Ads

Selasa, 26 April 2016

Si Tangan Sakti Jilid 015

Tengah malam telah lewat, akan tetapi Siangkoan Eng masih belum juga tidur. Ia sejak sore tadi mondar-mandir di dalam kamarnya dengan wajah muram. Ia menderita tekanan batin dan kebingungan sejak ia menangkap Cia Ceng Sun dan memasukkannya ke dalam kamar tahanan, kemudian melapor kepada ayahnya bahwa Cia Ceng Sun itu sebenarnya adalah seorang pangeran Mancu. Ayahnya marah bukan main.

“Jahanam, aku sudah curiga! Pantas dia enak saja menerima syaratku bahwa dalam pesta pernikahan harus hadir kaisar! Kiranya kaisar adalah kakeknya sendiri! Dia tentu datang untuk memata-matai kita! Celaka! Kalau begitu, bagus sekali engkau sudah menawannya, anakku. Kita dapat mempergunakannya sebagai sandera penting untuk melindungi diri kalau-kalau ada penyerangan dari pemerintah. Dan kalau dia sudah tidak ada gunanya lagi, kusiksa dia sampai mampus!”

Setelah Siangkoan Eng berada di dalam kamarnya sendiri, ucapan ayahnya yang terakhir itu selalu terngiang di telinganya. Cia Ceng Sun yang ternyata adalah Pangeran Cia Sun itu akan disiksa ayahnya sampai mati! Dan ia tidak dapat menipu diri. Ia tetap mencinta pemuda itu, pangeran atau bukan! Apalagi kalau ia teringat akan percakapannya dengan Cia Sun, mengingat betapa pemuda itu berjanji akan membawanya ke dalam kehidupan yang tenteram penuh kedamaian, tidak mau terlibat dalam pemberontakan dan permusuhan. Ia bahkan hampir yakin bahwa pemuda itu bukan datang untuk memata-matai Pao-beng-pei.

Akan tetapi, karena terkejut dan marah mendengar pemuda itu seorang pangeran yang menyamar sebagai pemuda biasa, ia telah menangkapnya. Kini pemuda itu telah menjadi tawanan ayahnya, tawanan penting dan ia tidak mungkin dapat minta kepada ayahnya untuk mengampuni atau membebaskan Cia Sun.

Kini Siangkoan Eng menjatuhkan diri duduk di tepi pembaringan, wajahnya muram dan sedih hampir menangis. Lalu ia bertepuk tangan dua kali dan seorang pelayan menjawab dengan ketukan pada pintu dalam. Ia memerintahkan pelayan memasuki kamar. Pelayan itu kelihatan heran melihat nonanya belum tidur.

“Panggil Sui Lan ke sini!” katanya singkat.

Pelayan itu mengangguk dan cepat keluar. Tak lama kemudian, terdengar ketukan daun pintu sebelah luar dan suara pelayan tadi melapor bahwa Nona Sui Lan telah datang.

“Sui Lan, masuklah!” kata Siangkoan Eng.

Daun pintu depan terbuka dan masuklah seorang gadis cantik berusia dua puluh satu tahun. Gadis itu kelihatan baru bangun tidur, agaknya tadi sedang tidur ketika pelayan memanggilnya. Gadis bernama Tio Sui Lan ini adalah murid yang pandai dari Siangkoan Kok dan merupakan teman bermain Siangkoan Eng, juga menjadi orang kepercayaannya, bahkan juga sumoinya (adik seperguruan).

“Suci, tengah malam begini memanggilku, ada kepentingan apakah gerangan yang dapat kulakukan untukmu?”

Dan karena mereka memang bergaul akrab, ia pun menghampiri lalu duduk di tepi pembaringan, sebelah sucinya itu.

“Duduklah, dan maaf kalau aku mengganggu tidurmu, Sui Lan.”

“Aih, Suci, kenapa sungkan kepadaku? Dan engkau kelihatan belum tidur, dan wajahmu kusut dan muram seperti orang bersedih. Ada apakah, Suci?”

Siangkoan Eng memegang lengan gadis manis itu.
“Sumoi, engkaulah orang yang paling kupercaya. Hatiku sedang risau. Engkau tahu sendiri bahwa pemuda yang tadinya kita kenal sebagai Cia Ceng Sun itu telah ditunangkan denganku. Kami saling mencinta. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa dia seorang pangeran dan aku sendiri yang telah menawannya sehingga kini dia dikurung dalam tahanan.”

“Akan tetapi, itu sudah benar, Suci. Bukankah dia dapat menjadi orang berbahaya sekali dan telah merugikan kita? Dia memata-matai kita dan dia bahkan telah menipu Suci. Aku yakin bahwa cintanya pun hanya pura-pura.”

“Diam! Jangan lagi berkata demikian atau aku akan lupa bahwa engkau sumoiku dan akan kuhajar kau!” tiba-tiba Siangkoan Eng membentak dan gadis itu memandang dengan wajah pucat.

“Maafkan aku, Suci.”

Siangkoan Eng menghela napas panjang dan kembali ia memegang lengan gadis itu.
“Engkaulah yang harus memaafkan aku. Aku begini bingung sehingga mudah tersinggung. Ketahuilah, sampai detik ini aku tidak dapat menghilangkan cintaku kepadanya, apalagi membencinya. Dan aku yakin bahwa dia bukan mata-mata, dan dia benar-benar mencintaiku. Aku menyesal sekali telah terburu nafsu sehingga menangkapnya.”

Diam-diam Siu Lan terkejut akan tetapi ia tidak berani menyatakan pendapatnya, takut salah. Ia terharu karena sucinya atau juga nonanya yang biasanya keras hati itu kini menjadi lemah oleh cinta!

“Akan tetapi, Suci telah terlanjur menangkapnya, lalu apa yang dapat kulakukan untukmu?”

“Engkau merupakan satu-satunya murid ayah yang dipercaya ayah, dan juga semua anggauta Pao-beng-pai tunduk kepadamu. Apalagi baru saja engkau berjasa dalam menjebak dan menangkap Pendekar Tangan Sakti Yo Han, pimpinan Thian-li-pang itu. Nah, karena Cia Sun ditahan dalam satu kamar tahanan dengan Yo Han, maka aku minta engkau suka berkunjung ke sana dan melihat keadaan Cia Sun.”

Sui Lan membelalakkan matanya.
“Malam-malam begini? Ini sudah tengah malam, Suci. Lalu apa alasanku tengah malam begini berkunjung ke tempat tahanan?”






“Katakan saja kepada penjaga bahwa engkau mendapat tugas dari ayah untuk mengamati penjagaan agar kedua orang tahanan itu tidak sampai lolos. Perhatikan apakah Cia Sun diperlakukan dengan baik oleh para penjaga seperti kuperintahkan kepada mereka, apakah dia mendapatkan makanan sepantasnya, bagaimana keadaannya. Kemudian, engkau harus dapat menyerahkan ini kepada Cia Sun tanpa diketahui penjaga.”

Siangkoan Eng menyerahkan sebuah surat yang dilipat-lipat menjadi kecil kepada sumoinya.

“Suci, engkau melibatkan aku dalam pekerjaan yang amat berbahaya, karena kalau suhu tahu tentu aku akan dibunuhnya. Setidaknya, aku berhak mengetahui, apa yang akan kau lakukan agar aku dapat menyesuaikan sikapku. Aku pasti akan membantumu, Suci. Akan tetapi, apakah maksudmu memberiku tugas ini? Apa artinya semua ini dan apa rencanamu?”

Siangkoan Eng merangkul sumoinya.
“Sumoi, kalau engkau berkhianat kepadaku dan melaporkan kepada ayah, aku akan celaka. Engkau saja yang dapat kupercaya. Aku memberi surat kepada Cia Sun, minta agar dia bersiap-siap menyambut rencanaku malam ini.”

“Dan apa rencanamu itu, Suci?”

Siangkoan Eng mengusir semua keraguannya. Memang berbahaya sekali. Kalau ia memberitahu kepada sumoinya dan gadis itu melaporkan kepada ayahnya, bukan saja rencananya gagal, akan tetapi bahkan amat membahayakan keselamatan Cia Sun dan ia sendiri. Akan tetapi, ia tidak melihat jalan lain.

“Sumoi, setelah larut malam nanti, aku akan membebaskan Cia Sun.”

Gadis itu terbelalak, kaget dan heran.
“Suci! Engkau yang menangkapnya dan melaporkannya kepada suhu, dan engkau pula yang kini akan membebaskannya. Bagaimana pula ini?”

“Sudahlah, Sumoi. Ini demi cinta dan untuk itu aku siap mempertaruhkan nyawaku. Maukah engkau membantuku? Atau engkau akan melapor kepada ayah?”

Sui Lan merangkul sucinya.
“Suci, engkau tahu bahwa aku menganggapmu seperti kakak sendiri. Aku hidup sebatang kara dan di dunia ini hanya engkaulah satu-satunya sahabatku, juga saudaraku. Percayalah, aku akan melaksanakan tugasmu dengan baik. Akan tetapi, dia satu kamar dengan orang she Yo itu. Bagaimana?”

“Justeru aku ingin memanfaatkan dia. Kita tahu, ilmu silat Si Tangan Sakti itu hebat. Kalau mereka berdua melarikah diri bersama, aku yakin ayah sendiri tidak akan mampu menangkap mereka dan Cia Sun tentu akan dapat bebas.” Siangkoan Eng lalu turun dari pembaringan. “Nah, lakukanlah tugasmu, Sumoi. Hati-hati, jangan ada yang melihat ketika engkau menyerahkan surat itu karena kalau ketahuan penjaga, semua rencanaku dapat gagal sama sekali!”

“Percayalah padaku, Suci.”

Sui Lan meninggalkan kamar sucinya dan setelah Sui Lan pergi, Siangkoan Eng duduk termenung.

Sementara itu, Sui Lan dengan langkah biasa pergi ke sebuah bangunan khusus yang berada di perkampungan Paobeng-pai itu, bangunan yang dipergunakan sebagai tempat tawanan. Para penjaga tentu saja tidak melarang ia masuk, bahkan memberi hormat, apalagi ketika Sui Lan mengatakan bahwa ia mendapat tugas khusus dari ketua untuk memeriksa keadaan tawanan.

Juga para penjaga sebelah dalam yang berlapis-lapis, semua mengenal baik siapa gadis ini. Murid tersayang dari Siangkoan Kok, juga orang kepercayaan pimpinan Pao-beng-pai. Bahkan semua orang tahu bahwa Pendekar Tangan Sakti Yo Han tokoh Thian-li-pang dapat ditawan berkat pancingan nona ini.

Diam-diam Sui Lan menyangsikan kemungkinan berhasilnya rencana sucinya. Bagaimana mungkin tawanan dapat lolos dari tempat ini? Selain penjagaan berlapis-lapis dan ketat, juga jalan keluar melalui rintangan-rintangan berupa jebakan-jebakan rahasia yang sukar ditembus.

Akhirnya tibalah ia di depan kamar tahanan yang berjeruji tebal itu. Dan ia melihat dua orang tawanan itu duduk bersila, saling berhadapan dan mengobrol! Kelihatan mereka demikian tenangnya! Pangeran itu bahkan nampak gembira dan mereka berdua menoleh dan memandang ketika ia berdiri di depan jeruji kamar itu.

Melihat Sui Lan, Yo Han tersenyum masam.
“Nah, itulah ia gadis lihai yang telah dipergunakan sebagai umpan sehingga aku terjebak,” kata Yo Han tanpa terdengar suara atau pandang mata membenci gadis itu.

Sesuai dengan perintah sucinya, Sui Lan memperhatikan keadaan kedua orang tawanan itu, terutama Cia Sun. Ia melihat betapa mereka dalam keadaan sehat, bahkan wajah mereka tidak memperlihatkan rasa takut atau murung. Jelas bahwa mereka diperlakukan dengan baik oleh para penjaga seperti diperintahkan sucinya.

Sui Lan memberi isyarat kepada para penjaga untuk menjauh. Mereka mentaati, akan tetapi tentu saja memandang dari jauh dan mendengarkan. Sui Lan mengambil sikap seperti orang mengejek.

“Hemmm, kalian sudah tertangkap seperti dua ekor tikus, masih berlagak. Akuilah saja bahwa kalian telah memata-matai Pao-beng-pai. Benar tidak? Kalian menyamar dan berpura-pura, sungguh licik dan pengecut!”

Sui Lan sengaja mengejek dan memaki dengan suara nyaring sehingga terdengar oleh para petugas yang melakukan penjagaan di bagian terdalam tempat itu.

Yo Han tersenyum. Dia seorang yang cerdik dan dia melihat sikap yang tidak wajar dari gadis itu, bahkan dapat merasakan betapa suara gadis itu sengaja ditinggikan agar terdengar semua orang. Apa yang tersembunyi di balik sikap yang disengaja itu? Pasti ada! Karena itu, dia segera menanggapi, disesuaikan dengan sikap gadis itu yang sengaja menghina mereka. Kesengajaan ini dapat dia lihat dari suara dan sikapnya yang tidak sewajarnya.

“Aha, kiranya engkau gadis palsu, gadis licik dan curang! Bukan kami yang curang, melainkan Pao-beng-pai. Kalau tidak licik, pengecut dan curang, coba bebaskan kami dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!”

Sui Lan semakin marah.
“Jahanam! Engkau telah merobek bajuku, engkau melepas sepatuku, engkau laki-laki mesum dan kurang ajar! Kalau tidak dihalangi suhu, tentu engkau sudah kubunuh!”

“Ha-ha-ha, engkau mampu membunuhku? Kita lihat saja!” kata Yo Han, dan Cia Sun memandang kakak angkatnya itu dengan mata terbelalak. Dia mengenal Yo Han tidak seperti itu! Begitu kasar kata-katanya terhadap seorang gadis!

“Keparat busuk, rasakan dan makan jarumku ini!”

Tangan kiri gadis itu bergerak dan sinar lembut meluncur ke dalam kamar tahanan melalui celah-celah jeruji yang cukup lebar. Dipandang oleh para penjaga dari jauh, jelas bahwa gadis itu menyerang Yo Han dengan jarum rahasia yang ampuh!

Akan tetapi, Yo Han menangkap sinar putih yang menyambarnya, dan menyimpannya ke dalam saku bajunya dengan kecepatan yang tidak dapat terlihat oleh para penjaga. Memang jarum yang disambitkan Sui Lan, akan tetapi jarum yang membawa lipatan kertas kecil!

Melihat sambitannya tidak mengenai sasaran, Sui Lan memaki-maki lalu pergi meninggalkan tempat itu, memesan kepada para penjaga agar menjaga dengan ketat.

“Kecuali Suhu sendiri, suci Siangkoan Eng, dan aku sendiri, siapapun dilarang memasuki tempat ini! Mengerti?” bentaknya kepada para penjaga sebelum ia pergi dari situ.

Dua jam kemudian, malam telah amat larut dan hawa yang dingin membuat semua orang mengantuk. Demikian pula para penjaga di bangunan tempat tahanan itu. Akan tetapi mereka tidak berani tidur dan melakukan penjagaan ketat secara bergantian.

Ketika Siangkoan Eng muncul dan membentak para penjaga yang agak mengantuk, mereka terkejut dan cepat mengambil sikap tegak dan siap. Sikap Siangkoan Eng galak terhadap para penjaga, dan memarahi setiap orang penjaga yang kelihatan mengantuk atau habis tidur.

“Kalian tidak boleh lengah sedikit pun! Dua orang tawanan ini amat lihai dan amat penting. Aku harus memeriksa segala kemungkinan, jangan sampai mereka lolos!” katanya dengan suara galak.

Suaranya terdengar sampai kamar tahanan di mana dua orang pemuda itu duduk bersila. Mendengar suara ini, berubah wajah Cia Sun dan jantung kedua orang tawanan itu berdebar tegang.

Tak lama kemudian, setelah memeriksa di sepanjang jalan, tibalah Siangkoan Eng di lorong terakhir yang menuju ke kamar tahanan. Dua belas orang penjaga lorong itu, menyambut dengan sikap yang tegak dan siap.

“Tidak ada yang tertidur di antara kalian?” bentak Siangkoan Eng.

“Tidak, Nona.”

“Bagus! Siapa yang memegang kunci kamar tahanan?” bentaknya pula. “Dia mempunyai tanggung jawab yang amat penting!”

“Saya, Nona!” kata seorang di antara para penjaga yang bertubuh tinggi besar, bermuka bopeng, yaitu kepala regu yang menjaga kamar tahanan dan lorong itu.

“Sudah kau periksa benar bahwa pintu itu terkunci rapat?”

“Sudah, Nona?”

“Berikan kuncinya kepadaku. Hendak kuperiksa sendiri!” kata Siangkoan Eng. “Awas kau kalau menguncinya tidak benar!”

“Silakan, Nona!” kata si bopeng sambil menyerahkan sebuah kunci yang besar.

Karena sikap Siangkoan Eng yang galak dan keras itu, para penjaga nampak takut kepadanya, tidak berani mendekat sehinga ketika gadis itu menghampiri pintu jeruji besi kamar tahanan, para penjaga hanya melihat dari jarak sepuluh meter. Pada saat gadis itu menghampiri pintu jeruji, mereka melihat betapa dua orang tawanan itu tidur di lantai, di tengah kamar, agak mendekat pintu. Mereka tidur mendengkur, dan Siangkoan Eng mencoba kunci pintu, apakah terkunci dengan benar atau tidak.

Pada saat itu, dua orang tawanan itu bergerak bagaikan kilat cepatnya dan Yo Han sudah menotok gadis itu melalui celah jeruji, lalu mencengkeram pundak dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mengancam lehernya. Cia Sun juga cepat mencabut pedang yang terselip di pinggang Siangkoan Eng, lalu menghardik kepada para penjaga yang berloncatan mendekat.

“Semua berhenti dan jangan ada yang bergerak. Kalau ada yang bergerak, kami akan membunuh Siangkoan Eng!”

Bentakan itu berpengaruh karena para penjaga yang dua belas orang banyaknya itu tidak berani berkutik, seperti berubah menjadi arca di tempat masing-masing. Tentu saja mereka tidak menghendaki nona mereka dibunuh dan nampaknya nona mereka memang sama sekali tidak dapat menyelamatkan diri, sudah ditotok, dicengkeram lagi dan mereka semua tahu atau sudah mendengar betapa lihainya dua orang tawanan itu, terutama sekali Yo Han yang mencengkeram nona mereka.

Cia Sun merampas kunci dan melalui celah jeruji, dia membuka kunci pintu, lalu mereka berdua keluar. Yo Han menelikung kedua lengan gadis itu ke belakang punggung, lalu membebaskan totokannya.

“Hayo antar kami keluar. Bergerak sedikit saja melawan, lehermu akan kupatahkan!” katanya geram.

Siangkoan Eng kelihatan terkejut dan marah, akan tetapi ia pun tahu bahwa ia tidak berdaya. Ketika melihat para penjaga memandangnya dengan bingung, ia pun berkata gemas,

"Biar mereka lewat. Lain kali masih ada kesempatan bagi kita untuk menangkap mereka kembali dan kalian akan mendapat bagian menyiksa mereka!”

Para penjaga terpaksa membiarkan gadis itu digiring keluar oleh kedua tawanan. Demikian pula para penjaga di tengah dan di luar, tidak ada yang berani berkutik melihat nona mereka diancam seperti itu. Dan Siangkoan Eng juga menyuruh mereka mundur dan membiarkan dua orang tawanan itu lewat sambil mengeluarkan ancaman bahwa kelak mereka semua pasti akan dapat membalas dan menangkap kembali dua orang itu.

Karena menggiring Siangkoan Eng, tentu saja para penjaga tidak berani menggunakan alat rahasia untuk menjebak. Nona mereka terancam dan sekali menggerakkan tangan, kedua orang tawanan itu dapat membunuhnya dengan mudah. Tentu saja mereka tidak berani berkutik, bahkan membunyikan tanda bahaya pun tidak berani, apalagi nona mereka memerintahkan mereka tidak melawan dan membiarkan dua orang tawanan itu lewat.

Dengan amat mudahnya karena tidak ada penjaga yang berani menghalangi, Yo Han dan Cia Sun dapat keluar dari perkampungan Pao-beng-pai itu menggiring Siangkoan Eng.

Setelah mereka keluar dari pintu gerbang, barulah para penjaga berani berlari-lari untuk memberi laporan kepada Siangkoan Kok. Akan tetapi, ketika Siangkoan Kok terbangun dan terkejut, juga marah sekali mendengar betapa kedua orang tawanan itu lolos bahkan menggiring Siangkoan Eng yang dibuat tidak berdaya, kedua orang tawanan itu telah lari jauh.

Setelah tiba di luar pintu gerbang, agak jauh di tempat sepi, Yo Han melepaskan kedua tangannya.

“Eng-moi....” Cia Sun memegang kedua lengan gadis itu.

Siangkoan Eng memandangnya dengan muka sedih, lalu berkata dengan suara lirih.
“Engkau pergilah....”

“Eng-moi, kenapa engkau tidak ikut kami saja pergi meninggalkan neraka itu?” bujuk Cia Sun.

“Neraka itu tempat tinggal ayah ibuku, Koko. Bagaimana aku dapat meninggalkan ibuku begitu saja? Tidak, kalian pergilah cepat sebelum ayah dan para anggauta Pao-beng-pai datang.”

“Eng-moi, aku bersumpah, akan kembali dan membawamu sebagai isteriku. Aku cinta padamu, Eng-moi.”

“Aku pun cinta padamu, tidak peduli engkau ini pangeran atau pengemis.” kata Siangkoan Eng terisak, akan tetapi isaknya terhenti ketika Cia Sun, tanpa sungkan dan malu di depan Yo Han, merangkul dan menciumnya.

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut yang datangnya dari perkampungan itu sehingga mereka berdua saling melepaskan rangkulan.

“Pergilah sebelum terlambat.” kata Siangkoan Eng.

“Benar, Cia-te, kita harus cepat pergi. Nona, maafkan kami, terpaksa aku harus menotokmu.”

“Silakan,” kata Siangkoan Eng.

Yo Han cepat menotok gadis itu sehinga lemas tak mampu bergerak, bahkan dia pun menotok mulutnya sehingga gadis itu tidak dapat bersuara pula. Cia Sun menyambut tubuh yang lemas itu agar tidak terjatuh, lalu merebahkannya telentang di atas rumput. Setelah menciumnya sekali lagi, Cia Sun terpaksa melompat dan mengejar Yo Han yang sudah lari terlebih dahulu karena kini terdengar langkah kaki orang-orang berlari datang dan nampak pula mereka membawa obor.

Siangkoan Kok dan isterinya yang memimpin orang-orang mereka melakukan pengejaran, menemukan puteri mereka dalam keadaan telentang di atas rumput, tak dapat bersuara maupun bergerak. Dengan marah Siangkoan Kok memerintahkan anak buahnya mencari dan melakukan pengejaran sampai ke bawah bukit, sementara dia dan isterinya membebaskan totokan pada diri Siangkoan Eng.

Dengan muka merah dan mata berkilat menahan kemarahannya, Siangkoan Kok yang tidak mau ribut-ribut memarahi puterinya di tempat terbuka, lalu mengajak isteri dan puterinya kembali ke rumah mereka, dan memerintahkan semua anak buahnya untuk terus mencari.

Kini mereka bertiga berada di dalam rumah, di ruangan dalam dimana tidak ada pelayan yang boleh masuk. Semua pelayan diperintahkan untuk keluar dari ruangan itu, dan mereka menanti di luar dengan wajah pucat karena mereka maklum bahwa ketua mereka marah bukan main.

“Nah, sekarang katakan terus terang, apa yang telah kau lakukan!” Siangkoan Kok membentak puterinya yang telah duduk di samping ibunya.

Siangkoan Eng mengangkat muka menatap wajah ayahnya, sedikit pun tidak merasa takut walaupun ia tahu bahwa ayahnya marah sekali karena kedua orang tawanan itu dapat meloloskan diri.

“Apa yang harus kukatakan, Ayah? Tadi, untuk merasa yakin bahwa kedua orang tawanan itu tidak dapat melarikan diri, aku memeriksa tempat tawanan itu, mendadak ketika aku memeriksa kunci pintu kamar tahanan itu, Pendekar Tangan Sakti yang tadinya kukira tidur pulas, meloncat dan telah menyergapku melalui celah jeruji besi. Gerakannya tak terduga dan cepat sekali sehingga aku dapat ditotoknya.

Mereka membuka pintu dengan kunci setelah membuat aku tidak berdaya, dan mengancam para penjaga untuk membunuhku kalau mereka mencoba menghalangi larinya kedua orang tawanan itu. Nah, setelah berhasil keluar dari pintu gerbang, mereka lalu menotok dan meninggalkan aku, sampai Ayah menemukanku.”

“Kau bohong! Kau pembohong besar!!”

Siangkoan Kok membentak dan matanya melotot lebar. Dalam kemarahannya, pria yang tinggi besar dan gagah ini kelihatan semakin besar dan garang menyeramkan.

Akan tetapi, Siangkoan Eng tenang-tenang saja.
“Ayah, kenapa Ayah mengatakan aku bohong? Untuk apa aku berbohong? Mengapa aku harus membohongi Ayah?”

“Mengapa? Karena engkau sudah jatuh cinta kepada pangeran Mancu itu! Karena engkau sudah tergila-gila padanya! Tak tahu malu, merendahkan diri tergila-gila kepada seorang pangeran Mancu!”

“Hemmm, apa alasan Ayah menuduhku berbohong?”

“Apa alasannya. Bocah murtad, pengkhianat! Selama hidupku, belum pernah aku melihat engkau demikian penakut dan tolol sehingga dapat dikelabui musuh, dapat disergap dan ditundukkan dari dalam kamar tahanan, kemudian demikian penakut sehingga ketika engkau ditawan dan digiring keluar, engkau memerintahkan para anak buah kita untuk membiarkan dua orang itu pergi! Kau boleh mengelabui orang lain, akan tetapi tidak mungkin dapat membohongi aku! Aku sudah mengenal watakmu. Engkau tak mengenal takut, engkau cerdik, tak mungkin dapat ditundukkan dua orang tawanan semudah itu, kecuali kalau engkau memang sengaja hendak membantu mereka lolos!”

“Itu hanya dugaan Ayah belaka. Mana buktinya?” tantang Siangkoan Eng yang memang sejak kecil digembleng ayah ibunya tidak mengenal takut.

“Bocah setan. Engkau masih menantangku untuk menunjukkan bukti? Kau kira aku belum melakukan penyelidikan dan belum membongkar rahasiamu yang busuk dan memalukan?” Siangkoan Kok membentak ke arah pintu memanggil pelayan dan ketika seorang pelayan wanita masuk dengan sikap takut-takut, dia membentak, “Panggil ke sini Sui Lan! Cepat!!”

Pelayan itu lari tunggang langgang dan diam-diam Siangkoan Eng terkejut. Apakah Sui Lan telah mengkhianatinya dan melapor kepada ayahnya? Rasanya hal itu tidak mungkin terjadi. Ia hampir yakin akan kesetiaan sumoinya itu kepadanya.

Tak lama kemudian Sui Lan masuk dan memberi hormat kepada suhunya, dengan suara biasa ia berkata seperti orang melapor,

“Maaf, Suhu. Sudah teecu (murid) dengar dari laporan anak buah bahwa pencarian itu tidak berhasil.”