Ads

Selasa, 24 Mei 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 16

Di Pegunungan Bu-tong-san. Pegunungan ini menjadi pusat dari perguruan silat Bu-tong-pai yang amat terkenal. Sejak dahulu Bu-tong-pai memiliki pendekar-pendekar yang amat tangguh sehingga namanya menjadi terkenal dan dihormati semua perguruan lain dan juga para pendekar.

Biasanya, Bu-tong-san nampak sunyi saja karena memang para penduduknya hanya orang-orang dusun yang bersahaja. Akan tetapi pada hari itu, Pegunungan Bu-tong-san menjadi ramai dengan kunjungan banyak orang dari bermacam-macam golongan. Ada yang berpakaian seperti hwesio, ada pula tosu, ada yang berpakaian seperti pengemis dan ada pula yang seperti orang hartawan. Ada yang lemah lembut seperti kaum sastrawan, akan tetapi ada pula yang berpakaian ringkas dan sikapnya gagah perkasa seperti kaum persilatan.

Undangan yang dilakukan oleh Bu-tong-pai ternyata mendapat banyak sambutan. Siapa tidak mengenal Bu-tong-pai? Kalau Bu-tong-pai mengundang semua tokoh kang-ouw, berarti tentu ada keperluan yang amat penting. Bahkan mereka yang tidak diundang sekalipun, hanya mendengar saja bahwa Bu-tong-pai mengundang orang-orang kang-ouw, banyak pula yang memerlukan datang untuk melihat perkembangan, menonton dan menambah pengalaman.

Mereka ini dapat menduga bahwa yang diundang oleh Bu-tong-pai tentulah jagoan-jagoan yang berilmu tinggi dan yang hanya mereka dengar namanya saja. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Bu-tong-pai adalah Thian It Tosu, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bertubuh sedang, berjenggot dan berkumis panjang. Adapun pembantunya adalah dua orang murid utamanya, yaitu Thian-yang-cu dan Bhok-Im-cu yang pernah berkunjung ke rumah Pendekar Tangan Sakti Yo Han untuk menyampaikan surat dan undangan.

Di antara para tamu itu terdapat pula Yo Han. Isterinya dan puterinya tidak ikut. Yo Han datang ke Bu-tong-pai dengan hati diliputi perasaan penasaran dan juga keheranan. Dia tidak mengerti akan sikap Thian It Tosu. Kenapa mendadak tosu itu hendak mengobarkan pemberontakan? Karena khawatir bahwa pertemuan itu akan mendatangkan keributan, maka dia melarang isteri dan puterinya untuk ikut serta. Kalau terjadi keributan, biar dia sendiri yang akan menghadapinya.

Seperti para tamu lain, Yo Han juga disambut oleh kedua orang murid utama itu. Para tamu dipersilakan duduk di sebuah ruangan yang luas sekali dan mereka mendapatkan tempat duduk yang diatur menurut kedudukan masing-masing. Ada tempat bagi para ketua perguruan dan para tokoh tingkatan tua, dan ada tempat bagi yang muda-muda.

Yo Han sebagai seorang pendekar yang amat terkenal mendapat tempat kehormatan di antara para ketua perguruan yang terkenal. Tentu saja Yo Han bertemu dengan muka-muka lama yang sudah dikenalnya dan terjadilah pertemuan yang cukup menggembirakan di antara mereka.

Anehnya, Thian It Tosu sendiri belum kelihatan menyambut. Ketika ada yang menanyakan kepada Thian-yang-cu, atau Bhok-im-cu, kedua orang tosu ini menjawab bahwa suhu mereka sedang samadhi dan nanti kalau sudah tiba saatnya tentu akan keluar menyambut para tamu.

Setelah para tamu datang memenuhi ruangan itu, barulah Thian It Tosu muncul, Yo Han yang sudah mengenal baik tosu itu melihat betapa wajah tosu itu agak pucat, seperti orang yang sedang menderita sakit. Thian It Tosu mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada para tamu dan berkata dengan suara parau,

“Harap Cuwi maafkan, saya sedang sakit batuk dan serak.”

Lalu dia mempersilakan semua orang duduk dan dia sendiri duduk di kursi ketua yang sudah dipersiapkan.

Thian-yang-cu lalu berdiri dan memberi hormat kepada semua orang yang hadir,
“Harap Cu-wi semua suka memaafkan. Agaknya Suhu menderita sakit mendadak, batuk dan suaranya hampir hilang. Karena itu, pinto yang ditunjuk sebagai wakil pembicara.”

Semua orang mengangguk-angguk dan maklum. Betapapun lihainya seseorang, apalagi kalau sudah tua, dapat saja terserang penyakit, dan penyakit yang diderita Thian It Tosu itu biarpun tidak berat, namun membuat dia tidak mampu mengeluarkan suara sehingga sudah sepantasnya kalau diwakili oleh murid utamanya.

“Seperti Cu-wi semua ketahui dari undangan Suhu, Cu-wi diminta berkumpul untuk menyatakan persetujuan atas usul Suhu, yaitu mempersiapkan diri untuk menyerang kota raja dan menggulingkan kedudukan kaisar Mancu. Sudah tiba saatnya bangsa kita dibebaskan dari belenggu penjajah bangsa Mancu. Kita semua yang berkumpul di sini adalah kaum patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Melihat bangsa kita dijajah penjajah Mancu, apakah kita harus berpangku tangan saja? Kita harus bergerak, dan sekaranglah saatnya, selagi kaisar yang memegang tampuk pemerintahan seorang yang lemah. Kalau kita bersatu dan menyerbu kota raja, tentu kita akan menang dan dapat merampas istana, mengakhiri penjajahan!”

Ketika Thian-yang-cu berhenti bicara, suasana menjadi gaduh sekali karena masing-masing saling bicara sendiri. Thian It Tosu membiarkan mereka berunding sendiri, lalu memberi isyarat dengan tangannya kepada Thian-yang-cu, membisikkan sesuatu. Thian-yang-cu lalu bangkit berdiri lagi dan mengangkat kedua tangan ke atas.

“Mohon tenang, saudara sekalian. Kami percaya bahwa Cu-wi (Saudara sekalian) yang berwatak patriot tentu menyetujui pendapat dan usul ketua kami. Yang setuju, tinggal mempersiapkan diri saja, kalau waktunya telah tiba tentu akan diberitahu. Terutama sekali para ketua perkumpulan, harap mempersiapkan anak buahnya untuk sewaktu-waktu menerima panggilan dan bergabung dengan kami. Kalau ada yang hendak menyatakan pendapatnya, silakan, akan tetapi satu-satu saja, agar mudah didengar.”

Mendadak terdengar suara lembut.
“Omitohud....!” Semua orang memandang dan ternyata yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi besar yang mewakili Siauw-lim-pai. “Kami dari Siauw-lim-pai tidak begitu setuju dengan usul Bu-tong-pangcu. Memang benar kami semua berjiwa patriot dan ingin melihat bangsa kita terbebas dari belenggu penjajahan. Akan tetapi apa yang dapat kita perbuat dalam keadaan seperti sekarang ini? Biarpun kita semua hendak berjuang, akan tetapi harus diketahui dengan siapa kita berjuang dan bagaimana pula keadaan kekuatan kita. Pinceng melihat di sini banyak pula perkumpulan yang hanya berkedok pejuang akan tetapi tidak segan melakukan kejahatan terhadap rakyat, Bekerja sama dengan mereka itu merupakan pantangan bagi kami. Bu-tong-pangcu tentu mengerti siapa-siapa yang kami maksudkan itu dan sebaiknya kalau mereka itu tidak diajak berunding tentang perjuangan.”

Setelah berkata demikian hwesio itu duduk kembali dan seperti tadi, mereka semua saling bicara sendiri dengan gaduhnya.

Pada saat itu, Yo Han yang sejak tadi merasa penasaran sekali melihat hadirnya perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan lain-lain, juga sudah bangkit berdiri dan suaranya terdengar lembut namun lantang sehingga mengatasi semua suara dan semua orang terdiam mendengarkan.






“Kami dari Thian-li-pang ingin bicara!”

Thian It Tosu sendiri berdiri dan memberi isyarat dengan tangan mempersilahkannya bicara.

“Thian It Totiang, Totiang bukanlah kenalan baru dari kami dan kami sudah mengenal bahwa Bu-tong-pai adalah sebuah perkumpulan yang berjiwa patriot di samping berwatak pendekar. Oleh karena itu, saya tidak menganggap aneh kalau Bu-tong-pai mengajak untuk bangkit melawan penjajah walaupun sekarang belum tiba saatnya melihat kekuatan musuh dan kekuatan kita sendiri yang masih terpecah belah. Akan tetapi melihat betapa Bu-tong-pai juga mengundang perkumpulan-perkumpulan sesat, sungguh ini tidak sesuai dengan kependekaran Bu-tong-pai. Kami setuju dengan pendapat Losuhu dari Siauw-lim-pai tadi bahwa banyak perkumpulan yang berkedok pejuang namun sesungguhnya hanya merupakan perkumpulan sesat yang suka mengganggu rakyat. Selama mereka itu masih mencampuri urusan kami, maka tentu akan timbul kekacauan. Kami mohon Thian It Tosu mempertimbangkan kembali dan mengusir golongan sesat dari pertemuan ini, barulah kita bicara tentang perjuangan. Selama mereka itu hadir, kami tidak suka ikut dalam pertemuan ini!”

Thian It Tosu kembali berbisik kepada Thian-yang-cu dan wakilnya ini lalu berdiri dan bicara,

“Yo-pangcu dari Thian-li-pang, harus suka bicara terus terang. Siapakah di antara kita ini yang disebut golongan sesat? Justeru dalam perjuangan, semua kekuatan harus dipersatukan. Harap jelaskan siapa yang dianggap golongan sesat agar persoalan menjadi terang.”

Karena ditantang untuk berterus terang, Yo Han tanpa ragu-ragu lalu berseru dengan suara gagah,

“Perlukah itu disebutkan lagi? Semua orang gagah di sini mengetahui siapa-siapa tokoh sesat yang ikut hadir di sini. Dan tentang perkumpulan golongan sesat, siapa tidak tahu bahwa Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pang merupakan perkumpulan sesat? Mengapa mereka menerima undangan pula? Kami, bagaimana pun juga, tidak dapat bekerja sama dengan mereka itu!”

Kini Thian It Tosu bangkit berdiri dan dengan suaranya yang parau dia berkata,
“Yo-pangcu bicara tidak adil! Bukankah tadi Yo-pangcu sendiri mengatakan bahwa pihak musuh terlalu kuat sedangkan fihak kita masih terpecah belah. Mengapa tidak mengajak dua perkumpulan itu? Dalam keadaan begini kita harus bersatu padu, menghilangkan kepentingan sendiri demi perjuangan!”

“Tidak mungkin! Perjuangan kita akan diselewengkan oleh mereka yang memang sesat itu dan selain perjuangan akan gagal, juga nama baik kita sebagai pendekar akan menjadi rusak. Disangkanya kita juga melakukan perampokan dan pencurian terhadap rakyat seperti mereka!” kata Yo Han dengan lantang pula.

Dari pihak Pek-lian-pai muncullah Thian-yang-ji, seorang tosu tokoh Pek-lian-kauw yang berusia lima puluh tahun lebih dan dia sudah memegang pedang telanjang di tangan kanannya. Telunjuk kirinya menuding ke arah Yo Han sambil berteriak,

“Yo-pangcu dari Thian-li-pang sungguh terlalu menghina kami dari Pek-lian-pai. Sudah lama pinto mendengar akan kehebatan ilmu dari ketua Thian-li-pang, kalau sekarang engkau menghina kami berarti menantang kami. Mari kita selesaikan urusan ini di ujung pedang.”

“Benar, Yo-pangcu juga menghina Pat-kwa-pai, kami juga menantang Yo-pangcu untuk menyelesaikan urusan di ujung pedang!” terdengar seruan dan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun tokoh Pat-kwa-pai juga berdiri sambil menghunus pedang.

Yo Han tersenyum mengejek.
“Kita adalah tamu-tamu. Aku tidak mau menghina tuan rumah dengan bertindak sendiri. Kecuali kalau tuan rumah mengijinkan, aku akan menerima tantangan kalian dan kalian berdua boleh maju bersama!”

Akan tetapi Thian It Tosu segera bangkit berdiri dan berseru dengan suaranya yang parau,

“Harap Sam-wi suka melihat muka pinto dan tidak mengadakan keributan dan perkelahian di sini! Yo-pangcu, kami sungguh tidak dapat menyetujui pendapat Pangcu itu. Pada saat seperti sekarang ini, kami membutuhkan sebanyak mungkin tenaga untuk menentang pemerintah, baik dari golongan manapun juga, tidak pandang bulu. Kecuali mereka yang tidak mau bekerja sama dengan kami, terpaksa kami tolak kehadirannya di sini. Yang mau membantu dan bekerja sama untuk berjuang, kami anggap tamu kehormatan kami.”

Pada saat itu Keng Han juga berada di antara para tamu golongan muda. Dia datang ke Bu-tong-san untuk menuntut ketua Bu-tong-pai tentang permusuhannya dengan mendiang gurunya, Gosang Lama seperti yang dipesan oleh gurunya itu. Ketika dia sedang mendengarkan perbantahan tadi, tiba-tiba lengannya disentuh orang. Ketika dia menoleh, dia terbelalak heran dan juga kaget dan senang karena yang menyentuh lengannya itu bukan lain adalah Kwi Hong, gadis yang pernah dia jumpai di kota Tung-san ketika gadis itu menghajar para murid Pek-houw Bu-koan yang bersikap kurang ajar kepadanya.

“Hong-moi, kau disini?”

“Han-ko, engkau juga di sini, mau apakah. Apakah engkau juga hendak memberontak?”

“Ah, tidak. Aku mempunyai urusan pribadi dengan ketua Bu-tong-pai.”

“Hemmm, tentu karena pesan gurumu itu, bukan? Berbahaya sekali, Han-ko. Dia lihai bukan main dan kau lihat sendiri, di sini banyak temannya yang juga terdiri dari orang-orang tua angkatan tinggi yang lihai bukan main.”

“Aku tidak takut. Bahkan banyak orang ini biar menjadi saksi akan kejahatan Bu-tong-pai yang memusuhi guruku yang tidak berdosa.”

“Jangan, Han-ko. Biarlah aku membubarkan dulu mereka ini, baru engkau bicara dengan ketua Bu-tong-pai.”

Setelah berkata demikian, gadis itu berdiri dan dengan lantang berkata, ditujukan kepada ketua Bu-tong-pai yang baru saja menjawab ucapan Yo Han tadi.

“Heiii, apa yang kudengar ini? Bu-tong-pai hendak memberontak terhadap pemerintah dan membujuk semua orang untuk memberontak? Apakah tidak takut akan bala tentara kerajaan yang tentu hendak membasmi kalian semua? Janganlah bertindak begitu bodoh!”

Semua orang terkejut bukan main mendengar ucapan itu. Kwi Hong sendiri agaknya lupa bahwa ia sedang menyamar, bukan sebagai puteri Pangeran Mahkota, melainkan sebagai gadis kang-ouw biasa! Beberapa orang murid Bu-tong-pai sudah mengepung tempat itu dan siap untuk turun tangan.

Melihat ini, Yo Han yang mengkhawatirkan keadaan gadis itu segera berseru,
“Tahan dulu! Gadis itu hanya memberi peringatan dan ucapannya memang benar. Kita ini bukan apa-apa kalau berhadapan dengan pasukan pemerintah. Apa artinya beberapa ribu anggauta kita semua yang dikumpulkan melawan ratusan ribu pasukan pemerintah? Hanya akan mati konyol dan bunuh diri belaka. Sudah kukatakan bahwa sekarang belum waktunya bergerak, bukan berarti bahwa aku tidak suka berjuang membebaskan rakyat dari penjajahan!”

“Nah, itu baru kata-kata yang bijaksana. Yo-pangcu memang benar sekali. Kalau kita ketahuan pemerintah, kita tentu akan terbasmi habis. Karena itu sebaiknya kita sekarang bubaran saja sebelum ada pasukan pemerintah yang datang!” kata pula Kwi Hong dengan suaranya yang lantang.

Ucapan Kwi Hong dan terutama Yo Han itu berpengaruh sekali. Mereka yang diam-diam merasa tidak setuju dengan tindakan Bu-tong-pai yang tergesa-gesa, segera meninggalkan tempat itu! Dan akhirnya hanya tinggal Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan beberapa rombongan kaum sesat saja yang tinggal.

Perkumpulan para pendekar seperti Siauw-lim-pai dan lain-lain sudah meninggalkan tempat itu, menganggap bahwa Bu-tong-pai lancang dan tidak mengenal keadaan. Hal ini membuat Thian It Tosu marah sekali dan dia memandang ke arah Kwi Hong dengan mata melotot.

Akan tetapi pada saat itu, Keng Han sudah melangkah maju menghadapi ketua Bu-tong-pai itu dan berkata dengan suara nyaring,

“Bu-tong Pangcu, saya bernama Si Keng Han dan saya datang bukan untuk urusan pemberontakan, melainkan untuk bertanya kepada Bu-tong-pai mengapa Bu-tong-pai memusuhi guruku yang tidak bersalah.”

Thian It Tosu mengelus jenggotnya.
“Siancai, siapakah gurumu?” tanyanya dengan suara yang parau.

“Guruku bernama Gosang Lama!”

“Gosang Lama, Pendeta Lama Jubah Kuning itu? Akan tetapi kami tidak memusuhinya!” jawab Thian It Tosu, kelihatan bingung.

Thian-yang-cu yang maju dan melanjutkan keterangan ketuanya.
“Gosang Lama tidak ada sangkut pautnya dengan kami, akan tetapi dia berani melukai beberapa orang murid kami. Karena itulah kami melawannya dan berhasil mengusirnya dari sini. Jadi benar ucapan Pangcu tadi, bukan kami yang memusuhi, melainkan Gosang Lama sendiri, dan karena engkau muridnya, tentu engkau akan membalaskan kekalahan gurumu itu!”

Thian-yang-cu melompat ke depan diikuti Bhok-im-cu dan kedua orang tosu ini berdiri di depan Keng Han dengan sikap menantang.

“Kalian mundurlah!” kata Thian It Tosu kepada dua orang murid utamanya, kemudian dia berdiri dan menghadapi Keng Han. “Gosang Lama yang memusuhi kami dan kami yang bertanggung jawab atas kekalahannya dari kami, karena itu kalau engkau hendak membalas atas kekalahannya itu, pinto yang akan menghadapimu, orang muda!”

Keng Han merasa tidak enak kalau berdiam diri. Bagaimanapun juga, dia harus menghormati pesan terakhir dari gurunya. Dia sudah gagal melaksanakan pesan gurunya untuk membunuh Dalai Lama, apakah sekarang dia juga harus gagal memenuhi pesan yang kedua? Setidaknya, dia harus memperlihatkan sikapnya yang memusuhi Bu-tong-pai seperti diharapkan gurunya.

“Bagus! Hendak kulihat sampai di mana kelihaian Bu-tong-pai yang telah mengalahkan guruku!” katanya sambil memasang kuda-kuda untuk menghadapi Thian It Tosu.

“Ha-ha-ha, siancai....! Biarpun badanku sedang sakit, akan tetapi engkau tidak akan mampu mengalahkan aku, orang muda. Sebaiknya engkau menyadari kesalahan gurumu dan tidak menuntut balas agar engkau tidak sampai tewas atau terluka.”

Yo Han memandang heran. Kenapa Thian It Tosu sekarang bersikap seperti itu? Kata-katanya bernada angkuh, padahal biasanya Thian It Tosu orangnya penyabar dan tentu tidak mau melayani tantangan seorang pemuda seperti itu. Dia mulai merasa tidak senang. Thian It Tosu kini sudah berubah. Agaknya dia telah terbujuk oleh orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai sehingga kini bukan saja berniat untuk memberontak, akan tetapi juga sikapnya mulai keras. Di samping itu, dia juga merasa sayang kalau sampai pemuda itu tewas di Bu-tong-pai, hanya untuk membela seorang guru yang berada di pihak yang bersalah.

Dia pun sudah mendengar tentang pemberontakan Lama Jubah Kuning di Tibet, maka kalau guru pemuda ini seorang Lama Jubah Kuning, mungkin Lama itulah yang berada di pihak yang bersalah.

Akan tetapi dia sudah terlambat karena Keng Han sudah menyerang dengan cepat kepada tosu itu. Namun serangannya dapat dielakkan oleh Thian It Tosu. Pemuda itu menyerang lagi dan begitu dia memainkan ilmu silatnya, Yo Han hampir berseru saking kagetnya. Dia sendiri tidak mempelajari ilmu silat itu, akan tetapi dia mengenal ilmu silat itu, karena isterinya juga menguasainya. Itulah Hong-in Bun-hoat, ilmu silat yang mencorat-coret di udara seperti orang menuliskan huruf dengan gerakan silatnya! Itulah ilmu keturunan keluarga Pulau Es.

Keng Han yang maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai, segera melakukan pukulan jarak jauh dengan tenaga sinkangnya. Kakek itu menahan dengan kedua tangan pula dan akibatnya, keduanya terpental ke belakang.

Yo Han makin terkejut. Dia maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai itu, akan tetapi pemuda itu mampu membuat ketua itu terdorong ke belakang walaupun dia sendiri pun terdorong ke belakang.

Sementara itu, Thian It Tosu juga terkejut bukan main dan menjadi penasaran. Dia sudah meloncat maju lagi dan kini dia mencabut sebatang pedang yang berkliauan sinarnya, dan itulah pedang pusaka Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih).

Yo Han maklum benar betapa bahayanya kalau Thian It Tosu sudah mencabut pedang, karena selain pedang itu merupakan pusaka yang ampuh, juga ketua itu memang memiliki keahlian dalam permainan pedang. Maka, tanpa ragu lagi dia lalu melompat dan berdiri di antara mereka yang hendak berkelahi.

“Harap tahan dulu!” serunya lantang.

Thian It Tosu sudah marah itu menegur,
“Yo-pangcu, apakah engkau hendak mencampuri urusan Bu-tong-pai?”

“Tidak sama sekali, Totiang. Aku hanya ingin memperingatkan bahwa tidak semestinya Totiang melayani pemuda ini. Gurunya boleh jadi bersalah terhadap Bu-tong-pai, akan tetapi pemuda ini tidak bersalah apa-apa. Dia hanya ingin membalaskan kekalahan gurunya dan tidak perlu sampai Totiang mencabut pedang dan membunuhnya! Bukankah sudah sewajarnya kalau yang tua dan yang lebih tinggi tingkatnya mengalah dan menggunakan kesabaran?”

Thian It Tosu mengerutkan alisnya.
“Siancai, kata-katamu memang masuk akal, Pangcu. Akan tetapi engkau tadi tentu melihat dan mendengar sendiri betapa bocah ini yang menantang, bukan kami yang memulai”.

“Mungkin karena dia tidak mengerti dan biarlah saya yang mencoba menyadarkannya, Totiang.”

Setelah berkata demikian, Yo Han lalu menghadapi pemuda itu dan sejenak dia memandang penuh perhatian. Dari sinar mata pemuda itu dia dapat menduga bahwa pemuda itu bukan orang jahat melainkan seorang yang pemberani dan keras hati.

“Orang muda, dengarlah nasihatku baik-baik. Apa yang kau lakukan ini sama sekali keliru dan menyimpang dari kebenaran.”

Keng Han mengerutkan alisnya memandang. Dia tadi sudah merasa suka kepada Yo Han yang menentang kehendak Bu-tong-pai yang mengajak memberontak terhadap pemerintah. Kalau ayah kandungnya sekarang sudah menjadi kaisar, bukankah berarti pemberontakan itu ditujukan kepada ayahnya? Atau setidaknya pemberontakan ini ditujukan kepada keluarganya karena ayahnya adalah Pangeran Mahkota. Tentu saja niat memberontak Bu-tong-pai itu sudah membuat hatinya tidak senang dan dia condong menyetujui pendapat Yo Han yang menentang niat itu.

“Paman, harap Paman tidak mencampuri urusan kami. Bagaimana Paman dapat mengatakan perbuatanku keliru dan menyimpang dari kebenaran? Bukankah sudah selayaknya kalau seorang murid membela gurunya yang sudah mati? Sebelum meninggal dunia, guru saya memesan agar saya membalaskan permusuhannya dengan Bu-tong-pai.”

“Membalas dendam itu sendiri merupakan perbuatan yang tidak benar, hanya menurutkan nafsu kebencian dan amarah. Setelah engkau mendapat keterangan bahwa gurumu berada di pihak yang bersalah, apakah engkau akan melanjutkan balas dendammu itu? Bukankah kalau begitu berarti engkau akan menambah beban dosa gurumu? Sepatutnya engkau menebus kesalahan gurumu dengan perbuatan yang benar, bukan memperbesar dosa itu dengan perbuatan yang tidak benar. Engkau masih muda dan perlu banyak belajar dari kehidupan, jangan menurutkan nafsu. Apa yang dapat kau lakukan terhadap perkumpulan Bu-tong-pai yang besar? Dan ketahuilah, aku sendiri menjadi saksi bahwa perkumpulan Bu-tong-pai terdiri dari pendekar-pendekar yang berilmu tinggi dan tidak biasa melakukan kejahatan.”

Keng Han merasa terpukul sekali. Nasihat itu hampir sama dengan nasihat yang diterimanya dari Dalai Lama. Pada saat itu, Kwi Hong sudah berada di sampingnya.

"Apa yang diucapkan Paman ini semua benar, Han-ko. Marilah kita pergi dari tempat ini. Arwah suhumu tentu akan mengampunimu kalau dia menginsafi kesalahaannya.”

Kwi Hong menarik tangannya dan Keng Han tidak membantah lagi ketika ditarik pergi oleh Kwi Hong. Adapun Yo Han merasa senang sekali melihat pemuda itu sudah mau meninggalkan tempat itu. Dia sendiri lalu memberi hormat kepada Thian It Tosu dan berkata,

“Terima kasih atas undangan Totiang, dan saya mohon diri karena merasa tidak pada tempatnya kalau saya menghadiri pertemuan ini.”

Melihat dua orang tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang tadi menantangnya, dia menambahkan sambil menoleh ke arah mereka.

“Kalau masih ada yang merasa penasaran dengan pendapatku tadi dan hendak menyelesaikan urusan dengan kekerasan, saya dapat melayaninya di kaki gunung, di luar wilayah Bu-tong-pai.”

Setelah berkata demikian, Yo Han pergi dan setelah dia pergi, lebih banyak lagi orang yang meninggalkan tempat itu. Terpaksa Thiat It Tosu melanjutkan perundingannya dengan orang-orang yang sebagian besar dari golongan sesat.

“Orang muda, perlahan dulu!”

Keng Han yang sedang berjalan bersama Kwi Hong itu terkejut dan menahan langkahnya, lalu memutar tubuhnya. Kiranya yang menegurnya adalah ketua Yo Han yang tadi telah menasihatinya.

“Ada keperluan apakah Paman menyusul perjalananku?” tanya Keng Han dengan sikap hormat.

“Aku sengaja mengejar karena ada sesuatu yang ingin sekali kubicarakan denganmu. Bukankah namamu tadi Si Keng Han? Dan Nona ini siapakah?”

“Namaku Kwi Hong, Paman.” kata Kwi Hong ramah. “Paman tadi berani sekali menentang para pemberontak itu, untung tidak terjadi perkelahian.

“Engkau lebih berani, Nona. Engkau mengancam mereka semua sehingga menyadarkan banyak orang.”

“Aku hanya bicara sebenarnya. Di waktu yang aman ini, kenapa orang bicara tentang pemberontakan? Kalau ketahuan pemerintah, bukankah itu mencari penyakit namanya?”

“Paman,” kata Keng Han. “Urusan apakah yang hendak Paman bicarakan dengan aku?”

“Begini Keng Han. Benarkah gurumu itu Gosang Lama?”

“Benar sekali.”

“Akan tetapi aku melihat gerakan ilmu silatmu tadi sama sekali tidak asing bagiku. Bukankah engkau tadi menggunakan ilmu silat Hong-in Bun-hoat, ilmu dari keluarga Pulau Es? Apakah engkau masih keluarga atau murid keluarga Pulau Es?”

“Sama sekali bukan, Paman. Terus terang saja, aku mempelajari ilmu itu dari Pulau Hantu, melalui coretan-coretan di dinding gua di sana.”

“Ahhh, engkau telah mewarisi ilmu yang menjadi pusaka Pulau Es!”

Akan tetapi tiba-tiba mereka menghentikan bicara mereka karena mereka mendengar gerakan orang. Dan tak lama kemudian tempat itu sudah penuh dengan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang, dipimpin oleh Thian-yang-ji, tokoh Pek-lian-kauw itu dan seorang tosu bernama Koai Tosu tokoh Pat-kwa-pai. Di dekat mereka masih terdapat seorang pemuda yang amat gagah perkasa, tinggi besar dan berwajah tampan, matanya lebar sekali menambah ketampanan wajahnya yang bundar.