Ads

Kamis, 28 April 2016

Si Tangan Sakti Jilid 024

Gadis itu berdiri termenung di lereng itu, memandang ke depan, ke arah bukit menghitam yang dinamakan orang Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan). Memang nampak menyeramkan dari lereng itu, seolah-olah lembah itu memang sepantasnya dihuni oleh setan dan iblis. Para penduduk dusun di sekitar kaki Bukit Setan itu, menganggap Ban-kwi-kok sebagai lembah yang keramat dan tak seorang pun berani mendaki ke sana.

Akan tetapi, menurut keterangan para penghuni dusun, baru sebulan yang lalu lembah itu diserbu pasukan pemerintah yang besar jumlahnya. Kabar itu mengatakan bahwa terjadi pertempuran besar, kemudian pasukan pemerintah turun dan membawa banyak tawanan, kemudian lembah itu nampak terbakar. Biarpun desas-desus mengatakan bahwa gerombolan yang bersembunyi di lembah itu telah terbasmi habis, dan lembah itu telah kosong, perkampungan gerombolan pemberontak telah dibakar, namun masih saja tidak ada seorang pun berani naik ke sana.

Gadis itu masih amat muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya. Cantik manis dan nampak gagah dengan pakaiannya yang sederhana namun serasi dengan bentuk tubuhnya yang padat dan ramping, dan pakaian itu bersih. Wajahnya yang manis, dengan sepasang matanya yang indah dan bersinar tajam, juga sederhana, tidak dipoles bedak dan gincu.

Akan tetapi, kulit mukanya memang sudah halus dan putih, dan kedua pipinya kemerahan karena sehat, demikian pula sepasang bibirnya merah tanpa gincu. Biarpun ia muda dan cantik manis, namun di sepanjang perjalanan, tidak pernah atau jarang sekali ada pria yang berani mengganggunya. Hal ini adalah karena penampilannya yang pendiam dan gagah, dengan sebatang pedang di punggung sehingga mudah diduga bahwa ia bukan wanita sembarangan yang boleh diganggu begitu saja, melainkan seorang wanita kang-ouw, seorang pendekar wanita.

Dan memang dugaan itu benar. Gadis muda ini adalah Cu Kim Giok, puteri dari pendekar Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian. Cu Kun Tek adalah pendekar yang merupakan keturunan para pendekar Cu majikan Lembah Naga Siluman. Cu Kun Tek terkenal mewarisi ilmu pedang Koailiong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman), juga ilmu tangan kosongnya Kiamto Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok), dan Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) hebat sekali. Adapun ibu gadis itu, yang bernama Pouw Li Sian, bahkan lebih lihai dibandingkan suaminya. Pouw Li Sian ini adalah murid mendiang Bu Beng Lokai yang sakti.

Ketika Cu Kim Giok diajak oleh ayah ibunya menghadiri ulang tahun dan pertemuan tiga keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong, gadis ini merasa gembira bukan main dan bangkitlah keinginannya untuk memperluas pengalaman dan pengetahuan dengan jalan merantau seperti yang dilakukan para pendekar. Ayah ibunya tidak merasa keberatan.

Mereka sendiri adalah pendekar-pendekar yang dahulu di waktu mudanya sudah biasa melakukan perjalanan merantau memperluas pengalaman. Pula, puteri mereka telah mewarisi ilmu kepandaian mereka dan tingkat kepandaian gadis itu hanya sedikit selisihnya dengan tingkat mereka sehingga Kim Giok telah memiliki bekal yang cukup untuk melindungi dan menjaga diri sendiri.

Tentu saja Kim Giok juga amat tertarik dengan peristiwa yang terjadi di rumah Suma Ceng Liong, yaitu munculnya seorang gadis cantik lihai yang mengaku sebagai seorang puteri tokoh Paobeng-pai yang memusuhi tiga keluarga besar, oleh karena itulah pada siang hari itu, ia tiba di Kwi-san dan kini termangu berdiri di lereng itu setelah ia mendengar keterangan penduduk tentang penyerbuan pasukan pemerintah yang membasmi gerombolan Pao-beng-pai di Lembah Selaksa Setan.

Ah, pikirnya, aku datang terlambat. Andaikata tidak terlambat, tentu akan dapat menyaksikan terbasminya gerombolan itu, dan kalau perlu ia akan membantu pasukan.
Bukan semata karena ia ingin membantu pemerintah. Ayah ibunya berpesan agar ia tidak melibatkan diri dengan pemerintah Mancu. Akan tetapi, ia dapat mempergunakan kesempatan selagi gerombolan itu ditumpas, untuk membalas sikap sombong dara gadis Paobeng-pai itu terhadap tiga keluarga besar. Ia menduga-duga bagaimana dengan nasib gadis cantik itu. Apakah ikut terbunuh? Atau tertawan?

Tidak ada gunanya lagi mendaki ke lembah yang sudah hancur itu. Tentu tidak ada lagi orang di sana. Cu Kim Giok membalikkan tubuhnya hendak pergi meninggalkan lereng itu. Akan tetapi baru belasan langkah ia berjalan, tiba-tiba pendengarannya yang tajam terlatih mendengar gerakan orang. Ia berhenti melangkah dan memandang ke sekeliling penuh kewaspadaan dan tiba-tiba bermunculan lima orang laki-laki yang nampak bengis.

Mereka itu berloncatan dari balik semak belukar. Melihat bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang cantik manis, mereka cengar-cengir dan menyeringai dengan sikap kurang ajar, dengan mata yang liar dan bengis.

Kim Giok bersikap tenang, namun matanya yang indah tajam itu menyapu mereka. Lima orang itu berusia antara tiga puluh tahun sampai empat puluh tahun, tubuh mereka rata-rata kekar dan kuat. Pakaian mereka butut dan kotor, tentu telah lama tidak pernah berganti pakaian.

Melihat pakaian kotor itu seperti seragam abu-abu, teringatlah ia akan beberapa orang laki-laki yang ikut datang mengawal gadis Pao-beng-pai yang berkunjung ke rumah Suma Ceng Liong tempo hari. Agaknya mereka ini sisa anggauta Pao-beng-pai, pikir gadis yang cukup cerdik ini.

Dan memang dugaannya benar. Lima orang itu adalah mereka yang berhasil lolos dari penyerbuan pasukan pemerintah. Karena takut muncul di tempat umum, lima orang ini bersembunyi saja di Kwi-san, tidak jauh dari bekas sarang Pao-beng-pai. Mereka mengharapkan dapat bertemu dengan seorang di antara para pimpinan mereka karena mereka tahu bahwa ketua mereka tidak tewas, juga tidak ikut tertawan. Hanya nyonya ketua mereka yang tewas.

Bahkan nona puteri ketua juga tidak ikut tertawan. Ketika dari tempat persembunyian mereka nampak ada gadis yang datang ke tempat itu, mereka tadinya mengira bahwa gadis itu tentulah Siangkoan Eng, dan mereka merasa girang sekali. Akan tetapi setelah mereka muncul, mereka melihat bahwa gadis itu sama sekali bukan puteri ketua mereka, melainkan seorang gadis lain yang asing sama sekali, akan tetapi gadis itu cantik manis dan menarik.

Seorang di antara mereka, yang berhidung besar dan bermata lebar, agaknya menjadi pimpinan mereka, melangkah maju dan tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu nampak karena bajunya kehilangan kancing dan terbuka. Perut itu terguncang-guncang naik turun ketika dia tertawa.

“Ha-ha-ha-ha-ha, kawan-kawan, alangkah beruntungnya kita hari ini! Kita kedatangan seorang bidadari yang cantik jelita, yang agaknya menaruh iba kepada kita dan datang untuk menghibur kita. Ha-ha-ha-ha-ha!”






Teman-temannya ikut pula tertawa. Mereka selama sebulan lebih dicekam ketakutan, kekurangan dan kedukaan. Dan hari ini tiba-tiba, tanpa disangka-sangka, mereka berhadapan dengan seorang gadis cantik! Tentu saja mereka bergembira. Anak buah Paobeng-pai terdiri dari bermacam orang, akan tetapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang berjiwa sesat.

Kalau membutuhkan, mereka tidak segan untuk melakukan perampokan dan berbagai kejahatan lainnya. Kini, melihat seorang gadis seorang diri di tempat sunyi itu, tentu saja timbul gairah mereka, seperti lima ekor harimau kelaparan melihat munculnya seekor domba seorang diri.

“Heh-heh-heh, Nona manis, siapakah engkau, siapa namamu dan mengapa engkau berada di sini seorang diri? Apakah engkau datang sengaja hendak menghibur kami berlima? Ha-ha-ha!”

Si hidung besar kembali berkata dan kini mereka berlima, sambil tersenyum menyeringai, sudah mengambil posisi mengepung gadis itu agar tidak dapat melarikan diri.

Akan tetapi, sebetulnya lima orang itu harus tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang bukan gadis sembarangan saja. Hal ini sebetulnya dapat dilihat dari sikap Kim Giok. Biarpun dikepung lima orang itu, ia bersikap tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada sesuatu yang mengancam dirinya, tidak ada sesuatu yang perlu ditakuti.

“Aneh....aneh sekali....” Ia tidak menjawab pertanyaan, bahkan bergumam sambil menggelengkan kepalanya.

“Apanya yang aneh, Nona manis? Kami bukan orang-orang aneh, kami adalah laki-laki sejati dan engkau sebentar lagi akan membuktikannya sendiri, heheh!” kata si hidung besar sambil melangkah maju mendekat.

“Aneh mengapa masih ada sisa anak buah Pao-beng-pai, kenapa kalian tidak mampus atau tertawan.” kata Kim Giok, masih tenang saja.

Mendengar ucapan gadis itu, lima orang bekas anak buah Pao-beng-pai nampak terkejut, saling pandang dan kini mengepung lebih ketat dengan sikap bengis mengancam.

“Nona, siapakah engkau sebenarnya dan mau apa engkau datang ke tempat ini?” Suara si hidung besar galak dan mengandung ancaman, tidak menggoda seperti tadi.

“Namaku tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian. Juga aku tidak mempunyai sangkut paut dengan pembasmian Paobeng-pai oleh pasukan pemerintah. Aku hanya heran mengapa kalian tidak ikut mampus atau tertawan. Nah, karena di antara kita tidak ada urusan, minggirlah dan biarkan aku lewat!” kata Kim Giok yang memang tidak ingin mencari keributan dengan bekas anak buah Pao-beng-pai yang sudah hancur itu.

Kalau ia bertemu dengan gadis tokoh Pao-beng-pai yang pernah mengacau di rumah Suma Ceng Liong, tentu akan lain lagi sikapnya. Akan tetapi ketika ia melangkah, lima orang itu cepat menghadangnya dan tetap mengepungnya. Bahkan kini sikap mereka kembali seperti tadi, dengan pandang mata tidak sopan.

“Hemmm, engkau tidak boleh pergi sebelum menghibur kami, Nona manis!”

Dan si hidung besar cepat menggerakkan kedua lengannya yang panjang, jari-jari tangan yang besar panjang itu hendak merangkul.

“Wuuut.... plakkk! Aughhh....!” tubuh tinggi besar si hidung besar itu terjengkang.

Ternyata ketika kedua tangannya sudah hampir menyentuh kedua pundak gadis itu untuk merangkul, gadis itu dengan gerakan cepat sekali menyelinap ke samping sehingga tubrukan itu luput dan sekali Kim Giok menggerakkan tangan kiri menampar, leher bawah telinga si hidung besar kena ditampar dan orang itu pun terjengkang dan terbanting, melotot dan meraba lehernya dengan mata terbelalak dan mulut mengaduh-aduh.

Empat orang temannya menjadi kaget dan marah. Mereka berempat cepat menyerbu, seolah-olah hendak berlomba untuk lebih dulu dapat meringkus gadis manis itu. Namun, sekali ini mereka membentur karang. Gerakan Kim Giok cepat bukan main, kaki dan tangannya menyambar-nyambar dan dalam segebrakan saja, empat orang itu pun terpelanting dan roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya!

Lima orang itu mengaduh-ngaduh dan menyumpah-nyumpah. Dasar golongan kasar yang tidak tahu diri dan yang selalu merasa diri mereka paling pandai, lima orang itu tidak melihat kenyataan bahwa mereka sama sekali bukanlah lawan gadis manis yang mereka sangka domba itu. Mereka tidak menyadari bahwa yang disangka domba itu sesungguhnya seekor singa betina yang amat tangguh! Mereka merasa penasaran dan kini nafsu berahi mereka terbang lenyap, terganti oleh nafsu amarah yang hanya dapat diredakan dengan darah! Mereka mencabut golok mereka dan berloncatan berdiri.

Kim Giok sudah dapat menilai sampai di mana kemampuan lima orang lawannya, maka ia pun tidak mau mencabut pedangnya, hanya berdiri tegak sambil tersenyum manis. Lima orang itu sudah menggerakkan golok mereka dan bagaikan binatang-binatang yang haus darah, mereka sudah menyerang Kim Giok, serangan maut yang dimaksudkan untuk membunuh!

Namun, pandang mata mereka menjadi kabur ketika gadis itu bergerak cepat dan lenyap bentuk tubuhnya, hanya nampak bayangannya berkelebat menyambar-nyambar bagaikan seekor capung. Itulah Pat-hong-sin-kun yang membuat tubuh gadis itu seolah-olah bergerak dari delapan penjuru angin!

Dan ketika lima orang itu membacok-bacok membabi-buta ke arah bayangan tubuh gadis itu tanpa hasil, Kim Giok kembali membagi tamparan dan tendangan, kini ia menambahi tenaganya sehingga lima orang lawan yang terkena tamparan atau tendangan, roboh untuk tidak dapat bangkit dengan cepat, hanya mengaduh-aduh, ada yang patah tulang, ada yang nanar dan ada pula yang mendadak mulas perutnya!

Kim Giok berdiri bertolak pinggang, memandang lima orang lawan yang masih mengeluh kesakitan itu.

“Hemmm, pantas saja Pao-beng-pai terbasmi pasukan pemerintah. Kiranya kalian hanya mengaku sebagai pejuang, akan tetapi sesungguhnya hanyalah segerombolan penjahat kecil yang tak tahu malu. Perampok dan pengganggu wanita. Orang-orang macam kalian ini mengaku pejuang?”

“Nona, ucapanmu lancang sekali!” tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan dalam, juga amat berwibawa karena Kim Giok merasa betapa isi dadanya tergetar oleh suara itu.

Ia terkejut dan cepat menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara dan semakin kagetlah ia ketika melihat bayangan mendaki lereng itu dari arah kanan. Kalau orang itu yang tadi mengeluarkan suara, alangkah kuatnya khi-kang dari orang itu. Jelas bahwa dia mampu mengirim suara dari jauh dengan demikian kuatnya, dan hal ini menunjukkan bahwa dia akan berhadapan dengan seorang yang amat lihai.

Gerakan orang itu pun cepat bukan main. Sebentar saja dia telah berada di situ, berdiri tegak berhadapan dengan Kim Giok. Gadis ini memang penuh perhatian. Seorang pria jantan berusia lima puluh lima tahun yang amat gagah, bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat bagaikan batu karang, mukanya persegi merah dan jenggotnya terpelihara rapi, di punggungnya nampak gagang pedang dengan ronce merah.

“Pangcu....!!” lima orang itu segera memaksa diri memberi hormat dengan berlutut kepada orang yang baru tiba ini dan tahulah Kim Giok bahwa pria ini adalah ketua Pao-beng-pai!

Tentu orang ini ayah dari gadis lihai yang pernah mengacau pesta pertemuan keluarga di rumah Suma Ceng Liong! Biarpun maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang amat lihai, namun puteri dari sepasang pendekar Lembah Naga Siluman ini sedikit pun tidak merasa gentar. Hanya ia bersikap waspada.

Pria itu menengok ke arah lima orang anggauta Pao-beng-pai itu dan mendengus marah, lalu dia menghadapi Kim Giok lagi, pandang matanya tajam mencorong itu mengamati Kim Giok penuh selidik, dari kepala sampai ke kakinya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan ketika Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah, Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai ini, dikepung oleh belasan orang jagoan istana yang datang bersama muridnya, Tio Sui Lan, murid utama yang kemudian dia paksa menjadi isterinya setelah dia bercekcok dengan isterinya, Lauw Cu Si.

Dia membunuh Sui Lan dan melukai Cu Si, akan tetapi ketika dia menghadapi pengeroyokan belasan orang jagoan istana yang membuatnya terdesak dan mendengar keributan di luar dengan adanya penyerbuan pasukan pemerintah, dia cepat meninggalkan para pengeroyoknya.

Setelah tiba di luar, dia melihat betapa tempat itu diserbu oleh pasukan yang besar sekali jumlahnya. Tahulah dia bahwa semua usahanya telah gagal, gerakannya hancur. Karena maklum bahwa melawan pasukan itu pun tidak akan ada gunanya dan akhirnya bahkan hanya akan membahayakan diri sendiri, dia pun meninggalkan Ban-kwi-kok!

Dia melarikan diri bukan karena takut, melainkan karena maklum betapa akan sia-sianya melakukan perlawanan terus. Sebagai seorang yang amat cerdik dan licik, dia tidak mau berlaku nekat dan mengorbankan diri. Tidak, demi cita-citanya, biarpun sekali ini kelompoknya dihancurkan, kalau dia masih hidup, dia dapat membentuk dan membangun kembali Pao-beng-pai, berjuang terus sampai dapat menjatuhkan kerajaan Ceng, mengusir orang-orang Mancu dari tanah air!

Karena dia ingin mengetahui keadaan bekas markas Pao-beng-pai yang telah dibasmi dan dibakar, maka siang hari itu dia mendaki Kwi-san dan kebetulan dia melihat dan mendengar apa yang terjadi di lereng itu biarpun dia masih jauh.

“Nona, siapakah engkau yang begitu lancang memaki dan menghina Pao-bengpai?” bentaknya dengan alis berkerut dan wajah bengis.

Kim Giok adalah seorang gadis yang sejak kecil dilatih ayah ibunya sendiri, bukan hanya ilmu silat tinggi, akan tetapi juga kebudayaan dan ia tahu sopan santun. Menghadapi seorang yang kedudukannya tinggi seperti ketua Pao-beng-pai, ia memang ada menaruh hormat. Akan tetapi mengingat betapa puteri orang ini pernah menghina dan mengacau dalam pertemuan tiga keluarga besar, ia merasa tidak senang dan ia pun tidak memberi hormat.

“Kalau aku tidak salah duga, tentulah engkau ini ketua Pao-beng-pai yang telah dibasmi pasukan pemerintah!” katanya, dan ia pun menentang pandang mata pria itu dengan penuh keberanian.

“Benar, akulah Siangkoan Kok. Sekarang katakan, siapa engkau dan kenapa engkau menghina Pao-beng-pai!”

“Maaf, Pangcu. Aku sama sekali tidak menghina Pao-beng-pai. Bahkan aku akan menghormati Pao-beng-pai kalau memang perkumpulan itu benar-benar merupakan perkumpulan orang-orang gagah yang berjuang menentang penjajah Mancu. Akan tetapi, aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya saja. Aku mendengar tentang penyerbuan pasukan pemerintah terhadap Pao-beng-pai dan aku ingin melihat keadaan di sini. Aku, Cu Kim Giok, ingin meluaskan pengalaman dan kesempatan ini tidak kulewatkan begitu saja. Akan tetapi, apa yang kudapatkan? Lima orang itu muncul, mengaku sebagai anggauta Pao-beng-pai dan mereka bersikap sebagai penjahat-penjahat kecil, hendak merampok dan mengganggu wanita. Kalau memang anggauta-anggauta Pao-beng-pai seperti itu, lalu apa yang harus kukatakan terhadap Pao-beng-pai?”

Siangkoan Kok melirik ke arah anak buahnya yang kini sudah bangkit berdiri bergerombol sambil memandang penuh harapan, ingin melihat ketua mereka menundukkan gadis yang telah menghajar mereka itu. Lalu dia berkata,

“Tidak sembarang orang boleh menilai kami. Nona, aku ingin melihat dulu sampai di mana kepandaianmu, baru aku akan mengambil keputusan, apa yang harus kulakukan terhadap dirimu.”

“Pangcu, kalau engkau membela mereka itu, aku berani mengatakan bahwa memang Pao-beng-pai dipimpin oleh orang yang tidak baik!” kata Kim Giok berani.

“Kita bicara lagi setelah kita mengadu kepandaian. Nah, sambutlah seranganku ini!”

Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala gadis itu. Angin yang dahsyat menyambar, disusul angin yang menyambar dari samping karena tangan kedua sudah mengikuti serangan pertama itu dengan mencengkeram ke arah perut.

Kim Giok memang kurang pengalaman bertanding, namun ia telah digembleng oleh ayah bundanya sejak kecil, maka ia segera mengenal serangan yang berbahaya. Cepat ia pun mengerahkan gin-kangnya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang untuk mengelak sehingga serangan kedua tangan Siangkoan Kok yang beruntun itu luput.

Diam-diam Siangkoan Kok maklum bahwa gadis ini biarpun masih muda, memang cukup berisi, agaknya tidak kalah dibandingkan dengan mendiang Tio Sui Lan, murid pertamanya. Dia mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin berpusing.

Kembali Kim Giok menggunakan ginkang dan mengelak dengan gerakan cepat sekali, membuat tubuhnya hanya merupakan bayangan yang berkelebatan mengelak di antara hujan serangan lawan. Karena maklum bahwa lawannya benar-benar tangguh, Kim Giok mencabut pedangnya dan nampaklah sinar berkilat dan terdengar bunyi desing yang aneh, seperti gerengan binatang buas, seperti auman harimau. Itulah Koai-liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman), pedang milik ayahnya yang diberikan kepadanya agar gadis itu dapat melindungi diri dengan baik.

Melihat sinar pedang dan dengungnya yang menyeramkan itu, diam-diam Siangkoan Kok terkejut dan kagum bukan main.

“Ahhh, po-kiam (pedang pusaka) yang hebat!” teriaknya dan begitu Kim Giok memainkan pedangnya, dia pun semakin kaget dan cepat mencabut pedangnya sendiri, kaget karena dia maklum bahwa biarpun dia memiliki tingkat kepandaian tinggi, namun terlalu berbahaya baginya kalau menghadapi pedang seperti itu dengan tangan kosong saja.

Apalagi gerakan ilmu pedang gadis itu pun hebat dan dahsyat, bagaikan seekor naga yang mengamuk. Segera terjadi pertandingan pedang yang amat seru. Setelah lewat belasan jurus, tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat jauh ke belakang dan berseru,

“Tahan dulu!”

Kim Giok berdiri tegak, pedang juga tegak lurus di depan dadanya.

“Nona, bukankah itu Koai-liong Kiamsut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang kau mainkan? Dan tentu pedang itu Koai-liong-pokiam! Apa hubunganmu dengan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman?”

Kim Giok tersenyum.
“Namaku Kim Giok, tentu engkau dapat menduganya, Pangcu.”

“Ah, benar! Engkau tentu keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman! Sudah lama aku mendengar tentang keluarga Cu yang gagah perkasa. Ah, sungguh beruntung hari ini dapat menguji kepandaian seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman. Nah, sambutlah seranganku ini dan keluarkan seluruh ilmu pedang Naga Siluman itu, Nona!”

Setelah berkata demiklan, Siangkoan Kok menerjang ke depan dengan dahsyat karena dia tahu betapa lihainya pedang dan ilmu pedang gadis muda itu. Dia memang sejak dahulu ingin sekali menguasai semua ilmu silat tinggi di seluruh dunia, maka dia sejak dahulu memancing para tokoh persilatan untuk mengadu ilmu dan dengan cara itu dia dapat mempelajari ilmu mereka.

Kini, berhadapan dengan seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman, tentu saja dia tidak mau melewatkan kesempatan baik itu untuk memaksa Kim Giok memainkan ilmu pedang itu. Justeru kelihaian Siangkoan Kok terletak kepada kekuatan ingatannya sehingga sekali melihat, dia sudah hampir dapat mengingat dan menguasai gerakan itu. Karena pengetahuannya yang luas tentang ilmu-ilmu dari para tokoh besar, maka dia pun tentu saja menjadi lihai bukan main.

Karena didesak lawan yang lihai, tentu saja terpaksa Kim Giok memainkan Kaoi-liong Kiam-sut sepenuhnya, bahkan ia mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat memang ilmu pedang gadis ini. Pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan mengeluarkan suara mengaung, seolah-olah ada naga yang melayang-layang dan mengamuk.

Melihat ini, lima orang anak buah Pao-beng-pai itu diam-diam memaki diri mereka sendiri, seperti buta tidak melihat bahwa gadis itu adalah seorang yang demikian lihainya. Bergidik mereka membayangkan betapa tadi mereka berani hendak kurang ajar kepada gadis itu. Kalau tadi gadis itu mencabut pedangnya, mungkin sekarang mereka telah menjadi setan-setan tanpa kepala!

Betapapun hebatnya ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi ketangguhan seseorang bukan hanya bergantung sepenuhnya kepada ilmu silatnya, melainkan lebih banyak kepada keadaan orang itu sendiri. Dibandingkan Siangkoan Kok, tentu saja Kim Giok kalah segala-galanya, walaupun mungkin ilmu pedangnya tidak kalah dibandingkan ilmu pedang lawan. Ia kalah tenaga, kalah pengalaman bertanding, juga jauh kalah matang dalam gerakan ilmu pedang.

Setelah lewat seratus jurus, karena ditekan terus sehingga ia harus berulang kali memainkan ilmu pedangnya, ia sudah mandi keringat dan napasnya mulai tersengal. Tahulah gadis ini bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan roboh oleh pedang lawan. Namun, ia sudah dilatih ayah ibunya untuk tidak mengenal takut dan pantang menyerah kepada seorang yang jahat. Lebih baik mati dengan pedang di tangan daripada menyerah kepada seorang yang jahat dan yang tentu akan membuat ia lebih menderita daripada kalau ia roboh dan tewas. Baru lima orang anak buahnya saja sudah seperti itu, apalagi ketuanya! Maka, ia pun terus menggerakkan pedangnya dengan nekat, walaupun tenaganya sudah banyak berkurang.

Makin lama, semakin repotlah Kim Giok, hanya mampu mengelak dan menangkis saja, itu pun setiap kali menangkis, pedangnya terpental dan lengannya tergetar hebat. Pada saat itu, terdengar suara tawa yang aneh, tawa mengejek yang mengandung getaran yang membuat kedua orang yang sedang bertanding itu terpaksa menghentikan gerakan mereka karena mereka merasa betapa jantung mereka terguncang.

Mempergunakan kesempatan terlepas dari desakan karena lawan menghentikan gerakan pedangnya, Kim Giok melompat ke belakang dan menengok ke arah orang yang tertawa itu. Juga Siangkoan Kok menoleh.

Yang tertawa itu adalah seorang laki-laki muda yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun, gagah dan tampan sekali. Alisnya hitam tebal dan panjang, matanya mencorong, hidungnya mancung dan mulutnya yang tersenyum itu manis, dagunya juga kokoh dan mukanya bersih. Tubuhnya tegap berisi otot yang membuat dia nampak gagah.

Pakaiannya tidak mewah namun rapi dan bersih. Pemuda itu sudah menghentikan tawanya dan kebetulan dia memandang kepada Kim Giok. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat, kemudian wajah Kim Giok berubah kemerahan dan ia pun menundukkan mukanya. Hatinya berdebar aneh dan harus diakui bahwa ia merasa amat tertarik kepada pemuda yang tampan dan gagah itu.

Akan tetapi, sebaliknya Siangkoan Kok mengerutkan alisnya, matanya melotot marah. Tentu saja dia memandang rendah kepada pemuda yang tidak dikenalnya itu, yang berarti tidak terkenal pula.

“Heh siapa engkau berani mentertawakan aku dan mencampuri urusanku?”

Pemuda itu bukan lain adalah Ouw Seng Bu yang belum lama ini telah berhasil menguasai Thian-li-pang dan menjadi ketuanya. Dia mendengar tentang kehancuran Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah. Dia ingin sekali melihat bagaimana keadaan Pao-beng-pai sekarang karena dia ingin memperkuat Thianli-pang dengan bersekutu dan bekerja sama dengan para perkumpulan lain yang besar seperti Pek-lian-kauw, Pat-kwa-pai, dan Pao-beng-pai.

Biarpun dia sendiri belum pernah melihat Siangkoan Kok, namun dia sudah menyelidiki dan mendengar bagaimana keadaan ketua Pao-beng-pai itu. Maka, ketika melihat pria setengah tua yang gagah perkasa itu bertanding melawan seorang gadis yang juga lihai, akan tetapi gadis itu terdesak, Ouw Seng sengaja mengeluarkan suara tawa yang dilakukan dengan pengerahan khi-kang sehingga kedua orang yang sedang bertanding itu terkejut dan menghentikan pertandingan mereka.

Mendengar teguran Siangkoan Kok, Seng Bu yang datang untuk mencari kawan, tersenyum.

“Bukankah aku berhadapan dengan Siangkoan Kok, pangcu dari Pao-beng-pai?” tanyanya, kini sikapnya sopan dan ramah.