Ads

Sabtu, 07 Mei 2016

Si Tangan Sakti Jilid 043

“Giok-moi.... kenapa engkau menangis.?”

Suara yang lembut dan sentuhan halus pada pundaknya membuat Kim Giok terkejut. Ia bangkit duduk dan melihat Seng Bu sudah duduk di tepi pembaringannya, dan kini pemuda itu merangkul pundaknya.

“Koko.... aku.... aku merasa gelisah sekali.”

Seng Bu menarik gadis itu ke dadanya dan mengelus rambutnya yang halus.
“Giok-moi tersayang, kenapa engkau gelisah? Bukankah di sini ada aku yang selalu siap untuk melindungimu dan membahagiakan hatimu?” Dia mengusap dahi gadis itu dengan bibirnya. “Apakah yang telah terjadi, sayangku.”

“Koko, betapa hatiku tidak akan gelisah dan risau? Ketika aku mencoba untuk membujuk Sian Li dan Hui Eng, aku hanya mendapat teguran, ejekan dan penghinaan. Ketika aku menemui tawanan baru itu, ternyata pemuda itu adalah twako Gak Ciang Hun, dan aku pun di sana menerima celaan dan makian. Ahhh, Koko, sungguh aku merasa malu dan bersedih sekali.”

“Kalau begitu, biar kuhajar mereka, kusiksa mereka yang berani menghina dan mengejekmu!”

Kim Giok memegang lengan pemuda itu.
“Jangan, Koko! Bukan begitu maksudku. Aku gelisah dan risau karena aku merasa bimbang. Kenapa mereka menolak berjuang bersama kita? Mengapa mereka menganggap engkau bersalah dan jahat?”

Rangkulan Seng Bu semakin erat, dan dia berbisik dekat telinga gadis itu.
“Giok-moi, apakah engkau tidak percaya kepadaku? Tentu saja mereka memusuhiku karena mereka semua itu memihak Yo Han, tidak tahu bahwa Yo Han telah berubah, telah membunuhi para pemimpin Thian-li-pang, bahkan hampir saja membunuhku. Engkau tahu sendiri betapa aku hampir mati, Giok-moi. Kalau engkau pun seperti mereka, tidak percaya kepadaku, habislah sudah harapan hidupku. Engkaulah satu-satunya orang yang memberi harapan kepadaku. Biar seluruh manusia di dunia ini tidak percaya kepadaku dan memusuhiku, akan kuhadapi dan kulawan mereka yang memusuhiku!”

“Koko....” Kim Giok yang kurang pengalaman itu terbuai oleh kemesraan kata-kata yang diucapkan Seng Bu. “Aku akan selalu berpihak padamu, membelamu dan setia kepadamu.”

“Terima kasih, Giok-moi, aku cinta padamu, Giok-moi, aku cinta padamu sepenuh jiwa ragaku.”

Ucapan ini menggetar penuh perasaan dan baru saat itulah Seng Bu benar-benar bicara dari lubuk hatinya. Memang dia jatuh cinta kepada Kim Giok, walaupun cintanya bergelimang nafsu berahi, cintanya timbul karena baginya, tidak ada gadis yang lebih cantik menggairahkan daripada Kim Giok. Dengan tubuh gemetar, dia mendekap dan mencium pipi dan bibir gadis itu.

Kim Giok agak terkejut dan ia dengan halus melepaskan diri dari rangkulan. Ia sendiri kalau mau jujur, merasa senang dengan perlakuan penuh kemesraan itu, akan tetapi karena hatinya memang sedang risau, ia pun tidak ingin melanjutkan kemesraan yang membuat jantungnya berdebar keras itu.

“Koko, aku ingin bicara padamu.”

Seng Bu tersenyum.
“Ehhh? Bukankah sudah sejak tadi kita bicara?”

Dia hendak merangkul lagi akan tetapi Kim Giok menolak dengan tangannya.
“Aku tidak main-main dan harap engkau bersungguh-sungguh, Bu-ko. Aku minta kepadamu agar engkau suka membebaskan mereka bertiga, yaitu Sian Li, enci Hui Eng, dan Gak-twako. Kalau engkau tidak membebaskan mereka, hatiku akan selalu merasa risau. Maukah engkau, Koko?”

Seng Bu mengerutkan alisnya dan sejenak dia menatap wajah kekasihnya. penuh selidik.

“Giok-moi, tidak salahkah apa yang kudengar ini? Engkau minta kepadaku agar aku membebaskan orang-orang yang memusuhi aku dan yang hendak membunuhku?” Dia tersenyum, akan tetapi senyumnya masam. “Itu berarti melepaskan tiga ekor harimau yang akan selalu mengancam keselamatanku, keselamatan kita, bahkan akan menggagalkan usaha perjuangan kita. Itukah yang kau kehendaki.”

“Tentu saja tidak, Koko. Aku akan mengajukan syarat kepada mereka, kuminta mereka berjanji tidak memusuhimu kalau kita bebaskan mereka.”

“Itu berbahaya sekali, Giok-moi. Ingat, masih ada seorang lagi dari mereka yang lolos, yaitu Pangeran Cia Sun. Dia merupakan ancaman besar bagi kita selama dia masih belum tertangkap. Setelah dia tertawan, baru kita bicarakan lagi tentang permintaanmu itu. Percayalah padaku, Giok-moi. Bukankah selama ini aku tidak pernah berbohong kepadamu dan kuperintahkan anak buah kita agar memperlakukan para tawanan itu dengan baik?”

Kembali Seng Bu meraih dan merangkul, hendak mencium dan hendak merebahkan gadis itu ke atas pembaringan. Kim Giok meronta dan melepaskan diri, meloncat turun dari pembaringan, memandang kepada kekasihnya dengan alis berkerut.

“Koko, apa yang kau lakukan ini?”

“Giok-moi, kita saling mencinta dan aku tahu, aku selalu sibuk dengan pekerjaan ini. Aku.... aku ingin.... memiliki dirimu sepenuhnya. Giok-moi.”

Pemuda itu hendak merangkul lagi, akan tetapi Kim Giok melangkah mundur menghindar.

“Bu-ko, kita tidak boleh kita belum menikah!”

“Giok-moi, kasihanilah aku. Kita pasti akan menikah, akan tetapi aku harus meminangmu dulu kepada orang tuamu dan hal itu akan makan waktu lama. Aku ingin memiliki dirimu sepenuhnya, sekarang....”

“Tidak, aku tidak mau!”






“Giok-moi.!”

Seng Bu menjulurkan kedua tangannya, akan tetapi Kim Giok meloncat keluar dari dalam kamar itu, dikejar kekasihnya. Sebetulnya, Seng Bu bukanlah seorang pemuda yang gila wanita, bukan pula hamba nafsu berahi. Akan tetapi, dia sungguh-sungguh jatuh cinta kepada Kim Giok dan dia takut kehilangan gadis itu yang agaknya kini meragu dan bahkan minta agar para tawanan dibebaskan.

Kalau dia dapat menggauli Kim Giok sekarang, tentu gadis itu terikat kepadanya dan tidak akan lepas lagi dari tangannya, bahkan akan lebih kuat dan patuh kepadanya. Karena itu, sikapnya sekarang seperti hendak memaksa Kim Giok menyerahkan diri lebih dipengaruhi perhitungan yang menguntungkan dirinya daripada sekedar terseret nafsu berahi.

Kim Giok berlari keluar dari bangunan itu, dikejar oleh Seng Bu yang tentu saja tidak hendak berlaku kasar, hanya mengejar untuk membujuk kekasihnya.

“Giok-moi, tunggu....!” serunya sambil tertawa karena merasa betapa kekasihnya itu seperti mengajaknya bermain kejar-kejaran seperti kanak-kanak saja.

Pada saat itu, terdengar suara terompet dan tambur, disusul kegaduhan luar biasa di bawah puncak. Beberapa orang anak buah Thian-li-pang berlari-larian dan ketika Kim Giok dan Seng Bu yang berhenti berlari memandang, nampak Kui Thian-cu, Im Yang-ji dan Siangkoan Kok datang pula berlarian.

“Ah, celaka, Pangcu!” kata Im Yang-ji dengan muka pucat. Tosu Pat-kwa-pai yang tinggi kurus ini nampak gugup.

“Apa yang terjadi? Kenapa kalian begitu panik?” Seng Bu bertanya.

“Pangcu, pasukan besar pemerintah telah mengepung kita dari empat penjuru!” kata pula Im Yang-ji.

“Jahanam!”

Seng Bu berseru marah dan matanya mulai mencorong aneh sehingga Kim Giok yang melihatnya menjadi terkejut. Dalam keadaan marah seperti itu, Seng Bu seolah telah berubah, wajahnya bengis, pandang matanya mencorong dan otaknya mendadak saja menjadi cerdik dan licik sekali.

“Im Yang-ji Totiang, dan Kui Thian-cu Totiang, kalian cepat atur pasukan kalian masing-masing menyambut musuh dari sayap kanan dan kiri. Dan engkau, paman Siangkoan, cepat atur barisan Thian-li-pang kita, bagi menjadi dua untuk mempertahankan depan dan belakang. Aku akan menangkap para tawanan untuk dijadikan sandera, karena aku yakin Pangeran Cia Sun berdiri di belakang penyerbuan ini!”

Tiga orang pembantu itu segera pergi melakukan perintah dan Seng Bu hendak berlari masuk, agaknya sudah lupa sama sekali kepada Kim Giok.

“Koko, jangan!” Kim Giok melompat dan gadis ini sudah berdiri menghadang Seng Bu.

“Giok-moi, minggirlah kau!” bentak Seng Bu marah, matanya yang mencorong itu sama sekali sudah tidak mengandung sinar kasih sayang, melainkan kebengisan dan kemarahan.

“Tidak, Bu-koko! Engkau tidak boleh membuat mereka bertiga menjadi sandera. Bahkan setelah pasukan pemerintah menyerang, jelas bahwa mereka tidak mempunyai hubungan dengan itu karena mereka berada di sini sebagai tawanan, maka kita sudah seharusnya membebaskan mereka sekarang juga. Mungkin mereka akan menyadari dan membantu kita untuk melawan pasukan pemerintah.”

“Minggir, Giok-moi! Kalau mereka tidak boleh dijadikan sandera, mereka bahkan harus dibunuh agar berkurang musuh kita.”

“Bu-ko, musuh kita adalah penjajah Mancu, bukan anggauta keluarga besar para pendekar!” kata Cu Kim Giok dan kini Koai-liong-pokiam telah terhunus di tangannya. “Aku tidak memperkenankan siapapun membunuh para tawanan itu!”

Mendengar ini, tiba-tiba Ouw Seng Bu tertawa, dan suara tawanya sungguh mendirikan bulu roma, mengerikan.

“Haha-ha-ha-ha, kiranya engkau pun kini menjadi musuhku, Giok-moi? Engkau kucinta sepenuh jiwa ragaku, engkau pun memusuhi aku? Engkau tega sekali, Giokmoi.” dan laki-laki ini pun menangis!

Kim Giok sampai menjadi bengong dan baru sekarang ia dapat menduga bahwa pria yang dicintanya ini adalah seorang yang miring otaknya.

“Ha-ha-ha,” Seng Bu tertawa lagi. “Engkau hendak membela mereka?” Dia pun berteriak kepada sekelompok anak buahnya yang berlari dekat. “Heiii, kalian! Cepat suruh bakar tempat tahanan. Sekarang juga, cepat!”

“Baik, Pangcu!” sahut mereka dan mereka pun berlarian ke arah rumah tahanan.

“Tidaaak, jangan....!”

Kim Giok melompat ke depan untuk mengejar dan mencegah anak buah Thian-li-pang itu melakukan pembakaran.

“Cu Kim Giok, engkau musuh kami!” terdengar bentakan Seng Bu dan dia pun sudah meloncat lalu langsung mengirim pukulan ketika tubuhnya dan tubuh Kim Giok masih melayang di udara.

Karena tidak menduga bahwa pria yang dikasihinya itu akan menyerangnya, juga karena serangan aneh itu datangnya amat cepat, membawa angin dingin, maka biarpun Kim Giok berusaha melakukan gerakan poksai (salto) untuk menghindar, tetap saja lambungnya terkena pukulan itu.

“Aughhh....!”

Kim Giok mengeluh dan tubuhnya terkulai, jatuh ke atas tanah. Ia rebah miring dan merasa betapa lambungnya seperti dimasuki benda dingin sekali, seperti sebongkah air beku dan dadanya sesak, pandang matanya berkunang.

“Giok-moi.... kekasihku.... Giok-moi....!”

Seng Bu menangis dan dia menghampiri tubuh yang roboh miring itu. Akan tetap pada saat itu, terdengar suara yang membuat Seng Bu terkejut seperti disengat binatang berbisa dan tengkuknya terasa dingin dan tebal saking ngeri dan takutnya.

“Ouw Seng Bu, pengkhianat keji manusia berhati iblis!”

Suara Yo Han. Cepat Seng Bu membalikkan tubuhnya dan dia sudah berhadapan dengan Yo Han! Dia merasa seperti dalam mimpi dan menatap wajah Yo Han dengan mata terbelalak. Apalagi mendengar suara gaduh pertempuran yang menunjukkan bahwa pasukan pemerintah sudah menyerbu ke dalam perkampungan Thian-li-pang.

Sementara itu, Kim Giok mengangkat mukanya dan ia terbelalak melihat api telah membakar rumah tahanan. Melihat api mulai berkobar, seakan timbul semangat dan kekhawatirannya. Ia meloncat dan dengan pedang di tangan, ia seperti melupakan rasa nyeri di lambungnya. Ia berlari menuju ke rumah tahanan itu, tidak mempedulikan lagi kepada Seng Bu.

Setelah tiba di dekat rumah tahanan itu, dia melihat beberapa orang anggauta Thian-li-pang sedang membakar bagian samping rumah tahanan yang sudah mulai berkobar. Dengan marah Kim Giok menggerakkan pedangnya dan empat orang anggauta Thian-li-pang roboh. Dua orang lagi yang menjadi terkejut melihat tunangan ketua mereka mengamuk, tahu bahwa calon nyonya ketua itu kini menjadi musuh.

Mereka menggerakkan golok, akan tetapi mereka pun segera terpelanting mandi darah, menjadi korban pedang Koai-liong Po-kiam di tangan gadis dari Lembah Naga Siluman itu. Kim Giok tidak mempedulikan berkobarnya api, dengan cepat ia meloncat masuk, menyelinap dan berlari menuju ke kamar tahanan.

Ia melihat betapa Sian Li dan Hui Eng telah dapat mematahkan rantai yang membelenggu kaki tangan mereka dan mereka berdua kini sedang berusaha sekuat tenaga untuk menjebol jeruji baja dengan menarik dan membetot-betot, namun agaknya usaha ini tidak akan membawa hasil. Juga di bagian ujung sana, di mana Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang tosu ditahan, terdengar suara gaduh ketika mereka mendorong-dorong pintu baja kamar tahanan mereka.

Dengan sisa tenaga terakhir, Kim Giok menyambut empat orang anggauta Thian-li-pang yang agaknya hendak meninggalkan ruangan yang mulai terbakar itu. Mereka adalah para penjaga sebelah dalam dan ia tahu bahwa kunci kamar-kamar tahanan itu pasti berada di tangan mereka. Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar dan robohlah empat orang itu.

Kim Giok memeriksa pakaian mereka dan menemukan gelang besi yang digantungi beberapa buah kunci. Cepat ia menghampiri kamar tahanan di mana Sian Li dan Hui Eng sejak tadi memandangnya dengan sinar mata penuh harapan dan kegembiraan. Tentu saja mereka berdua merasa gembira sekali bahwa pada saat terakhir, ternyata Kim Giok menunjukkan bahwa ia tetap seorang puteri sepasang pendekar dari Lembah Naga Siluman yang gagah perkasa!

Setelah Kim Giok berhasil membuka kunci pintu dan menarik daun pintu baja terbuka, ia pun terhuyung. Ia menyerahkan gelang kunci kepada Sian Li sambil berpegang kepada jeruji.

“Cepat.... bebaskan mereka.... di ujung sana....!” Dan ia pun terkulai roboh.

“Kim Giok....!” Sian Li berseru dan cepat merangkulnya. Kepada Hui Eng ia berkata, “Enci Eng, cepat bebaskan tawanan di ujung sana, bahkan kalau masih ada yang lain, bebaskan mereka semua.”

Hui Eng menerima kunci dan tak lama kemudian ia sudah membuka pintu kamar tahanan di mana Ciang Hun dan lain-lain dikeram. Sian Li masih memeriksa keadaan Kim Giok dan terkejutlah ia ketika melihat lambung gadis itu terdapat tanda menghitam dan sekali raba saja tahulah ia bahwa isi perut gadis itu telah menderita luka yang agaknya tidak mungkin disembuhkan lagi.

“Kim Giok....!”

Ia merangkul, penuh keharuan. Biarpun gadis yang terluka parah itu tidak menerangkan, Sian Li sudah dapat menduga bahwa tentu Kim Giok terpukul oleh Ouw Seng Bu ketika gadis ini nekat hendak membebaskan ia dan Hui Eng. Hanya yang membuat ia heran, bagaimana Kim Giok tetap masih dapat membebaskannya, padahal pukulan itu saja merupakan pukulan maut yang mematikan.

“Sian Li.... mintakan ampun.... kepada ayah ibu.” Kim Giok mengeluh dan terkulai.

“Sian Li, cepat kita harus meninggalkan tempat ini. Kebakaran mulai membesar dan sebentar lagi tidak akan ada jalan keluar,” kata Hui Eng yang datang bersama Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang tosu Bu-tong-pai.

Sian Li memandang dan Ciang Hun juga berkata,
“Benar, adik Sian Li, kita harus cepat pergi. Ah, bukankah itu adik Cu Kim Giok? Kenapa ia?”

Sian Li menjawab dengan suara gemetar,
“Gak-twako....tanpa pertolongan Kim Giok, kita semua akan hangus dan mati terbakar. Ia yang menolong kita membukakan pintu tahanan dan ia.... ia telah tewas. Mari, bantu aku membawanya keluar, Twako.”

Tanpa diminta untuk kedua kalinya, Ciang Hun sudah mengangkat tubuh yang masih hangat dan lemas itu, memondong dan membawanya ke luar bersama yang lain. Melihat diluar sudah terjadi pertempuran hebat antara anak buah Thianli-pang melawan pasukan pemerintah yang menyerbu masuk, Sian Li menyerahkan jenazah Kim Giok agar ditunggu oleh lima orang tosu Bu-tong-pai yang masih menderita luka-luka, sedangkan ia sendiri bersama Hui Eng, Ciang Hun dan Bi Kim lalu mengamuk, membantu pasukan menyerbu para anggauta Thian-li-pang sehingga mereka itu cerai-berai dan banyak yang jatuh.

“Aku harus mencari Seng Bu!” teriak Sian Li dengan marah.

“Aku akan mencari Siangkoan Kok!” kata pula Hui Eng.

Akan tetapi, mereka melihat Siangkoan Kok dan dua orang tosu pembantu, yaitu Im Yang-ji tokoh Pat-kwa-pai dan Kui Thian-cu tokoh Pek-lian-kauw, mengamuk dan membuat para perajurit dan perwira yang mengeroyok menjadi kocar-kocir dan banyak perajurit yang roboh.

Hui Eng yang melihat Siangkoan Kok mengamuk, segera mencabut pedangnya dan menyerang bekas ayah angkatnya, juga gurunya itu. Memang Ouw Seng Bu tidak merampas senjata para tawanan itu sehingga kini mereka dapat mempergunakan senjata masing-masing.

Melihat gadis itu nekat menyerang bekas ketua Pao-beng-pai yang lihai itu, Sian Li merasa khawatir dan ia pun sudah menerjang maju membantu Hui Eng mengeroyok Siangkoan Kok.

Adapun Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim sudah membantu para perwira dan perajurit yang mengeroyok dua orang tosu dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw.

Siangkoan Kok yang terkejut sekali melihat para tawanan sudah lolos, terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi dua orang gadis yang tangguh itu. Tingkat kepandaian bekas puteri dan muridnya itu sudah hampir menyusulnya, sedangkan Si Bangau Merah juga merupakan seorang wanita yang amat lihai, maka dia pun harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk membela diri.

Jumlah pasukan yang menyerbu amatlah banyaknya sehingga orang-orang Thian-li-pang menjadi kewalahan dan terdesak hebat. Tiba-tiba muncul Cia Sun yang memimpin sebuah regu perajurit pilihan dan melihat betapa kekasihnya sudah bertanding melawan Siangkoan Kok dibantu Tan Sian Li, dia pun segera memerintahkan para perwira dan perajurit yang memiliki kepandaian untuk ikut pula mengeroyok.

Pertandingan berat sebelah itu tidak berlangsung terlalu lama. Biarpun mereka bertiga berhasil merobohkan banyak perajurit, namun Siangkoan Kok, Im Yang-ji, dan Kui Thian-cu setelah menderita banyak luka-luka, akhirnya roboh. Siangkoan Kok tewas dengan dada tertembus pedang di tangan Hui Eng. Im Yang-ji dan Kui Thian-cu juga tewas dengan tubuh penuh luka.

Cia Sun gembira sekali melihat Hui Eng selamat.
“Adik Sian Li, di sana ku lihat kakak Yo Han sedang bertanding melawan Ouw Seng Bu.”

Sian Li mengeluarkan suara seperti sorak gembira mendengar ini dan ia pun berlari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Cia Sun diikuti oleh yang lain. Setelah tiba di tempat yang dimaksudkan, mereka tertegun menyaksikan sebuah pertandingan yang luar biasa hebatnya. Ketika ada yang hendak bergerak membantu Yo Han, Sian Li cepat berkata,

“Jangan ada yang bergerak, Han-koko tidak akan kalah dan dia tidak senang kalau dibantu dengan pengeroyokan.”

Mendengar ucapan ini, semua orang maklum dan mereka menonton dengan kagum dan juga tegang, kecuali Sian Li yang percaya sepenuhnya bahwa kekasih hatinya tidak akan kalah.

Pertemuan antara Yo Han dan Ouw Seng Bu tentu saja membuat ketua Thianli-pang itu terkejut setengah mati. Wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak, akan tetapi perlahan-lahan wajah itu berubah merah dan matanya menjadi mencorong liar penuh kebencian dan kemarahan.

“Kau....???!!”

Seng Bu berseru dan suaranya terdengar dingin dan tajam menggiris jantung, mulutnya kini membentuk senyum menyeringai yang amat bengis. Yo Han sendiri merasa bulu tengkuknya berdiri. Orang ini tidak waras, pikirnya.

“Ouw Seng Bu, kenapa engkau membunuh Lauw Pangcu dan para pimpinan Thian-li-pang?”

Seng Bu merasa tidak perlu lagi merahasiakan semua perbuatannya dan dia tertawa.
”Ha-ha-ha, mereka itu tidak ada gunanya, membuat Thian-li-pang menjadi lemah saja. Thian-li-pang harus menjadi yang terkuat, harus dapat mengajak seluruh kekuatan untuk menghancurkan penjajah Mancu. Mereka itu orang-orang lemah!”

“Ouw Seng Bu, engkau membunuh mereka dan menguasai Thian-li-pang, bukan demi perjuangan melainkan untuk mencari kedudukan tinggi. Engkau bersekutu dengan golongan sesat, engkau membiarkan anak buah Thian-li-pang melakukan perbuatan jahat. Bahkan engkau secara tak tahu malu dan curang sekali menjebak aku ke dalam sumur. Heran sekali kenapa engkau, murid Lauw Pangcu yang dahulu amat dipercaya dan baik, mendadak berubah seperti iblis? Apakah engkau telah menjadi gila?”

“Yo Han, semua orang Thian-li-pang memujamu. Kau lalu menjadi sombong. Kau kira hanya engkau yang telah menguasai Bu-kek Hoat-keng? Ha-ha-ha, aku pun telah menguasainya dan aku akan membunuhmu untuk kedua kalinya!”

Setelah berkata demikian, Ouw Seng Bu menyerang dengan gerakan yang aneh dan dahsyat sekali.

Diam-diam Yo Han merasa heran dan terkejut mendengar bahwa orang ini telah menguasai Bu-kek Hoat-keng, dan melihat serangan yang luar biasa itu. Yang membuat dia heran adalah mengenal gerakan tangan Seng Bu ketika menyerangnya. Memang itu adalah gerakan dari Bu-kek Hoat-keng!

Karena merasa heran, Yo Han ingin sekali melihat lebih banyak lagi gerakan itu dan dia pun mengelak cepat tanpa membalas, membiarkan Seng Bu menyerang lagi bertubi-tubi.

Dan tidak salah lagi, jurus-jurus yang dimainkan Seng Bu ketika menyerangnya adalah ilmu Bukek Hoat-keng, akan tetapi semakin lama, semakin aneh saja perkembangan jurus-jurus itu. Hebatnya, serangan itu mengandung hawa dingin yang aneh karena ketika satu kali dia menangkis, tangannya yang bertemu lengan lawan itu terasa panas!

Pukulan Seng Bu itu mengandung hawa beracun yang amat ganas! Berbahaya sekali bagi lawan dan tidak mengherankan kalau Lauw Kang Hui dan yang lain-lain tewas di tangan Seng Bu. Dia sendiri kalau tidak menguasai Bu-kek Hoat-keng, tentu akan terpengaruh hawa beracun itu.

Seng Bu yang merasa bahwa dia telah memiliki ilmu yang tak terkalahkan, makin berbesar hati melihat Yo Han tak pernah membalas dan hanya lebih banyak mengelak dan berloncatan untuk menghindarkan serangan-serangannya. Akan tetapi dia pun merasa penasaran melihat dia belum juga berhasil. Dia harus dapat membunuh Yo Han secepatnya agar dia mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri, karena dia melihat betapa banyaknya pasukan pemerintah menyerbu perkampungan Thian-li-pang itu. Maka, dia segera berteriak memanggil anak buahnya dan sedikitnya dua puluh orang anak buah Thian-li-pang kini menggunakan senjata mereka mengepung dan mengeroyok Yo Han!

Yo Han maklum bahwa Seng Bu mencari kesempatan melarikan diri dan hal ini haruslah dicegah. Maka, dia pun tidak pernah meninggalkan atau menjauhi Seng Bu. Dia mulai menggunakan ilmunya untuk menyerang dan menutup jalan keluar Seng Bu, sedangkan para anak buah Thian-li-pang yang mengepung dan mengeroyoknya dengan ragu-ragu dan gentar, dia robohkan dengan tendangan dan tamparan saja, tidak membuat mereka terluka parah.

“Para anggauta Thian-li-pang, cepat kalian ajak teman-teman untuk melarikan diri! Jangan hiraukan lagi Ouw Seng Bu yang menyeret kalian ke dalam penyelewengan!” beberapa kali Yo Han berseru. “Kelak aku sendiri yang akan membangun kembali Thian-li-pang!” kembali Yo Han berseru.

Terjadi kebimbangan dalam hati para anggauta Thian-li-pang. Mereka yang memang berwatak jahat dan lebih senang dipimpin Seng Bu karena di bawah bimbingan Seng Bu mereka dapat melampiaskan nafsu dan keserakahan mereka secara bebas, tidak mempedulikan seruan Yo Han ini dan mereka tetap melakukan perlawanan dan setia kepada Seng Bu.

Akan tetapi, lebih banyak lagi angauta yang hanya terpaksa mentaati ketua baru itu, dan kini para anggauta ini segera menyampaikan pesan kepada kawan-kawan sehaluan dan mereka pun mulai berserabutan mencari lubang untuk meloloskan diri dari penyerbuan pasukan pemerintah.

Mendengar teriakan Yo Han dan melihat betapa anak buahnya yang mengeroyok Yo Han terpelanting ke kanan kiri sehingga dia tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk meloloskan diri dari Yo Han, Seng Bu menjadi marah dan nekat.

“Yo Han, engkau harus mati di tanganku!” bentaknya dan dia pun menyerang lagi sambil mengeluarkan teriakan yang menyeramkan, bukan teriakan manusia lagi melainkan teriakan iblis.