Ads

Selasa, 24 Mei 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 11

Kejamnya! Maki Keng Han dalam hatinya. Dia tahu gadis ini seorang yang berilmu tinggi, dan tidak jahat, hanya kejam dan tangannya ringan sekali membunuh orang, biarpun orang yang dibunuhnya itu jahat atau bersalah kepadanya. Dua orang tosu Bu-tong-pai itu pun tentu sudah dibunuhnya hanya karena mencampuri urusannya dan hendak membebaskannya. Dan dia merasa sayang sekali. Gadis ini cantik jelita, dan tidak jahat. Mungkin kalau melakukan perjalanan bersamanya selama sebulan, dia akan dapat membujuknya dan memberinya nasihat sehingga tidak kejam lagi.

“Akan tetapi aku mempunyai urusan penting sekali. Aku harus pergi ke Tibet!” kata Keng Han.

“Hemmm, ke Tibet atau ke neraka, apa bedanya bagiku? Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, dan tidak mengapa bagiku kalau harus pergi ke Tibet sekalipun. Akan tetapi mau apa engkau pergi ke Tibet? Apakah ingin menjadi hwesio dan mempelajari agama?”

“Aku hendak mencari dan bertemu dengan Dalai Lama!”

Gadis itu tertegun dan memandang kepadanya dengan sinar matanya yang tajam. Mata yang indah itu mengamatinya penuh selidik. Agaknya banyak keanehan terdapat pada diri pemuda ini. Ilmu silatnya cukup baik, dapat menghindarkan diri dari sembilan jurus serangannya, bahkan dapat hampir membebaskan diri dari totokannya. Dan kini hendak Mencari dan bertemu dengan Dalai Lama? tanyanya dengan hati tertarik.

“Mau apa? Dia seorang yang sewenang-wenang. Aku akan menuntutnya, bertanya mengapa dia mengutus orang-orang untuk membunuh guruku!”

Tiba-tiba gadis itu tertawa. Tawanya lepas bebas, tidak ditutup-tutupi seperti gadis lain akan tetapi ketika ia tertawa bebas itu, wajahnya nampak lucu dan cerah, nampak semakin manis seperti wajah seorang kanak-kanak. Lenyaplah garis-garis kekerasan dan sifat dingin dari wajahnya yang menjadi anggun dan menyenangkan sekali, sehingga Keng Hong terpesona. Gadis ini sesungguhnya canttk bukan main kalau saja mau melenyapkan kekerasan hatinya.

“Seharusnya engkau lebih sering tertawa, Enci!” katanya tiba-tiba, menyebut enci karena setelah gadis itu tertawa, dia merasa hubungannya dekat dengannya.

“Ehhh?” Gadis itu dua kali terkejut. Oleh ucapan itu sendiri dan oleh sebutan enci. “Mengapa?”

“Kalau tertawa, wajahmu indah sekali!”

Tiba-tiba wajah itu menjadi dingin kembali, tangan itu sudah diangkat hendak menampar, akan tetapi ditahannya.

“Apa kau ingin ditampar?”

“Kenapa ditampar? Apa salahku?”

“Kau bilang wajahku indah sekali.”

“Habis, harus bilang apa? Apakah aku harus mengatakan bahwa wajahmu buruk sekali, padahal kenyataannya memang indah kalau engkau tertawa?”

Gadis itu menghela napas panjang, agaknya merasa kewalahan untuk berbantah dengan Keng Han.

“Siapa sih namamu?”

“Namaku Keng Han, Si Keng Han.” jawabnya, menyembunyikan nama marganya yang dia tahu hanya akan menimbulkan persoalan baru. “Dan engkau siapa?”

Kembali helaan napas panjang.
“Orang menyebut aku Bi-kiam Nio-cu. Aku hampir lupa akan nama sendiri, kalau tidak salah Siang Bi Kiok. Akan tetapi engkau pun harus menyebut Bi-kiam Nio-cu kepadaku. Berapa usiamu?”

“Usiaku dua puluh tahun.”

“Biarpun engkau lebih muda dariku, jangan menyebut enci padaku. Sebut saja Bi-kiam Nio-cu. Eh, gurumu yang dibunuh oleh utusan Dalai Lama itu, siapa namanya?”

“Dia pun seorang bekas Lama, namanya Gosang Lama.”

“Aku tidak pernah mendengar nama itu. Akan tetapi, sungguh keinginanmu untuk menuntut Dalai Lama ini sangat aneh. Orang dengan kepandaian seperti engkau ini akan menuntut Dalai Lama? Engkau mencari mati!”

“Aku tidak takut. Budi seorang guru amat besar, pantas dibela dengan taruhan nyawa.”

“Hemmm, engkau seorang pemuda yang aneh sekali. Mungkin karena inilah aku tidak membunuhmu. Nah, sekarang carilah binatang buruan untukku. Perutku terasa lapar sekali, Keng Han.”

“Engkau tidak takut kalau aku melarikan diri, Niocu?”

“Mengapa takut? Engkau tidak akan melarikan diri, kalau engkau tidak ingin mati keracunan sebulan kemudian. Obat penawarnya berada padaku. Nyawamu berada di tanganku.”

“Hemmm, baiklah, Niocu. Aku pun ingin melakukan perjalanan bersamamu. Siapa tahu dalam sebulan ini aku dapat membujukmu agar jangan bertindak kejam lagi”.






Setelah berkata demikian, Keng Han lalu memasuki hutan itu dan mencari binatang buruan. Setelah berada seorang diri, dia mengerahkan tenaga dari dalam tan-tian menuju ke dadanya dan dalam waktu sebentar saja dia sudah mengusir racun itu dari tubuhnya. Ketika dia membuka bajunya, ternyata tanda telapak jari merah itu telah lenyap. Dia tersenyum dan merasa heran kepada diri sendiri. Kenapa dia tidak lari saja meninggalkan gadis itu? Atau melawannya? Kalau dia berhati-hati, belum tentu dia kalah. Wanita itu hanya memiliki kelebihan dalam ilmu totok yang memang hebat. Bahkan tenaga sinkangnya tidak mampu menahan totokan wanita itu! Juga dia merasa heran mengapa wanita itu mau saja mengikutinya pergi ke Tibet!

Tiba-tiba dia melihat seekor kijang muda muncul dari semak belukar. Cepat dia menunduk dan bersembunyi di balik semak-semak, untung baginya bahwa angin datang dari arah kijang itu. Kalau sebaliknya, tentu kijang itu tahu bahwa ada manusia di dekatnya dan kalau ia sudah melarikan diri, bagaimana mungkin dapat mengejarnya? Sambil bertiarap itu, tangannya mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangannya dan setelah mengintai dan membidik dengan tepat, tiba-tiba dia bangkit dan melontarkan batu itu ke arah kepala kijang.

“Wuuuttttt.... dakkk!”

Tepat sekali batu itu menghantam kepala bagian belakang kijang itu. Binatang itu berkuik satu kali lalu roboh dan mati dengan kepala retak. Dengan girang Keng Han lalu mengambil bangkai binatang itu dan dipanggulnya, dibawa kembali ke tempat dimana tadi Bi-kiam Nio-cu menunggu.

Sementara itu, Bi-kiam Nio-cu menanti kembalinya Keng Han. Sambil duduk di bawah sebatang pohon, di atas sebuah batu datar. Hawa udara amat panas, akan tetapi di bawah pohon itu teduh dan angin yang semilir membuatnya mengantuk.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara berdetak di belakangnya. Ketika ia menengok, beberapa helai jala menyambar ke arah tubuhnya dari atas. Ia mencoba untuk mengelak, akan tetapi terlalu banyak jala yang menyerangnya sehingga tanpa dapat dielakkannya lagi, tubuhnya telah terbungkus dua helai jala hitam.

Ia meronta dan mencoba untuk mencabut pedangnya, akan tetapi hal ini sukar dilakukan karena tali jala-jala itu ditarik dan kedua tangannya terbalut dan seperti teringkus jala. Dan jala itu agaknya terbuat dari tali yang amat kuat. Ia sudah diringkus dan ketika ia memandang, dari celah-celah jala, ia melihat belasan orang laki-laki berada di situ. Beberapa orang memegang jala yang meringkusnya dan ketika mereka itu maju mengikatnya bersama jala, ia pun tidak berdaya.

“Jahanam pengecut. Lepaskan aku dan mari kita bertanding kalau memang kalian gagah!”

Ia mendamprat akan tetapi sia-sia belaka karena orang-orang itu hanya tertawa. Seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan yang memegang tongkat besar, agaknya menjadi pemimpin mereka, memberi aba-aba dan mereka semua berloncatan pergi sambil menggotong Bi-kiam Nio-cu seperti mengotong seekor binatang buruan yang terjerat. Wanita itu memaki-maki, menantang-nantang akan tetapi tidak ada yang memperdulikan dan ternyata mereka itu rata-rata dapat berlari cepat, didahului oleh si rakasasa pemegang tongkat besar itu.

Orang-orang itu berpakaian sederhana sekali, dari kulit binatang dan melihat wajah mereka yang brewokan mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup di dalam hutan. Mereka membawa Bi-kiam Nio-cu ke sebuah bukit yang penuh dengan gua-gua batu yang besar. Setelah tiba di depan gua-gua itu, sang pemimpin lalu membawa tawanan itu dengan sebelah tangan, ditentengnya memasuki sebuah di antara gua-gua terbesar.

Bi-kiam Nio-cu kini diam saja. Ia tidak takut, melainkan mengumpulkan tenaga, siap untuk memberontak dan menyerang kalau dirinya dibebaskan dari ikatan tali dan jala itu. Akan tetapi, raksasa yang membawanya itu melemparkannya di atas sebuah dipan kayu yang kasar, kemudian dia mengambil guci dan cawan dan tak lama kemudian dia sudah minum arak seorang diri. sambil terkekeh-kekeh senang.

Ketika tiba di tempat tadi, Keng Han tidak melihat Bi-kiam Nio-cu.
“Niocu....!”

Dia memanggil beberapa kali akan tetapi. tidak ada jawaban. Dia lalu memeriksa tempat itu dan melihat bekas tapak kaki banyak orang di situ. Agaknya Nio-cu didatangi banyak orang dan terjadi pergulatan, pikirnya, melihat banyak semak dan pohon kecil yang rusak.

Celaka, jangan-jangan Nio-cu ditangkap gerombolan penjahat, pikirnya. Biarpun pikiran ini agak aneh mengingat bahwa Nio-cu seorang wanita yang tidak mudah ditangkap begitu saja, namun Keng Han merasa khawatir. Dia lalu mencari dan mengikuti jejak belasan pasang kaki itu yang menuju ke bukit di luar hutan. Dia terus menelusuri jejak-jejak kaki itu dan mendaki bukit.

“Heh-heh-heh, engkau sungguh cantik. Pantas menjadi isteriku dan menemani aku disini.”

Akhirnya raksasa muka hitam itu berkata sambil menghentikan minumnya dan menghampiri Bi-kiam Nio-cu yang masih meringkus terikat di atas dipan. Wanita ini dapat berusaha untuk membalik dan telentang sehingga ia dapat melihat keadaan di kamar itu. Sebuah kamar gua yang lebar. Terdapat tiga buah bangku sebuah meja dan sebuah dipan kayu itu. Sederhana sekali. Ketika laki-laki tinggi besar itu menghampiri mau tidak mau ia merinding juga. Akan tetapi ia tetap tenang. Kalau saja ia membuka ikatan dan jala ini, pikirnya.

Akan tetapi raksasa itu mengangkatnya, masih dalam buntalan jala dan memangkunya. Meraba-raba lehernya yang putih mulus, meraba-raba pipinya.

“Cuh....!!” Bi-kiam Nio-cu yang tidak dapat menahan kemarahannya meludahi muka pria itu.

Raksasa muka hitam itu tidak marah bahkan tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, engkau kuda betina yang liar! Bagus! Aku senang dengan yang liar!”

Kini tangannya merogoh di antara celah-celah jala dan mengambil pedang dari pinggang Bi-klam Nio-cu! Dia memandang pedang itu, mengangguk-angguk.

“Pedang yang baik, tidak pantas seorang wanita secantik engkau bermain-main dengan senjata tajam seperti ini!” Dia melontarkan pedang itu dan “ceppp!!” pedang menancap di atas meja.

Gagangnya bergoyang-goyang ketika pedang itu menancap sampai setengahnya. Diam-diam Bi-kiam Nio-cu memperhatikan dan mengertilah ia bahwa laki-laki kasar ini memiliki kepandaian, setidaknya memiliki tenaga yang kuat. Maka ia menjadi semakin waspada. Biarlah pedangnya diambil, ia tidak takut. Masih ada tangannya, kakinya, bahkan rambutnya untuk membela diri.

“Engkau cantik, engkau liar, engkau menarik!”

Raksasa itu mulai menimangnya dan aneh cara menimangnya. Dia melempar-lemparkan tubuh Bi-kiam Nio-cu yang masih terikat itu ke atas, diterimanya dan dilontarkannya kembali. Dia mempermainkan tubuh wanita itu seperti sebuah bola saja. Demikian ringan dia melempar-lemparkan tubuh itu. Bi-kiam Nio-cu bergidik ngeri. Laki-laki ini berbahaya, pikirnya, dan celakalah aku kalau sampai tidak dapat lolos dari tangannya.

Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan di luar gua. Ada orang-orang berkelahi di luar gua itu. Kepala gerombolan itu lalu melempar tubuh Nio-cu ke atas pembaringan pula dan dia bergegas keluar membawa tongkatnya yang besar.

Setelah ditinggal seorang diri, Nio-cu kembali berusaha untuk membebaskan dirinya dan sekali ini ia berhasil. Ternyata ketika raksasa tadi melambung-lambungkannya ke atas, tali pengikat tubuhnya mengendur sehingga ia mampu membebaskan kedua lengannya. Ia mencoba untuk membikin putus tali jala itu, akan tetapi usahanya gagal. Maka ia lalu berlompatan sambil masih diselubungi jala, mendekati dimana pedangnya diletakkan oleh raksasa tadi.

Dan dengan pedang di tangannya, ia mampu membebaskan diri dan membikin putus tali-tali jala. Sebentar saja ia sudah bebas! Dengan kemarahan meluap-luap, ia lalu menerjang keluar dan melihat betapa di luar, Keng Han sedang bertanding melawan kepala gerombolan itu dan dikeroyok banyak anak buahnya. Melihat ini, hatinya merasa girang bukan main. Keng Han berusaha menolongnya dan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri melawan raksasa yang tangguh itu!

“Keng Han, serahkan anjing besar itu kepadaku!” bentaknya dengan suara melengking dan ia sudah menerjang ke depan memutar pedangnya menyerang raksasa yang memegang tongkat itu.

Keng Han girang melihat Bi-kiam Nio-cu selamat dan dia meloncat mundur sambil berseru,

“Nio-cu, mari kita lari saja!”

“Tidak, aku harus membunuh anjing ini dan semua pengikutnya!”

Bi-kiam Nio-cu membantah dan menyerang terus. Serangannya amatlah hebatnya sehingga si tinggi besar itu terdesak mundur. Kepala gerombolan itu terkejut bukan main melihat gadis tawanannya bebas, maka dia berteriak,

“Pergunakan jala! Tangkap merekal!”

“Awas jala mereka amat lihai, Keng Han!” seru Bi-kiam Nio-cu sambil memutar pedangnya lebih cepat lagi, mendesak si kepala gerombolan dengan amat hebatnya sehingga raksasa itu terpaksa harus memutar tongkatnya melindungi diri.

Sementara itu, beberapa orang anak buahnyaa sudah mencoba membantu ketua mereka dengan menggunakan jala. Akan tetapi sekali ini, Bi-kiam Nio-cu sudah siap dengan pedangnya. Begitu jala menyambar, ia melompat dan menggerakkan pedangnya ke belakang dan terdengar jerit mengerikan dan si pemegang jala roboh mandi darah. Dalam waktu sebentar saja, tiga orang pemegang jala sudah tewas di tangan Bi-kiam Nio-cu!

Sementara itu, Keng Han juga dikeroyok banyak orang. Dia bergerak dengan cepat, merobohkan para pengeroyoknya hanya dengan dorongan kedua tangannya, dan ketika dirinya tertutup jala, dengan mengerahkan tenaga jala itu pecah dan talinya putus-putus!

Gegerlah anak buah gerombolan itu dan mereka seperti puluhan ekor semut mengeroyok dua ekor jangkerik.

Gerakan Bi-kiam Nio-cu amatlah berbahaya. Sebetulnya tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada kepandaian si raksasa muka hitam. Tadi ia tertangkap karena tidak menyangka dan tidak bersiap sehingga dapat tertangkap jala musuh. Sekarang, dengan pedang di tangan mana mungkin ia tertangkap jala? Bahkan para pemegang jala itu semua tewas di tangannya dan kini wanita itu mendesak lawannya dengan hebat.

Si tinggi besar muka hitam menjadi jerih. Melihat anak buahnya banyak yang tewas dan menghadapi permainan pedang yang demikian tangguh, apalagi melihat betapa pemuda itu pun tidak dapat ditangkap anak buahnya, nyalinya sudah terbang melayang dan dia menyerang hebat untuk mencari kesempatan melarikan diri.

“Mampuslah!”

Bentaknya dan tongkatnya meluncur dengan cepat ke arah dada Bi-kiam Nio-cu. Ketika gadis ini mengelak ke kiri, tongkat itu menghantam dari kanan ke kiri dengan kecepatan kilat. Karena serangan itu berbahaya sekali untuk ditangkis mengingat tenaga rakasa itu besar sekali, Bi-kiam Nio-cu melompat ke belakang dengan sigapnya. Kesempatan inilah yang dinantikan kepala gerombolan itu. Begitu lawannya melompat ke belakang, dia lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri tunggang-langgang!

“Jahanam hendak lari ke mana kau?”

Bi-kiam Nio-cu mengejar dan melontarkan pedangnya. Inilah satu di antara kepandaiannya yang hebat. Ia dapat melontarkan pedang itu dengan cepat dan pedangnya meluncur bagaikan anak panah saja menuju sasarannya, yaitu punggung lebar kepala gerombolan itu.

“Singgggg.... cappp!”

Pedang itu tepat mengenai punggung dan menembus ke dada. Kepala gerombolan itu terbelalak, mengeluh panjang lalu roboh menelungkup, tewas seketika. Bi-kiam Nio-cu sudah berada di dekatnya dan mencabut pedang itu, lalu membersihkannya pada pakaian si raksasa muka hitam. Kemudian ia pun mulai mengamuk!

Anak buah gerombolan yang sedang mengeroyok Keng Han itu diamuknya dan pedangnya merobohkan beberapa orang lagi. Sisa anak buah gerombolan cepat melarikan diri melihat ketua mereka telah tewas. Bi-kiam Nio-cu hendak mengejar akan tetapi ditahan oleh Keng Han.

“Musuh yang sudah lari tidak perlu dikejar lagi, Nio-cu!” katanya.

Bi-kiam Nio-cu menyimpan pedangnya dan dengan puas ia memandang kepada belasan orang yang sudah menggeletak tanpa nyawa itu.

“Hemmm, sayang masih ada yang mampu meloloskan diri. Seharusnya mereka itu dibasmi habis!”

“Sudahlah, Nio-cu. Kalau mereka semua tewas, tentu kita juga yang repot, harus mengubur mereka. Biarlah yang masih hidup nanti mengubur mayat kawan-kawannya. Sesungguhnya, apa yang telah terjadl Nio-cu?”

“Mereka bertindak curang dan berhasil menangkap aku dengan jala, lalu mereka membawaku ke sini. Ketika tadi engkau menyerang mereka di luar gua, kepala perampok itu meninggalkan aku dan aku sempat meloloskan diri lalu mengamuk. Dan engkau bagaimana bisa menyusul aku ke sini?”

“Aku sudah mendapatkan binatang buruan, seekor kijang yang muda, dan ketika aku kembali ke tempat kita tadi, engkau sudah tidak ada. Aku melihat tapak-tapak kaki yang banyak sekali, lalu aku mengikuti tapak kaki itu ke sini. Ketika mereka melihatku, mereka lalu mengepung dan mengeroyokku sehingga terjadi perkelahian. Mari Nio-cu, kita kembali ke sana. Bukankah perutmu sudah lapar? Akan tetapi, sebaiknya kalau aku kubur dulu mayat-mayat mereka”

“Bodoh! Untuk apa mengubur mereka? Biar teman-teman mereka yang mengurus mayat mereka. Mari kita pergi!”

Bi-kiam Nio-cu mendengus marah dan Keng Han mengikutinya. Dia pun percaya bahwa sisa anak buah gerombolan tentu akan kembali ke situ untuk mengubur teman-teman mereka yang tewas. Mereka lalu cepat pergi meninggalkan bukit itu dan memasuki hutan tadi. Keng Han mengambil bangkai kijang yang dia simpan di atas sebatang pohon besar dan mulai mengambil dagingnya untuk dipanggang.

Bi-kiam Nio-cu memandang dengan sinar mata termenung kepada Keng Han yang sedang membakar daging kijang. Ia sudah menaruh bumbu pada daging itu. Kalau melakukan perjalanan, wanita ini selalu membawa bekal bumbu, seperti garam, merica dan lain-lain untuk penyedap makanan.

Ia merasa heran sekali. Mengapa hatinya begini tertarik kepada Keng Han dan ia tidak menghendaki pemuda itu jauh darinya? Selama ini, sampai usianya dua puluh dua tahun, ia selalu merasa tidak suka kepada laki-laki. Sejak ia belajar ilmu silat dari gurunya, seorang pendeta wanita yang hidup mengasingkan diri, gurunya selalu menekankan betapa jahatnya kaum pria. Karena ini, sejak kecil sudah tumbuh semacam perasaan tidak suka kepada pria. Apalagi setelah ia mulai remaja ia melihat betapa mata laki-laki seperti mata elang saja menatapnya, seperti mata elang melihat anak ayam, ingin menerkam.

Semakin tidak suka hatinya terhadap pria, makin dewasa ia makin muak. Entah berapa banyaknya pria yang sudah dibunuhnya, hanya karena berani memandangnya terlalu lama, menegurnya secara kurang ajar atau hendak menggodanya. Akan tetapi kini ia merasa heran sekali. Mengapa ia begini tertarik kepada Keng Han yang bahkan lebih muda darinya? Apalagi kalau ia membayangkan ketika pemuda itu mendekapnya untuk menghalanginya melakukan pembunuhan. Seolah masih terasa dekapan yang kuat dan hangat itu! Dan jantungnya berdebar aneh.

Daging kijang panggang itu sudah matang dan mereka lalu makan daging yang lunak dan sedap itu. Bi-kiam Nio-cu mengeluarkan seguci arak dan mereka makan minum dengan lahapnya karena memang perut mereka terasa lapar. Akan tetapi diam-diam harus diakui oleh Nio-cu bahwa belum pernah ia makan daging panggang selezat ini!

Setelah selesai makan, Bi-kiam Nio-cu berkata,
“Selama perjalanan kita ke Tibet, engkau harus selalu mentaati omonganku, Keng Han. Aku jauh lebih berpengalaman darimu, kalau engkau tidak mendengar omonganku, bisa-bisa engkau akan celaka.”

“Tidak, Nio-cu. Aku tidak akan nelakukan perjalanan bersamamu. Aku sekarang juga akan memisahkan diri darimu dan aku akan melakukan perjalanan ke Tibet seorang diri saja “`

“Ehhh, kenapa begitu?”

“Karena engkau kejam sekali. Kembali engkau membunuhi banyak orang dan aku merasa tidak senang sekali melihat engkau begitu kejam.”

“Engkau tidak boleh meninggalkan aku. Kalau engkau meninggalkan aku, dalam beberapa hari engkau akan mati keracunan. Ingat, tubuhmu sudah kupukul dengan Tok-ciang, dan hanya aku yang dapat memberi obat pemunahnya.”

“Biarlah! Lebih baik mati keracunan daripada menjadi saksi kekejamanmu.”

“Demikian besarkah perasaan bencimu kepadaku, Keng Han?” Dalam ucapannya itu terkandung kesedihan yang mengherankan hati Nio-cu sendiri.

“Aku tidak membencimu, Nio-cu. Kalau tadinya aku suka melakukan perjalanan denganmu, tadinya aku mengharap akan dapat menasihatimu agar tidak terlalu kejam. Akan tetapi engkau tetap kejam sekali, maka aku tidak tahan lagi untuk melakukan perjalanan denganmu. Nah sekarang aku harus meninggalkanmu, Niocu. Selamat tinggal!”

Keng Han mengemasi buntalan pakaiannya sendiri, memanggulnya lalu melangkah pergi dari situ. Melihat kenekatan pemuda itu, Nio-cu cepat bangkit berdiri dan berseru.

“Nanti dulu, Keng Han! Engkau akan mati dalam beberapa hari lagi. Biarlah kusembuhkan dulu lukamu karena pukulanku yang beracun itu!”

Nio-cu menghampiri Keng Han dan menyuruhnya membuka bajunya. Ketika melihat ke arah dada kiri pemuda itu, ia terbelalak dan ternganga keheranan. Kulit dada itu putih bersih, sama sekali tidak ada tanda telapak tangan merah seperti yang seharusnya ada.

“Aih....aneh sekali....!” Keng Han pura-pura bertanya.

“Tanda tapak tangan merah itu telah lenyap! ini tidak mungkin!”

“Kenapa tidak mungkin? Kenyataannya telah lenyap dan berarti aku telah sembuh. Tidak perlu lagi engkau mengobatiku.” kata Keng Han sambil menutupkan kembali bajunya.

“Hemmm, kau mempermainkan aku! Sambutlah serangan ini!” Wanita itu lalu menyerang dengan hebatnya!

“Ehhh, apa yang kau lakukan ini?”

Keng Han melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan itu. Akan tetapi wanita itu mengejarnya dan terus menyerang kalang-kabut dengan gencar sekali.

Keng Han terpaksa mainkan ilmu silat Hong-In Bun-hoat untuk menghindarkan diri. Ternyata ilmu silatnya ini hebat sekali. Dia seolah tidak bersilat, hanya menuliskan huruf-huruf di udara dan semua serangan Bi-kiam Nio-cu dapat dielakkan atau ditangkis!

Tentu saja wanita itu menjadi penasaran sekali. Ia mengeluarkan ilmu totokannya yang ampuh, yaitu Tok-ciang. Ilmu ini bukan hanya menotok, akan tetapi juga menampar dan kedua tangan itu berubah merah!

Dan biarpun Keng Han mampu mengelak sampai puluhan jurus, suatu ketika dia tidak dapat menghindarkan diri dan sebuah totokan mengenai pundaknya membuat tubuhnya lemas dan tidak berdaya!

Bi-kiam Nio-cu menambahkan beberapa totokan pada kedua pundak dan dadanya sehingga tubuh Keng Han benar-benar tidak mampu bergerak lagi. Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa kalau dia mengerahkan tenaga dari pusarnya, totokan itu pasti akan dapat dipunahkannya dalam waktu tidak terlalu lama. Dia hanya memandang dengan mata melotot kepada wanita itu.