Ads

Minggu, 22 Mei 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 08

“Hemmm, siapakah engkau dan mau apa engkau menahan perjalananku?” tanyanya dengan sikap acuh tak acuh.

“Nona, benarkah engkau yang tadi telah menghina dan memukuli tiga orang murid kami?”

“Hemmm, kalau memang betul, mengapa?”

“Nona, engkau terlalu kejam. Tanpa alasan yang kuat engkau melukai murid-murid kami, akan tetapi melihat bahwa engkau hanya seorang gadis remaja, maka biarlah aku akan habiskan urusan itu kalau saja engkau suka mohon maaf sambil berlutut di depan kakiku!”

Guru silat itu merasa tidak enak sendiri kalau harus berkelahi dengan seorang gadis remaja, maka dia hendak menghapus penghinaan itu dengan balas menghina dara itu. Kalau dara itu mau berlutut dan minta maaf, dia pun sudah akan puas dan semua orang tentu akan melihat dan membicarakannya.

Akan tetapi Kwi Hong mengerutkan alisnya.
“Apa katamu? Aku berlutut minta maaf kepadamu? Jadi engkau guru mereka? Sepatutnya engkau yang mintakan maaf bagi mereka kepadaku. Tahukah engkau apa sebabnya aku menghajar tiga orang muridmu? Semua orang melihatnya betapa mereka bertiga itu bersikap kurang ajar kepadaku, maka aku mewakilimu untuk menghajarnya! Sepatutnya engkau menghaturkan terima kasih dan mohon maaf, kepadaku!”

Keng Han yang menonton pertemuan itu hampir tertawa bergelak mendengar ucapan itu. Gadis itu benar-benar hebat. Selain tabah dan berani, ternyata juga amat pandai bicara dan bicaranya tidak ngawur! Akan tetapi kepala perguruan silat itu menjadi merah mukanya dan dia menggertak,

“Nona, engkau masih tidak mau minta maaf? Lihatlah, tiga puluh orang muridku siap untuk membalaskan dendam saudara mereka. Apakah engkau tidak takut? Cepatlah minta maaf agar urusan ini segera beres dan habis.”

“Kalau engkau dan mereka itu datang untuk membela orang-orang yang bersalah, aku sama sekali tidak takut, bahkan kalian semua ini patut dihajar karena membela yang salah!” Kwi Hong marah.

“Bagus, engkau ternyata keras kepala dan sombong, sudah sepatutnya aku menghajarmu!” teriak guru silat itu agar semua orang mendengar bahwa dia terpaksa melawan seorang gadis remaja karena gadis itu sombong dan tidak mau minta maaf.

Setelah berkata demikian dengan gerakan sembarangan saja tangannya menampar kearah pundak gadis itu. Bagaimanapun juga, Teng Coan bukan penjahat, bahkan julukannya adalah Pendekar Harimau Putih, maka dia menganggap dirinya seorang pendekar sejati. Dia tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, maksudnya cukup asal menjatuhkan gadis itu saja untuk menghukumnya.

Akan tetapi dia kecelik kalau mengira dengan satu tamparan dapat mengalahkan Kwi Hong. Dengan amat mudahnya Kwi Hong menarik pundaknya ke belakang sehingga tamparan itu mengenai angin kosong saja. Melihat tamparannya dapat dielakkan dengan mudah, Teng Coan menjadi penasaran dan kembali tangan kirinya menampar, kini lebih cepat dan kuat ditujukan ke arah muka gadis itu.

“Wuuuttttt....!”

Kembali tamparannya mengenai tempat kosong karena dengan mudah dielakkan oleh Kwi Hong yang menggeser kakinya ke kiri lalu tangannya bergerak cepat membalas serangan lawan dengan tonjokan ke arah dada guru silat itu. Kwi Hong tidak memandang rendah lawan, maka tonjokannya tidak dilakukan dengan setengah tenaga melainkan dengan cepat dan amat kuat.

Melihat ini. Teng Coan cepat menarik tangannya dan sambil miring ke kiri dia menggunakan tangan kanan untuk menangkis pukulan Kwi Hong. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dengan maksud membuat pukulan itu bukan hanya tertangkis, akan tetapi agar gadis itu terdorong dan lengannya terasa sakit bertemu dengan lengannya sendiri.

“Dukkkkk....!”

Dua buah lengan tangan bertemu, lengan tangan yang bertulang besar dan berotot kekar melawan lengan tangan yang bertulang kecil dan berkulit putih halus seolah tidak berotot. Akan tetapi akibatnya sungguh amat mengherankan. Tubuh guru silat itu terhuyung ke belakang sedangkan Kwi Hong tetap berdiri tegak sambil tersenyum!

Kini anak buah atau murid-murid Teng Coan sudah tidak sabar lagi. Dengan senjata golok dan pedang di tangan, mereka maju mengeroyok.

Melihat ini, Teng Coan tidak melerai bahkan dia pun menghunus pedangnya. Karena menghadapi banyak orang yang memegang senjata tajam, Kwi Hong melompat jauh ke belakang sambil mengerahkan kedua tangannya ke punggung dan di lain saat kedua tangannya sudah memegang sepasang pedang yang berkilauan saking tajamnya.

Para penonton menjadi panik melihat mereka semua sudah memegang senjata tajam. Banyak yang menjauhkan diri dan memandang dengan ngeri dan khawatir akan keselamatan gadis cantik itu. Akan tetapi, begitu Kwi Hong menggerakkan sepasang pedangnya menyambut serbuan para murid Pek-houw-bukoan, terdengar jerit-jerit kesakitan dan tiga orang sudah roboh dan terluka. Ada yang pundaknya, ada yang pangkal lengannya, ada pula yang pahanya terserempet pedang di tangan Kwi Hong yang amat lihai itu.

Keng Han yang melihat itu, tidak mengkhawatirkan Kwi Hong. Melihat gerakan sepasang pedang itu, maklumlah dia bahwa gadis itu memang lihai bukan main dan tidak akan kalah biarpun dikeroyok banyak orang. Akan tetapi karena pengeroyoknya terlampau banyak, mungkin saja gadis itu akan melakukan banyak pembunuhan dan inilah yang dikhawatirkannya.

“Nona, jangan membunuh orang!” teriaknya dan Keng Han melompat maju.

Kaki tangannya bergerak dan para pengeroyok itu berpelantingan seperti diamuk badai. Mereka hanya merasa ada hawa yang mendatangkan angin demikian kuatnya sehingga mereka semua terdorong ke belakang dan terjengkang bergulingan!

Sementara itu, Kwi Hong sudah bertanding melawan guru silat Teng Coan. Akan tetapi baru sekarang Pek-houweng Teng Coan menyadari betapa lihainya gadis itu. Sepasang pedang itu menutup semua lubang dan sebaliknya dapat menyerang dari arah manapun sehingga dia yang menjadi repot harus melindungi dirinya dari serangan sepasang pedang yang baginya seolah-olah telah berubah menjadi lima buah banyaknya itu! Dan bayangan pedang-pedang yang menyerangnya itu saling mendukung, susul menyusul datangnya seperti rangkaian yang tidak pernah putus!






Belum sampai dua puluh jurus, setelah dengan susah payah dia melindungi tubuhnya, akhirnya pedang kiri Kwi Hong mengenai pundak kanannya sehingga tangan kanannya menjadi lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangan.

“Singgg....!”

Tahu-tahu sepasang pedang di tangan Kwi Hong telah menyilang di lehernya sehingga dia tidak mampu bergerak karena bergerak berarti lehernya akan terluka.

“Nah, perintahkan semua muridmu untuk mundur!” bentak Kwi Hong kepada Teng Coan.

Guru silat ini dengan muka sebentar pucat sebentar merah saking malunya, melirik dan melihat betapa para muridnya itu sedang diamuk seorang pemuda dengan tamparan dan tendangan.

“Semua murid, hentikan serangan!” bentaknya dan para murid Pek-houw-bukoan segera berlompatan ke belakang.

Mereka memang sudah jerih melihat sepak terjang pemuda yang tiba-tiba muncul membantu Kwi Hong itu. Dan kini mereka melihat betapa guru mereka sudah dikalahkan gadis itu, maka semangat mereka hilang.

Keng Han menghampiri guru silat itu dan berkata dengan suara halus namun mengandung teguran,

“Engkau adalah pemimpin perguruan, sepatutnya engkau dapat mengajarkan kesusilaan dan sopan santun kepada para muridmu di samping ilmu silat. Ilmu silat bukan untuk main ugal-ugalan dan menang-menangan sendiri. Tiga orang muridmu itu tadi bersikap kurang ajar terhadap Nona ini dan akulah seorang di antara para saksi yang berada di dalam rumah makan. Engkau baru dapat disebut orang gagah kalau mau mengakui kesalahanmu, maka suruhlah murid-muridmu tadi minta ampun kepada Nona ini!”

Pek-houw-eng Teng Coan menyadari kesalahannya. Dia terburu nafsu mendengarkan laporan tiga orang muridnya. Sekarang baru dia bertemu batunya, menghadapi gadis remaja saja dia kalah.

“Hayo kalian bertiga cepat maju kesini!” bentaknya kepada para muridnya.

Tiga orang murid yang tadi membuat kekacauan di rumah makan maju dengan sikap takut. Kwi Hong sendiri sudah menyimpan pedang dan ia memandang kepada pemuda sederhana itu dengan heran dan kagum. Ia juga dapat melihat betapa pemuda itu dengan tangan kosong telah merobohkan belasan orang murid tanpa melukai mereka. Tentu pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat.

Setelah tiga orang murid itu mendekat, Teng Coan lalu menggerakkan tangannya, tiga kali menampar dan tiga orang muridnya itu terpelanting.

“Hayo cepat berlutut dan minta maaf kepada Nona ini!” kata Teng Coan, kini kemarahannya sepenuhnya ditujukan kepada tiga orang murid itu yang menimbulkan gara-gara sehingga dia mendapat malu di depan banyak orang.

Kalau bukan karena ulah tiga orang murid itu tentu dia tidak sampai terlihat orang--orang dikalahkan oleh seorang gadis remaja!

Tiga orang murid itu merangkak ke depan kaki Kwi Hong dan memberi hormat sambil berlutut.

“Nona, kami mohon maaf atas kesalahan kami!” kata mereka.

Kwi Hong tersenyum.
“Sudah, bangkitlah. Aku tahu bahwa kebanyakan orang muda memang ugal-ugalan. Akan tetapi kalian jangan sekali-kali menggoda wanita. Sepatutnya orang-orang yang belajar silat seperti kalian malah menjadi pelindung dan pembela wanita dari gangguan orang jahat. Apakah kalian ingin menjadi orang jahat yang suka mengganggu wanita?”

“Tidak, tidak...., Nona.” kata mereka serempak.

“Bagus, kalian harus menjadi pendekar-pendekar yang sejati, yang menghormati wanita dan membela mereka sebagaimana patutnya seorang pendekar yang menentang si jahat dan melindungi si lemah. Nah, sudahlah, kuhabiskan urusan sampai di sini!”

“Terima kasih, Nona.” tiga orang itu bangkit berdiri dan mundur ke tempat kawan-kawannya.

Pek-houw-eng Teng Coan juga memberi hormat kepada Kwi Hong dan Keng Han.
“Hari ini aku Teng Coan menerima pelajaran dari Ji-wi, untuk itu kami menghaturkan terima kasih dan mulai hari ini, aku akan meneliti kelakuan murid-murid perguruan dan kami bertindak sesuai dengan nasihat Ji-wi (Kalian berdua).”

Setelah berkata demikian, dengan sikap bengis dia membentak para muridnya untuk kembali ke perguruan dan tempat itu kembali sepi. Para penonton juga bubaran dan tentu saja Kwi Hong menjadi bahan pembicaraan mereka. Setelah melihat tindakan Kwi Hong yang gagah, beberapa orang di antara mereka teringat akan pendekar wanita yang berjuluk Si Bangau Emas. Bukankah gadis itu memakai perhiasan bangau emas di rambutnya.

“Si Bangau Emas, ia tentu Si Bangau Emas yang terkenal gagah dan pemberantas kejahatan!” demikian segera tersiar berita itu dan nama Si Bangau Emas, semakin dikagumi orang.

Sementara itu, Kwi Hong memandang kepada Keng Han. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, pikirnya, dan amat sederhana. Kebetulan Keng Han juga sedang memandang kepadanya. Dua pasang mata yang bersinar tajam saling bertemu dan bertaut sejenak, lalu Kwi Hong membungkuk dan berkata,

“Terima kasih atas bantuanmu, Sobat!”

“Tidak perlu berterima kasih, Nona. Aku tahu bahwa tanpa dibantu sekalipun Nona akan mampu menghajar mereka semua, akan tetapi melihat demikian banyaknya orang pria mengeroyok seorang gadis, bagaimana aku dapat tinggal diam? Terpaksa aku mencampuri, Nona.”

“Ah, tidak mengapa. Aku melihat ilmu silatmu amat hebat, Sobat. Bolehkah aku mengetahui siapa namamu dan dari perguruan silat manakah engkau?”

Keng Han tidak ingin memperkenalkan diri sebagai seorang she Tao, putera pangeran mahkota!. Dia akan merahasiakan keadaan dirinya itu sampai dia dapat bertemu ayahnya.

“Aku bernama Keng Han...., Si Keng Han, dan guruku adalah seorang hwesio perantauan dari Tibet. Dan engkau sendiri, bolehkah aku mengetahui siapa namamu, Nona? Dan siapa pula gurumu? ilmu sepasang pedang yang kau mainkan itu demikian hebat, tentu suhumu seorang yang amat terkenal pula.”

Seperti juga Keng Han, Kwi Hong tidak ingin orang mengenalnya sebagai puteri Pangeran Mahkota Tao Kuang. Ia tidak ingin menarik perhatian orang. Kebetulan namanya Kwi Hong nama Kwi itu boleh dipakai sebagai nama marga.

“Namaku Kwi Hong, dan guruku adalah kakekku sendiri. Ilmu silatku biasa saja, tidak dapat dibandingkan dengan kepandaiamu, Saudara Keng Han. Atau bolehkah aku menyebutmu Han-koko saja. Bukankah kita telah menjadi kenalan dan sahabat sekarang?”

Girang sekali hati Keng Han. Gadis ini selain tabah, lihai ilmu silatnya, lihai pula bicaranya, juga wataknya amat polos! Sungguh watak yang menyenangkan sekali.

“Tentu Saja dan aku pun tentu boleh menyebutmu Moi-moi saja, karena aku yakin bahwa engkau jauh lebih muda dari padaku.”

“Hik-hik-hik, Han-ko. Engkau bicara seolah engkau ini telah menjadi kakek-kakek saja. Memang aku lebih muda darimu, akan tetapi kuyakin selisihnya tidak seberapa banyaknya. Berapa usiamu sekarang?”

“Sudah hampir dua puluh satu tahun, Nona....eh, Hong-moi.”

“Nah, dan aku sudah hampir delapan belas tahun! Selisihnya hanya sedikit saja, tiga tahun. Eh, Han-ko, sebetulnya engkau hendak ke manakah dan datang dari mana?”

Pertanyaan ini lebih lagi tidak dapat dijawab sejujurnya oleh Keng Han. Tidak mungkin dia menceritakan bahwa dia datang dari Pulau Hantu dan kini hendak pergi mencari ayahnya. Pangeran Mahkota.

“Aku adalah seorang perantau, Hong-moi. Aku sedang menuju ke kota raja untuk mencari pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Aku belum pernah ke sana dan aku mendengar hahwa kota raja amat besar dan indah.”

“Ah, kebetulan sekali, aku pun hendak pergi ke kota raja. Kita dapat melakukan perjalanan bersama, Han-ko.”

“Aih, apakah engkau.... tidak merasa....janggal, Hong-moi? Melakukan perjalanan bersama Seorang pemuda seperti aku yang sama sekali asing bagimu? Apa akan kata orang nanti?”

“Peduli amat dengan pendapat orang, Han-ko. Kalau aku terlalu mempedulikan pendapat orang lain, tidak mungkin aku dapat berkelana seperti ini seorang diri. Aku selalu meneliti langkah sendiri, kalau aku tidak melakukan sesuatu yang tidak benar, habis perkara. Orang lain boleh menilai bagaimanapun sesuka perut mereka, aku tidak peduli. Kita telah berkenalan, kita telah menjadi sahabat, sama-sama menghadapi orang-orang yang sesat jalan. Nah, bukankah kita tidak asing lagi satu sama lain? Atau.... engkau yang tidak suka melakukan perjalanan bersamaku, Han-ko?”

Keng Han menghela napas panjang. Tepat dugaannya, gadis ini seorang yang polos dan keras hati. Tentu gadis ini minggat dari rumahnya karena kalau terang-terangan, tentu orang tuanya tidak akan mengijinkannya merantau seorang diri seperti itu!

“Hong-moi, bagaimana aku dapat tidak suka melakukan perjalanan bersamamu? Tentu saja aku suka sekali, apalagi engkau dapat menjadi penunjuk jalan. Aku tadi ragu hanya karena mengingat akan dirimu, jangan sampai engkau menjadi celaan orang.”

“Biarkan saja orang mencelaku, asal tidak di depanku. Kalau ada yang berani mencela di depanku, tentu akan kutampar mulutnya sampai semua giginya copot. Han-ko, yang penting adalah kita sendiri, bukan? Kalau kita berdua melakukan perjalanan dengan sewajarnya, sebagai dua orang sahabat yang saling menghormati dan saling menghargai, tidak melakukan sesuatu yang melanggar susila, siapa yang akan berani mencela?”

Bukan main kagumnya hati Keng Han, seorang gadis yang masih begini muda, akan tetapi pengetahuannya tentang kehidupan dan tentang kemanusiaan demikian mendalam. Tentu seorang gadis yang amat terpelajar, di samping ahli silat yang pandai.

“Engkau benar, Hong-moi. Mendengar pendapatmu, aku menjadi tidak ragu lagi, dan bahkan besar dan bangga hatiku mendapatkan seorang sahabat yang masih muda akan tetapi demikian bijaksana sepertimu. Nah, mari kita berangkat, Hong-moi. Mana jalan yang menuju ke kota raja?”

“Kita keluar dari pintu gerbang utara dan terus menuju ke utara, tentu akan sampai ke kota raja, Han-ko. Mari kita berangkat.”

Mereka lalu berangkat meninggalkan Tung-san melalui pintu gerbang utara. Ternyata perjalanan itu melalui daerah pegunungan yang sunyi. Baru kurang lebih sepuluh li mereka berjalan, tiba-tiba dari depan datang seorang petani berlari-lari dan nampak ketakutan.

Keng Han menghadang dan bertanya.
“Paman, ada apakah Paman berlari-lari seperti orang ketakutan?”

“Ah, orang muda, jangan pergi ke sana. Aku melihat perkelahian antara orang-orang yang berkepala gundul dan berjubah merah. Tiga orang mengeroyok seorang dan agaknya mereka hendak membunuhnya. Aku menjadi ketakutan ah, jangan-jangan mereka akan mengejarku pula.!”

Orang itu berlari lagi ketakutan. Mendengar ini, Keng Han menjadi tidak enak hati. Tiga orang gundul berjubah merah mengingatkan dia akan tiga orang pendeta Lama yang pernah mencari gurunya, Gosang Lama, yang berkepandaian amat tinggi sehingga ketika dia memukulnya, tangannya sendiri merasa kesakitan dan sekali dorong saja seorang di antara mereka merobohkannya! Jangan-jangan yang dimaksudkan petani tadi adalah tiga orang pendeta Lama itu dan yang dikeroyok adalah gurunya!

“Mari kita ke sana!” katanya dan dia pun berlari cepat, dikejar oleh Kwi Hong.

“Tunggu aku, Han-ko!” teriak gadis itu yang mengejar dengan secepatnya sehingga ia dapat menyusul Keng Han.

Tak lama kemudian mereka melihat tiga orang berpakaian pendeta berjubah merah sedang mengeroyok seorang kakek yang berpakaian biasa seperti seorang petani yang kepalanya botak hampir gundul. Ketika mereka tiba di situ kakek yang dikeroyok itu agaknya sudah terluka parah dan sempoyongan hampir roboh. Melihat ini Kwi Hong yang penasaran melihat seorang dikeroyok tiga, sudah menerjang maju dan membentak.

“Pengecut-pengecut tidak tahu malu! Mengeroyok seorang tua!” Dan ia menyerang pendeta terdekat. Pendeta itu menangkis serangannya.

“Dukkk....!”

Dan tubuh Kwi Hong terhuyung ke belakang. Ia merasa terdorong oleh tenaga yang kuat sekali ketika lengannya tertangkis tadi. Maklum bahwa ia berhadapan dengan orang pandai, Kwi Hong lalu mencabut sepasang pedangnya dan menyerang pendeta itu dengan ilmu Ngo-heng-kiam. Pendeta itu terkejut melihat kehebatan serangan sepasang pedang dan menggunakan lengan bajunya yang lebar untuk menangkis sambil mundur.

Sementara itu, Keng Han melihat bahwa kakek yang terluka parah itu adalah Gosang Lama. Dia cepat menyambar tubuh yang hampir roboh itu.

“Suhu....!” Teriaknya.

“Keng Han...., pergilah.... mereka lihai sekali. Larilah!” kata Gosang Lama ketika melihat muridnya.

Akan tetapi Keng Han segera merebahkan gurunya dan meloncat berdiri. Ketika memutar tubuhnya, dia melihat betapa Kwi Hong sudah bertanding melawan seorang pendeta jubah merah kotak-kotak, sedangkan dua pendeta lain hanya menonton. Dia menjadi marah sekali dan meloncat ke depan dua orang pendeta yang menonton pertandingan itu.

“Pendeta-pendeta keparat dan kejam!” bentaknya dan karena dia maklum bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh sekali maka dia lalu menyerang dengan pukulan yang dilatihnya di Pulau Hantu.

Tangan kanannya memukul dengan kandungan hawa yang amat panas sedangkan tangan kirinya memukul dengan kandungan hawa yang amat dingin. Melihat pemuda itu memukul dan ada angin menyambar dahsyat, dua orang pendeta itu terkejut dan cepat menangkis dengan tangan mereka.

“Wuuuuuttt.... desssss....!”

Pertemuan tenaga itu hebat sekali dan akibatnya dua orang pendeta itu terjengkang dan terbanting. Yang seorang merasa seluruh tubuhnya dilanda hawa panas sekali dan yang kedua merasa seluruh tubuhnya dilanda hawa yang amat dingin. Mereka tidak terluka parah akan tetapi terkejut bukan main.

Seorang pemuda dapat menggunakan pukulan berlawanan dalam satu saat sungguh luar biasa sekali! Dan mereka pernah dengar bahwa ilmu-ilmu tangguh seperti itu hanya dimiliki oleh pendekar keluarga Pulau Es! Mereka menjadi jerih dan dalam bahasa Tibet mereka memanggil teman yang bertanding melawan Kwi Hong untuk melarikan diri. Pemuda itu terlalu tangguh, apalagi di situ masih terdapat Kwi Hong yang memiliki ilmu sepasang pedang yang hebat. Mereka lalu melarikan diri dengan cepat, jubah mereka berkibar di belakang mereka.

Keng Han hendak mengejar, akan tetapi dia mendengar suara gurunya mengeluh, “Keng Han, jangan....!”

Mendengar suara gurunya ini, Keng Han tidak jadi mengejar dan berlutut di samping tubuh gurunya. Ternyata Gosang Lama telah terluka parah sekali, napasnya terengah-engah. Melihat keadaan gurunya ini Keng Han mencoba untuk membantunya dengan menempelkan kedua tangan di dada gurunya dan mengerahkan sinkangnya. Akan tetapi tiba-tiba mata Gosang Lama mendelik dan napasnya makin ngos-ngosan!

Keng Han terkejut dan segera menghentikan pengerahan tenaganya. Bagaimana napas Gosang Lama tidak akan menjadi terengah-engah kalau ada dua hawa yang berlawanan memasuki tubuhnya yang sudah terluka parah.

“Ah, Suhu. Bagaimana keadaanmu?”

Dia mengguncang pundak kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun itu. Gosang Lama hanya menggeleng kepalanya dan mulutnya hanya dapat mengeluarkan suara berbisik. Keng Han mendekatkan telinganya dan mengerahkan pendengarannya untuk menangkap pesan terakhir itu.

“Semua ini.... gara-gara.... Dalai Lama...., Keng Han, kau bunuh Dalai Lama untuk membalas dendamku.... kemudian kau hancurkan Bu-tong-pai.... itu juga musuh besarku.... ada puteraku.... Gulam Sang temui dia, ajak kerjasama.... aku.... aku....”

Kepala itu terkulai dan Gosang Lama telah menghembuskan napas terakhir, membawa semua rahasia hidupnya bersamanya.

“Suhu....!” Keng Han menangis sambil memeluk tubuh yang masih hangat itu.

Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya.
“Han-ko, yang sudah mati tidak ada gunanya ditangisi lagi. Suhumu sudah meninggal, sebaiknya diurus jenazahnya.”

Ucapan ini menyadarkannya. Tadi dia menangis karena terharu. Selama lima tahun dia digembleng oleh kakek ini dengan penuh kesungguhan hati dan kakek inilah satu-satunya gurunya. Teringat akan kebaikan kakek itu maka dia tadi terharu dan menangis. Ucapan Kwi Hong menyadarkannya dan dia berhenti menangis. Dia menghapus air matanya, menoleh kepada Kwi Hong dan berkata, suaranya sudah tenang lagi.

“Engkau benar, Hong-moi. Aku terlalu lemah tadi.”

Dengan dibantu oleh Kwi Hong, Keng Han menggali lubang dan mengubur jenazah Gosang Lama dengan sederhana dan khidmat. Setelah itu dia berlutut di depan makam gurunya sambil berjanji,

“Suhu, teecu akan melaksanakan semua perintah Suhu.”

Kwi Hong mengerutkan alisnya mendengar ucapan Keng Han ini.
“Han-ko, pesan terakhir suhumu itu sungguh luar biasa sekali.”

Keng Han menoleh kepada gadis itu.
“Luar biasa? Apanya yang luar biasa? Suhu menyuruh aku membasmi musuh-musuh besarnya yang telah berlaku jahat kepadanya.”

“Pertama, agaknya suhumu itu juga seorang pendeta. Seorang pendeta memesan kepada muridnya untuk membalas dendam! Sungguh luar biasa dan aneh sekali. Biasanya seorang pendeta bahkan melarang muridnya mengandung dendam di hati. Dan kedua kalinya, pesan itu sungguh amat tidak mungkin kau lakukan, Han-ko.”

“Tidak mungkin?” Keng Han mengerutkan alisnya. “Kenapa tidak mungkin, Hong-moi?”

Dia merasa penasaran sekali walaupun alasan pertama tadi juga menjadi bahan pemikirannya. Dia pun sudah banyak membaca kitab agama yang melarang adanya dendam di hati, akan tetapi mengapa suhunya malah menyuruh dia membalas dendam? Akan tetapi tidak mungkin dia mengingkari janjinya kepada suhunya sendiri!

“Tidak mungkin karena permintaan suhumu itu luar biasa beratnya. Kau tahu siapa itu Dalai Lama?”

Keng Han menggeleng kepalanya. Memang dia belum pernah membaca atau mendengar tentang Dalai Lama.

“Belum pernah. Siapa sih dia?”

“Dalai Lama adalah pendeta kepala dari para pendeta Lama di Tibet. Kekuasaannya besar sekali, bahkan melebihi kekuasaan raja. Dan di Tibet terdapat banyak sekali pendeta berilmu tinggi yang tentu akan melindungi Dalai Lama. Kurasa engkau tidak akan dapat menyentuh sehelai rambut pun dari Dalai Lama. Beliau sendiri merupakan seorang yang amat tinggi ilmunya. Bagaimana mungkin engkau melaksanakan tugas yang amat berbahaya itu?”

“Bagaimana besar pun bahayanya, tugas yang diberikan oleh suhu harus kulaksanakan, Hong-moi. Aku tidak takut!” kata Keng Han dengan suara tegas.

“Hemmm, dan tugas kedua lebih aneh lagi.”

“Membasmi Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar suhu? Apa anehnya? Kalau mereka itu musuh besar suhu memang harus dibasmi!”

“Tahukah engkau siapa Bu-tong-pai itu, Han-ko?”

“Yang pernah kudengar, Bu-tong-pai adalah satu di antara perguruan-perguruan silat yang terkenal.”

“Bukan hanya terkenal karena ilmu silatnya, melainkan lebih terkenal lagi bahwa murid-murid Bu-tong-pai merupakan pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan pembela kebenaran dan keadilan. Bu-tong-pai adalah perkumpulan para pendekar. Bagaimana engkau disuruh untuk membasminya? Sungguh heran sekali aku. Kalau gurumu itu musuh besar Bu-tong-pai, maka....”

Kwi Hong tidak mau melanjutkan kata-katanya karena dia tidak ingin menyinggung perasaan hati Keng Han.

“Maka bagaimana, Hong-moi? Engkau hendak bilang bahwa guruku yang berada di pihak yang salah?”

“Mungkin saja, karena Bu-tong-pai selalu menentang kejahatan dan tidak pernah murid mereka melakukan kejahatan.”

“Apapun alasannya, kalau mereka itu musuh besar suhu, harus kulaksanakan janjiku kepada suhu untuk membasmi mereka!” kata Keng Han berkeras.

“Jangan, Han-ko. Engkau mempertaruhkan nyawamu!”

“Tidak sudah sepatutnyakah budi kebaikan guru dibalas dengan taruhan nyawa?”

“Han-ko....” Kwi Hong merasa bingung sekali. Dara ini mengkhawatirkan Keng Han, pemuda yang menarik perhatiannya dan yang mendatangkan suatu perasaan aneh di dalam hatinya. Ia merasa sayang sekali kalau sampai Keng Han menderita celaka dalam tugasnya itu, apalagi memusuhi Bu-tong-pai! Pemuda itu dapat dianggap sebagai seorang penjahat! “Han-ko, urungkan niatmu itu! Marilah engkau pergi bersamaku ke kota raja.!”

“Tidak, Hong-moi. Aku mengubah tujuan perjalananku. Aku sekarang juga harus pergi mencari Dalai Lama di Tibet!”

“Akan tetapi perjalanan itu jauh sekali, Han-ko.”

“Aku tidak peduli.” Dia bangkit berdiri, “Selamat tinggal, Hong-moi. Aku berangkat sekarang, juga.” Dia lalu melompat pergi.

“Han-ko.... tunggu....!”

Teriakan ini membuat Keng Han menahan larinya dan dia berhenti. Gadis itu mengejar dan menyusulnya.

“Ada apa, Hong-moi?”

“Han-ko, aku ikut denganmu!” katanya dengan tegas, lupa sama sekali bahwa ia adalah puteri Pangeran Mahkota! “Aku akan ikut ke Tibet!”

Benar-benar Kwi Hong sudah lupa diri dan lupa keadaan. Hasrat hatinya hanya ingin bersama pemuda itu, tidak ingin berpisah.

Akan tetapi Keng Han masih memiliki kesadaran. Tidak mungkin dia membawa seorang gadis yang baru dikenalnya melakukan perjalanan sejauh itu. Apa akan kata orang tua gadis itu? Juga ini di luar kepantasan.

“Tidak, Hong-moi. Ini adalah urusan pribadiku yang harus kuselesaikan sendiri. Aku tidak ingin engkau terbawa-bawa. Kalau sudah selesai tugasku, mungkin kita dapat bertemu kembali. Nah, selamat tinggal!”

Dia menggunakan ilmunya berlari cepat sekali sehingga sebentar saja sudah lenyap dari pandang mata gadis itu. Dan tanpa disadarinya, kedua mata Kwi Hong menjadi basah! Ia merasa menyesal sekali. Pemuda sehebat itu menerima tugas seberat dan seaneh itu. Ia menoleh dan memandang kepada makam Gosang Lama.

“Hemmm, aku sangsi apakah dia seorang baik-baik.” gumamnya, kemudian ia pun meninggalkan tempat itu menuju ke kota raja.

**** 08 ****