Ads

Kamis, 28 April 2016

Si Tangan Sakti Jilid 023

“Apa kau bilang? Heh, Sun-ji (anak Sun), lupakah engkau siapa dirimu ini? Engkau adalah cucu Kaisar, tahu? Engkau adalah seorang pangeran, cucu kaisar sendiri! Dan kau katakan bahwa engkau jatuh cinta kepada puteri ketua Pao-beng-pai, kaum pemberontak itu? Gila!”

“Ayah, apakah cucu kaisar itu bukan manusia? Dan puteri Pao-beng-pai juga bukan manusia? Kami berdua sama-sama manusia, pria dan wanita, maka apa yang perlu diherankan kalau kami saling jatuh cinta?” bantah Pangeran Cia Sun di depan ayahnya dan ibunya.

Dia baru saja pulang dan langsung melapor kepada ayah ibunya bahwa dia jatuh cinta kepada Siangkoan Eng, puteri ketua Pao-beng-pai dan minta kepada orang tuanya agar meminang gadis itu untuk menjadi isterinya.

“Anakku, bagaimana engkau dapat berkata seperti itu?” Ibunya membujuk dengan lembut dan meletakkan tangannya di pundak puteranya. “Tentu saja engkau tidak mungkin dapat disamakan dengan pemuda biasa yang lain, dapat menikah dengan sembarang gadis saja.”

“Akan tetapi, Ibu. Kami sudah saling mencinta, dan cinta tidak mengenal pangkat atau derajat!” bantah Cia Sun.

“Cia Sun!” Ayahnya, Pangeran Cia Yan, membentak marah. “Ingat, sejak engkau masih kecil, kami telah mengikat tali perjodohanmu dengan puteri Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong. Puterinya itu seorang gadis yang cantik jelita, berbudi, gagah perkasa dan bahkan mendapat julukan Si Bangau Merah. Kami bangga sekali mempunyai mantu seperti gadis itu. Dan baru-baru ini, ayah ibu gadis itu datang ke sini. Mereka menantimu, akan tetapi sia-sia saja mereka menanti walaupun kami telah mengirim orang untuk mencarimu dan memanggilmu pulang. Dalam pertemuan itu ayah ibumu sudah mematangkan urusan itu, dengan resmi kami mengambil keputusan untuk menjodohkan engkau dengan Tan Sian Li. Ialah calon jodohmu, bukan wanita lain!”

“Tapi, Ayah. Aku dan ia tidak saling mencinta, bahkan bertemu muka pun belum pernah!” Cia Sun membantah.

“Sudah cukup!” Pangeran Cia Yan membentak marah. “Engkau yang belum pernah membalas budi ayah ibumu, sekarang bahkan hendak menjadi anak yang murtad dan tidak berbakti? Pendeknya, Tan Sian Li adalah calon isterimu, bukan perempuan lain!”

Ibunya cepat melerai.
“Anakku, kenapa engkau menjadi bingung? Tentu saja engkau dapat mengambil wanita lain sebagai selir kalau engkau menyukai gadis-gadis lain.”

Ayahnya memotong.
“Tentu saja engkau boleh mempunyai selir, akan tetapi selir-selirmu pun harus gadis baik-baik agar jangan menodai nama keluarga kita. Kita ini keluarga Cia, keluarga Kaisar, tahu? Kalau engkau mencinta gadis lain, tentu boleh kau jadikan selir, dan gadis itu... siapa tadi kau bilang? Ah, puteri ketua Pao-beng-pai? Kau maksudkan perkumpulan pemberontak yang baru-baru ini mengadakan pertemuan rahasia dengan para pemberontak lain untuk menggulingkan pemerintah? Gila!”

“Tapi Siangkoan Eng tidak seperti ayahnya, Ayah. Ia sama sekali tidak jahat, bahkan ia berjanji kalau menjadi isteriku, tidak akan mencampuri urusan dunia kang-ouw, tidak akan mencampuri urusan pemberontakan lagi.”

“Ihhh, engkau agaknya sudah terkena guna-guna. Dan Pao-beng-pai....? Hemmm, kiranya engkaulah pemuda yang ditawan mereka itu?”

“Ayah tahu tentang itu?” Cia Sun memandang ayahnya dengan heran. “Memang aku telah ditawan mereka, dan kalau tidak ada Eng-moi, tentu aku telah mereka bunuh, atau dijadikan sandera untuk mengacau pemerintah, Ayah.”

“Sudah, jangan bicara lagi tentang gadis Pao-beng-pai itu. Sekarang pun pasukan telah bergerak ke sana untuk membasminya sampai ke akar-akarnya dan membunuh seluruh pimpinannya.”

Cia Sun terbelalak.
“Ahhh? Apa yang Ayah katakan?”

Pangeran Cia Yan mengangguk-angguk dan tersenyum, merasa menang. Lalu dia berkata bangga,

“Apa kau kira pemerintah bodoh? Di antara para tamu, terdapat mata-mata kita yang diselundupkan. Kalau engkau saja dapat menyelundup menjadi tamu, apalagi mata-mata yang cerdik. Sekarang Ciong-ciang-kun (perwira Ciong) telah membawa pasukan untuk membasmi gerombolan pemberontak itu dan....” Pangeran Cia Yan terkejut melihat puteranya bangkit berdiri dan melangkah pergi.”....Hei, kau mau ke mana?”

Cia Sun menoleh dan berkata,
“Ayah, Ibu, aku harus pergi, aku harus menyelamatkan Eng-moi dan ibunya. Mereka tidak bersalah, mereka tidak boleh ikut terbasmi!”

Dan pemuda itu pun berlari cepat meninggalkan rumah orang tuanya, tidak memperdulikan teriakan ayah ibunya yang memanggilnya.

Kedua orang tua itu hanya menghela napas panjang dan menggeleng kepala saja.
“Itulah sebabnya aku ingin sekali dia menjadi suami seorang wanita perkasa seperti Si Bangau Merah,” kata Pangeran Cia Yan kepada isterinya. “Semenjak dia suka belajar silat, wataknya pun berubah menjadi keras kepala dan berjiwa petualang. Kalau dia tidak mendapatkan seorang isteri yang pandai dan berwibawa, berilmu tinggi, tentu tidak ada yang akan mampu mengendalikannya.”

Cia Sun cepat berlari ke markas pasukan untuk mencari Perwira Ciong yang sudah dikenalnya. Akan tetapi dia terlambat. Perwira itu telah berangkat bersama pasukannya yang berjumlah seribu orang. Cia Sun cepat melakukan pengejaran, menunggang seekor kuda.

Pada waktu itu memang banyak terdapat perkumpulan atau kelompok orang-orang yang melakukan usaha untuk menentang pemerintah kerajaan Mancu. Namun, satu demi satu, perkumpulan pejuang yang disebut pemberontak oleh kerajaan Mancu, dapat dihancurkan.

Kekuatan pasukan Mancu masih amat kuat, sedangkan para pejuang itu tidak mempunyai persatuan yang kokoh. Mereka bahkan membentuk kelompok sendiri-sendiri, bukan hanya itu bahkan di antara mereka kadang terdapat bentrokan sendiri yang tentu saja melemahkan kekuatan mereka.






Banyak pula bermunculan perkumpulan pejuang yang lebih condong menjadi perkumpulan golongan sesat atau golongan hitam, karena mereka melakukan segela macam bentuk kejahatan.

Pao-beng-pai merupakan satu diantara perkumpulan pejuang yang pada hakekatnya memang membenci, bahkan mendendam kepada kerajaan Mancu. Hal ini adalah karena pemimpinnya atau pendirinya, Siangkoan Kok, adalah seorang keturunan keluarga kerajaan Beng yang telah dijatuhkan oleh bangsa Mancu. Oleh karena itu, gerakan perjuangan Pao-beng-pai ini lebih condong kepada gerakan untuk membalas dendam atau merampas kembali tahta kerajaan Beng yang sudah dirampas oleh bangsa Mancu yang mendirikan kerajaan Ceng.

Namun, karena Siangkoan Kok, keturunan keluarga kerajaan Beng itu juga seorang datuk sesat, bahkan isterinya, Lauw Cu Si, juga keturunan pimpinan Beng-kauw yang terkenal sebagai perkumpulan sesat, maka Pao-beng-pai juga merupakan perkumpulan yang tidak pantang melakukan kekejaman atau kejahatan.

Pihak pemerintah selalu mengamati perkembangan perkumpulan-perkumpulan pemberontak seperti itu. Pemerintah memang maklum bahwa tidak mudah membasmi seluruh pemberontak sampai ke akar-akarnya. Sudah seringkali pasukan pemerintah menghancurkan gerombolan pemberontak, akan tetapi para anak buahnya yang berhasil meloloskan diri, segera bergabung lagi dengan kelompok pemberontak lain. Oleh karena itu, pemerintah hanya memperhatikan kelompok yang besar-besar dan berbahaya saja.

Ketika Pao-beng-pai mengadakan pertemuan dengan para tokoh kang-ouw, tentu saja peristiwa ini tidak terlepas dari perhatian para mata-mata yang disebar oleh pemerintah.
Setelah menyaksikan pertemuan itu, mendengar betapa Pao-beng-pai menyusun kekuatan, mengajak semua pihak yang menentang pemerintah untuk bergabung dan bekerja sama untuk melakukan pemberontakan, mata-mata cepat memberi kabar ke kota raja dan para panglima yang bertugas menumpas setiap pemberontakan segera mengambil tindakan tegas dan cepat.

Panglima Ciong, yang terkenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan pandai, yang sudah seringkali melakukan pembasmian terhadap para pemberontak, segera ditugaskan untuk memimpin pasukan seribu orang menyerbu dan membasmi Pao-beng-pai di Han-kwi-kok, lembah Bukit Iblis.

Siangkoan Kok marah sekali ketika mendengar bahwa puterinya, Siangkoan Eng pergi dari Ban-kwi-kok tanpa pamit. Selama belasan hari ini dia memang tidak pernah menengok lagi kepada isteri dan puterinya itu, sejak dia marah-marah hampir membunuh Eng Eng. Dia tidak mempedulikan mereka, dan berpengantinan dengan isterinya yang baru, yaitu bekas muridnya yang dipaksanya untuk melayaninya dan menjadi pengganti isterinya.

Dengan kemarahan meluap-luap, pria tinggi besar berusia lima puluh lima tahun ini, pergi mencari Lauw Cu Si, isterinya yang sedang menangis di ruangan belakang. Mukanya merah sekali dan begitu melihat isterinya yang menangis, dia pun membentak.

“Kemana perginya anak durhaka itu? Engkau tentu yang sengaja menyuruhnya minggat, bukan?” bentakan ini disertai tangannya menggebrak meja dan bagaikan tergetar seluruh ruangan itu.

Lauw Cu Si yang sedang menangisi kepergian puterinya, dan tadi duduk, segera menghentikan tangisnya dan bangkit berdiri. Nyonya berusia empat puluh tahun ini masih cantik. Kalau biasanya ia selalu tunduk dan penurut, kini ia bangkit berdiri dan tegak menghadapi suaminya, mukanya diangkat dan sepasang matanya bersinar-sinar, menatap wajah suaminya dengan penuh keberanian dan kemarahan, kemudian telunjuk kirinya ditudingkan ke arah muka suaminya dan terdengar suaranya, suara yang menggetar dan mengandung kemarahan yang hebat.

“Kau....! Kau manusia binatang, kau iblis busuk, engkaulah yang membuat Eng Eng melarikan diri, meninggalkan aku! Engkau yang harus bertanggung jawab. Ia bukan anakmu, bukan darah dagingmu, bukan apa-apamu. Ia milikku, anakku, akan tetapi engkau hampir membunuhnya! Sekarang ia pergi dan engkau yang harus bertanggung jawab!”

Kemarahan Siangkoan Kok meluap-luap. Selama ini, isterinya itu belum pernah memakinya seperti itu.

“Perempuan busuk tak mengenal budi! Aku telah mengangkatmu dari lembah kehinaan setelah Beng-kauw hancur, juga memelihara anakmu seperti anakku sendiri. Dan begini balas kalian kepadaku? Kalau tahu akan begini, sudah sejak dulu Eng Eng kubunuh, dan kau juga!”

“Apa? Kau hendak membunuh kami? Cobalah kalau engkau mampu! Kau kira aku takut padamu?” Wanita itu saking sedihnya ditinggal pergi anaknya, menjadi marah dan nekat.

Walaupun ia tahu benar bahwa ilmu kepandaiannrya masih kalah dibandingkan suaminya, ia berani menantang!

“Bagus, kalau begitu mampuslah kau Lauw Cu Si, perempuan tak tahu diri!”

Siangkoan Kok menerjang isterinya dengan dahsyat. Namun, Lauw Cu Si yang sudah nekat, cepat mengelak dan membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Bahkan wanita ini sudah mencabut pedangnya, lalu menyerang bertubi-tubi. Siangkoan Kok juga mencabut pedangnya dan suami isteri ini lalu berkelahi mati-matian.

Lauw Cu Si adalah seorang tokoh sesat, keturunan ketua Beng-kauw dan ia memiliki ilmu silat yang dahsyat dan keji pula. Tingkat kepandaiannya sudah tinggi dan ia hanya kalah sedikit saja dibandingkan suaminya, maka tidaklah terlalu mudah bagi Siangkoan Kok untuk membunuh isterinya.

Para murid dan anggauta Pao-beng-pai yang melihat perkelahian ini menjadi bingung sekali. Mereka tidak berani mencampuri. Orang-orang yang mungkin berani mencampuri hanyalah Siangkoan Eng, atau mungkin juga Tio Sui Lan, murid kepala dari Siangkoan Kok yang kini menjadi selirnya itu.

Akan tetapi pada saat itu, Eng Eng tidak ada, sudah pergi tanpa pamit, dan ketika para murid mencari Tio Sui Lan, mereka juga tidak dapat menemukan murid utama yang selama beberapa hari ini menjadi isteri ketua mereka. Karena bingung, tidak tahu harus berbuat apa, para murid dan anggauta Pao-beng-pai itu bahkan menjauh, sama sekali tidak berani mencampuri perkelahian antara sang ketua dan isterinya, karena mereka tahu bahwa mencampuri berarti akan mati konyol.

Pada saat semua orang menjadi bingung itu, terdengar suara gaduh di lereng bukit, suara tambur dan terompet, suara sorakan riuh rendah.

Siangkoan Kok sudah dapat menekan dan mendesak Lauw Cu Si. Pedangnya berubah menjadi gulungan sinar kemerahan, dan biarpun Lauw Cu Si sudah melawan dengan nekat saking marahnya, tetap saja ia kalah tingkat dan terdesak, bahkan ia telah menderita beberapa luka karena tusukan dan bacokan pedang.

Suara tambur dan terompet itu mengejutkan Siangkoan Kok. Akan tetapi Lauw Cu Si tidak peduli. Satu-satunya perhatian wanita ini hanyalah ingin membunuh pria yang selama ini dipuja dan ditaatinya, karena pria ini hampir saja membunuh puterinya, dan kini ingin membunuhnya.

Namun, Siangkoan Kok yang kini terkejut dan bingung mendengar suara gaduh dan disusul sorak-sorat dan suara pertempuran, cepat menggerakkan kakinya menendang. Karena isterinya memang sudah terdesak oleh pedangnya, maka tendangan itu tidak dapat dielakkan Lauw Cu Si.

“Desss....!”

Kaki Siangkoan Kok yang besar dan kuat itu menghantam perut isterinya, dan Lauw Cu Si terjengkang dan terlempar, roboh terbanting dan pingsan! Siangkoan Kok sudah tidak lagi memperdulikan isterinya karena dari teriakan-teriakan para anak buah Pao-beng-pai, dia dengan terkejut sekali mengetahui bahwa sarangnya diserbu pasukan pemerintah!

Pada saat itu, muncul Tio Sui Lan bersama belasan orang perwira! Wanita muda itu menudingkan telunjuknya ke arah Siangkoan Kok sambil berkata,

“Inilah si jahanam Siangkoan Kok, si manusia iblis!”

Melihat munculnya murid yang telah dipaksanya menjadi isterinya itu bersama belasan orang perwira, Siangkoan Kok segera tahu apa yang terjadi. Murid ini telah mengkhianatinya! Pantas sejak pagi Sui Lan tidak nampak. Ketika dia bangun tidur tadi, dia tidak melihat Sui Lan di sisinya. Hal ini sudah membuatnya marah-marah, apalagi ketika mendengar bahwa Eng Eng telah minggat meninggalkan Pao-beng-bai, kemarahannya memuncak.

Selama ini Eng Eng menjadi puterinya yang patuh, bahkan menjadi pembantu utama, menjadi tokoh kedua sesudah dia di Pao-beng-pai. Kini, tahu-tahu murid yang telah dipaksanya menjadi isteri selama belasan hari itu, tiba-tiba muncul dengan belasan orang perwira pemerintah yang membawa pasukan dan yang agaknya kini melakukan penyerbuan ke situ.

“Pengkhianat kau....!!” teriaknya sambil melotot memandang kepada wanita yang malam tadi masih menjadi kekasihnya tercinta.

Akan tetapi Sui Lan tersenyum mengejek, dan kedua matanya bercucuran air mata!
“Engkaulah manusia iblis! Dan ini pembalasanku, Siangkoan Kok!”

Teriaknya dan dengan nekat Sui Lan yang sudah memegang pedang itu kini menerjang dan menyerang pria yang selama ini menjadi gurunya yang ditaati, kemudian ketaatannya hancur bersama kehormatannya yang direnggut secara paksa oleh orang yang dihormatinya itu.

Para perwira itu terkejut. Tadi ketika mereka memimpin pasukan mendaki lereng Kwi-san menuju Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) setelah semalam mengurung tempat itu, mereka bertemu dengan seorang wanita cantik yang menuruni lereng. Segera wanita itu dikepung. Wanita itu adalah Tio Sui Lan!

Ketika melihat bahwa tempat itu telah terkepung pasukan pemerintah, Sui Lan yang tadinya hendak melarikan diri, menjadi girang sekali. Ia lalu menyatakan ingin membantu pasukan menghancurkan Pao-beng-pai. Ia mengatakan bahwa tanpa petunjuk jalan yang mengenal tempat itu, penyerbuan akan menghadapi kesulitan karena di sekeliling Ban-kwi-kok dipasangi jebakan-jebakan yang amat berbahaya.

Usulnya diterima dan demikianlah, berkat petunjuk wanita yang menjadi pengkhianat karena sakit hati itu, pasukan pemerintah dapat naik sampai mengurung sarang Pao-beng-pai dengan mudah. Kini, setelah berhasil menyusup dengan diam-diam dan penyerbuan dilakukan serentak sehingga menggegerkan para anggauta Pao-beng-pai,

Sui Lan menjadi petunjuk jalan bagi para perwira untuk mencari pemimpin pemberontakan dan melihat pemimpin pemberontak itu baru saja merobohkan isterinya sendiri. Dan melihat Sui Lan tiba-tiba menyerang Siangkoan Kok, para perwira tentu saja terkejut dan khawatir karena mereka semua sudah mendengar betapa lihainya katua Pao-beng-pai itu. Mereka serentak maju, namun terlambat.

Ketika Sui Lan menyerang Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai ini sedemikain marahnya sehingga dia menyambut bekas murid dan juga bekas kekasin paksaan itu dengan pedangnya. Sambutan yang dahsyat dan penuh keberanian sehingga pedangnya seperti kilat menyambar.

“Tranggg.... crakkk!”

Pedang di tangan Tio Sui Lan terlempar, disusul tubuhnya yang roboh mandi darah karena pedang di tangan Siangkoan Kok telah menembus dadanya! Wanita yang malang itu tewas seketika karena pedang ketua Pao-beng-pai itu beracun, juga pedang itu menembus jantungnya.

Belasan orang perwira cepat menerjang dan mengeroyoknya. Mereka adalah jagoan-jagoan dari kota raja. Biarpun kalau maju seorang demi seorang, mereka bukan lawan Siangkoan Kok, akan tetapi karena maju bersama, tentu saja ketua Pao-beng-pai menjadi kewalahan dan repot sekali. Apalagi melihat keadaan di luar rumah yang gaduh. Dia ingin melihat keadaan para anggautanya, maka dia pun meloncat ke belakang dan menghilang melalui sebuah pintu yang segera tertutup sendiri ketika belasan orang perwira itu hendak mengejar.

“Itu isterinya, kita basmi saja sekalian!” teriak seorang perwira.

Saat itu, Lauw Cu Si sudah siuman dari pingsannya dan ia sudah bangkit duduk lalu berdiri sambil memegang pedangnya yang tadi terlepas ketika ia roboh tertendang suaminya. Melihat belasan orang perwira itu mengepungnya, ia pun melintangkan pedang di depan dada.

“Hemmm, bunuhlah aku. Aku memang telah terperosok, bodoh sekali menjadi isteri Siangkoan Kok!” katanya dengan sikap gagah walaupun tubuhnya sudah luka-luka oleh pedang suaminya dan terutama sekali, tendangan tadi masih terasa dan melemahkan tubuhnya.

“Bunuh ia!” teriak para perwira dan siap hendak mengeroyok.

“Tahan, jangan serang!” terdengar seruan dan ketika para perwira menoleh, mereka terkejut dan heran mengenal Pangeran Cia Sun sudah berada disitu dengan pedang di tangan. “Lebih baik cepat mengejar ketua Pao-beng-pai dan membasmi anak buahnya!”

Belasan orang perwira itu meragu,
“Tapi....tapi.... ia dapat berbahaya bagi Paduka....” kata seorang perwira sambil menunjuk ke arah wanita itu.

“Tidak! Aku mengenalnya, ia tidak jahat. Kalian pergilah!”

Para perwira memberi hormat lalu cepat berloncatan keluar dari ruangan itu, untuk memimpin anak buah mereka yang sedang bertempur melawan para angauta Pao-beng-pai,

“Bibi....!” kata Cia Sun. “Di mana Eng-moi....?”

Wanita itu hanya menggeleng kepala, hendak menggerakkan kakinya, akan tetapi ia terhuyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat dirangkul Cia Sun.

“Bibi.... menderita luka-luka....? Oleh para perwira itu?”

Wanita itu menggeleng, hendak bicara, akan tetapi tiba-tiba ia muntah darah. Melihat ini, terkejutlah Cia Sun, maklum bahwa wanita itu terluka parah. Dipondongnya Lauw Cu Si yang setengah pingsan itu dan terpaksa dia melangkahi mayat Tio Sui Lan yang tadinya membuat dia terkejut bukan main ketika pertama kali memasuki ruangan itu, mengira itu mayat kekasihnya. Dia merebahkan tubuh Lauw Cu Si ke atas sebuah bangku panjang.

Kini Lauw Cu Si dapat bicara, walaupun terengah-engah dan menahan rasa nyeri.
“Jahanam itu.... Siangkoan Kok.... yang memukulku....”

Tentu saja Cia Sun merasa heran sekali.
“Bibi, dimana Eng-moi?”

“Ia sudah pergi kemarin, tanpa pamit. Itu yang membuat Siangkoan Kok marah.”

“Tapi kenapa Eng-moi pergi?”

“Ketika Siangkoan Kok tahu bahwa Eng Eng membebaskanmu, dia menghajar Eng Eng dan hendak membunuhnya. Aku mencegahnya dan membuka rahasia bahwa dia tidak berhak membunuh Eng Eng yang bukan anaknya.”

“Bukan puterinya?” Tentu saja Cia Sun terkejut dan heran.

“Ketika aku menjadi isterinya, aku membawa Eng Eng yang sudah berusia dua tahun lebih.”

“Ah, kalau begitu Eng-moi puteri Bibi dengan suami lain?”

Wanita itu kembali menggelengkan kepala, hendak bicara akan tetapi kembali ia batuk-batuk dan muntah darah, tendangan yang mengenai dadanya itu memang hebat sekali, membuat ia menderita luka dalam yang parah. Sejenak ia terengah-engah, wajahnya pucat sekali. Cia Sun sudah merasa bingung sekali mendengar bahwa Eng Eng yang ternyata bukan puteri kandung ketua Pao-bengpai itu telah pergi tanpa pamit. Dia tidak tahu harus berbuat apa terhadap ibu Eng Eng yang keadaannya payah itu.

“Engkau.... benar.... seorang pangeran?”

Cia Sun mengangguk.
“Aku memang Pangeran Cia Sun, Bibi, akan tetapi aku mencinta Eng-moi.”

“Kalau begitu, dengar baik-baik....” suaranya makin lemah seperti berbisik. “Aku.... aku tidak dapat bertahan lama, aku akan mati.... dan inilah saatnya aku membuka rahasia...., dan engkau tepat orangnya yang kuberitahu....dengar, Eng Eng bukan puteri Siangkoan Kok juga bukan anakku....”

“Ehhh? Lalu.... ia anak siapa, Bibi?”

“Ayah ibunya adalah orang-orang yang selalu dimusuhi golongan kami.... golongan Beng-kauw.... aku amat membenci ayah ibunya, terutama ayahnya, karena itulah.... aku.... menculik Eng Eng ketika ia berusia tiga tahun. Akan tetapi, aku.... aku amat mencintanya seperti anakku sendiri.... juga Siangkoan Kok menyayangnya sampai engkau muncul.”

“Ahhh....!” bermacam perasaan mengaduk hati pangeran itu.

Ada perasaan kaget, heran, akan tetapi juga kasihan dan bahkan ada perasaan girang. Girang bahwa kekasihnya itu bukan anak kandung ketua Pao-beng-pai dan isterinya!

“Akan tetapi.... kemana aku harus mencarinya, Bibi? Aku harus mencari dan menemukannya, aku mencintanya dan akan mengambilnya sebagai isteriku!”

Cia Sun terkejut melihat wanita itu napasnya sudah empas-empis, dan agaknya sudah tidak mampu menjawabnya, matanya sudah terpejam.

“Bibi....! Bibi....! Katakan di mana Eng-moi!” Cia Sun mengguncang-guncang pundak wanita yang sudah sekarat itu.

Wanita itu membuka matanya yang sudah sayu dan suaranya hanya bisik-bisik saja.
“Suling Naga.... itulah ayah kandungnya.... tinggal di Lok-yang....cari.... cari ke sana....”

Leher itu terkulai, mata itu terpejam dan wanita itu pun mati. Cia Sun bangkit berdiri, termenung. Sebutan “Suling Naga” terngiang di telinganya. Dan dia tertegun. Dia pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Naga yang tinggal di Lok-yang. Kalau dia tidak salah ingat, namanya Sim Houw, seorang pendekar yang sakti, terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat, pedang yang berbentuk suling, pedang suling, atau suling pedang. Jadi Eng Eng adalah puteri pendekar sakti itu! Ketika masih kecil diculik oleh Lauw Cu Si karena wanita itu sebagai orang Beng-kauw menganggap pendekar itu sebagai musuh besar.

“Ahhh....!!” tiba-tiba dia terbelalak.

Dia teringat kepada Yo Han. Bukankah Yo Han mencari puteri pendekar itu yang hilang? Kalau begitu, anak yang dicari oleh Yo Han itu bukan lain adalah Eng Eng! Dia mengingat-ingat. Yo Han, yang telah menjadi saudara angkatnya ketika mereka berdua dikurung sebagai tahanan di sarang Pao-beng-pai, pernah menceritakan bahwa anak yang dicari itu mempunyai ciri-ciri yang khas, dan ada noda merah sebesar ibu jari kaki di tapak kaki kanannya.

Mendengar suara pertempuran di luar, Cia Sun khawatir kalau-kalau gadis itu kembali dan ikut pula bertempur membela Pao-beng-pai melawan pasukan pemerintah. Cepat dia menyelinap keluar dan mencari-cari. Pertempuran hampir selesai. Pihak pemberontak tidak mampu menandingi pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya, apalagi dipimpin oleh para jagoan istana. Bahkan Siangkoan Kok juga tidak nampak dan ketika dia tanyakan kepada para perwira, mereka pun tidak tahu kemana perginya ketua pemberontak itu. Ternyata Siangkoan Kok telah meloloskan diri, tidak mempedulikan anak buahnya yang dibantai pasukan.

Setelah mencari keterangan dan merasa yakin bahwa Eng Eng tidak pernah kembali dan tidak terlibat dalam pertempuran itu, Cia Sun segera meninggalkan tempat itu untuk pergi mencari kekasihnya. Banyak anggauta Pao-bengpai tewas, sisanya ditawan. Gagallah gerakan Pao-beng-pai, seperti dialami oleh banyak kelompok pemberontak terdahulu.

**** 023 ****