Ads

Minggu, 22 Mei 2016

Pusaka Palau Es Jilid 07

Kita tinggalkan dulu Keng Han yang terkurung di dalam pulau kosong mempelajari ilmu-ilmu Pusaka Pulau Es yang kebetulan ditemukannya dan kita menengok bagian lain dari kisah ini.

Seperti telah diceritakan di bagian depan Pangeran Mahkota Tao Kuang selamat dari pengkhianatan saudara-saudaranya sendiri, yaitu kedua kakaknya, Tao Seng dan Tao San. Dia telah diselamatkan oleh seorang datuk yang berjuluk Sin-tung Koai-jin bernama Liang Cun bersama puterinya yang bernama Liang Siok Cu. Kemudian, Liang Siok Cu yang memang cantik manis itu menjadi selir Pangeran Tao Kuang yang tercinta.

Setahun kemudian selir ini melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Tao Kwi Hong. Dan sebagai puteri pangeran mahkota, tentu saja sejak kecil Kwi Hong amat dimanja ayah ibunya. Terutama sekali kakeknya, Sin-tung Koai-jin Liang Cun amat memanjakan cucunya. Sejak anak itu masih kecil, Sin-tung Koal-jin menggemblengnya dengan dasar-dasar ilmu silat. Ayahnya juga tidak melupakan pendidikan ilmu surat kepada puterinya sehingga Kwi Hong menjadi seorang anak perempuan yang cerdik dan juga gagah.

Semenjak lancar membaca, Kwi Hong yang baru berusia lima belas tahun itu gemar sekali membaca dan perpustakaan istana menjadi langganannya. Perpustakaan istana itu lengkap sekali, bahkan banyak terdapat kitab-kitab kuno yang sudah sukar dimengerti oleh para pembaca sekarang. Hanya sedikit saja ahli-ahli sastra kuno yang akan mampu membacanya. Dan anehnya, gadis remaja ini bahkan paling suka memeriksa kitab-kitab kuno ini. Kebanyakan adalah kitab-kitab agama dan filsafat, juga catatan-catatan sejarah oleh para sastrawan jaman dahulu.

Pada suatu hari, Puteri Tao Kwi Hong menemukan sebuah kitab kuno yang sudah berdebu dan ia tertarik sekali karena pada sampulnya terdapat gambar segi lima dengan gambar Im-yang. Didalamnya dan ada sepasang pedang bersilang di atasnya. Gambar pedang itulah yang menarik perhatiannya dan ketika ia membukanya, ternyata itu merupakan sebuah kitab kuno ilmu pedang!

Akan tetapi bahasanya kuno dan banyak sekali huruf yang tidak dikenalnya. Ia lalu mengatakan kepada penjaga perpustakaan bahwa ia hendak meminjam kitab itu untuk dibacanya. Penjaga perpustakaan tidak berani menolak permintaan puteri dari Pangeran Mahkota, hanya berpesan agar setelah selesai dibaca, kitab itu harus dikembalikan dan mencatatnya dalam buku catatannya.

Kwi Hong membawa pulang kitab itu dan memperlihatkannya kepada kakeknya.
“Ah, aku pernah mendengar tentang adanya ilmu pedang Ngo-heng Sin-kiam yang telah hilang dari peredaran dan tidak ada lagi yang mampu memainkannya. Agaknya inilah kitabnya! Ah, engkau beruntung sekali dapat menemukan kitab ini, Kwi Hong!”

“Akan tetapi isinya sukar dimengerti, Kong-kong. Banyak huruf yang tidak kukenal. Bagaimana dapat mempelajarinya kalau banyak huruf tidak dapat diketahui artinya?”

Sin-tung Koai-jin sendiri bukan seorang ahli sastra yang pandai. Ketika dia membuka-buka kitab itu, alisnya berkerut dan harus dia akui bahwa dia bahkan hampir tidak dapat membaca kitab itu.

“Kita tidak boleh memperlihatkan kitab ini kepada sembarang orang, Kwi Hong. Akan tetapi untuk dapat membaca ini, engkau harus menanyakan kepada ahli-ahli sastra kuno yang banyak terdapat di kota raja. Lalu bagaimana baiknya?”

Kwi Hong adalah seorang gadis yang amat cerdik. Setelah berpikir sejenak, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri.

“Aku mempunyai akal, Kong-kong. Aku akan menuliskan semua huruf yang tidak aku kenal dan huruf-huruf itulah yang akan kutanyakan artinya kepada ahli sastra kuno. Dengan demikian dia tidak akan dapat membaca kitab ini, hanya beberapa huruf kuno saja.”

“Bagus! Akalmu itu sungguh cemerlang. Aku akan mencari ahli sastra kuno dan engkau boleh mulai menuliskan huruf-huruf yang tidak kau kenal itu!”

Demikianlah, dengan akal itu, akhirnya Kwi Hong dapat membaca semua isi kitab itu dan dapat mempelajari ilmu pedang pasangan yang amat hebat. Dalam melatih gerakannya yang kadang terasa sukar, dia diberi petunjuk oleh kakeknya dan akhirnya, dalam waktu dua tahun, dara ini berhasil menguasai Ngo-heng Sin-kiam dengan baik. Dengan menguasai ilmu pedang pasangan itu, kakeknya sendiri akan kewalahan menandinginya! Demikian hebatnya ilmu pedang itu dan untuk mengimbangi ilmu pedang itu, kakeknya membuatkan sepasang pedang yang indah dan baik.

Kwi Hong memang manja dan sifatnya agak bengal. Seringkali, setelah menguasai ilmu silat yang cukup mendalam, ia minggat dari istana untuk merantau di dalam bahkan luar kota raja, jauh dari jangkauan para pengawal karena ia merasa tidak leluasa dan tidak senang kalau harus keluar selalu diikuti pengawal yang menjaga keselamatannya!

Tentu saja sebagai seorang gadis yang cantik jelita, ketika keluar seorang diri, banyak pula yang tidak tahu bahwa ia puteri pangeran, berani kurang ajar dan menggodanya. Akan tetapi Kwi Hong merobohkan mereka satu demi satu sehingga namanya menjadi terkenal di kota raja dan daerahnya. Karena ia selalu memakai hiasan burung bangau dari emas di sanggul rambutnya, Ia mendapat julukan “Si Nona Bangau Emas!”

Setelah Kwi Hong berusia tujuh belas tahun dan ia telah menguasai Ngo-heng Sin-kiam, ia mulai minggat lagi dari istana dan kini ia merantau sampai jauh dari kota raja. Bukan saja namanya yang terkenal membuat pria yang hendak mengganggunya menjadi jerih, akan tetapi kini ke manapun ia pergi ada sepasang pedang bersilang di punggungnya, membuat laki-laki yang hendak kurang ajar kepadanya menjadi lebih gentar lagi.

Agaknya cerita yang sering didengar dari kakeknya sebagai seorang pendekar, menumbuhkan jiwa pendekar dalam diri gadis ini. Biarpun ia seorang gadis bangsawan yang seharusnya berada di istana, dihormati dan dilayani, gerak-geriknya lembut dan halus, namun jiwa pendekar bergejolak dalam dirinya dan ia suka pergi tanpa pamit sampai berpekan-pekan, dan selama berada di luaran ia selalu bertindak sebagai pendekar wanita, menentang para penjahat dan membela yang lemah!

Pada suatu hari, Kwi Hong memasuki kota Tung-san, yaitu sebuah kota kecil di sebelah selatan kota raja. Karena merasa perutnya lapar, gadis ini lalu memasuki sebuah rumah makan yang cukup besar. Pada siang hari itu, rumah makan telah dipenuhi para tamu dan hampir semua orang menengok memandang kepada gadis yang baru masuk itu, terutama para tamu pria.






Siapa yang tidak akan menoleh dan terpesona memandang gadis itu. Dalam usianya yang tujuh belas tahun, Kwi Hong memang merupakan seorang dara yang cantik jelita dan manis sekali. Rambutnya hitam sekali, panjang dan halus lebat. Rambut itu digelung ke atas tinggi dan dihias burung bangau emas, di bagian belakang diikat dengan pita merah. Di atas dahinya yang halus mulus itu terdapat anak rambut yang melingkar-lingkar, terutama di depan kedua telinganya. Alisnya seperti dilukis, hitam melengkung, kecil panjang. Anggun sekali.

Sepasang matanya dihias bulu mata yang lentik, dan mata itu sendiri bersinar tajam dan jeli dan jernih, dengan ujung kedua mata itu agak sipit menjungkat ke atas sehingga kalau ia mengerling nampak manis bukan main. Hidungnya kecil mancung, setimpal sekali dengan mulutnya. Mulut itu memang mempesonakan. Mulut yang kecil dengan sepasang bibir yang selalu kemerahan, merah basah dan berkulit tipis penuh. Di kanan kiri mulutnya terdapat lesung pipit yang membuat mulut itu makin menarik.

Sukar dikatakan mana yang lebih mempesonakan. Matanya ataukah mulutnya. Di kedua anggauta muka itulah letak inti daya tarik Kwi Hong. Dagunya runcing dan lehernya panjang putih mulus. Sepasang pipinya yang selalu kemerahan seperti buah tomat walaupun tidak memakai pemerah pipi. Wajah cantik itu hanya dipolesi bedak tipis-tipis saja karena Kwi Hong bukan seorang gadis pesolek.

Pakaiannya juga tidak terlalu mewah bagi seorang puteri istana, walaupun cukup indah. Celana sutera biru tua dan bajunya biru muda, dengan sabuk kuning emas, sepatunya hitam mengkilap. Seorang gadis yang amat menarik hati, akan tetapi juga gagah karena terdapat sepasang pedang melintang di punggungnya. Pedang itulah yang membuat semua mata pria yang memandang tidak memandang langsung, melainkan melirik karena mereka agak gentar melihat pedang di punggung itu. Jelas bahwa gadis jelita itu adalah seorang gadis yang pandai ilmu silat.

Seorang pelayan rumah makan tergopoh menyambut. Hatinya gembira bukan main mendapat kesempatan menyambut tamu yang demikian cantiknya sehingga semua tamu yang lain menaruh perhatian. Dia membungkuk sebagai tanda menghormat dan berkata dengan suara hormat pula.

“Selamat siang, Nona. Silakan, di sudut sana masih ada meja kosong.”

Kwi Hong mengangguk dan tanpa mempedulikan lirikan mata begitu banyak orang ia pun melangkah mengikuti pelayan itu menuju ke meja kosong di sudut kiri rumah makan itu.

Selama ia melakukan perjalanan merantau keluar dari istana, sudah terlalu sering ia melihat pandang mata laki-laki seperti itu. Memang tadinya hal ini amat mengganggu dan membuat ia marah, akan tetapi akhirnya ia mengetahui bahwa hampir semua laki-laki adalah mata keranjang dan tidak dapat melewatkan seorang gadis cantik. Asalkan tidak ada yang mengganggunya dengan ucapan atau perbuatan kurang ajar, kalau hanya pandang mata saja, dara ini tidak lagi mengambil peduli dan pura-pura tidak melihatnya.

Bahkan sedikit banyak ada perasaan bangga di hatinya karena diperhatikan banyak pria itu berarti bahwa dirinya memang cantik jelita dan menarik! Hanya bangga akan diri sendiri, sama sekali bukan senang karena ia tahu bahwa sebagian besar dari mereka itu pandang matanya penuh gairah dan nafsu.

“Nona hendak memesan makanan apa?”

“Beri aku nasi dan panggang ayam, juga masak Sayur jamur dan lidah bebek.”

“Minumnya, Nona? Arak?”

“Tidak, cukup air teh saja.”

“Baik, Nona.” Pelayan itu lalu pergi untuk memenuhi pesanan Kwi Hong.

Tiba-tiba dari meja sebelah terdengar orang berbisik-bisik. Ketika Kwi Hong melirik, dia melihat tiga orang laki-laki berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun saling berbisik dan tersenyum-senyum. Jangan-jangan mereka akan bersikap kurang ajar, pikir Kwi Hong. Akan tetapi ia bersikap tenang saja dan berpura-pura tidak melihatnya.

Akhirnya, benar seperti yang ia duga, seorang di antara mereka yang bertubuh jangkung kurus, bangkit berdiri dan menghampiri, berdiri di depannya dan berkata sambil sedikit membungkuk,

“Nona, makan seorang diri sungguh tidak menyenangkan. Bagaimana kalau Nona kami undang makan bersama kami? Kebetulan kami hanya bertiga, dan meja kami masih dapat menerima seorang lagi. Silakah, Nona. Pesanan Nona biar diantar ke meja kami.”

Kwi Hong mengerutkan alisnya. Seorang pria yang tidak dikenal menegur seorang gadis, apalagi mengundang makan, sudah merupakan hal yang tidak wajar. Akan tetapi karena laki-laki jangkung kurus ini bersikap sopan, ia pun menahan kemarahannya.

“Tidak, terima kasih. Aku ingin makan sendirian saja dan harap jangan mengganggu aku.”

Mendengar jawaban ini, laki-laki tinggi kurus itu hanya senyum-senyum agak malu karena penolakan itu didengar oleh para tamu lain. Akan tetapi seorang di antara kawan-kawannya, yang bertubuh gendut dan bermuka merah karena terlalu banyak minum arak, berkata dengan suara mengejek,

“Aih, nona manis, harap jangan menjual mahal! Kami adalah pemuda-pemuda hartawan yang mampu membayar pesanan makanan apa saja yang Nona sukai!”

Mendengar ucapan kurang ajar ini, sekali melompat Kwi Hong sudah berada di dekat si gendut itu.

“Apa yang kau katakan?” bentaknya.

Laki-laki gendut itu agaknya tidak tahu diri atau dia sudah terlalu mabuk.
“Ha-ha-ha, aku bilang jangan jual mahal, nona manis, aku....”

Tiba-tiba tangan kiri Kwi Hong bergerak menjambak rambut kepala pria itu dan membenamkan mukanya pada panci terisi kuah panas di depannya.

“Haepp....haeppppp....!”

Laki-laki itu gelagapan dan setelah Kwi Hong melepaskan jambakannya, laki-laki itu melonjak-lonjak kepanasan karena mukanya seperti dibakar, matanya tidak dapat dibuka.

Kwi Hong sudah duduk kembali ke depan mejanya. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa dua orang Laki-laki teman si gendut menjadi marah melihat teman mereka diperbuat seperti itu oleh Kwi Hong.

Mula-mula dua orang itu menolong si gendut, mencuci dan membersihkan mukanya yang menjadi semakin merah seperti udang direbus dan ketika dia sudah mampu membuka matanya, kedua matanya menjadi sipit dan kemerahan. Kemudian dua orang itu meloncat ke depan meja Kwi Hong dengan sikap marah.

“Nona, engkau kejam sekali! Berani engkau menghina kami? Kami adalah murid-murid dari Pek-houw Bu-koan (Perguruan Silat Harimau Putih)!”

Melihat kedua orang itu kini nampaknya marah kepadanya, Kwi Hong tersenyum mengejek.

“Tidak peduli kalian dari perguruan Harimau Putih atau Harimau Belang, siapa berani menghinaku pasti akan kuhajar! Masih untung aku tidak menghancurkan mulutnya!”

“Engkau sombong!” kata orang yang tubuhnya pendek besar dan dia sudah mengayun tangannya untuk menampar muka Kwi Hong.

Akan tetapi Kwi Hong sudah mengelak sambil duduk dan sekali kakinya menendang, orang itu pun terjengkang dan mengaduh karena perutnya tiba-tiba menjadi mulas terkena tendangan ujung kaki yang bersepatu hitam itu.

Si tinggi kurus kini menerjang maju dengan kedua tangannya, agaknya hendak menangkap Kwi Hong. Akan tetapi Kwi Hong tetap duduk di atas kursinya dan ketika kedua tangan itu datang ia sudah menggerakkan kedua tangannya menotok ke arah pergelangan tangan, lalu kembali kakinya menendang ke depan. Si tinggi kurus merasa betapa kedua tangannya tiba-tiba menjadi kaku dan sebelum dia sempat mengelak, tahu-tahu kaki gadis itu sudah menendangnya dan dia pun terjengkang ke belakang seperti si pendek besar.

Kini si gendut sudah dapat bangkit. Dia menghunus sebatang pedang dari atas meja, akan tetapi sebelum dia sempat bergerak, Kwi Hong sudah menyambar sebatang sumpit dan sekali sambit, pemuda gendut itu mengaduh-aduh dan pedangnya jatuh ke lantai. Ternyata lengan kanannya sudah ditembusi sumpit itu!

Dua orang kawannya terkejut, akan tetapi sebelum mereka mencabut pedang, Kwi Hong menggertak,

“Kalau kalian nekat, sumpit-sumpit ini akan menembus jantung kalian!”

Berkata demikian, dia melemparkan sumpit ke arah tembok dan dua batang sumpit itu menancap sampai setengah lebih ke dalam tembok! Melihat ini, dua orang itu terbelalak dan tidak jadi mencabut pedang mereka, lalu menarik kawan si gendut yang terluka dan larl dari rumah makan itu. Terdengar teriakan si gendut.

“Nona kejam, kalau engkau memang gagah, tunggu pembalasanku!”

Akan tetapi Kwi Hong duduk kembali seolah tidak ada terjadi sesuatu dan ketika hidangan yang dipesannya tiba, ia segera makan dengan sikap tenang sekali. Para tamu lain yang menyaksikan peristiwa itu, segera bicara sendiri membicarakan gadis yang mereka anggap hebat luar biasa itu.

Semua orang di Tung-san mengenal siapa murid-murid perguruan Harimau Putih yang suka bersikap ugal-ugalan mengandalkan perguruan mereka yang memiliki banyak murid dan guru mereka yang terkenal dengan julukan Pek-houw-eng (Pendekar Harimau Putih)? Tidak ada yang berani menentang mereka. Para murid itu bukan orang-orang jahat dan tidak pernah melakukan kejahatan, hanya sikap mereka ingin menang sendiri saja dan tidak mau ditentang, seolah mereka yang menguasai kota Tung-san.

Tidak jauh dari situ, di tengah-tengah itu, sejak tadi seorang pemuda memperhatikan peristiwa itu dan melihat betapa gadis itu menghajar tiga orang tadi, dia tersenyum-senyum puas. Pemuda itu seorang pemuda yang berusia antara dua puluh atau dua puluh satu tahun. Pakaiannya sederhana, akan tetapi wajahnya tampan dan gagah. Tubuhnya sedang saja, matanya lebar, hidung mancung dan mulutnya ramah selalu dihias senyum. Dagunya agak berlekuk sehingga menambah kejantanannya. Siapakah pemuda gagah tampan sederhana ini? Dia bukan lain adalah Tao Keng Han.

Seperti kita ketahui, Keng Han terjebak di pulau kosong, tidak dapat meninggalkan pulau karena tidak ada perahu. Akan tetapi dia pun tidak ingin meninggalkan pulau itu sebelum dia menguasai ilmu-ilmu Pusaka Pulau Es yang dia temukan tergores pada dinding sebuah ruangan bawah tanah. Dia melatih diri dengan Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, dua tenaga sakti yang sifatnya panas dan dingin, dan dia dapat menguasai ilmu ini karena dalam tubuhnya sudah terdapat kekuatan dahsyat yang sifatnya dingin dan panas itu.

Dengan menguasai dua ilmu sinkang itu, dia kini dapat mengendalikan dua tenaga sakti dalam tubuhnya. Hampir tiga tahun dia hanya melatih diri dengan dua ilmu pengerahan tenaga sakti ini. Setelah dia berhasil baik, barulah dia melatih dua ilmu silat yang terdapat di dinding itu, yaitu ilmu silat Toat-beng Bian-kun yang sifatnya lemas namun mengandung kekuatan dahsyat sekali dan kedua adalah Hong In Bun-hoat yang halus dan nampak indah seperti orang menari sambil menuliskan huruf, akan tetapi mengandung daya serangan yang luar biasa hebatnya. Dua tahun dia menghabiskan waktu untuk melatih ilmu ini dengan baik sehingga tanpa terasa lagi dia sudah lima tahun tinggal di Pulau Hantu itu.

Setelah dia menguasai semua ilmu itu, dia lalu menggunakan sebatang golok untuk merusak dinding itu sehingga coretan huruf-huruf itu lenyap dan rusak. Dia tidak ingin ilmu itu kelak dipelajari orang lain, apalagi dipelajari orang jahat. Ilmu itu terlalu hebat dan kalau terjatuh ke tangan orang jahat tentu akan membahayakan dunia.

Selama lima tahun, dia hanya makan jamur laut, Ikan laut, dan daging ular serta sayur-sayuran aneh dan buah-buahan aneh pula. Tanpa disadarinya sendiri, makanan yang dimakannya selama lima tahun itu memberinya kekuatan yang hebat pula. Dia tidak menyadari bahwa dia kini telah menjadi seorang pemuda yang memiliki kekuatan yang amat dahsyat!

Kini, setelah semua ilmu habis dipelajari timbul keinginannya untuk meninggalkan pulau itu. Dia lalu menggunakan golok menebang pohon yang cukup besar, dan membuat perahu sedapatnya sehingga jadilah sebuah perahu kecil yang sederhana sekali. Untuk layarnya, dia menggunakan kain-kain sutera yang dulu dikumpulkan dari milik para perampok. Juga dia membuat dayung dari kayu. Setelah perahu itu jadi, Keng Han lalu membawa pakaian yang dibuatnya sendiri, dan mulailah dia berlayar meninggalkan pulau itu.

Ketika dia mendorong perahu itu ke air, beberapa ekor ular merah menyerangnya, akan tetapi sambil tertawa dia menggunakan tangannya menyampok ular-ular itu yang baginya kini sama sekali tidak berbahaya lagi. Bahkan biasanya ular-ular itu dia tangkapi untuk dimasak dagingnya!

Demikianlah, setelah berhasil mendarat di pantai, meninggalkan pulau itu dengan selamat, mulailah Keng Han melakukan perjalanan, menuju ke kota raja. Dia hendak mencari ayahnya!

Dan dalam perjalanan inilah dia tiba di kota Tung-san. Ketika dia mendarat, dia segera membuat pakaian yang biasa, membeli dari toko dan untuk itu dia memiliki banyak emas dan perak. Segera dia berganti pakaian dan membuang pakaian buatan sendiri yang amat sederhana seperti jubah pendeta itu. Selama dalam perjalanan, dia tidak pernah mengalami gangguan karena penampilannya sebagai pemuda biasa dan sederhana.

Ketika dia lapar dan memasuki rumah makan di Tung-san itu, dia menyaksikan peristiwa yang terjadi di antara gadis cantik jelita itu yang menghajar tiga orang pemuda berandalan dan dia tersenyum kagum. Jarang ada gadis yang demikian pemberani dan lihai pula, apalagi gadis itu agaknya puteri seorang bangsawan atau hartawan, melihat dari pakaiannya. Keng Han menjadi kagum, akan tetapi tidak seperti para pria lain, dia menyembunyikan kekagumanya dan dengan hati geli mendengar betapa orang-orang di beberapa meja itu saling berbisik memuji-muji kelihaian dan kecantikan gadis itu.

Akan tetapi pemilik rumah makan merasa khawatir sekali, bukan saja khawatir akan keselamatan gadis itu, juga terutama sekali khawatir kalau-kalau rumah makannya akan menjadi medan pertempuran sehingga akan merugikan isi rumah makan dan membikin takut para langganannya. Dia tidak ingin terjadi pertempuran besar di situ, apalagi sampai pembunuhan. Maka dia segera menghampiri Kwi Hong yang sedang makan dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangannya ke depan dada.

“Maafkan kalau saya mengganggu Nona yang sedang makan.” katanya dengan jerih.

Kwi Hong yang sedang makan itu mengerutkan alisnya dan menoleh sedikit ke arah orang itu.

“Engkau mau apa?” tanyanya tak senang.

“Maafkan, Nona. Akan tetapi Nona agaknya tidak tahu. Pek-houw Bu-koan itu adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang besar dan berpengaruh sekali di kota ini. Nona telah memukul tiga orang murid mereka. Tentu mereka itu akan datang membalas dendam kepadamu, oleh karena itu saya anjurkan Nona segera meninggalkan tempat ini dan pergi sebelum terlambat.”

“Aku tidak takut! Biar mereka semua datang, kalau, berani menggangguku, akan kuberi hajaran satu demi satu!” kata Kwi Hong.

“Akan tetapi, Nona. Kalau terjadi perkelahian di sini bagaimana dengan rumah makanku ini? Tentu akan hancur berantakan dan para langgananku akan berlarian meninggalkan rumah makanku. Aku akan menderita kerugian besar.”

Pemilik rumah makan itu hampir menangis. Baginya, yang terpenting adalah keselamatan rumah makannya.

“Hemmm, Jadi engkau pemilik rumah makan ini? Jangan khawatir, kalau terjadi kerusakan, aku akan memaksa mereka untuk mengganti semua kerugianmu, atau aku sendiri yang akan menggantinya. Sekarang, pergilah dan jangan ganggu aku yang sedang makan!”

Kwi Hong melanjutkan makannya dan pemilik rumah makan itu tidak berani bicara lagi melainkan pergi dengan muka pucat dan wajah penuh kekhawatiran. Kembali Keng Han yang mendengarkan semua itu, tersenyum kagum. Gadis yang tabah luar biasa dan juga bertanggung jawab. Sungguh seorang gadis yang memiliki kepribadian yang kuat dan berwibawa. Ingin dia melihat kelanjutan peristiwa itu dan kalau memang diperlukan, dia siap membantu gadis itu.

Kwi Hong makan dengan tenang saja, padahal tentu saja, ia tahu bahwa ucapan pemilik rumah makan itu bukan hanya kosong belaka dan memang besar sekali kemungkinan tiga orang tadi akan mengundang kawan-kawan mereka bahkan guru mereka.

Akan tetapi sedikit pun ia tidak merasa gentar, bahkan ia mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada Pek-houw Bu-koan kalau benar mereka itu hendak membela tiga orang muda yang kurang ajar tadi.

Kekhawatiran pemilik rumah itu ternyata terbukti benar. Serombongan orang terdiri dari tiga puluh orang lebih mendatangi rumah makan itu, dipimpin oleh seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang mengenakan pakaian serba putih. Itulah guru silat Pek-houw Bu-koan yang berjuluk Pendekar Harimau Putih!

Melihat ini, pemilik rumah makan lalu berlari keluar dan berlutut di depan kaki orang berpakaian putih itu.

“Teng kauwsu (Guru Silat Teng), mohon di kasihani, harap jangan berkelahi di dalam rumah makan kami dan menghancurkan segalanya. Kami sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa tadi dan kami sama sekali tidak bersalah.”

Guru silat yang berjuluk Pek-houw-eng dan menjadi kepala dari Pek-houw Bu-koan itu. mendengus.

“Hemmm, mana perempuan yang telah menghina murid-murid kami itu?”

“Ia masih makan di dalam, Teng-kauwsu. Akan tetapi harap Kauwsu suka bersabar dan menanti sampai ia keluar. Kasihanilah tamu-tamu lain yang tidak bersalah dan jangan merusak rumah makan kami.”

“Hemmm, baiklah. Hei, kalian jaga di empat sudut, jangan biarkan perempuan itu meloloskan diri!” perintahnya kepada anak buahnya dan dia sendiri menjaga di depan pintu pekarangan rumah makan itu.

Para tamu lain yang melihat kedatangan rombongan itu, menjadi ketakutan. Mereka segera membayar harga makanan dan bergegas meninggalkan tempat itu, takut, terlibat.

Kwi Hong melihat hal ini, akan tetapi ia tetap tenang. dan melanjutkan makannya. Ia melihat semua tamu telah pergi, kecuali seorang pemuda berpakaian sederhana yang duduk di meja tengah ruangan itu. Ia tidak peduli. Setelah selesai makan, Ia menyeka mulutnya dan memanggil pelayan. Dengan sikap seenaknya ia membayar harga makanan, barulah ia melenggang keluar dari rumah makan itu.

Keng Han mengikutinya dengan pandang mata dan akhirnya dia membayar pula harga makanan dan menyelinap keluar.

Karena memang sudah dinanti, begitu keluar dari rumah makan yang sudah sunyi itu, Kwi Hong telah datang dihadang oleh Pek-houw-eng Teng Coan bersama tiga puluh orang muridnya!

Guru silat itu tercengang juga. Tak disangkanya bahwa perempuan yang telah menghina dan menghajar tiga orang muridnya itu adalah seorang gadis yang cantik jelita dan masih remaja! Paling banyak tujuh belas tahun usianya! Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia harus tetap menjaga nama dan kehormatan Pek-houw Bu-koan!

“Nona, berhenti dulu!”

Bentak Teng Coan ketika melihat Kwi Hong melangkah terus tanpa mempedulikan dia dan para muridnya, dan sengaja dia menghadang di depan gadis itu.

Kwi Hong mengangkat muka memandang seolah baru sekarang ia melihat ada orang menghadangnya.