda itu.

“Namanya Pangeran Mahkota Tao Kuang.”

Keng Han menyimpan keheranannya. Tadinya dia menduga namanya Tao Seng. Ataukah ayahnya itu kini telah menjadi kaisar?

"Dan siapakah nama kaisar, sekarang, Paman?”

“Ah, engkau belum tahu? Agaknya engkau belum banyak merantau di dunia ramai, Keng Han. Nama kaisar adalah Kaisar Cia Cing.”

Kembali Keng Han termenung. Kalau kaisar dan putera mahkotanya bukan ayahnya, lalu di mana adanya ayahnya dan apa pula kedudukannya? Dengan hati-hati agar jangan sampai kentara bahwa dia menaruh perhatian, dia lalu bertanya,

“Memang saya belum banyak merantau di dunia ramai sehingga tidak tahu apa-apa, Paman. Akan tetapi saya pernah mendengar tentang seorang pangeran bernama Pangeran Tao Seng. Adakah nama pangeran yang demikian itu?”

“Pangeran Tao Seng?” Yo Han mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Kalau tidak salah dua puluh tahun yang lalu Pangeran Tao Seng itu bersama Pangeran Tao San telah menerima hukuman buang. Mereka dihukum karena berselisih dengan Pangeran Mahkota Tao Kuang.”

“Ah, dibuang? Ke manakah?”

“Mana aku tahu? Mungkin juga dia sudah meninggal dunia sekarang. Orang yang dihukum amat berat, apalagi dihukum buang di tempat terasing, jarang yang kuat bertahan”.

Hampir saja Keng Han meloncat saking kaget dan sedihnya mendengar ini. Ayahnya yang disangka menjadi pangeran atau bahkan kaisar itu, telah meninggal dalam pembuangan!

“Kenapa, Keng Han? Kenapa engkau menanyakan pangeran itu?”

“Ah, tidak apa-apa, Paman. Hanya aku pernah bertemu seorang yang dahulu pernah ditolong oleh Pangeran Tao Seng, dan minta kepadaku untuk menyampaikan hormatnya kalau aku kebetulan bertemu dengannya.”

“O, begitukah? Keng Han, aku tertarik sekali melihat engkau ketika berkelahi tadi melawan pemuda tinggi besar yang lihai sekali itu. Engkau mampu menahan pukulannya dan engkau menggunakan ilmu-ilmu Pulau Es. Agaknya aku melihat pula engkau mempergunakan ilmu Toat-beng Bian-kun. Benarkah?”

Keng Han juga kagum sekali. Orang ini dapat mengenal ilmu pukulannya, padahal dia sendiri dikeroyok banyak orang.

“Benar, Paman. Memang di Pulau Hantu itu aku menemukan dua ilmu silat itu yang kupelajari dengan tekun.”

“Dan tenagamu itu! Coba kau terima pukulanku ini, Keng Han!”

Yo Han lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Keng Han. Serangkum angin yang dahsyat menyambar dan Keng Han terkejut sekali, cepat dia menerima dengan kedua tangannya dan secara otomatis dua hawa yang berlawanan dalam tubuhnya bekerja.

“Wuuuttttt.... dessss....!!” Keduanya terdorong ke belakang dan Yo Han berseru kaget.

“Ah, bukankah kedua tanganmu itu menggunakan tenaga Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang?”

Karena sudah ketahuan, terpaksa Keng Han membenarkan.
“Memang aku juga mempelajari sin-kang itu dari coretan di dinding gua.”

“Bukan main! Kalau begitu engkau benar-benar telah mewarisi pusaka Pulau Es, Keng Han! Berhati-hatilah engkau dan pergunakan ilmu-ilmu itu untuk kebaikan. Ketahuilah bahwa keluarga para pendekar Pulau Es adalah para pendekar yang gagah perkasa. Kalau engkau keliru menggunakan ilmu-ilmu itu ke arah kejahatan, pasti mereka semua akan mencarimu dan membinasakanmu. Ilmu-ilmu pusaka Pulau Es tidak boleh dipergunakan untuk kejahatan.”

“Semoga Tuhan menghindarkan aku dari perbuatan jahat, Paman!” kata Keng Han penuh semangat.

Dia adalah putera bangsawan. Ayahnya seorang pangeran Mancu dan ibunya adalah puteri kepala suku Khitan, bagaimana mungkin dia menjadi seorang penjahat!

Mereka lalu berpisah. Yo Han kembali ke Thian-li-pang di Bukit Naga dan Keng Han melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi .dia menjadi bingung. Bagaimana kalau ayahnya benar-benar telah tewas seperti diduga oleh Yo Han tadi? Bagaimanapun juga, dia harus menyelidiki ke kota raja dan kalau benar ayahnya telah mati, dia harus membalas kematlin ayahnya itu!

Pantas selama ini ayahnya tidak pernah menengok ibunya. Kiranya dia dihukum buang. Dua puluh tahun yang lalu, jadi tidak lama setelah ayahnya meninggalkan ibunya.

Keng Han berjalan dengan wajah muram. Dia teringat kepada Kwi Hong. Harus diakuinya bahwa dia tertarik sekali kepada Kwi Hong yang bersikap amat baik kepadanya. Hampir dia menduga bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis itu. Akan tetapi kenyataannya membuat dia muram dan berduka. Kwi Hong adalah Tao Kwi Hong, masih saudara sepupunya! Mereka bermarga Tao yang sama, maka sudah tentu tidak mungkin mereka saling jatuh cinta dan berjodoh. Makin dikenang semakin sedih hatinya.

Selagi dia berjalan perlahan-lahan tidak peduli ke mana dia pergi asal ke timur, tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki orang. Cepat dia menyelinap dan bersembunyi di balik semak belukar.

Tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek berjalan dengan langkah panjang. Seorang di antara mereka segera dikenalnya sebagai kakek yang dahulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Kakek raksasa berambut putih itu tidak akan pernah dilupakan.

Adapun kakek kedua adalah seorang berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, tangan kanan memegang sebatang dayung baja dan lengan kirinya memanggul tubuh seorang wanita yang pakaiannya serba putih dan mukanya tertutup topeng sutera putih pula.

Jantung Keng Han berdebar tegang! Itulah gadis berpakaian putih yang menjadi sumoi dari Bi-kiam Nio-cu! Jelas bahwa gadis itu telah tertotok. Tubuhnya lemas ketika dipanggul kakek tinggi kurus itu.

Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu memang benar adalah Swat-hai Lo-kwi, kakek yang dulu bertemu dengan Keng Han di Pulau Hantu. Adapun kakek kedua yang menawan Souw Cu In, gadis berpakaian putih itu adalah Tung-hai Lo-mo. Kedua orang kakek ini sedang berjalan seiring menuju ke Bu-tong-san.

Bagaimana gadis berpakaian putih itu sampai jatuh ke tangan Tung-hai Lo-mo? Gadis itu adalah murid Ang Hwa Nio-nio, murid kedua akan tetapi karena ia lebih berbakat dan lebih disayang oleh Ang Hwa Nio-nio maka dalam hal ilmu silat, ia lebih lihai dari sucinya, Siang Bi Kiok atau Bi-kiam Nio-cu. Akan tetapi ia yang begitu lihai bagaimana sampai dapat ditawan dua orang kakek datuk sesat itu?

Terjadinya tadi pagi. Ketika itu Souw Cun In sedang berjalan seorang diri. Ia melewati sebuah dusun dan di dusun itu sedang diadakan keramaian karena ada pesta pernikahan di rumah kepala dusun, tentu saja semua penghuni dusun itu berdatangan dan suasananya ramai dan meriah sekali.

Selagi orang ramai merayakan pesta itu, datanglah dua orang kakek memasuki tempat pesta. Mereka berdua disambut sebagai tamu walaupun tidak ada yang mengenalnya, dan memang demikianlah kebiasaan di dusun itu. Setiap ada pesta, siapapun yang datang dianggap tamu dan disuguhi hidangan.

Dua orang kakek itu bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi dan Tung-hai Lo-mo. Dasar dua orang datuk sesat, mereka tidak merasa puas hanya dilayani sebagai tamu biasa.

“Hai, tidak tahukah kalian siapa yang datang? Kami adalah dua orang datuk dan kami minta pelayanan istimewa. Hayo keluarkan arak pengantin yang terbaik dan hidangan yang paling lezat, kemudian sepasang pengantin harus melayani kami makan minum!”

Demikian kata Tung-hai Lo-mo yang berwatak mata keranjang itu. Swat-hai Lo-kwi hanya tertawa saja melihat ulah kawannya.

Tentu saja suasana menjadi gempar. Tuan rumah, si kepala dusun, datang menemui mereka dan berusaha untuk membujuk mereka agar jangan membuat kacau pesta pernikahan. Mereka akan dilayani sebagai tamu terhormat seperti yang lain.

“Tidak, pengantin wanita harus melayani kami makan minum!” Tung-hai Lo-mo membentak.

Kepala dusun itu menjadi marah. Bersama beberapa orang pemuda dia menghampiri dua orang tua itu dan berkata dengan suara tegas.

“Kami tidak bisa menuruti kehendak kalian yang tidak pantas itu. Kalau mau menerima pelayanan kami atau pergi dari sini dan jangan menimbulkan kekacauan!”

Lo-mo menoleh kepada Lo-kwi.
“Mereka belum mengenal kami maka berani sembarangan. Mereka harus dihajar agar mengenal siapa kami!”

Kedua orang kakek itu lalu menerjang maju dan kepala dusun bersama enam orang pemuda itu sudah terlempar ke sana-sini!

Orang-orang muda di dusun itu menjadi marah. Mereka lalu maju mengeroyok, akan tetapi hasilnya mereka sendiri yang terlempar malang melintang terkena tamparan dan tendangan kakek itu.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring lembut,
“Dari mana datangnya dua orang kakek yang begini jahat?”

Dan muncullah seorang gadis berpakaian putih yang wajah bagian bawahnya tertutup kain putih pula. Demikian cepat gerakannya sehingga tidak ada orang yang melihatnya datang.

Lo-kwi dan Lo-mo juga menengok dan menghadapi gadis itu. Mereka tertawa dan Lo-mo berkata,

“Ha, kenapa gadis secantik kamu menutupi mukamu dengan kain? Engkau pun harus melayani kami makan minum bersama mempelai wanita, jadi ada dua orang pelayan untuk kami berdua.”

“Ji-wi (kalian berdua) tentulah seorang datuk yang tingkatnya sudah tinggi dalam ilmu silat. Mengapa masih tidak malu mengganggu orang dusun? Harap Jiwi menghentikan perbuatan yang akan mencemarkan nama besar Ji-wi sendiri.”

Gadis itu berkata lagi. Sepasang matanya yang tidak ditutupi itu nampak bening dan bersinar tajam menyapu kedua orang datuk sesat itu.

“Nona, siapakah engkau? Apalagi baru seorang gadis muda sepertimu, bahkan kalau gurumu sendiri datang ke sini, kami tidak akan gentar menghadapinya!”

“Guruku adalah seorang pendeta wanita bernama Ang Hwa Nio-nio, kalau melihat perbuatan kalian, kalian tentu tidak akan diberi ampun!”

Dua orang kakek itu bangkit berdiri.
“Aha, kiranya murid Ang Hwa Nio-nio?” seru Lo-kwi. “Bagus, kini aku mendapat kesempatan untuk membalas penghinaan yang pernah kuterima dari Ang Hwa Nio-nio!”

“Dan Nona ini tentu cantik luar biasa, sayang kalau dilewatkan begitu saja!” kata Lo-mo sambil menyeringai.

“Kiranya kalian adalah orang-orang yang sesat dan memang patut diberi hajaran!” kata gadis itu yang bukan lain adalah Souw Cu In yang kebetulan lewat di dusun itu.

“Lo-kwi, biar aku yang menangkap gadis ini!” kata pula Lo-mo yang sudah tergiur hatinya melihat bentuk tubuh dan juga muka bagian atas dari Souw Cu In.