Ads

Rabu, 04 Mei 2016

Si Tangan Sakti Jilid 037

“Tutup mulutmu, Kim Giok! Han-koko selamanya tidak berubah. Dia seorang pendekar dan orang gagah sejati. Sedangkan Ouw Seng Bu ini orang macam apa? Kita tidak mengenal dengan baik, siapa tahu semua ini hanya akal busuknya saja. Buktinya, dia telah bersekongkol dengan golongan sesat!”

Pada saat itu terdengar seruan keras dan para anggauta Thian-li-pang otomatis membuat gerakan mengepung sumur tua itu sehingga dengan sendirinya Sian Li juga ikut terkepung! Dan dari rombongan itu muncullah Siangkoan Kok bersama dua orang berjubah pendeta yang bukan lain adalah Im Yang Ji tokoh Pat-kwa-pai dan Kui Thian-cu tokoh Pek-lian-kauw.

Ouw Seng Bu kini melangkah maju dengan sikapnya yang gagah. Dengan suara yang dibuat menyesal dia berkata,

“Nona, semua ini adalah kesalahanmu sendiri. Engkau tidak percaya kepada kami dan hendak membongkar sumur keramat ini, berarti engkau telah menghina Thian-li-pang. Karena kami sedang menghimpun tenaga untuk perjuangan, maka sikapmu yang bermusuhan ini tentu saja akan membahayakan kami, misalnya engkau melapor kepada pemerintah penjajah. Karena itu, menyerahlah, terpaksa kami akan menawanmu.”

“Singgg....!” nampak sinar emas mencorong dan di tangan gadis berpakaian merah itu telah terdapat sebatang suling berselaput emas yang panjangnya seperti pedang.

“Hem, sikapmu ini saja sudah menunjukkan dengan jelas bahwa engkau telah berbohong! Aku yakin bahwa engkau memutar-balikkan kenyataan. Han-koko belum tewas, atau andaikata dia tewas pun tentu engkau sengaja menjebaknya! Aku yakin akan hal itu. Engkau hendak menawanku dan menyuruh aku menyerah? Jangan mimpi! Si Bangau Merah tidak mengenal kata menyerah. Kalian hendak mengandalkan pengeroyokan? Boleh, boleh! Kulihat bekas ketua Pao-beng-pai, Siangkoan Kok, telah berada pula di sini dan dua orang tosu yang tentu merupakan orang-orang sesat!”

“Tangkap gadis sombong ini!”

Ouw Seng Bu membentak dan Siangkoan Kok, dua orang tosu Pat-kwa-pai dan Peklian-kauw, segera menggerakkan senjata mereka. Ouw Seng Bu sendiri juga menerjang maju dengan tangan kosong. Para anggauta Thian-li-pang mengepung ketat. Menghadapi para pengeroyok yang mulai menyerangnya, Sian Li memutar sulingnya dan nampaklah gulungan sinar emas menyambar-nyambar di antara berkelebatnya bayangan merah.

Gerakan gadis ini cepat bukan main, juga amat indah dan gulungan sinar emas itu mengandung tenaga kuat sehingga dalam beberapa gebrakan saja, beberapa batang senjata anak buah Thian-li-pang terlepas dari pegangan, bahkan dua orang anggauta perkumpulan itu roboh terkena sambaran sinar suling emas.

“Semua mundur, biarkan kami saja yang menghadapinya!” bentak Ouw Seng Bu yang maklum akan kelihaian Si Bangau Merah itu.

Para anggauta Thianli-pang yang memang sudah merasa jerih segera mengendurkan pengepungan dan kini yang menghadapi Sian Li hanya tinggal empat orang, yaitu Siangkoan Kok, Im Yang-ji, Kui Thian-cu dan Ouw Seng Bu sendiri.

Akan tetapi Cu Kim Giok masih belum bergerak, dan hanya menonton tiga orang sekutunya yang kini mulai menggerakkan senjata menyerang gadis berpakaian merah yang memegang suling emas itu. Agaknya, Ouw Seng Bu masih tidak percaya kalau tiga orang sekutunya yang merupakan tokoh-tokoh kang-ouw yang amat tangguh itu tidak akan mampu menundukkan Sian Li.

“Bu-koko, engkau tidak boleh membunuhnya. Aku akan marah sekali kepadamu kalau engkau membunuhnya.”

“Giok-moi, ia berbahaya sekali. Kalau sampai lolos, ia tentu akan melapor kepada pemerintah dan kalau pasukan besar pemerintah datang menyerbu, kita belum siap menghadapi mereka.”

“Tangkap saja, tawan saja akan tetapi jangan bunuh. Aku tidak rela kalau ia dibunuh. Kita adalah pejuang-pejuang, tidak akan membunuhi kaum pendekar, Koko!”

Ouw Seng Bu mengangguk. Dia pun maklum bahwa membunuh Si Bangau Merah akan mendatangkan akibat yang amat berbahaya, karena kalau sampai Pendekar Sakti Bangau Putih mendengar bahwa puterinya terbunuh oleh Thian-li-pang, dan pendekar sakti itu mengerahkan kekuatan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, bagaimana mungkin Thian-li-pang akan kuat bertahan?

“Paman Siangkoan Kok dan kedua Totiang, tangkap saja Si Bangau Merah, jangan bunuh dan jangan lukai. Kami ingin menawannya.” serunya kepada tiga orang sekutunya.

Mendengar seruan ketua Thian-li-pang itu, tiga orang tokoh yang mengeroyok Sian Li mengubah gerakan mereka. Siangkoan Kok menggunakan pedangnya hanya untuk menangkis suling di tangan gadis itu, sedangkan yang melakukan serangan adalah tangan kirinya, dengan cengkeraman, tamparan atau totokan.

Demikian pula dengan dua orang tosu pengeroyok. Im Yang-ji tokoh Pat-kwa-pai memutar pedang hanya untuk mengurung gadis itu dengan sinar pedangnya dan yang menyerang adalah tangan kirinya dengan ilmu totokan yang ampuh dari Pat-kwa-pai dengan gerakan ilmu silat Pat-kwa-kun.

Juga Kui Thian-ou, tokoh Pek-lian-kauw menyerang dengan ujung lengan bajunya yang kiri, menotok untuk merobohkan Sian Li, sedangkan pedangnya juga hanya untuk membendung gerakan suling emas yang dahsyat itu.

Kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Sian Li masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian tokoh Patkwa-pai atau tokoh Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi, bagaimanapun gadis yang usianya belum genap dua puluh tahun itu masih ketinggalan kalau dibandingkan dengan kepandaian Siangkoan Kok, datuk sesat yang banyak pengalaman itu.

Menghadapi pengeroyokan tiga orang tokoh itu, tentu saja Sian Li merasa berat sekali dan dalam beberapa gebrakan saja ia sudah merasa betapa tangannya yang memegang suling tergetar hebat. Ia pasti tidak akan mampu bertahan terlalu lama kalau tiga orang pengeroyoknya itu menyerang dengan sungguh-sungguh.

Akan tetapi ketika Ouw Seng Bu mencegah mereka agar tidak membunuhnya, maka hal itu membuat Sian Li dapat bertahan lebih baik. Bahkan beberapa kali sambaran sinar sulingnya hampir saja mengenai tubuh lawan.

Melihat betapa tiga orang sekutunya yang biasanya dapat diandalkan untuk menundukkan tokoh-tokoh kang-ouw yang tidak mau bekerja sama itu sampai sekian lamanya belum juga mampu menundukkan Si Bangau Merah. Ouw Seng Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia melompat ke dalam medan perkelahian itu.

“Bu-koko, jangan bunuh atau lukai Sian Li!” Cu Kim Giok berteriak.

Ouw Seng Bu juga tidak bodoh untuk membunuh seorang tokoh seperti Si Bangau Merah, apalagi kalau Cu Kim Giok yang dicintanya itu melarangnya. Dia sudah meloncat dan mengeluarkan ilmunya yang aneh, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan. Akan tetapi dia menjaga agar tangannya yang mengandung racun ampuh itu tidak sampai membunuh gadis yang diserangnya.






Ketika ada angin pukulan yang amat dingin datang menerpanya, Sian Li yang memang sudah terdesak, terkejut bukan main. Ia mengenal pukulan ampuh, dan untuk meloncat menghindar, tidak ada jalan lagi. Senjata tiga orang pengeroyoknya yang terdahulu sudah menutup semua jalan keluar dengan sinar pedang mereka. Terpaksa ia mengerahkan sin-kang dan menyambut pukulan itu.

“Desss....!!”

Sian Li terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan Siangkoan Kok untuk melancarkan totokan jari tangannya dan tubuh Sian Li yang terhuyung itu nyaris terkena totokan. Gadis yang memiliki ginkang luar biasa ini, cepat memutar sulingnya dan tubuh itu mencelat ke samping. Dalam keadaan yang amat gawat itu ia masih mampu menghindarkan diri dari totokan! Akan tetapi, kini empat orang lihai itu sudah mengepungnya.

Pada saat yang amat gawat bagi Sian Li itu muncullah dua orang yang tanpa banyak cakap lagi segera terjun ke dalam perkelahian itu. Mereka itu seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Pangeran Cia Sun dan Sim Hui Eng, atau tadinya bernama Siangkoan Eng!

Seperti kita ketahui, Pangeran Cia Sun ditawan oleh Sim Hui Eng yang mengira pangeran itu yang menyebabkan kematian ibunya dan kehancuran Paobeng-pai. Kemudian pangeran itu membuka rahasia Hui Eng sehingga gadis itu mengetahui bahwa ia bukanlah puteri Siangkoan Kok, bukan pula puteri mendiang Lauw Cu Si yang selama ini dianggap ibu kandungnya. Bahkan dalam pertemuan itu, mereka saling menemukan cinta mereka dan akhirnya Cia Sun mengajak kekasihnya untuk menemui orang tua kandungnya yang asli, yaitu pendekar sakti Sim Houw dan Can Bi Lan.

Dalam perjalanan, mereka mendengar tentang sepak terjang Thian-li-pang yang menundukkan banyak tokoh dan perkumpulan kang-ouw. Hal ini menimbulkan kecurigaan di hati Cia Sun. Dia sudah menjadi saudara angkat Yo Han dan dia tahu bahwa Thian-li-pang adalah sebuah perkumpulan pejuang, perkumpulan para pendekar gagah perkasa yang memperjuangkan kemerdekaan bagi tanah air dan bangsanya.

Bahkan saudara angkatnya itu, Si Tangan Sakti Yo Han, menjadi ketua kehormatan perkumpulan itu. Akan tetapi sekarang apa yang didengarnya? Perkumpulan itu memaksa para tokoh kangouw untuk tunduk, bahkan juga terdengar bahwa para anggauta perkumpulan itu tidak segan melakukan kejahatan.

“Aku harus datang ke sana, aku harus menegur kakakku Yo Han!” kata pangeran itu.

Sim Hui Eng siap membantu kekasihnya untuk menegur Yo Han agar menghentikan sepak terjang Thian-li-pang yang tidak baik itu. Demikianlah, mereka membelokkan perjalanan dan menuju ke Bukit Naga, pusat perkumpulan Thianli-pang. Ketika tiba di tempat itu dan melihat Sian Li dikeroyok empat orang, Sim Hui Eng berkata kepada pangeran Cia Sun,

“Koko, itu Si Bangau Merah Tan Sian Li yang dikeroyok!”

Cia Sun memandang dan merasa kagum. Gadis berpakaian serba merah itu memang lihai bukan main. Begitu gagah ia memainkan suling emasnya, dan gadis itulah yang dijodohkan dia! Kalau saja tidak ada Sim Hui Eng yang dicinta dan mencintanya, tentu akan berubah sikapnya terhadap pilihan orang tuanya itu. Akan tetapi dia mencinta Sim Hui Eng, dan tidak ada seorang bidadari pun yang akan mampu memisahkan dia dan Hui Eng.

“Kalau begitu, kita harus membantunya.”

“Benar, kita harus membantunya. Lihat, para pengepungnya itu lihai, bahkan bekas ayahku yang jahat itu pun ikut mengeroyoknya.”

Dengan kemarahan meluap teringat akan perbuatan Siangkoan Kok yang amat jahat, terbayang kembali betapa ia dihajar dan hampir dibunuh bekas ketua Pao-beng-pai, apa yang dilakukan orang yang bertahun-tahun ia anggap ayah kandungnya itu terhadap Tio Sui Lan, muridnya sendiri, membuat ia marah dan ketika ia melompat dan menerjang ke arah Siangkoan Kok, serangannya dahsyat bukan main. Pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kirinya menyambar dahsyat dengan jarum-jarum maut!

“Ehhh....kau....!??” Siangkoan Kok terkejut bukan main ketika mengenal penyerangnya.

Akan tetapi, Hui Eng tidak memberi dia banyak kesempatan dan gadis itu sudah menyerang terus, membuat Siangkoan Kok terpaksa melayaninya dengan sungguh-sungguh karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian bekas puterinya ini sudah mencapai tingkat tinggi dan tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri.

Adapun Cia Sun sudah memutar pedangnya pula membantu Sian Li sehingga Si Bangau Merah itu kini mendapat keringanan, tidak lagi terdesak seperti tadi.

Sian Li sendiri terkejut dan heran melihat Sim Hui Eng. Ia masih mengenal gadis itu sebagai gadis Pao-beng-pai yang pernah datang mengacau dalam pesta keluarga di rumah pendekar Suma Ceng Liong. Dan kini gadis itu membantunya, bahkan bertanding seru melawan bekas ketua Pao-beng-pai sendiri! Juga ia tidak mengenal siapa pemuda bertubuh tegap bermuka bundar putih dan tampan itu, yang datang membantunya pula.

Akan tetapi Si Bangau Merah segera melihat kenyataan bahwa biarpun bantuan mereka berdua itu telah menolongnya dari himpitan para pengeroyok akan tetapi tingkat kepandaian mereka belum cukup tinggi untuk mampu merebut kemenangan dari para pimpinan Thian-li-pang.

“Bu-koko, jangan bunuh mereka! Jangan!!” kembali Cu Kim Giok berseru.

Melihat kesempatan setelah ia tidak lagi begitu terhimpit berkat pertolongan kedua orang itu, Sian Li segera memutar sulingnya dan berkata,

“Sobat, mari kita pergi!”

Ia memutar sulingnya dengan ilmu silat Kim-siauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan tangan kirinya masih meluncurkan pukulan jarak jauh sehingga dua orang tosu dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw terpaksa harus mundur.

Cia Sun maklum bahwa kalau Si Bangau Merah berteriak mengajak mereka pergi, hal itu tentu berarti bahwa pihak musuh terlampau kuat. Maka dia pun berseru,

“Eng-moi, kita pergi!”

Tiga orang muda itu berloncatan dengan cepat untuk melarikan diri. Ketika Ouw Seng Bu hendak mengejar, Kim Giok berseru,

“Koko, jangan kejar mereka!”

Ouw Seng Bu meragu dan hal ini menguntungkan Sian Li, Cia Sun dan Hui Eng. Kecuali Ouw Seng Bu dan Siangkoan Kok, tidak ada yang akan mampu menahan mereka pergi.

Dan, agaknya karena Ouw Seng Bu ragu-ragu untuk melakukan pengejaran oleh pencegahan Cu Kim Giok, maka Siangkoan Kok juga jerih untuk melakukan pengejaran sendiri. Semua keraguan ini membuat Sian Li, Cia Sun dan Hui Eng dapat berlari cepat meninggalkan sarang Thian-li-pang.

Setelah mereka lari sampai ke kaki bukit dan tidak ada yang kelihatan melakukan pengejaran Sian Li menghentikan langkahnya dan dengan sendirinya Cia Sun dan Hui Eng juga berhenti berlari.

Dengan leher basah oleh keringat, mereka saling pandang dan akhirnya Sian Li yang lebih dulu bicara, suaranya agak ketus dan ucapannya ditujukan kepada Hui Eng.

“Sekarang boleh kau katakan kepadaku, apa artinya ini semua? Engkau yang pernah mengacau dan memusuhi keluarga kami, kenapa sekarang mendadak membantuku? Bukankah engkau tokoh Pao-beng-pai dan Siangkoan Kok tadi ketua Pao-beng-pai?”

Sebelum Hui Eng menjawab, dan hal ini terasa sukar baginya, Cia Sun yang mendahuluinya memberi keterangan,

“Nona Tan Sian Li, memang telah terjadi perubahan besar sekali atas diri Eng-moi ini. Jangankan engkau atau orang lain, ia sendiri pun terheran ketika mendengar tentang keadaan dirinya.”

Sian Li mengerutkan alisnya dan kini mengamati wajah pemuda itu dengan penuh selidik. Sikapnya masih dingin,

“Hemmm, sebelum engkau bercerita, katakan dulu siapa engkau ini dan bagaimana engkau dapat mengenal namaku!”

Wajah pangeran itu berubah menjadi kemerahan dan dia pun salah tingkah.
“Ehhh.... sebetulnya.... yang mengenalimu tadi bukanlah aku, melainkan Eng-moi ini, Nona. Aku bernama Cia Sun....”

“Cia....??” Kini Sian Li terbelalak memandang pemuda itu dan perlahan-lahan kedua pipinya berubah kemerahan. “Cia Sun....? Kau.... maksudkan pangeran....?”

“Benar, Nona. Aku adalah Pangeran Cia Sun yang oleh orang tua kita....” Dia tidak melanjutkan kata-katanya.

“Sudahlah, Pangeran. Harap engkau suka menceritakan tentang semua ini, tentang Enci ini, tentang perubahan yang kau katakan tadi.”

Sian Li memotong untuk mengalihkan pembicaraan karena ia menjadi rikuh sekali kalau harus bicara tentang hubungan antara mereka. Siapa yang tidak menjadi rikuh dan gugup kalau secara tiba-tiba dihadapkan kepada seorang pemuda yang oleh ayah ibunya dicalonkan menjadi suaminya.

“Nona, ketika Eng-moi ini memusuhi keluargamu dan para pendekar, adalah seorang gadis yang bernama Siangkoan Eng, puteri dari ketua Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Kok. Adapun sekarang, Eng-moi bukanlah puteri ketua Pao-beng-pai, bahkan musuhnya, karena Eng-moi ini sebenarnya adalah puteri dari suami isteri pendekar Sim Houw dan Can Bi Lan, yang hilang ketika masih kecil.”

Sian Li terbelalak.
“Aihhh....! Jadi engkau.... engkau inikah puteri Paman Sim Houw yang hilang itu? Engkau yang dicari-cari semua pendekar, dicari oleh Han-koko dan aku pun ikut membantu mereka mencarimu? Dan engkau bahkan pernah datang menemui kami sebagai seorang musuh yang sengaja menantang kami?”

“Benar sekali, adik Sian Li. Ketika itu, aku sama sekali tidak pernah mimpi bahwa aku bahkan anggauta keluarga dekat dengan keluarga yang kutantangi sama sekali tidak tahu bahwa aku bukanlah anak kandung Siangkoan Kok dan isterinya. Wanita yang sejak aku kecil mengaku sebagai ibu kandungku adalah Lauw Cu Si, seorang keturunan Bengkauw yang memusuhi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir.”

Kemudian, secara singkat namun jelas, diceritakanlah semua tentang dirinya, tentang Siangkoan Kok dan Lauw Cu Si kepada Sian Li yang mendengarkan dengan bengong. Cerita itu sungguh seperti dongeng dan tentu saja ia tidak dapat menyalahkan Hui Eng atas sikapnya ketika memusuhi keluarganya dahulu. Bahkan ia lalu memegang kedua tangan Hui Eng.

“Aihhh, enci Hui Eng. Sungguh malang nasibmu, sejak kecil dipisahkan dari ayah ibu kandung dan dipelihara oleh orang-orang sesat. Akan tetapi dasar engkau keturunan suami isteri pendekar, maka biarpun engkau mendapat didikan para tokoh sesat, tetap saja engkau setelah dewasa berjiwa pendekar dan menentang kejahatan. Lalu, bagamana ceritanya, engkau dapat bertemu dan berkenalan dengan.... Pangeran Cia Sun ini dan kalian dapat datang tepat pada waktunya selagi aku terancam oleh pengeroyokan mereka tadi?”

“Kami saling berkenalan ketika aku dan kakak angkatku Yo Han....”

“Kakak angkatmu, Pangeran?” Sian Li. terbelalak.

“Benar, Nona. Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan aku telah saling mengangkat saudara. Kami bertemu di Pao-beng-pai, kemudian kami mengangkat saudara setelah kami menjadi tawanan di Pao-bengpai. Untung ada adik Eng ini yang membebaskan kami. Kemudian, Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah dan isteri Siangkoan Kok, yang dianggap ibu kandung oleh Eng-moi tewas. Aku yang mengkhawatirkan nasib Eng-moi, ikut pasukan untuk mencarinya. Akan tetapi ia tidak ada dan aku sempat bertemu dengan isteri Siangkoan Kok yang tewas oleh suaminya sendiri. Sebelum meninggal dunia, wanita itulah yang membuka rahasia Eng-moi kepadaku.” Pangeran itu menghentikan kisahnya dan kini Hui Eng yang melanjutkan.

“Aku mengira bahwa Pangeran Cia Sun yang membawa pasukan menghancurkan Pao-beng-pai. Aku tidak peduli Pao-beng-pai yang jahat itu hancur akan tetapi aku mendendam karena wanita yang tadinya kuanggap ibu kandungku itu tewas. Maka, aku menyusul dia dan menawannya, dengan maksud membunuhnya di depan makam ibuku. Akan tetapi, aku mendengar ceritanya dan aku mengetahui keadaan diriku. Kami.... kami berbaik kembali apalagi setelah aku mendengar bahwa wanita yang kuanggap ibu kandungku itu tewas di tangan Siangkoan Kok.”

“Tapi, kenapa kalian dapat datang ke Thian-li-pang?” tanya Sian Li yang masih terkesan oleh kisah yang terjadi antara kedua orang itu.

Pangeran Cia Sun yang mengambil keputusan untuk berterus terang lalu menyambung cerita kekasihnya.

“Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa orang tua kita telah menjodohkan kita, akan tetapi sebaiknya aku berterus terang kepadamu, nona Tan Sian Li. Biarpun setelah bertemu denganmu aku merasa bahwa orang tuaku telah melakukan pilihan yang tepat dan bahkan terlalu baik untukku, akan tetapi aku telah saling jatuh cinta dengan Eng-moi dan kami telah bersumpah untuk menjadi suami isteri. Maafkan aku kalau menyinggung.”

Sian Li tersenyum! Senyum yang cerah dan sedikit pun tidak mengandung penyesalan sehingga melegakan hati Cia Sun dan Hui Eng.

“Aku bahkan merasa lega dan gembira dengan pernyataanmu ini, Pangeran. Terus terang saja, aku sendiri pun sama sekali tidak setuju dengan tindakan ayah dan ibuku yang memilihkan seorang calon suami untukku, seorang yang sama sekali tidak kukenal dan tidak kuketahui bagaimana orangnya. Nah, sekarang ceritakan bagaimana kalian dapat datang ke sini.”

“Aku hendak mengantar Eng-moi menghadap ayah ibu kandungnya yang tinggal di Lok-yang. Akan tetapi dalam perjalanan itu kami mendengar akan sepak terjang orang-orang Thian-li-pang. Aku merasa penasaran sekali bagaimana Thian-li-pang berubah menjadi perkumpulan yang menyeleweng, padahal, kakak angkatku Yo Han menjadi ketua kehormatannya. Aku lalu mengajak Eng-moi untuk berkunjung, dan kalau ada Yo-toako, aku ingin menegurnya.”

Sian Li kembali terheran-heran.
“Pangeran, apakah engkau tidak tahu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan pejuang yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah!? Dan engkau sendiri seorang pangeran kerajaan Ceng.”

“Benar, Nona. Aku seorang Pangeran Mancu, pemerintah penjajah. Akan tetapi aku sendiri tidak menyetujui penjajahan dan menganggap bahwa perjuangan para orang gagah itu memang sudah benar dan menjadi hak mereka. Aku tidak ingin mencampuri urusan itu, aku bercita-cita menjadi orang biasa yang tidak mencampuri urusan pemerintahan. Bahkan kami sekeluarga pun tidak mau mempunyai ambisi untuk memegang kedudukan. Karena itu, selama perkumpulan pejuang benar-benar merupakan pahlawan dan patriot sejati, aku menghormati mereka. Akan tetapi kalau mereka itu melakukan penyelewengan dan menjadikan perjuangan sebagai kedok untuk menutupi kejahatan yang mereka lakukan, aku pasti akan menentang mereka.”

Sian Li menganggak-angguk kagum dan ia memandang kepada Hui Eng.
“Aih, enci Eng, engkau telah mendapatkan seorang calon suami yang gagah perkasa. Sekarang tahulah aku mengapa ayah dan ibu berkeras hendak menjodohkan aku dengan Pangeran Cia Sun! Harap kau lanjutkan ceritamu, Pangeran.”

Mendengar ucapan Sian Li yang begitu jujur dan terbuka, memuji pangeran itu begitu saja tanpa disembunyikan, sepasang kekasih itu tersipu akan tetapi juga merasa suka dan kagum kepada Si Bangau Merah.

“Kami segera mendaki Bukit Naga ini dan melihat engkau dikeroyok tadinya aku merasa ragu karena tidak tahu urusannya. Akan tetapi begitu Eng-moi mengenalmu dan menyebutkan namamu, kami berdua segera terjun dan membantumu.”

Sian Li menghela napas panjang.
“Pertolongan Tuhan datang melalui apa saja, bahkan yang tidak pernah terduga sekalipun. Siapa pernah menduga bahwa ia akan diselamatkan oleh orang yang ditunangkannya akan tetapi tak pernah dikenalnya dan ditolaknya, dan oleh orang yang tadinya jelas memusuhi keluarganya? Kalian datang tepat sekali pada saatnya, karena tadi aku sudah hampir tidak tahan menghadapi mereka, terutama sekali Ouw-pangcu, ketua baru Thian-li-pang yang amat lihai itu.”

“Sekarang tiba giliranmu, Nona. Kami ingin sekali mengetahui bagaimana engkau dapat berada di sana tadi dan di kenoyok banyak orang lihai?” tanya Cia Sun.

Ditanya begitu, Sian Li teringat akan Yo Han dan tiba-tiba wajahnya menjadi muram. Kalau saja ia bukan seorang gadis yang tabah dan berhati baja, tentu ia sudah menangis karena teringat bahwa mungkin sekali pria yang dikasihinya itu telah tewas.

Cia Sun dan Hui Eng melihat perubahan muka Sian Li itu dan mereka saling pandang. Ketika beberapa kali Sian Li hanya menghela napas panjang dan menunduk, alisnya berkerut, Cia Sun menjadi tidak sabar lagi.

“Nona, apakah yang telah terjadi? Apakah ada sesuatu yang membuat engkau enggan menceritakan kepada kami? Kalau begitu, engkau tidak usah menceritakannya.”

“Tidak, Pangeran, bukan begitu, akan tetapi, ah, hatiku risau dan gelisah. Maafkan kelemahanku dan biar kuceritakan dari semula. Sebelum kuceritakan semuanya, sebaiknya kalau aku pun membuat pengakuan kepadamu, pengakuan yang hanya dapat kulakukan setelah engkau berterus terang tentang hubunganmu dengan enci Hui Eng. Pangeran, aku dan kakak Yo Han.... kami berdua.... ehhh...”

Melihat keraguan Sian Li dan perubahan mukanya yang menjadi merah sekali dan bibirnya yang mengulum senyum malu-malu, Cia Sun tersenyum,

“Kalian saling mencinta?”

Sian Li mengerling kepadanya dan mengangguk.
“Ha, sudah kuduga, Nona. Engkau memang pantas sekali menjadi calon isteri Yo-toako. Nah, teruskan ceritamu.”

“Ketika tiga orang keluarga besar berkumpul di rumah Paman Suma Ceng Liong, aku tidak melihat Yo Han koko di sana. Aku tahu bahwa dia sedang membantu Paman Sim Houw untuk mencarikan puterinya yang hilang. Karena itu, aku lalu mengambil keputusan untuk membantunya mencarikan enci Hui Eng.”

Mendengar ini, Hui Eng berkata.
“Aih, kalian semua begitu baik, bersusah payah mencari aku, akan tetapi aku sendiri telah bertindak jahat, mengacau di sana.” Suaranya penuh penyesalan.

“Ah, enci Eng. Seperti yang dikatakan Pangeran tadi, ketika itu engkau bukanlah enci Sim Hui Eng yang sekarang, melainkan Siangkoan Eng puteri ketua Pao-beng-pai. Yang sudah lewat anggap saja mimpi buruk, Enci.”

“Engkau benar adik Sian Li. Teruskan ceritamu.”

Sian Li lalu menceritakan bahwa dalam perjalanannya, ia pun mendengar tentang kejahatan orang-orang Thianli-pang, maka ia pun merasa penasaran dan ingin menyelidiki. Ia bertemu dengan para tokoh Bu-tong-pai di lereng Bukit Naga dan mendengar penurutan mereka yang membuat ia terkejut setengah mati, yaitu bahwa kabarnya, Yo Han tewas di tangan ketua Thian-li-pang yang baru.

“Apa....?? Tidak mungkin itu!” Cia Sun berseru kaget setengah mati.

“Aku sendiri juga tidak percaya, Pangeran. Lebih tidak percaya lagi ketika OuW Seng Bu, ketua baru itu, menceritakan bahwa Han-koko telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang, dan bahwa Han-koko datang untuk membunuh dia. Dia melawan di dekat sumur tua dan dia terluka oleh pukulan Han-koko, akan tetapi para anak buah mengeroyok Han-koko yang katanya tergelincir masuk ke dalam sumur tua itu. Dan....dan.... mereka menimbuni sumur tua itu dengan batu.” Suara Sian Li terdengar lirih dan penuh kegelisahan.“Tapi, aku tetap tidak percaya! Memang ketua baru Thian-li-pang itu lihai, akan tetapi tidak mungkin dia mampu membuat Yo-toako terjatuh ke dalam sumur.”

“Tidak mungkin Yo-toako tewas, aku tidak percaya!” kata Cia Sun keras sambil mengepal tinju, akan tetapi suaranya mengandung isak tertahan, tanda bahwa dia juga merasa gelisah sekali.

“Pangeran, biarlah adik Sian Li melanjutkan ceritanya. Lalu apa yang terjadi kemudian, li-moi?”

“Aku menuntut kepada Ouw-pangcu agar anak buah Thian-li-pang menggali sumur itu dan menyingkirkan timbunan batu-batu. Akan tetapi dia melarang dengan alasan sumur itu keramat bagi Thian-li-pang dan tidak boleh diganggu. Kami bercekcok lalu berkelahi dan aku dikeroyok oleh mereka.”

“Aku tetap tidak percaya! Nona, apakah engkau percaya akan keterangan itu? Bohong, ketua Thian-li-pang itu tentulah orang jahat yang berhasil menguasai Thian-li-pang dengan ilmunya. Mungkin dia yang telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang dan menjatuhkan fitnah kepada Yo-toako. Kita harus menyelidiki hal ini!”

“Aku pun tidak percaya, Pangeran. Akan tetapi, satu hal yang mencemaskan hatiku adalah kesaksian yang diberikan oleh Cu Kim Giok.”

“Cu Kim Giok? Siapakah itu?” tanya Sim Hui Eng dan Cia Sun hampir berbareng.

“Cu Kim Giok adalah puteri Paman Cu Kun Tek dan Bibi Pauw Li Sian dari Lembah Naga Siluman. Ia keturunan terakhir keluarga Lembah Naga Siluman dan masih terhitung kerabat yang ada hubungan pertalian kekeluargaan denganku. Aku merasa heran bukan main melihat ia berada disana, bahkan nampak akrab sekali dengan Ouw-pangcu itu. Kim Giok yang memberi kesaksian bahwa Ouw-pangcu memang terluka parah oleh pukulan Han-koko. Kehadiran Kim Giok di sana bukan sembarangan saja, pasti tersembunyi rahasia di balik itu semua.”

“Aih, jangan-jangan gadis itu dipengaruhi oleh Ouw Seng Bu itu.”

“Aku pun menduga begitu, Pangeran. Akan tetapi, jelas bahwa Kim Giok tidak menjadi jahat karenanya. Buktinya, ia yang berkali-kali memperingatkan Ouw-pangcu agar jangan membunuhku atau melukaiku. Agaknya ia pun percaya bahwa Ouw-pangcu berada di pihak yang benar, bahwa ketua baru itu seorang pejuang, seorang pendekar dan pahlawan, dan agaknya ia pun membenarkan Ouw-pangcu dalam urusannya dengan Han-koko. Pasti ada apa-apanya di balik semua ini.”

“Pangeran, adik Sian Li, kita semua sudah saling menceritakan apa yang kita alami. Sekarang tidak ada gunanya untuk menduga-duga dan berheran-heran. Yang terpenting, kita harus menyelidiki sumur tua itu dan kita harus dapat melihat kenyataan apakah benar Yo-taihiap tewas seperti dikatakan Ouw-pangcu itu. Dengan demikian, kita tidak ragu lagi dan setelah itu baru kita putuskan, tindakan apa yang akan kita ambil.”

“Tepat sekali apa yang dikatakan oleh dinda Hui Eng, Nona. Kami semua harus berusaha sekuat tenaga untuk mencari bukti tentang keadaan Yo-toako. Karena bukan tidak ada sebabnya kalau orang-orang Thian-li-pang menimbuni sumur yang mereka anggap keramat itu dengan batu. Walaupun kita tidak percaya akan berita tewasnya Yo-toako, namun kita harus mendapat kepastian.”

Sian Li mengangguk.
“Memang kalian benar, dan aku pun sudah mengambil keputusan, tidak akan pergi dari sini sebelum mendapat kenyataan yang jelas tentang diri Han-koko.”

Mereka bertiga lalu turun lagi untuk mencari pedusunan di mana mereka bisa membeli makanan. Setelah membawa bekal makanan kering dan minuman, mereka bertiga lalu berangkat lagi mendaki Bukit Naga dan mencari jalan agar dapat memasuki daerah perkampungan Thian-li-pang dari belakang, langsung menuju ke sumur tua yang berada di bagian belakang terpisah sebuah bukit kecil dari perkampungan perkumpulan itu.

**** 037 ****