Ads

Selasa, 24 Mei 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 12

“Wanita kejam! Apakah engkau juga hendak membunuhku? Lakukanlah, aku tidak takut mati!”.

“Keng Han, mengapa engkau begini keras kepala? Apakah tidak ada manusia di dunia ini yang kau taati?”

“Tentu saja ada. Yang kutaati hanyalah ayah bundaku dan juga guruku. Kalau orang lain, hanya yang benar yang akan kutaati, yang tidak benar tidak!”

Wanita itu tersenyum.
“Keng Han, aku melihat ilmu silatmu hebat sekali. Akan tetapi buktinya engkau masih kalah olehku. Maukah engkau menjadi muridku?”

“Hemmm, untuk apa menjadi muridmu? Untuk belajar membunuh? Ilmu silatku sudah cukup untuk menjaga diri.”

“Akan tetapi engkau tidak berdaya menghadapi ilmu totokanku. Bagaimana kalau engkau mempelajari Ilmu menotok dariku? Ilmuku menotok itu disebut Tok-ciang Tiam-hiat-hoat. Kalau engkau memiliki ilmu ini tentu tidak mudah engkau dikalahkan orang.”

Keng Han tertarik sekali. Harus diakui bahwa ilmu totokan dari wanita itu lihai bukan main. Dua kali sudah dia roboh karena totokan itu. Dan kalau totokan lain dapat ditolak dengan sinkangnya, ternyata totokan ini tidak. Baru setelah lama mengerahkan tenaga sin-kang, dia mampu membebaskan diri. Padahal totokan lain dapat ditolak oleh kekebalan tubuhnya karena sinkang dalam tubuhnya.

“Kalau engkau suka mengajarkan ilmu totokan itu kepadaku, tentu saja aku suka mempelajarinya.” Akhirnya setelah berpikir-pikir sejenak, dia menjawab.

“Bagus, aku suka mengajarkannya untukmu. Engkau tadi telah berusaha menolongku, sudah sepatutnya kalau aku membalas budimu. Akan tetapi untuk mengajarkan ilmu itu, engkau harus mengangkatku sebagai guru. Ini peraturan perguruanku, dan aku tidak mau melanggar peraturan. Nah, kubebaskan totokan pada tubuhmu agar engkau dapat melakukan upacara pengangkatan guru.”

Secepat kilat tangan wanita itu bergerak menotok beberapa kali ke tubuh Keng Han dan segera pemuda itu merasa betapa tubuhnya dapat bergerak kembali seperti biasa. Karena dia memang ingin sekali mempelajari ilmu itu, maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bi-kiam Nio-cu dan memberi hormat sambil menyebut “subo” (ibu guru).

Bi-kiam Nio-cu tertawa terkekeh, girang bukan main.
“Bangkitlah Keng Han. Mulai saat ini, engkau adalah muridku dan aku adalah gurumu, bukan?”

“Benar, Subo. Dan apakah Subo akan mengajarkan Tok-cian Tiam-hiat-hoat itu kepada teecu (murid)?”

“Jangan tergesa-gesa, Keng Han. Mulai sekarang engkau harus mentaati segala perintahku, mengerti?”

“Akan tetapi....”

“Akan tetapi apa? Ingat, aku adalah gurumu dan bukankah engkau sudah mengatakan bahwa engkau hanya taat kepada orang tua dan gurumu?”

“Ahhhk....? Jadi Subo hanya menggunakan akal agar aku selalu taat.?”

“Bukan hanya itu, aku memang ingin engkau menjadi muridku, akan tetapi murid yang taat. Nah, sekarang ceritakan kepadaku tentang suhumu yang katanya terbunuh oleh utusan Dalai Lama. Ingat, aku akan membantumu bertemu Dalai Lama dan hanya aku yang dapat menolongmu.”

Keng Han lalu menceritakan dengan singkat tentang tiga orang pendeta Lama Jubah Merah yang telah membunuh Go-sang Lama, tentang pesan terakhir Gosang Lama agar dia membunuh Dalai Lama yang mengutus tiga orang Lama Jubah Merah itu, dan juga membunuh ketua Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar gurunya itu.

Setelah Keng Han selesai bercerita, Bi-kiam Nio-cu menarik napas panjang dan berkata,

“Gurumu itu agaknya seorang yang benar-benar kejam. Aku membunuhi orang jahat kau katakan kejam, akan tetapi gurumu itu seperti hendak membunuh engkau sendiri! Engkau mimpi untuk dapat membunuh Dalai Lama dan ketua Bu-tong-pai, sukarnya seperti naik ke langit! Aku sendiri, terus terang saja, tidak berani mencoba untuk melakukan dua hal itu, akan tetapi aku dapat membantumu bertemu dengan Dalai Lama dan juga dengan ketua Bu-tong-pai.”

Keng Han merasa girang sekali.
“Bantuan itu saja sudah cukup bagi teecu, Subo. Kalau sudah bertemu dengan mereka, aku akan menuntut mereka dan minta keterangan mengapa mereka memusuhi suhu Gosang Lama. Selanjutnya biarlah aku sendiri yang akan menghadapi mereka.”

Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke barat. Kini Keng Han merasa lebih senang karena ternyata gurunya yang baru ini mengenal jalan ke Tibet sehingga tidak perlu bertanya-tanya lagi seperti ketika dia melakukan perjalanan seorang diri. Dia percaya bahwa gurunya ini, biarpun masih muda, namun berilmu tinggi dan sudah memiliki banyak pengalaman.

Ingin dia menanyakan riwayat subonya yang tentu menarik. Apakah subonya sudah memiliki suami? Ataukah masih memiliki keluarga lain, dan kalau ada dimana tempat tinggalnya? Namun, dia khawatir kalau dibentak karena subonya kadang bersikap galak kepadanya, maka sampai lama dia tidak pernah mengajukan pertanyaan ini.

Malam itu gelap sekali, Keng Han dan Bi-kiam Nio-cu terpaksa melewatkan malam di sebuah gua. Menurut Nio-cu, dusun yang terdekat dari situ masih lima puluh li lebih sehingga mereka akan kemalaman di tengah jalan kalau melanjutkan perjalanan. Lebih baik melewatkan malam di gua itu, agak terlindung dari angin dan hawa dingin.






Keng Han mengumpulkan kayu bakar dan membuat api unggun di depan gua. Dia pun mencari rumput kering untuk alas lantai gua sehingga gurunya akan dapat mengaso.

Akan tetapi Nio-cu duduk saja dekat api unggun dan termenung mengamati api, yang bernyala. Keng Han duduk di depannya, terhalang api unggun.

“Keng Han, kesinilah. Duduk di dekatku sini, aku ingin bercakap-cakap denganmu.”

Keng Han pindah duduk di sebelah gurunya, diam saja. Setelah agak lama mereka berdiam diri, Nio-cu menghela napas panjang dan berkata,

“Keng Han, apakah engkau berbahagia?”

Pemuda, itu heran mendengar pertanyaan ini.
“Bahagia? Apakah artinya bahagia itu, Subo? Kita sudah makan tadi, perutku kenyang, badan yang letih kini dapat beristirahat, dekat api unggun yang hangat sehingga tubuh ini terasa enak. Hatiku juga merasa senang karena kita tidak mendapat gangguan. Ya, boleh jadi aku berbahagia saat ini, Subo.”

“Aih, betapa rinduku akan kebahagiaan. Aku tidak pernah merasa berbahagia. Senang, memang. Akan tetapi itu lain lagi. Senang hanya sebentar saja lewat dan berlalu. Aku ingin bahagia! Ah, betapa aku ingin bahagia, akan tetapi bagaimana caranya? Di manakah kebahagiaan itu? Aku ingin mencarinya, Keng Han. Dapatkah engkau membantuku?”.

“Bagaimana caranya membantumu, Subo? Aku sendiri merasa berbahagia, lalu bagaimana aku dapat menularkan kebahagiaan ini kepadamu? Kebahagiaan adalah suatu perasaan, suatu keadaan hati, dan hati orang tidaklah sama. Aku sendiri, saat ini merasa senang, tidak ada apa pun yang mengganggu, maka aku tidak butuh bahagia itu! Barangkali Subo merasa tidak berbahagia, bagaimana bisa mencari kebahagiaan? Hilangkanlah ketidak bahagiaan itu, Subo!”

“Aku merasa kesepian, merasa tidak berbahagia, bagaimana dapat, menghilangkan ketidak-bahagiaan ini?”

“Ah, aku juga tidak tahu, Subo.” Keduanya melamun sambil memandang ke dalam api yang bernyala didepan mereka.

Setiap orang mendambakan kebahagiaan, bahkan ada yang mencari kebahagiaan itu dengan cara apapun, ada yang menyiksa diri, ada yang bertapa dan sebagainya lagi. Ada pula yang mengejarnya dengan belajar ilmu ini dan itu, seolah kebahagiaan itu adalah sesuatu yang bisa dicari dan didapatkan.

Setiap orang mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya. Tidak bahagia ini adalah suatu perasaan yang timbul apabila terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Dalam keadaan yang tidak berbahagia ini, bagaimana mungkin orang mencari dan men¬dapatkan kebahagiaan? Orang yang se¬dang berjalan-jalan di pegunungan, melihat matahari tenggelam amat indahnya pikirannya tidak melayang-layang tidak karuan, dia tentu akan mengalami ke¬bahagiaan itu dan kalau sudah begitu, tentu dia tidak mencari kebahagiaan!

Dari pada mencari-cari kebahagiaan, bukankah lebih tepat kalau mempelajari mengapa dia tidak bahagia, apa yang menyebabkan dia tidak berbahagia. Kalau yang menjadi penyebab ketidak-bahagiaan itu sudah tidak ada lagi, apakah dia membutuhkan kebahagiaan? Tidak lagi, karena dia sudah berbahagia!

Jadi, kebahagiaan itu sesungguhnya tidak pernah meninggalkan kita, seperti Tuhan tidak pernah sedetik pun meninggalkan kita dengan kasih sayangNya. Kitalah yang meninggalkan kebahagiaan, kitalah yang meninggalkan Tuhan! Kita meninggalkan kebahagiaan melalui akal pikiran kita yang bergelimang nafsu sehingga kita tidak pernah merasa puas dengan keada¬an, kita penuh harap, penuh kecewa, penuh iri, penuh amarah, penuh kebencian. Semua itu membuat kebahagiaan tidak nampak lagi dan membuat kita merasa tidak berbahagia!

Seperti halnya kesehatan. Kita sudah sehat setiap saat, akan tetapi kita tidak dapat merasakan itu, tidak dapat menikmati itu. Kalau kita sakit saja barulah kita dapat membayangkan betapa akan nikmatnya kalau kita sembuh dan sehat!

Kebahagiaan sudah ada setiap saat. Kalau ada gangguan sehingga kebahagiaan tidak terasa, itu adalah kesalahan kita sendiri. Karena itu, setiap saat kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih.

Kalau menghadapi malapetaka, di samping berusaha sekuat mungkin untuk menghindarkan diri, juga kita harus menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang berkuasa mengatur segalanya. Juga mengatur. kehidupan kita. Makin kita mendekatkan diri kepada Tuhan, makin kuat iman kita kepada Tuhan, makin dekat pula kebahagiaan dengan kita, makin dapat terasakan.

“Keng Han, di manakah orang tuamu?”

Ditanya tentang orang tuanya, Keng Han terkejut. Dia tidak ingin diketahui orang bahwa dia putera pangeran mahkota dari kerajaan Ceng.

“Aku hanya tinggal mempunyai seorang ibu, Subo. Ayah telah meninggalkan ibu sebelum teecu lahir.”

“Ah, keparat!”

Dan tiba-tiba tangan wanita itu sudah bergerak cepat dan menotoknya pula sehingga Keng Han menjadi lumpuh seketika.

“Subo mengapa.... mengapa Subo berbuat begini?”

“Jahanam, sama saja. Semua laki-laki memang keparat. Benar kata-kata subo. Karena itu aku benci kepada laki-laki. Ayahmu meninggalkan ibumu ketika ibumu sedang hamil. Hemmm, dan engkau ini. sebagai puteranya tentu sama saja, sama jahatnya!”

“Aku.... aku selama hidupku belum pernah melihat ayah kandungku, Subo. Aku juga sudah bersumpah mencari ayah, dan kalau dia tidak mempunyai alasan kuat meninggalkan dan menyia-nyiakan ibuku, aku akan menghajarnya!”

“Bagus! Kalau begitu engkau tidak sama dengan ayahmu!”

Kini Nio-cu kembali menotok Keng Han sehingga terbebas dari totokan. Keng Han mengelus-elus pundaknya yang tadi ditotok dan meringis karena pundaknya terasa agak nyeri.

“Kenapa Subo begitu kejam, dengan mudah saja menotokku tanpa sebab?”

“Aku paling benci kalau mendengar ulah laki-laki yang mempermainkan wanita. Karena ayahmu berlaku keji terhadap ibumu, maka aku menjadi marah dan karena engkau puteranya, aku menjadi marah kepadamu. Akan tetapi sekarang tidak lagi karena engkau menyatakan tidak setuju dengan tingkah laku ayahmu itu.”

“Subo sudah mengetahui banyak tentang diriku, akan tetapi sebaliknya aku tidak tahu apa-apa tentang Subo. Bagaimana kalau kelak orang bertanya tentang guruku, apakah harus kujawab bahwa aku tidak mengenal guruku sendiri?”

Bi-kiam Nio-cu menghela napas panjang.
“Riwayatku tidak menarik. Aku yatim piatu. Yang terdekat denganku hanya seorang guru dan seorang adik seperguruan. Guruku pembenci pria dan entah sudah berapa banyak pria yang telah dibunuhnya. Ia mengajarkan kami untuk membenci pria pula, terutama pria mata keranjang dan pria yang suka mempermainkan wanita. Engkau masih beruntung bertemu dengan aku. Kalau engkau bertemu dengan guruku atau sumoiku, tentu kepalamu sudah dipenggal!”

Keng Han bergidik. Nona ini saja sudah begitu kejam terhadap laki-laki, apalagi sumoinya dan subonya itu. Hemm, mengerikan!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Keng Han sudah terbangun dari tidurnya. Ketika bangun, dia melihat Bi-kiam Nio-cu sudah berdiri di depan gua dan melihat jauh ke depan, ke arah bawah karena gua itu terletak di lereng bukit. Tiba-tiba ia membalik dan dengan kakinya ia memadamkan api unggun, bahkan mencerai-beraikan kayu-kayu bakar sehingga tidak ada yang membara lagi dan tidak mengeluarkan asap. Kemudian ia berkata kepada Keng Han, sikapnya seperti orang ketakutan.

“Keng Han, cepat kemasi barang-barangmu. Kita pergi dari sini!”

“Kenapa Subo?”

“Tidak usah bertanya, cepat lakukan perintahku!” kata wanita itu bengis.

Keng Han cepat mengemasi buntalannya dan tak lama kemudian keduanya sudah menuruni bukit itu. Ketika tiba di kaki bukit, tiba-tiba wanita itu manarik tangan Keng Han, diajak bersembunyi di balik semak belukar.

Keng Han menurut saja dan ikut mengintai dari balik semak, dan dari jauh dia melihat seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang berjalan terpincang-pincang menggunakan sebatang tongkat. Sungguh aneh sekali. Gurunya yang demikian lihai nampak ketakutan bertemu dengan seorang tua yang timpang kakinya! Akan tetapi dia tidak berani bertanya.

“Jangan bergerak dan jangan bersuara”, bisikan halus itu dekat sekali dengan telinganya.

Dan dia mencium bau harum rambut gurunya. Keng Han semakin heran dan mengintai terus. Setelah tiba tak jauh dari semak belukar itu, si timpang itu berhenti melangkah dan kepalanya dimiringkan seolah-olah dia menggunakan ketajaman pendengarannya untuk mendengarkan sesuatu. Keng Han tidak berani bergerak, bahkan menahan napas.

“Kalian tidak lekas keluar menghadap aku, masih tunggu apalagi?”

Keng Han kaget setengah mati. Kiranya si timpang itu dapat mengetahui kehadiran mereka di situ! Akan tetapi ketika dia hendak bergerak sebuah tangan menahan pundaknya dan dia tetap tidak bergerak. Namun dia siap siaga kalau-kalau diserang oleh kakek timpang itu.

Tiba-tiba dari balik semak-semak di seberang bermunculan tiga orang yang segera keluar dan menjatuhkan diri berlutut di depan si kakek timpang.

“Pangcu, mohon maaf sebesar-besarnya!” kata mereka sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tidak perlu cerewet. Cepat katakan apakah kalian sudah berhasil merampas kuda itu?”

“Ampunkan kami, Pangcu. Penunggang kuda itu ternyata lihai sekali dan kami bahkan menerima hajaran darinya. Kami tidak berhasil merampas kuda itu, bahkan nyaris tewas kalau kami tidak melarikan diri.”

Kakek timpang itu mengerutkan alisnya dan matanya mencorong marah.
“Kalian orang-orang yang tidak berguna! Cabut pedang kalian!”

Tiga orang itu tidak berani membantah dan mencabut pedang masing-masing dari punggung mereka.

“Cepat buntungi telinga kiri kalian sebagai hukuman!”

Kini tiga orang itu diam saja, agaknya merasa ngeri harus membuntungi daun telinganya sendiri. Melihat ini, Keng Han yang masih mengintai merasa penasaran sekali. Alangkah kejamnya pangcu itu! Dia membuat sedikit gerakan, akan tetapi tangan Niocu cepat menekannya agar dia tidak bergerak. Kenapa gurunya begitu takut terhadap kakek timpang yang kejam itu?

“Kau tidak cepat melaksanakan perintahku? Baik, akulah yang akan menghukum kalian!”

Gerakannya demikian cepat dan begitu dia menggerakkan tangan, tahu-tahu dia telah merampas sebatang pedang dari tangan anggauta yang terdekat dan nampak sinar pedang berkelebat tiga kali.

“Sing-sing-sing....! Crat-crat-crattt...!”

Nampak darah muncrat dan tiga orang itu sudah kehilangan telinga kirinya! Kakek timpang itu membuang pedang rampasannya, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil.

“Pergunakan bubuk obat ini agar darahnya berhenti mengalir dan cepat sembuh. Hati-hati, kalau lain kali kalian gagal melaksanakan perintahku, bukan hanya telingamu yang kubuntungi, melainkan leher kalian! Hayo cepat pergi!”

Tiga orang itu menghaturkan terima kasih dan setelah menerima obat mereka lalu pergi dengan cepat, menahan rasa nyeri pada telinga kiri yang daunnya telah buntung itu.

Kini Keng Han tidak lagi dapat menahan kesabaran hatinya. Tanpa memperdulikan tangan gurunya yang mencoba untuk menahannya, dia sudah meloncat keluar menghadapi kakek itu sambil membusungkan dadanya.

“Orang tua, engkau sungguh kejam bukan main! Terhadap anak buah sendiri yang gagal melaksanakan tugas, engkau bersikap begitu, kejam membuntungi daun telinga kiri mereka. Apalagi terhadap orang lain!”

Kakek timpang ini adalah Toat-beng Kiam-sian (Dewa Pedang Pencabut Nyawa) Lo Cit, seorang di antara para datuk persilatan yang terkenal kehebatan ilmu silatnya. Dan sekarang, ada seorang pemuda berani menegurnya seperti seorang tua menegur seorang anak nakal saja!

Demikian heran kakek itu sampai dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya memandang dengan bengong kepada Keng Han. Akhirnya setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak sedang mimpi, dia membentak dengan bengis,

“Bocah setan, apa engkau sudah bosan hidup?”

Bi-kiam Nio-cu terkejut setengah mati melihat ulah Keng Han. Ia merasa jerih melihat kakek timpang ini. Ketika tadi ia melihat seorang pria timpang berjalan dengan tongkatnya, ia segera mengenal siapa dia dan ia merasa jerih. Lebih baik tidak bertemu dengan datuk ini, pikirnya. Bagaimana ia tidak akan merasa jerih? Gurunya sendiri, Ang Hwa Nio-nio, pernah bertanding melawan datuk timpang ini dan berakhir seri, tidak ada yang menang!

Kini melihat Keng Han melompat keluar dan menegur kakek itu, hatinya tentu saja khawatir bukan main. Di luar kesadarannya sendiri Bi-kiam Nio-cu merasa amat sayang kepada Keng Han dan khawatir kalau pemuda itu celaka, maka ia melupakan rasa takutnya sendiri dan meloncat pula keluar dari balik semak-semak. Ia cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata dengan nada menghormat.

“Harap Lo-pangcu sudi memberi maaf kepada muridku yang kurang sopan ini. Karena dia tidak mengenal Locian-pwe, maka telah bersikap kurang hormat. Dengan memandang mukaku, dan muka guruku, harap Lo-pangcu sudi memaafkan.”

Kakek itu menoleh kepada Nio-cu dan memandang tajam penuh perhatian.
“Hemmm, ini muridmu? Dan siapa gurumu?”

“Guru saya adalah Ang Hwa Nio-nio!”

Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali memandang kepada Keng Han.
“Hemmm, jadi anak setan ini adalah cucu murid Ang Hwa Nio-nio? Nenek gurunya saja tidak mampu mengalahkan aku, sekarang cucu muridnya berani menegur aku. Dia harus dapat menahan sepuluh jurus pukulanku, baru aku dapat memaafkan dia!”

Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok terkejut bukan main, ia tahu bahwa kakek itu lihai bukan main. Bukan saja terkenal sebagai ahli pedang sehingga dia disebut Dewa Pedang dan pedang itu disembunyikan di dalam tongkatnya itu, akan tetapi juga dia ahli mempergunakan ilmu pukulan yang disebut Pukulan Halilintar yang ampuhnya menggila! Mana mungkin Keng Han dapat bertahan sampai sepuluh jurus? Lima jurus saja sudah cukup untuk membunuh Keng Han. Ia sendiri belum tentu dapat bertahan sampai sepuluh jurus.

“Saya hanya mohonkan ampun bagi nyawa murid saya. Harap Lo-pangcu tidak membunuhnya karena kalau Pangcu melakukan itu, tentu akan membuat kami semua, juga guru saya, merasa tidak enak sekali.”

“Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku tidak perlu membunuhnya, cukup membuat kaki tangannya lumpuh untuk selamanya agar dia tidak berani lagi bersikap kurang ajar!”

Sementara itu, Keng Han sudah berkata,
“Subo, jangan minta-minta seperti itu. Kakek ini memang kejam bukan main.”

“Keng Han, cepat minta ampun kepada Lo-pangcu!” kata Nio-cu.

“Tidak, dia yang harus minta ampun kepada Tuhan atas dosanya! Aku akan menerima tantangannya menghadapinya sampai sepuluh jurus. Harap Subo tidak khawatir. Aku mampu menjaga diri!”

“Bagus, bocah sombong. Nah, terimalah jurus pertama ini!”

Kakek timpang itu berseru dan tangan kirinya sudah menyambar dengan hebat sekali ke arah kepala Keng Han. Memang bukan main cepatnya serangan itu, cepat dan kuat sekali sehingga mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. Akan tetapi Keng Han sudah bergerak cepat dan berhasil mengelak dari jurus pertama itu. Dia mengelak dengan gerakan dari Hong In Bun-hoat.

Melihat serangan pertamanya gagal, kakek timpang itu menjadi penasaran sekali dan kini dia memukul lagi dengan tenaga sepenuhnya. Terdengar angin berdesir dan debu mengepul ketika kakek itu memukul dengan tangan kirinya lagi ke arah dada.

Keng Han mengubah gerakan silatnya dan kini dia memakai ilmu silat Toat-beng Bian-kun, ilmu silat yang dipelajarinya dari Pulau Hantu. Ilmu silat ini bersifat lemas, namun di balik kelemasan itu terkandung tenaga dahsyat sekali sehingga ketika dia menangkis, pukulan kakek itu seperti masuk ke dalam air saja. Kakek itu terkejut bukan main dan dia segera mengamuk, mengirim pukulan beruntun dengan hebatnya.

Sementara itu, Bi-kiam Nio-cu hanya menonton dengan hati tidak karuan rasanya. Ia yakin bahwa muridnya yang tersayang itu akan terpukul mati atau setidaknya akan lumpuh seperti ancaman kakek itu dan ia tidak berani turun tangan membantu. Akan tetapi segera ia memandang dengan terheran-heran. Muridnya itu bukan saja mampu menghindarkan diri, bahkan berani menangkis pukulan datuk itu.

Karena merasa penasaran bukan main setelah lewat sembilan jurus dia belum mampu mengalahkan bocah itu, Toat-beng Kiam-sian lalu merendahkan tubuhnya dan menyalurkan tenaga sinkang ke dalam kedua tangannya, kemudian memukul ke depan seperti mendorong. Inilah Pukulan Halilintar yang telah mengalahkan banyak sekali ahli silat di dunia kang-ouw. Nio-cu memandang dengan muka pucat sekali karena sekali ini muridnya pasti celaka.

Melihat pukulan yang luar biasa kuatnya itu, yang mendatangkan angin seolah timbul badai, Keng Han juga merendahkan tubuhnya dan dia menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya pula. Diam-diam dia mengerahkan dua hawa sakti yang berlawanan dalam tubuhnya dan dua macam tenaga sakti meluncur melalui kedua tangannya, yang kanan mengandung hawa panas dan yang kiri mengandung hawa dingin!

“Wuuuuuttttt.... desssss....!!!”

Dua tenaga yang amat hebat bertubrukan di udara dan akibatnya, tubuh kakek itu terpental ke belakang sampai dia terhuyung beberapa langkah, sedangkan tubuh Keng Han hanya bergoyang-goyang saja!

Nio-cu terbelalak, hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Juga kakek timpang itu terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa pemuda itu bukan saja mampu menahan Pukulan Halilintarnya, bahkan mengatasinya dan membuatnya terhuyung! Dia lalu mengangkat tongkatnya yang menyembunyikan pedang dan hendak menyerang lagi menggunakan pedangnya.

Akan tetapi Nio-cu cepat meloncat ke depan dan berkata,
“Lo-pangcu telah menyerang sebanyak sepuluh jurus dan telah mengalah, memberi pelajaran kepada murid saya. Saya sebagai gurunya menghaturkan terima kasih atas kebaikan ini!”

Wajah Toat-beng Kiam-sian berubah merah. Akan tetapi dia juga meragu dan agak jerih. Kalau muridnya sudah demikian hebatnya, apalagi gurunya! Agaknya murid Ang Hwa Nio-nio ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Juga dia teringat akan janjinya bahwa dia akan mengampuni pemuda itu kalau mampu menahan sepuluh jurus serangannya, maka sambil mendengus marah dia membalikkan tubuhnya dan sekali melompat dia sudah hilang di balik semak belukar. Gerakannya demikian cepat sehingga mengagumkan hati Keng Han.

Setelah bertemu dengan Nio-cu, baru dia tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang yang amat lihai, akan tetapi juga amat kejam.

Nio-cu menghampiri Keng Han dan meraba-raba pundaknya.
“Engkau tidak apa-apa?”

“Tidak, Subo. Kenapa Subo melerai? Biarlah dia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, teecu tidak takut!” kata Keng Han penasaran.