Ads

Minggu, 22 Mei 2016

Pusaka Pulau Es Jilid 02

Yang agak menyakitkan hati Kalucin adalah melihat betapa Silani bertepuk tangan penuh semangat. Tahulah dia bahwa Silani telah jatuh cinta kepada Tao Seng dan hal ini mengobati hatinya. Kalau Silani sudah jatuh cinta kepada pangeran itu, mau apa lagi? Juga pangeran itu ternyata gagah perkasa dan dia harus mengakui kekalahannya. Ah, bukan hanya Silani perempuan di dunia ini, dia menghibur hatinya.

Menerima kenyataan dan menerima keadaan adalah suatu sikap yang amat bijaksana.
Orang akan dapat melalui keadaan yang bagaimana hebat dan sengsara sekalipun kalau memiliki sikap seperti itu. Menerima kenyataan yang ada dan menerima keadaan tanpa tenggelam ke dalam duka. Bukan berarti lalu berhenti dan jatuh, melainkan tetap berusaha hanya tidak tenggelam ke dalam duka dan putus harapan.

Kalau orang bersikap menerima kenyataan, maka akan timbul saja harapan-harapan baru dan dapat memetik hikmah dari setiap keadaan yang betapa “buruk” pun! Menerima kenyataan ini berarti iman yang sepenuhnya kepada Tuhan. Maklum bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan karena itu tidak ada yang perlu dan patut dikeluhkan lagi. Melainkan menengadah, menerima kenyataan dan menyerah kepada kekuasaan Tuhan dengan penuh keikhlasan Beginilah sikap seorang bijaksana dan sikap seperti ini membebaskan kita dari belenggu duka.

Beberapa hari kemudian, dilangsungkan pernikahan antara Pangeran Tao Seng dan Silani. Pernikahan dilangsungkan dengan meriah sekali. Seluruh rakyat suku Khitan di daerah itu ikut berpesta gembira. Pesta diadakan sehari semalam. Akan tetapi yang paling merasa berbahagia adalah sepasang mempelai. Tidak ada kebahagiaan melebihi dua orang yang saling mencinta dipertemukan dalam sebuah pernikahan.

Pangeran Tao Seng adalah seorang pemuda yang berpengalaman dalam merayu wanita. Maka setelah Silani menjadi isterinya, wanita ini pun seperti mabuk kebahagiaan pengantin baru dan mereka seolah tak terpisahkan walau sesaat pun. Kemanapun mereka berdua dan selalu berkasih-kasihan.

Silani bukan hanya berbahagia karena memiliki suami yang tampan gagah dan amat mencintanya, akan tetapi juga berbahagia karena ia membayangkan betapa kelak ia menjadi seorang permaisuri kaisar. Benarkah pengakuan Tao Seng bahwa dia adalah seorang putera mahkota yang kelak menggantikan kaisar?

Sebetulnya tidaklah demikian. Hanya karena pandainya Tao Seng bicara saja maka dia dapat mengelabui Silani dan ayahnya, Khalaban. Dia memang benar putera dari Kaisar Cia Cing yang baru saja menggantikan Kaisar Kian Liong, akan tetapi sama sekali bukan putera mahkota. Bahkan Kaisar Cia Cing belum mengangkat putera mahkota karena baru saja dia menjadi kaisar. Juga andaikata kelak Kaisar Cia Cing mengangkat seorang di antara puteranya menjadi pangeran mahkota, tentu bukan Tao Seng yang diangkatnya karena Tao Seng hanyalah putera seorang selir yang berketurunan Khitan pula.

Tao Seng mengaku demikian hanya demi gengsi saja, agar diterima lamarannya menjadi suami Silani. Padahal, andaikata dia tidak berbohong sekalipun tentu dia akan diterima pula karena memiliki mantu pangeran saja sudah merupakan kehormatan besar bagi Khalaban.

Selama tiga bulan pengantin baru itu setiap hari hanya berkasih-kasihan. Kadang mereka ditemani oleh Kalucin yang dianggapnya sebagai sahabat baik oleh Pangeran Tao Seng. Kadang mereka berburu bertiga saja. Dan Kalucin kini sudah tidak iri lagi. Dia menganggap Silani sebagai adik sendiri dan dia ikut merasa gembira betapa Silani hidup berbahagia bersama Pangeran Tao Seng.

Setelah tinggal di situ selama tiga bulan, pada suatu hari Tao Seng berpamit dari mertua dan isterinya untuk kembali ke selatan. Silani menangis hendak ikut suami tercinta.

“Jangan sekarang, isteriku. Pertama, engkau tentu belum dapat diterima dengan resmi dan tidak diperbolehkan memasuki istana. Dan kedua, engkau sedang mengandung, tidak baik melakukan perjalanan jauh dan sukar. Kelak, kalau aku sudah melapor kepada ayahanda kaisar dan sudah mendapat perkenan beliau, engkau tentu akan kujemput ke istana. Juga menanti sampai anakmu terlahir.”

Karena alasan yang dikemukakan Pangeran Tao Seng masuk akal, akhirnya Silani dapat menerimanya. Juga ayahnya membujuk agar menaati pesan suaminya.

“Kalucin, selama aku pergi, harap jaga baik-baik isteriku yang kau anggap sebagai adikmu sendiri.”






“Jangan khawatir, Paduka.” jawab Kalucin dengan tulus.

“Akan tetapi, Pangeran suamiku. Sebelum engkau pergi, aku ingin lebih dulu engkau memenuhi janji untuk mengajak aku pesiar ke lautan. Aku ingin sekali pergi melihat lautan seperti yang kau janjikan, naik perahu layar mengarungi samudera luas!”

Silani merengek dan karena memang dia sudah berjanji di waktu berpengantinan, Pangeran Tao Seng akhirnya tidak dapat menolak permintaan itu.

Berangkatlah mereka bertiga, Pangeran Tao Seng, Silani dan ditemani Kalucin ke pesisir utara. Mereka melakukan perjalanan santai saja, menggunakan kereta agar dapat cepat dan tidak terlalu mengganggu kesehatan Silani yang sedang mengandung dua bulan.

Setelah tiba di pantai lautan, Tao Seng menyewa sebuah perahu layar dan dengan pertolongan seorang nelayan mereka pun pergi berlayar. Bukan main girangnya hati Silani. Selamanya belum pernah ia melihat lautan dan kini ia dapat berlayar mengarungi samudera yang amat luas itu.

Mereka sudah cukup jauh meninggalkan pantai dan selagi Tao Seng hendak memerintahkan tukang perahu untuk kembali ke daratan, tiba-tiba air bergelombang dengan hebatnya. Tukang perahu merasa heran dan terkejut bukan main. Tidak ada badai, angin pun biasa saja, bagaimana mendadak timbul gelombang demikian hebatnya?

Untuk menjaga agar perahu tidak terbalik, tukang perahu menggulung layar dan mengemudikan perahu sedapat mungkin. Lalu terdengar suara menggelegar dan mereka semua melihat air laut mengeluarkan busa yang mengepulkan uap dan asap panas.

Air bergelombang lebih hebat dan tiba-tiba di depan mata mereka, kurang lebih satu mil jauhnya, muncul sebuah benda hitam yang amat besar. Makin lama semakin besar dan ternyata itu adalah sebuah pulau! Sebuah pulau yang “lahir” begitu saja dari permukaan laut. Mungkin terjadi letusan gunung berapi di bawah laut, mungkin di dasar laut itu timbul perubahan yang luar biasa dari letusan gunung yang kemudian melahirkan sebuah pulau!

Gelombang lautan sedemikian hebatnya mengguncang perahu. Tukang perahu memperingatkan tiga orang penumpangnya agar mengikat pinggang mereka pada tiang layar agar tidak terlontar keluar. Tao Seng mengikat pinggang isterinya dan Kalucin pada tiang perahu sedangkan dia lalu mengikat pinggang sendiri pula. Demikian pula tukang perahu yang masih memegang kemudi.

Perahu terguncang ke kanan kiri, kadang-kadang dilambungkan ke atas dan seandainya mereka tidak mengikat pinggang mereka dengan tiang, tentu mereka sudah terlempar keluar dari perahu.

Mereka merasa tersiksa. Silani muntah-muntah, bahkan Kalucin juga muntah-muntah.
Pangeran Tao Seng hampir putus asa, merasa bahwa kematian sudah di depan mata. Suara menggelegar seperti letusan masih terdengar berulang-ulang. Banyak perahu nelayan yang berkeadaan sama dengan mereka, bahkan ada yang sudah terguling dan penumpangnya entah bernasib bagaimana.

Akhirnya gelombang yang amat ganas itu mereda dan letusan tidak terdengar lagi, gelombang tidak sehebat tadi, tinggal sisanya saja. Dan pulau yang baru “lahir” itu nampak lengkap sudah. Sebuah pulau yang kehitaman. Tukang perahu melepaskan ikatan dari pinggangnya, demikian pula Tao Seng dan Kalucin. Tao Seng melepaskan ikatan dari pinggang Silani yang segera merangkulnya sambil menangis. Tao Seng memeluk dan menghiburnya.

“Ya Tuhan, pulau itu.! ” Tukang perahu tiba-tiba berseru.

Tao Seng menoleh dan melihat pulau itu biasa saja. Akan tetapi tukang perahu terbelalak memandang pulau itu, mulutnya kemak kemik tanpa suara seperti orang berdoa.

“Paman, kenapakah dengan pulau itu?”

“Itu.... seperti Pulau Es..... yang dahulu dikabarkan tenggelam. Bentuknya sama benar, hanya ini tidak ditimbuni es!”

Tao Seng sudah mendengar akan dongeng tentang Pulau Es, bahkan sudah mendengar pula akan Keluarga Pulau Es yang terdiri dari orang-orang yang sakti. Akan tetapi dia tidak mempedulikannya lagi, melainkan cepat menyuruh tukang perahu mengembangkan layar kembali ke pantai.

Baru setelah perahu meluncur dengan lajunya ke pantai dan laut tidak bergelombang lagi, Pangeran Tao Seng bertanya lebih lanjut tentang pulau itu kepada tukang perahu, didengarkan pula oleh Silani dan Kalucin.

“Kalau melihat bentuknya, tidak salah lagi. Pulau yang baru muncul itu agaknya Pulau Es yang dulu dikabarkan lenyap ditelan air. Di daerah ini terdapat tiga pulau yang amat ditakuti para nelayan. Pertama Pulau Neraka yang sekarang masih ada, Pulau Nelayan yang juga masih ada. Kedua pulau itu kosong akan tetapi amat gawat karena selain sukar didekati, terdapat banyak batu karang tajam, juga kabarnya dihuni binatang-binatang buas dan kabar desas-desus mengatakan bahwa kedua pulau itu bahkan dihuni mahluk-mahluk halus seperti jin dan iblis. Tadinya Pulau Es lenyap, dan sekarang muncul lagi, entah pertanda apa itu. Pulau Es juga ditakuti nelayan, karena merupakan pulau larangan. Sudahlah, tidak baik membicarakan pulau-pulau itu.” Tukang perahu mengakhiri ceritanya dan perahu pun sudah tiba di pantai.

Pangeran Tao Seng, Silani dan Kalucin segera pulang kembali ke perkampungan Khitan yang bercampur pula dengan bangsa Mongol. Setelah memenuhi permintaan isterinya untuk bertamasya ke laut, akhirnya Pangeran Tao Seng meninggalkan isterinya, diantar sampai ke luar perkampungan oleh Silani sambil menangis.

Setelah pangeran yang menunggang kuda itu lenyap dari pandangannya dan derap kaki kuda tidak terdengar lagi, barulah Silani pulang sambil menangis dan mendekap sebatang pedang bengkok berbalut emas. Pedang ini adalah pedang bengkok pemberian suaminya, sebatang pedang kesukaan Tao Seng yang mendapatkannya dari barang rampasan bangsa Kazak ketika pasukan kerajaan menundukkan suku Kazak yang membuat kerusuhan di Barat Laut. Suaminya menyerahkan pedang bengkok bersarung emas dihias permata itu sambil berkata malam itu kepadanya.

“Isteriku, pedang ini kutinggalkan bukan hanya sebagai kenang-kenangan, melainkan juga sebagai tanda bahwa yang membawa pedang ini adalah keluargaku. Kelak, kalau anak kita lahir pria, aku minta agar engkau beri nama Keng Han, Tao Keng Han. Akan tetapi kalau terlahir wanita, boleh engkau pilihkan nama yang baik untuknya. Dan kalau engkau atau anak kita datang ke kota raja memperlihatkan pedang ini, pasti orang akan membawa pembawa pedang ini datang kepadaku.”

Demikianlah pesan suaminya, maka Silani tak pernah memisahkan pedang itu dari sisinya. Pedang itu baginya seolah menjadi pengganti diri suaminya. Dengan adanya pedang itu, hatinya agak terhibur, seolah-olah pedang itu merupakan kunci pintu yang akan membuka perpisahan antara ia dan suaminya, yang akan mempertemukan ia dan suaminya.

**** 02 ****









OBJEK WISATA MANCA NEGARA

 Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
 Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
 Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
 Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
 Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
 Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
 Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
 Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
 Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
 Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
 Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
 Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
 Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
 Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
 Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
 Taj Mahal
Taj Mahal India
 Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
 Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
 Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
 Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
 Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
 Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
 Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
 Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
 Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
 Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
 Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
 Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
 Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================
 Panorama Alam Georgia

 Kebun Raya Singapura

 Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar