Ads

Kamis, 28 April 2016

Si Tangan Sakti Jilid 030

Cia Sun terbatuk-batuk, dadanya terasa sesak. Akan tetapi dia masih tersenyum ketika mengangkat kepala memandang.

“Kenapa tidak kau lanjutkan, Eng-moi? Pukullah, hajar dan siksalah aku, bunuhlah kalau hal itu akan dapat meredakan kemarahanmu.”

“Kenapa.... kenapa engkau tidak melawan? Tidak mengelak atau menangkis?” bentaknya.

“Untuk apa? Aku rela mati di tanganmu kalau engkau menghendaki itu, Eng-moi. Hanya kuminta, sebelum engkau membunuhku, dengarlah dulu keteranganku.”

“Huh, keterangan bohong! Penuh tipuan!”

“Andaikata benar aku berbohong sekalipun, kumohon padamu, dengarlah kebohonganku sebelum engkau membunuhku. Setelah aku memberi keterangan, nah engkau boleh percaya atau tidak, boleh membunuhku atau tidak, terserah.”

“Bohong! Kau penipu! Ah, untuk kebohongan itu saja, aku dapat membunuhmu seratus kali!”

Dan kini Eng Eng menampar lagi, menendang dan menampar lagi sampai Cia Sun terguling-guling dan tidak mampu bergerak lagi. Pingsan! Ketika Eng Eng hendak memberi pukulan terakhir, ia teringat akan niat semula, yaitu membunuh pemuda itu di depan makam ibunya, maka ia pun menahan diri.

“Biar kubersabar sampai besok. Engkau akan mampus di depan makam ibuku, bedebah!” katanya dan ia pun duduk dibawah pohon, bersamadhi.

Akan tetapi, samadhinya tidak pernah berhasil. Ia bahkan gelisah dan beberapa kali mendekati Cia Sun, untuk mendapat kepastian bahwa pemuda itu belum tewas.

Malam terganti pagi. Pagi yang amat indah. Sinar matahari pagi agaknya mengusir semua kegelapan, kegelapan alam yang berpengaruh terhadap keadaan hati. Sinar matahari mendatangkan kehidupan. Burung-burung berkicauan dan sibuk mempersiapkan diri untuk bekerja. Ayam jantan berkeruyuk saling saut. Semua nampak cerah gembira, bahkan daun-daun nampak berseri.

Seluruh mahluk seolah-olah menyambut munculnya sinar kehidupan dengan puja-puji kepada Yang Maha Kasih. Sang Maha Pencipta, melalui suara, melalui keharuman, melalui keindahan. Keharuman rumput dan tanah basah, daun dan bunga, keharuman udara itu sendiri.

Eng Eng juga terpengaruh oleh semua keindahan itu. Hatinya terasa ringan dan perasaan marahnya tidak terasa lagi olehnya. Namun, ketika ia menengok ke arah Pangeran Cia Sun, ia teringat segalanya dan ia pun bangkit menghampiri.

Cia Sun sudah siuman, namun seluruh tubuhnya terasa nyeri. Melihat gadis itu menghampiri, dia pun bangkit duduk, memandang kepada gadis itu dengan senyum sedih! Senyum itu seperti pisau menusuk kalbu bagi Eng Eng.

“Eng-moi, kenapa kepalang tanggung? Kenapa engkau tidak membunuh aku semalam?” tanya Cia Sun.

Eng Eng hampir tidak percaya. Pemuda bangsawan ini masih bersikap demikian manis kepadanya. Bukan, bukan sikap yang terdorong rasa takut, melainkan sikap yang demikian wajar. Masih tersenyum, dan pandang mata kepadanya itu demikian lembut dan mesra, jelas nampak sinar kasih sayang di dalamnya. Padahal, ia sudah menyiksanya sampai pingsan, nyaris membunuhnya!

“Aku akan membunuhmu di depan makam ibuku!” katanya singkat.

“Eng-moi, arwah ibumu akan berduka kalau engkau melakukan itu. Aku bukan pembunuh ibumu, aku bahkan berusaha menyelamatkannya, dan ia meninggal dunia di dalam rangkulanku “

“Bohong!!”

“Eng-moi, untuk apa aku berbohong? Aku tidak takut mati, bahkan aku tidak akan penasaran mati di tanganmu. Aku hanya tidak ingin melihat engkau salah tindakan dan menyesal dikemudian hari, aku hanya ingin agar engkau mengetahui dengan betul siapa sebenarnya dirimu. Aku telah mengetahui rahasia besar mengenai dirimu, Eng-moi, dan aku akan menceritakan semua, kalau engkau bersedia mendengarkan. Memang semua akan kedengaran amat aneh bagimu, dan mungkin engkau akan menganggap aku berbohong, akan tetapi demi Tuhan, aku tidak berbohong.”

Agaknya sinar matahari memang berpengaruh besar terhadap hati manusia, setidaknya terhadap Eng Eng. Gadis itu merasa agak tenang dan ia dapat melihat kenyataan bahwa tidak ada ruginya mendengarkan apa yang akan diceritakan oleh pemuda itu. Bohong atau tidak, pemuda itu memang berhak untuk membela diri. Dan melihat wajah yang tampan dan yang tadinya amat disayangnya itu agak bengkak-bengkak oleh tamparannya semalam, timbul juga perasaan iba di dalam hatinya.

“Bicaralah, aku tetap tidak akan percaya padamu.” katanya dengan sikap ketus yang dipaksakan.

Ia bahkan tidak menatap langsung wajah yang bengkak-bengkak itu, karena ia merasa tidak enak, mengingatkan ia betapa ia telah bertindak kejam terhadap satu-satunya pria di dunia ini yang dicintanya. Lega rasa hati Cia Sun. Dia sama sekali tidak akan menyesal kalau dia dibunuh wanita yang dicintanya ini, hanya dia akan merasa menyesal karena perbuatan itu merupakan suatu perbuatan yang berdosa bagi Eng Eng. Dia tidak ingin melihat kekasihnya ini menjadi seorang yang jahat.

“Eng-moi, setelah engkau membebaskan aku, aku lalu cepat pulang ke kota raja. Akan tetapi, setelah tiba di sana, aku mendengar bahwa Panglima Ciong memimpin pasukan untuk menyerbu Pao-beng-pai. Aku terkejut dan cepat aku kembali lagi ke sana untuk menyusul pasukan itu karena aku mengkhawatirkan keselamatanmu dan keselamatan ibumu. Namun aku terlambat. Setelah tiba di Ban-kwi-kok, pasukan telah menyerbu ke perkampungan Pao-beng-pai....”

“Tanpa penunjuk jalan, tidak mungkin pasukan akan mudah memasuki daerah Pao-beng-pai yang dipasangi banyak jebakan rahasia!”

Eng Eng memotong dan kini sepasang matanya mengamati wajah pemuda itu penuh selidik dan hatinya menuduh bahwa tentu pemuda itu yang menjadi penunjuk jalan.

“Dugaanmu memang benar, Eng-moi. Hal ini pun kuketahui kemudian dari para perwira yang memimpin penyerbuan itu. Ada memang penunjuk jalan yang memungkinkan pasukan itu dapat menyerbu dengan mudah....”

“Engkaulah penunjuk jalan itu!” bentak Eng Eng.

Cia Sun tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Bukan, Eng-moi, bukan aku. Penunjuk jalan itu adalah seorang gadis, murid Pao-beng-pai sendiri, bernama Tio Sui Lan.”






“Bohong tidak mungkin.!” teriak Eng Eng, akan tetapi teriakan mulutnya ini tidak sesuai dengan perasaan hatinya yang menjadi bimbang.

Setelah apa yang dilakukan Siangkoan Kok kepada Sui Lan, memaksanya menjadi isteri dan memperkosanya, bukan hal yang tidak mungkin kalau Sui Lan lalu berkhianat. Dan pula, Sui Lan tentu saja mengenal semua jalan rahasia naik ke sarang Pao-beng-pai, sedangkan Cia Sun tidak akan mengetahui banyak tentang jebakan-jebakan itu. Kalau Sui Lan yang menjadi penunjuk jalan, tentu saja pasukan itu akan menyerbu naik dengan mudah.

“Terserah kepadamu, Eng-moi, untuk percaya atau tidak. Aku hanya mendengar keterangan para perwira. Ketika pasukan tiba di kaki bukit dan mulai mendaki, tiba-tiba muncul gadis itu yang kemudian menawarkan diri menjadi penunjuk jalan. Ketika pasukan menyerbu, Siangkoan Kok sedang berkelahi dengan isterinya dan ibumu sudah terdesak. Gadis yang mengkhianati gurunya itu lalu menyerang Siangkoan Kok, akan tetapi dengan mudah ia roboh dan tewas di tangan gurunya sendiri!”

“Tapi ibuku....! Tentu ia terbunuh oleh pasukan pemerintah!” kata Eng Eng, mulai tertarik karena apa yang diceritakan Cia Sun itu agaknya memang masuk akal.

Ia sudah melihat mayat Sui Lan dan luka yang mengakibatkan kematiannya memang luka beracun yang dikenalnya sebagai racun dari pedang Siangkoan Kok!

Dengan sikap tenang Cia Sun menggeleng kepala, kini senyumnya menghilang dan dia mengerutkan alisnya, mengenang kembali peristiwa menyedihkan itu.

“Sudah kuceritakan tadi, ketika pasukan menyerbu, aku cepat ikut di barisan depan karena aku ingin mencegah agar engkau dan ibumu tidak sampai ikut diserang. Ketika kami tiba di sana, kami melihat ibumu berkelahi dengan ayahmu dan ibumu roboh tertendang ayahmu. Aku cepat mencegah ketika pasukan hendak menyerang ibumu yang sudah roboh, dan memerintahkan mereka mengejar ayahmu yang melarikan diri. Aku lalu memondong tubuh ibumu yang pingsan dan ternyata ia telah menderita luka-luka parah, tentu ketika berkelahi melawan ayahmu.”

Cia Sun berhenti sebentar untuk mengamati wajah Eng Eng dan melihat bagaimana tanggapan dan sikap gadis itu terhadap ceritanya.

“Terus, lalu bagaimang?“

Eng Eng mulai tertarik dan pada saat seperti itu, ia lupa akan kemarahan dan kebenciannya terhadap Cia Sun.

“Kubawa ibumu ke dalam rumah dan kurebahkan di bangku panjang. Kucoba untuk merawatnya, akan tetapi sia-sia. Ibumu hanya siuman untuk bicara sedikit kepadaku, meninggalkan pesan-pesan dan akhirnya ia meninggal dunia dalam rangkulanku.”

“Ibuku...., bagaimana aku dapat mempercayaimu? Engkau berbohong. Ketika engkau merayuku, engkau hanya pura-pura.”

“Tidak, Eng-moi. Langit dan Bumi menjadi saksi bahwa aku sungguh mencintamu, sejak pertama kali kita bertemu, sampai sekarang....”

“Bohong! Pendusta!”

Eng Eng marah kembali karena ia teringat akan percakapan antara pemuda ini dan orang tuanya, tentang pengakuan Cia Sun kepada ayah ibunya bahwa pemuda itu telah mencinta seorang gadis lain.

“Eng-moi, kenapa engkau tidak percaya kepadaku dan menuduhku berbohong?”

Cia Sun bertanya dan dia merasa kepalanya pening sekali, bumi seperti berputaran. Itu adalah akibat racun dari jarum Eng Eng, juga karena dia mengalami tamparan-tamparan malam tadi. Namun, dia mempertahankan diri agar tidak jatuh pingsan lagi. Dia memandang gadis itu dengan sinar mata penuh permohonan.

Eng Eng melompat berdiri dan bertolak pinggang, memandang kepada pangeran itu dengan sinar mata membakar. Makin diingat tentang percakapan keluarga pangeran itu, semakin panaslah hatinya.

“Bagaimana aku dapat percaya omongan perayu busuk macam engkau? Engkau telah mencinta seorang gadis lain dan masih engkau berani mengatakan bahwa engkau mencintaku?”

Biarpun kepalanya sudah pening sekali, akan tetapi mendengar ucapan itu, Cia Sun membelalakkan matanya dan berkata dengan suara mengandung penasaran.

“Sekali ini, engkau yang berbohong, Eng-moi! Aku tidak pernah dan tidak akan mencinta gadis lain kecuali engkau seorang!”

“Pendusta besar! Kedua telingaku sendiri mendengar pengakuanmu kepada ayah ibumu bahwa engkau mencinta gadis lain yang bernama Sim Hui Eng! Hayo sangkal kalau engkau berani! Kuhancurkan mulutmu kalau engkau berdusta!”

Cia Sun mencoba untuk tersenyum, akan tetapi karena rasa nyeri berdenyut-denyut di kepalanya, membuat kepala seperti akan pecah rasanya, senyumnya menjadi pahit sekali.

“Aku tidak berdusta, Eng-moi. Memang benarlah, aku mencinta Sim Hui Eng, sejak pertama kali jumpa sampai sekarang dan aku akan tetap mencintanya karena Sim Hui Eng adalah engkau sendiri, Eng-moi.... ahhh....” Cia Sun tidak dapat menahan lagi rasa nyeri di dada dan kepalanya. Dia pingsan lagi.

Dia tidak tahu betapa Eng Eng memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan muka pucat. Sampai lama Eng Eng mengamati wajah Cia Sun, pandang matanya meragu. Ia bernama Sim Hui Eng? Apa pula artinya ini? Benarkah semua yang diceritakan Cia Sun?

Ia harus tahu apa artinya semua itu. Cia Sun mengaku kepada orang tuanya bahwa dia hanya mencinta gadis yang bernama Sim Hui Eng, dan kini dia menjelaskan bahwa Sim Hui Eng adalah ia sendiri! Bagaimana pula ini? Namanya seperti dikenal Cia Sun adalah Siangkoan Eng, kemudian karena ibunya membuka rahasia bahwa ia bukan puteri kandung Siangkoan Kok, ia pun tidak sudi lagi memakai nama keluarga Siangkoan, lebih memilih marga ibunya, yaitu Lauw.

Dan kini, tiba-tiba saja Pangeran Cia Sun mengatakan bahwa ia she Sim, dan nama lengkapnya Hui Eng! Jangan-jangan pangeran ini tidak berbohong dan sudah mengenal ayah kandungnya. Ayah kandungnya! Ibunya amat membenci ayah kandungnya. Benarkah ayah kandungnya she Sim? Benarkah semua cerita Cia Sun? Sayang bahwa pemuda ini keburu jatuh pingsan sehingga tidak dapat melanjutkan keterangannya.

Eng Eng berlutut di dekat tubuh Cia Sun. Hatinya sempat berdegup ketika ia berada begitu dekat dengan pangeran itu, dan keharuan mulai menggigit perasaannya ketika ia melihat wajah yang tampan itu bengkak-bengkak. Ia cepat mengeluarkan sebutir pil, lalu menggunakan bekal air minumnya untuk memasukkan pil itu ke dalam mulut Cia Sun yang dibukanya dengan penekanan kepada rahang pemuda itu.

Pil itu sukar ditelan maka terpaksa ia mendekatkan mulutnya dan meniup ke dalam mulut pemuda itu sehingga pil itu dapat tertelan karena ia telah menotok beberapa jalan darah, membuat pemuda itu hanya setengah pingsan. Kemudian ia mengurut sana-sini, mengobati luka-luka memar itu dengan semacam obat gosok yang selalu dibawanya sebagai bekal. Kemudian, ia menempelkan tangan kirinya ke dada pemuda itu, menyalurkan sin-kang untuk membantu pemuda itu terbebas dari luka sebelah dalam tubuhnya.

Akhirnya Cia Sun membuka matanya dan dia tersenyum melihat gadis itu bersimpuh di dekatnya dan menempelkan telapak tangan ke dadanya. Terasa betapa lembutnya telapak tangan yang mengeluarkan hawa panas itu.

“Ah, Eng-moi, engkau masih mau mengobati dan menolongku? Terima kasih.” katanya lembut dan wajah yang kini hanya tinggal membiru karena bengkaknya sudah hilang itu tersenyum!

Senyum itulah yang menikam jantung Eng Eng. Kalau pangeran itu marah-marah dan memaki-makinya, kiranya tidak akan sesakit itu hatinya. Sejak ditangkapnya tadi, sampai disiksanya, pangeran itu tidak pernah marah, bahkan selalu berbicara lembut, pandang matanya penuh kasih dan mulutnya tersenyum.

“Aku mengobatimu hanya agar engkau tidak mampus sekarang,” katanya, suaranya diketus-ketuskan. “Hayo katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu tadi bahwa aku bernama Sim Hui Eng! Jangan mempermainkan aku kalau kau tidak ingin kusiksa lebih berat lagi!”

“Sejak tadi aku tidak pernah mempermainkanmu, tidak pernah berdusta, Eng-moi. Engkau yang kurang sabar mendengarkan keteranganku. Nah, sekarang kulanjutkan ceritaku tadi. Sebelum ibumu meninggal dunia dalam rangkulanku, ia menceritakan suatu rahasia yang amat mengejutkan hatiku, juga tentu akan mengejutkan hatimu dan mungkin engkau semakin tidak percaya kepadaku. Nah, sudah siapkah engkau mendengarkan ceritaku tentang pengakuan ibumu?”

Eng Eng merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kini ia hampir yakin bahwa pangeran ini tidak pernah berbohong kepadanya! Tidak pernah berbohong dan ia sudah menculiknya, menyiksanya dan bahkan nyaris membunuhnya. Kemungkinan ini membuat darahnya berdesir meninggalkan mukanya, membuat wajahnya menjadi pucat sekali.

“Ceritakan semua!” perintahnya.

“Rahasia yang dibuka bibi Lauw Cu Si ini seluruhnya mengenai dirimu, Engmoi. Pertama-tama, engkau bukanlah anak kandung Siangkoan Kok ketua Paobeng-pai!”

Cia Sun mengira bahwa gadis itu akan terkejut sekali mendengar ini. Akan tetapi dia kecelik. Gadis itu sedikitpun tidak kelihatan kaget atau heran, bahkan mulutnya seperti membentuk senyum mengejek.

“Aku sudah tahu. Dia adalah ayah tiriku.” katanya pendek.

Cia Sun menggeleng kepalanya.
“Bukan, Eng-moi. Sama sekali bukan ayah tirimu. Dia bukan apa-apamu.”

Eng Eng terbelalak.
“Apa.... apa maksudmu? Aku dibawa ibu ketika masih kecil, berusia dua tiga tahun ketika ibuku menikah dengan Siangkoan Kok! Kenapa kau katakan dia bukan ayah tiriku?”

“Inilah rahasia besar yang dibuka ibumu kepadaku, Eng-moi. Memang benar ketika bibi Lauw Cu Si itu menikah dengan Siangkoan Kok, ia membawa seorang anak kecil dan anak itu adalah engkau, Eng-moi. Akan tetapi, engkau bukanlah anak kandung bibi Lauw Cu Si!”

“Ehhh....!!??” Eng Eng berseru setengah menjerit. “Apa… apa maksudmu.!!?”

Tangan gadis itu menangkap lengan Cia Sun dan mencengkeramnya, seluruh tubuhnya gemetar dan wajahnya semakin pucat.

“Aku mendengar dari Nyonya Siangkoan Kok yaitu bibi Lauw Cu Si, Eng-moi. Agaknya karena tahu bahwa ia akan tewas, maka ia membuka rahasia itu kepadaku. Engkau bukan anak kandungnya, engkau telah ia culik dari orang tuamu ketika engkau masih kecil, kemudian diaku sebagai anaknya sendiri.”

“Tapi.... tidak mungkin! Apa buktinya? Bagaimana aku dapat mengetahui benar tidaknya ceritamu ini?”

“Sabar dan tenanglah, Eng-moi. Aku pun tadinya terkejut dan kalau bukan bibi Lauw Cu Si sendiri yang bercerita, aku pun pasti tidak akan percaya. Akan tetapi, aku lalu teringat kepada Yo-toako! Engkau ingat Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?”

Eng Eng mengerutkan alisnya. Tentu saja ia teringat kepada pendekar yang amat lihai itu.

“Apa hubungannya dia dengan ceritamu itu?”

“Eng-moi, ingatkah engkau akan pengakuan Yo-toako bahwa dia hendak mencari seorang gadis yang diculik orang sejak kecil? Gadis itu bernama Sim Hui Eng dan Yo-toako bertugas untuk mencarinya. Bahkan dia kemudian ditipu Siangkoan Kok yang menyuruh mendiang Tio Sui Lan untuk memancingnya ke dalam gua kemudian menjebak dan menangkapnya. Nah, gadis yang dicari-carinya itu adalah engkau, Eng-moi. Engkaulah gadis yang ketika kecil diculik itu, dan penculiknya adalah bibi Lauw Cu Si yang selama ini kau anggap sebagai ibumu sendiri.”

Eng Eng masih terbelalak dan seperti berubah menjadi patung. Ia tentu saja masih diombang-ambingkan kebimbangan.

“Tapi.... tapi apa buktinya bahwa.... ibuku meninggalkan pesan itu kepadamu, dan apa buktinya bahwa aku benar-benar gadis yang bernama Sim Hui Eng itu? Tanpa bukti, bagaimana mungkin aku dapat mempercayai ceritamu?”

Cia Sun menghela napas panjang.
“Tentu saja aku tidak dapat membuktikan bahwa mendiang bibi Lauw Cu Si membuka rahasia itu kepadaku, juga ketika kami bicara, tidak ada seorang pun saksinya. Dan ia sudah meninggal dunia, jadi tidak mungkin lagi ditanyai. Akan tetapi, aku mempunyai suatu tanda rahasia yang ada pada dirimu, seperti yang diceritakan Yo-toako kepadaku. Ketika Yo-toako menerima tugas mencari anak yang hilang diculik itu, orang tua anak itu memberitahukan kepadanya adanya dua tanda rahasia di badan anak itu yang merupakan ciri-ciri khas atau tanda sejak lahir. Kalau aku katakan tanda-tanda itu dan kemudian ternyata cocok dengan keadaan dirimu, apakah engkau masih akan menganggap aku pendusta yang patut kau siksa dan kau bunuh di depan makam bibi Lauw Cu Si?”

Tentu saja Eng Eng menjadi bingung dan salah tingkah. Ia merasa ngeri kalau membayangkan bahwa pangeran itu benar dan sama sekali tidak berdusta, sama sekali tidak menipunya, dan ia telah menyiksanya seperti itu!

“Katakanlah, tanda-tanda apa yang ada pada anak yang diculik itu?” tanyanya, suaranya jelas terdengar gemetar.

“Yo-toako hanya berpegang kepada tanda-tanda itu saja untuk mencari anak yang hilang terculik itu, maka tentu saja amat sukar karena tanda-tanda itu terdapat di bagian tubuh yang selalu tertutup.”

“Katakan cepat, tanda-tanda apa itu?” tanya Eng Eng dengan suara nyaring karena ia sudah tidak sabar sekali.

“Pertama, anak itu mempunyai sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya, dan ke dua, ia pun mempunyai sebuah noda merah sebesar ibu jari kaki di telapak kaki kanannya.”

Eng Eng meloncat ke belakang, terbelalak dan seluruh tubuhnya menggigil. Melihat ini, Cia Sun menguatkan tubuhnya dan bangkit berdiri, menghampiri dengan pandang mata khawatir.

“Kenapa, Eng-moi.... dan be.... benarkah ada tanda-tanda itu pada dirimu....? Benarkah bahwa engkau ini Sim Hui Eng?”

Suara pangeran itu juga gemetar karena dia meresa tegang, khawatir kalau-kalau gadis ini bukan Sim Hui Eng seperti yang disangkanya. Sampai lama Eng Eng tidak mampu bicara, mukanya yang pucat kelihatan seperti mau menangis dan ketika ia bertanya, suaranya hampir tidak dapat didengar,

“Bagaimana.... perasaanmu terhadap aku kalau aku tidak memiliki tanda-tanda itu, kalau aku bukan Sim Hui Eng?”

“Eng-moi, masihkah engkau meragukan cintaku kepadamu? Ketika aku jatuh cinta dan meminangmu, engkau adalah puteri ketua Pao-beng-pai, bukan? Engkau tetap engkau bagiku, satu-satunya gadis yang kucinta, baik engkau mempunyai tanda atau tidak, baik engkau puteri Siangkoan Kok atau bukan, atau puteri siapapun juga. Aku tetap cinta padamu, Eng-moi, biar engkau akan membunuhku sekalipun. Tapi.... untuk meyakinkan, benarkah engkau memiliki tanda-tanda itu?”

Tiba-tiba Eng Eng menjatuhkan diri berlutut dan menangis terisak-isak. Tentu saja pangeran itu terkejut dan khawatir, lalu dia pun berlutut di depan gadis itu.

“Eng-moi, kenapa, Eng-moi....? Ah, maafkan kalau aku membuat hatimu berduka, Eng-moi. Lebih baik aku melihat engkau marah-marah kepadaku seperti tadi daripada melihat engkau bersedih seperti ini, Eng-moi.”

Ucapan itu membuat Eng Eng semakin mengguguk. Cia Sun merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk melihat keadaan kekasihnya itu dan dia pun menyentuh pundak gadis itu dengan lembut.

“Eng-moi, ada apakah....”

Akhirnya Eng Eng dapat bicara tanpa menurunkan kedua tangannya dari muka, dan air mata mengalir melalui celah-celah jari kedua tangannya.

“Kau.... kau lihat sendiri.... apakah.... ada tanda-tanda itu.”

Ia lalu menyingkap baju di bagian pundak kiri dan melepas sepatu dan kaos kakinya yang kanan. Cia Sun memandang pundak yang berkulit putih mulus itu dan di sana, jelas sekali nampak sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat. Dan pada telapak kaki yang putih kemerahan itu nampak pula noda merah.

“Kau.... kau benar-benar Sim Hui Eng....!” serunya seperti bersorak gembira.

Eng Eng kini merangkul ke arah kaki Cia Sun,
“Pangeran...., ampunkan aku.... aku telah berbuat kejam dan tidak adil kepadamu.... aku.... aku layak kau pukul. Balaslah Pangeran, pukullah aku, siksalah aku, bunuhlah aku.... huuu-huhuuuuu....!”

Gadis itu tersedu-sedu, menangis dengan perasaan menyesal, malu, dan juga marah kepada diri sendiri dan amat iba kepada pria yang dicintanya namun yang telah disiksanya tanpa salah itu. Bahkan pangeran itu telah mencegah pasukan membunuh Lauw Cu Si sehingga dia merupakan satu-satunya orang yang telah menemukan rahasia dirinya. Pangeran ini telah berjasa kepadanya. Sebaliknya, ia menuduhnya sebagai pembunuh dan ia telah menyiksanya dengan kata-kata, dengan perbuatan. Ingin ia menciumi sepatu pangeran itu untuk menyatakan penyesalannya.

Melihat betapa gadis yang dicintanya itu merangkul kakinya dan mencium sepatunya, Cia Sun cepat merangkul, menarik dan mendekap kepala itu, seolah-olah hendak membenamkannya ke dadanya untuk disimpan di dalam dada dan tidak akan dilepaskannya lagi selamanya. Dia sendiri pun membenamkan mukanya yang basah air mata ke dalam rambut itu.

Sampai beberapa lamanya mereka berpelukan dan bertangisan, dan Eng Eng beberapa kali mengusap dan membelai muka yang masih ada bekas-bekas tamparan tangannya itu dengan jari-jari gemetar. Setelah gelora keharuan hati mereka mereda, Cia Sun membiarkan Eng Eng duduk bersandar di dadanya. Dia membelai rambut yang kusut itu dan berbisik,

“Sudahlah, Eng-moi, sudah cukup engkau menyesali diri. Aku tidak akan menyalahkanmu. Memang batinmu mengalami guncangan hebat. Akhirnya semua kegelapan lewat dan kini kita berdua tinggal menyongsong sinar kebahagiaan.”

“Pangeran....”

Cia Sun menghentikan kata-kata itu dengan sentuhan bibirnya pada bibir Eng Eng.
“Hushhh...., kalau kau menyebutku pangeran, lalu apa bedanya dengan seluruh wanita yang menjadi kawula dan menyebutku seperti itu. Engkau adalah calon isteriku, engkau tunanganku, engkau kekasihku, ingat?”

Eng Eng tersipu, akan tetapi tersenyum penuh bahagia.
“Kakanda.... Cia Sun....” Betapa merdunya panggilan itu.

“Adinda Hui Eng....”

Sang pangeran berbisik dan sebutan nama yang terdengar asing baginya itu mengingatkan Eng Eng akan keadaan dirinya.

“Kakanda Pangeran, dengan hati berdebar penuh ketegangan, sekarang aku menanti engkau memberitahu kepadaku, siapa sebenarnya orang tuaku? Ayah ibuku masih hidup?”

“Engkau akan terkejut, berbahagia dan bangga sekali kalau mendengar siapa ayah ibumu, Eng-moi. Ketika engkau masih kuanggap sebagai puteri Siangkoan Kok, aku sudah kagum dan cinta padamu. Ketika aku mendengar dari bibi Lauw Cu Si siapa ayah ibumu, kekagumanku kepadamu bertambah-tambah. Ketahuilah bahwa ayahmu bernama Sim Houw dan ibumu bernama Can Bi Lan eh, kenapa kau, Eng-moi?”

Mendengar disebutnya dua nama itu sebagai ayah ibunya, Eng Eng sudah meloncat berdiri sehingga terlepas dari rangkulan pangeran itu. Ia berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat.

“Ayahku.... Pendekar Suling Naga dan ibuku Si Setan Kecil....! Aihhhhh.... Kakanda.... celakalah aku sekali ini.”

Cia Sun cepat bangkit dan merangkul gadis itu.
“Tenanglah, Moi-moi, kenapa engkau berkata begitu? Bukankah sepatutnya engkau berbangga? Ayah ibumu adalah suami isteri pendekar yang sakti dan nama mereka terkenal sekali di dunia persilatan!”

“Aih, engkau tidak tahu, Koko! Ah, betapa malunya aku berhadapan dengan mereka. Ketahuilah, aku pernah mewakili Pao-beng-pai mendatangi tiga keluarga besar para pendekar itu dan menantang mereka mengadu kepandaian. Bahkan dalam peristiwa itu, Siauw-kwi Can Bi Lan, ibu kandungku itu maju untuk menandingiku, akan tetapi aku, si tinggi hati tak tahu diri ini, aku bahkan menghinanya dan menantang Pendekar Suling Naga, ayahku sendiri untuk maju menandingiku! Aku telah bersikap angkuh dan menghina tiga keluarga besar dan ternyata Pendekar Suling Naga adalah ayahku sendiri. Bagaimana aku dapat berhadapan dengan mereka, Koko?” Dalam rangkulan Cia Sun, seluruh tubuh Eng Eng gemetar seperti orang terserang demam.

“Jangan risaukan hal itu, Eng-moi. Engkau tidak dapat disalahkan. Ketika itu, engkau mewakili Pao-beng-pai dan engkau tentu menganggap para pendekar itu sebagai musuh. Apalagi engkau hanya melaksanakan tugas, karena ketika itu engkau menganggap bahwa kau adalah puteri ketua Pao-beng-pai. Dan aku mengerti mengapa engkau mendapatkan tugas itu. Mungkin bibi Lauw Cu Si yang kau angap sebagai ibumu itulah yang mempunyai peran penting, sengaja membujuk Siangkoan Kok agar engkau melakukan penghinaan terhadap keluarga besar para pendekar itu.”

Gadis itu menatap wajah Cia Sun.
“Eh, kenapa begitu?”

“Aku sudah melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa sebetulnya mendiang bibi Lauw Cu Si itu. Ia adalah seorang keturunan pimpinan Beng-kauw yang telah hancur. Karena ia seorang tokoh sesat, tentu saja ia memusuhi keluarga besar dari Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Siluman. Itu pula yang menyebabkan ia menculikmu, yaitu untuk membalas dendam kepada Pendekar Suling Naga dan isterinya yang terkenal sebagai pendekar-pendekar yang menentang golongan sesat. Dengan mengadukan engkau melawan keluarga pendekar itu, melawan golongan orang tuamu sendiri, agaknya bibi Lauw Cu Si menemukan kepuasan tersendiri.”

“Akan tetapi, Koko. Kalau orang tuaku itu Pendekar Suling Naga dan isterinya yang merupakan sepasang suami isteri pendekar yang sakti, kenapa aku sampai dapat terculik? Dan kenapa pula mereka tidak mencari si penculik dan merampasku kembali?”

“Pertanyaan seperti itu juga kuajukan kepada Yo-toako ketika kami membicarakan anak hilang itu. Menurut keterangan Yo-toako, Pendekar Suling Naga dan isterinya sudah sejak kehilangan puteri mereka itu berusaha sampai bertahun-tahun untuk menemukan anak mereka kembali. Namun semua usaha itu sia-sia belaka. Agaknya, si penculik, yaitu bibi Lauw Cu Si, dengan cerdik sekali telah menghilang, yaitu menjadi isteri Siangkoan Kok dan tak seorang pun mengira bahwa engkau adalah anak yang diculik. Semua orang, bahkan Siangkoan Kok sendiri, menganggap engkau adalah puteri bibi Lauw Cu Si.”

Eng Eng mengangguk-angguk, semua rasa penasaran hilang, akan tetapi tetap saja ia mengerutkan alisnya. Kalau saja ia mendengar bahwa ayah ibunya adalah orang-orang biasa, bahkan petani miskin sekalipun, ia tentu akan berbahagia sekali dan merasa rindu untuk segera dapat bertemu dengan orang tuanya yang asli. Akan tetapi, Pendekar Suling Naga! Semua pengalamannya ketika ia menantang tiga keluarga besar itu terkenang dan makin dikenang, semakin merah wajahnya karena ia merasa malu bukan main.

“Koko, aku.... aku takut untuk bertemu dengan mereka, aku takut dan malu.”

Cia Sun merangkul pundaknya, dan mengajaknya menghampiri kuda mereka. Matahari telah naik tinggi dan di jalan raya sana lalu lintas sudah mulai ramai.

“Eng-moi, buang saja semua perasaan itu. Percayalah, orang tuamu tidak pernah berhenti memikirkanmu, bahkan sekarang pun masih minta bantuan Yotoako untuk mencarimu. Mereka akan berbahagia sekali kalau dapat menemukan anak mereka kembali, dan tentang kemunculanmu tempo hari, mereka tentu akan dapat mengerti. Jangan khawatir, akulah yang akan menemanimu ke sana menghadap mereka, dan aku yang tanggung bahwa mereka tentu akan menerima dengan bahagia dan tidak akan ada yang menyesalkan tindakanmu dahulu.”

“Aih, aku merasa ngeri bertemu mereka, Koko. Bagaimana kalau aku tidak usah memperlihatkan diri saja kepada mereka? Biarlah ini menjadi rahasia kita berdua saja. Aku.... aku tidak mau membuat suami isteri pendekar itu mendapat malu besar dan nama baik mereka tercemar karena mempunyai anak seperti aku.”

“Hushhhhh, jangan berkata begitu, Moi-moi. Coba jawab apakah engkau mencinta aku seperti aku mencintamu?”

“Apakah hal itu masih perlu ditanyakan lagi, Koko? Aku mencintamu, bahkan kekejamanku terhadapmu tadi pun karena terdorong cintaku padamu, karena panasnya hatiku mendengar engkau mencinta Sim Hui Eng yang kukira gadis lain. Aku cinta padamu, Koko.”

“Bagus, dan karena kita saling mencinta, apakah engkau mau menjadi isteriku?”

Gadis itu mengangguk. Sebagai puteri ketua Pao-beng-pai yang sejak kecil hidup dalam suasana kekerasan, ia tidak canggung atau malu mengaku tentang perasaan cintanya,

“Tentu saja aku mau, koko!”

“Nah, kalau begitu, karena aku seorang pangeran yang tidak mungkin meninggalkan tata-susila dan adat-istiadat, aku akan melamarmu dengan terhormat dan baik-baik. Dan untuk itu, engkau harus mempunyai wali, mempunyai orang tua. Sekarang, mari kita pergi ke Lokyang, ke rumah orang tuamu. Setelah engkau diterima dengan baik, aku akan kembali ke kota raja dan aku akan mengirim utusan untuk meminangmu secara terhormat.”

Gadis itu mengerutkan alisnya, akan tetapi begitu sinar matanya bertemu dengan pandang mata pangeran itu, ia pun mengangguk dan menurut saja ketika digandeng ke arah dua ekor kuda mereka yang sedang makan rumput. Tak lama kemudian, sepasang orang muda yang berbahagia ini pun sudah melarikan kuda, menuju ke Lok-yang.

Karena Cia Sun merupakan seorang keluarga kaisar, bahkan cucu kaisar, seorang pangeran yang pandai bergaul dan terkenal di kalangan para pejabat daerah, maka di sepanjang perjalanan dengan mudah saja dia mendapatkan pelayanan yang penuh penghormatan, mendapatkan tempat bermalam di rumah para kepala daerah, dijamu pesta dan mendapatkan penukaran kuda-kuda baru sehingga perjalanan ini cukup menyenangkan bagi Eng Eng.

**** 030 ****