Ads

Minggu, 24 April 2016

Si Tangan Sakti Jilid 008

Setelah tiba di seberang, sekali ayun tali itu terlepas dari kaitannya di seberang sana dan gadis berpakaian kuning itu menggulung kembali talinya. Tiga orang itu melihat bahwa gadis berpakaian serba kuning ini pun masih muda dan cantik sehingga si muka hitam dan si gendut menjadi semakin gembira. Kalau Pao-beng-pai memiliki perajurit seperti ini semua, tanpa ditanya lagi mereka siap untuk menjadi sahabat!

“Nona, kalau tidak ada orang yang mengaitkan tali di seberang sana, lalu bagaimana kalian dapat menyeberang?” tanya si tinggi kurus.

Kini si pakaian kuning tersenyum dan nampak sekilas giginya yang putih dan rapi.
“Tentu saja kami mempunyai suatu cara, akan tetapi hal itu merupakan rahasia kami.” Ia saling pandang dengan yang pakaian putih, lalu keduanya tersenyum geli.

“Marilah, Tiat-liong Sam-heng-te, silakan mengikuti kami menghadap pimpinan kami.” kata si baju putih.

Mereka melanjutkan perjalanan, si baju putih berjalan di depan, diikuti tiga orang tamu itu, dan si baju kuning berjalan di belakang. Tak lama kemudian, nampaklah gedung besar yang tadi kelihatan oleh si tinggi kurus dari puncak pohon.

Tiga orang itu tercengang. Dari atas pohon tadi, mereka sudah melihat bahwa sarang Pao-beng-pai merupakan gedung besar yang megah. Akan tetapi setelah dekat, baru mereka melihat dengan jelas. Pekarangan depan yang luas, dan di luar pagar nampak hamparan rumput yang luas dan terawat baik. Taman bunga yang indah, pohon-pohon yang terawat dan gedung yang bersih dan seperti istana!

Kalau tadi, dari atas pohon, mereka tidak melihat seorang pun di situ, begitu mereka muncul, bagaikan semut saja, nampak pasukan-pasukan kecil yang berbaris rapi. Ada yang terdiri dari pria yang bertubuh kokoh, berpakaian seragam abu-abu, ada pula yang seragamnya hitam, ada yang biru. Namun, para perajurit itu bertubuh kokoh kuat dan dari langkah mereka, jelas nampak bahwa mereka itu berdisiplin.

Ketika Tiat-liong Sam-hengte memasuki pekarangan, bermunculan penjaga-penjaga yang berpakaian abu-abu, berkelompok di pintu gerbang, di pekarangan dan di pendapa bagian luar gedung itu.

Mereka berdiri dengan sikap tegak seperti arca, dan ketika tiga orang tamu itu lewat, mereka memberi hormat kepada gadis berpakaian putih seperti perajurit memberi hormat kepada seorang yang lebih tinggi pangkatnya. Tiga orang itu pun dapat menduga bahwa gadis baju putih yang menjemput mereka itu bukan seorang perajurit rendahan, melainkan seorang perwira pula.

Setelah tiba di pendapa, gadis baju putih berkata,
“Pertemuan belum dimulai dan para tamu yang sudah datang dipersilakan untuk berada di ruangan tamu yang berada di bangunan darurat sebelah kiri. Mari, kita persilakan Sam-wi menunggu pula di sana seperti para tamu lain.”

Tiat-liong Sam-hengte hanya mengangguk. Begitu memasuki gedung seperti istana itu, mereka telah kehilangan wibawa. Gedung itu memang megah, dengan perabot-perabot yang pantasnya berada di istana kaisar atau pangeran. Juga adanya pasukan penjaga yang demikian tertib dan penuh wibawa, membuat mereka diam-diam merasa jerih dan maklum bahwa mereka memasuki sarang sebuah perkumpulan yang besar dan kuat. Kiranya di sebuah ruangan yang amat luas, yang agaknya sengaja dibangun untuk keperluan itu, telah berkumpul banyak sekali tamu.

Dengan girang Tiat-liong Sam-hengte mengenal beberapa orang segolongan, yaitu orang-orang kangouw yang terhitung golongan hitam atau golongan sesat. Mereka melihat ada orang Pek-lian-kauw, orang-orang Pat-kwa-pai, dan tokoh-tokoh sesat yang terkenal. Tentu saja mereka merasa seperti ikan yang dilepas di air, merasa cocok dan senang, apalagi di ruangan itu, para tamu yang dipersilahkan menunggu tibanya saat pertemuan, mendapat hidangan arak dan kue serba melimpah.

Setelah gadis baju putih mempersilakan mereka masuk, tiga orang Naga Besi ini segera bertemu dan bercakap-cakap dengan akrab bersama orang-orang yang telah mereka kenal. Dan di ruangan ini, mereka baru mendapatkan keterangan dari para tamu siapa orang-orang yang berdiri di belakang Pao-beng-pai ini.

Pao-beng-pai yang kini berdiri lagi dengan kokoh kuatnya ini merupakan perkumpulan yang tadinya telah mati karena dihancurkan pasukan pemerintah, seperti banyak perkumpulan lain yang memberontak terhadap Kerajaan Ceng (Mancu).

Muncul seorang yang gagah perkasa dan dialah yang mengumpulkan kembali bekas anak buah Pao-beng-pai, mempergunakan uang untuk menghimpun tenaga-tenaga baru sehingga Pao-bengpai bangkit kembali dan kini bahkan menjadi perkumpulan yang lebih besar dan lebih kuat daripada dulu.

Tokoh itu bernama Siangkoan Kok, seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah seperti tokoh Kwan In Tiang dalam dongeng Sam Kok. Dia mengaku sebagai keturunan keluarga kaisar Kerajaan Beng yang telah jatuh oleh orang-orang Mancu. Tentu saja tidak ada bukti-bukti bahwa dia keturunan kerajaan yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu, akan tetapi karena dia kaya raya, dan berilmu tinggi, maka orang-orang yang ditarik menjadi anggauta Pao-bengpai percaya saja.

Di samping harta kekayaan yang amat banyak, yang tidak seorang pun mengetahui dari mana datangnya dan menurut Siangkoan Kok harta benda itu adalah peninggalan keluarga Kaisar Beng, tokoh ini pun memiliki kepandaian silat yang hebat.

Banyak sudah jagoan yang tadinya menentangnya, banyak tidak percaya akan kepemimpinannya, jatuh di tangannya dan banyak yang menakluk lalu menjadi pembantunya dengan imbalan yang cukup besar sehingga kedudukannya semakin kuat dan Pao-beng-pai semakin terpandang karena di situ berkumpul banyak tokoh yang berilmu tinggi.

Siangkoan Kok mempunyai seorang isteri yang selain cantik, Juga lihai bukan main. Isterinya itu bernama Lauw Cu Si berusia empat puluh lima tahun. Ia pun terkenal karena mengaku sebagai keturunan keluarga pimpinan Beng-kauw, sebuah perkumpulan tokoh-tokoh sesat yang pernah menjagoi dunia kang-ouw. Kalau Siangkoan Kok disebut “pangcu” (ketua), maka isterinya, Lauw Cu Si ini memerintahkan semua anak buahnya agar menyebutnya “toanio” (nyonya besar).






Masih ada lagi seorang tokoh dalam keluarga pimpinan Pao-beng-pai, yaitu seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun yang cantik jelita namun tidak kalah lihainya dibandingkan ayah ibunya, yaitu ketua Pao-beng-pai dan isterinya itu. Namanya adalah Siangkoan Eng, ayah ibunya menyebutnya Eng Eng. Akan tetapi semua anak buah Pao-beng-pai diharuskan menyebutnya Sio-cia (Nona) saja tanpa sebutan lain.

Gadis yang cantik, anggun dan dingin inilah yang pernah dengan berani mendatangi pesta tiga keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong dan menantang untuk mengadu ilmu silat.

Keluarga ini menguasai atau lebih tepat lagi membangun kembali Pao-beng-pai lima tahun yang lalu. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, ayah, ibu dan anak yang ketika itu baru berusia delapan belas tahun, berhasil membangkitkan Pao-beng-pai menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Anak buah mereka tidak kurang dari seratus orang, akan tetapi rata-rata anak buah ini memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh karena selain para anggauta itu dipilih, juga mereka dilatih ilmu silat selama lima tahun ini.

Lebih dari separuh jumlah itu adalah anggauta pria, yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok seragam abu-abu dan kelompok berseragam hitam-hitam yang tingkatnya lebih tinggi daripada yang abu-abu. Adapun sisanya, empat puluh orang, terdiri dari gadis-gadis yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, rata-rata cantik dan mereka ini digembleng secara khusus sehingga merupakan pasukan yang lihai, lebih lihai dibandingkan para anggauta pria.

Para anggauta wanita ini memiliki dua tingkat pula, yang pertama adalah mereka yang berpakaian putih-putih, hanya terdapat empat orang diantara mereka sebagai pimpinan, selebihnya dibagi menjadi pasukan yang berseragam hitam, kuning, dan biru.

Para anggauta yang seratus orang lebih jumlahnya itu masih muda-muda dan tidak ada yang lebih dari tiga puluh tahun usianya. Dan mereka itu tertib dan berdisiplin sekali, karena Pao-beng-pai mempunyai peraturan yang amat keras. Mereka itu mendapat upah yang besar, hidup serba kecukupan, akan tetapi mereka harus taat akan semua peraturan dengan ancaman hukuman berat kalau mereka melanggar.

Di antara peraturan itu terdapat suatu ketentuan bahwa selama mereka masih menjadi anggauta Pao-beng-pai, mereka tidak diperbolehkan menikah! Juga bagi para anggauta wanitanya, selain tidak boleh menikah, tidak boleh pula melahirkan anak.

Dapat dibayangkan apa akibatnya dengan adanya peraturan ini. Para anggauta itu adalah orang-orang yang sudah dewasa, maka peraturan ini tentu saja amat menyiksa dan karena mereka merasa sayang kehilangan kemewahan yang mereka nikmati sebagai anggauta Pao-beng-pai, juga karena mereka takut akan ancaman hukuman, mereka pun tidak ada yang berani melanggarnya.

Akan tetapi, larangan itu hanyalah larangan menikah bagi semua anggauta, dan larangan melahirkan bagi anggauta wanita. Akibatnya, untuk menyalurkan kebutuhan berahi mereka, terjadilah hubungan gelap yang tidak wajar, bahkan kadang jahat. Karena mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi bagi orang awam, maka banyak di antara para anggauta pria mempunyai kekasih di luar, bahkan ada pula yang melakukan perkosaan terhadap para wanita di dusun-dusun yang berada di luar daerah Ban-kwi-kok, yaitu yang berada di lereng dan kaki Gunung Setan.

Juga para anggauta wanita yang tidak lagi dapat menahan gejolak nafsu mereka, diam-diam menjalin hubungan gelap dengan sesama anggauta yang pria, atau mempunyai kekasih gelap yang mereka pilih dari para penduduk dusun. Tentu saja para wanita ini berusaha agar jangan sampai hamil sebagai hubungan gelap itu.

Mereka adalah orang-orang dari golongan sesat, maka perbuatan semacam itu mereka anggap wajar saja. Maka, tersohorlah nama Pao-beng-pai sebagai perkumpulan yang amat ditakuti oleh penduduk di pegunungan itu.

Siangkoan Kok dan anak isterinya tentu saja tahu akan perbuatan anak buah mereka, namun mereka ini bersikap tidak peduli. Selama para anggauta tidak melanggar peraturan dan larangan, cukuplah. Selain itu, Siangkoan Kok yang biarpun kaya raya namun harus mengeluarkan biaya besar untuk perkumpulannya, segera mengambil tindakan untuk mendatangkan dana.

Caranya adalah menundukkan dan menalukkan semua gerombolan penjahat di kota-kota dan dusun-dusun sekitar Kui-san, memaksa mereka mengakui kekuasaan Pao-beng-pai. Yang membangkang dihancurkan, dan yang takluk diharuskan membayar semacam “upeti” setiap bulan.

Bahkan Pao-bengpai menguasai banyak tempat perjudian dan pelacuran di berbagai kota, dan dari penghasilan semua itulah keuangan Pao-beng-pai menjadi kuat. Semua sepak terjang Pao-beng-pai selalu digembar-gemborkan sebagai suatu usaha untuk perjuangan, yaitu menghancurkan pemerintah penjajah Mancu dan membangun kembali Kerajaan Beng yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu!

Mungkin orang lain akan menganggap bahwa cita-cita Siangkoan Kok terlalu tinggi, bahkan mimpinya terlalu muluk. Namun, Siangkoan Kok berusaha sungguh-sungguh dan kini dia mulai hendak mendekati semua golongan untuk diajak bekerja sama. Kalau dia berhasil, maka usahanya itu akan menjadi bahaya yang cukup besar bagi pemerintah Mancu. Dia mengirim undangan ke seluruh penjuru, mengundang semua pihak yang merasa tidak rela tanah air dan bangsa dijajah orang Mancu, untuk berkunjung ke Ban-kwi-kok di Gunung Setan dan mengadakan pertemuan besar.

Pada hari itu, banyak sekali tamu berdatangan, mengunjungi sarang Pao-beng-pai. Seperti juga halnya Tiat-liong Sam-hengte, para pengunjung itu tercengang dan kagum. Mereka itu setelah tiba di perbatasan wilayah Pao-bengpai, disambut oleh seorang murid Pao-beng-pai dan diantar sampai ke gedung yang megah seperti istana itu. Di sepanjang perjalanan ini saja mereka melihat kenyataan betapa tempat itu merupakan sebuah tempat pertahanan yang sukar diserang musuh, berbahaya dan penuh jebakan alam.

Tidak kurang dari seratus orang wakil dari pelbagai golongan datang sebagai tamu pada hari itu. Bukan hanya dari perkumpulan-perkumpulan yang terkenal sebagai anti pemerintah Mancu seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, akan tetapi juga dari gerombolan orang-orang sesat, bahkan ada pula golongan pendekar yang datang berkunjung.

Mereka ini pada umumnya merasa tertarik dan ingin mengenal Pao-beng-pai lebih dekat karena mereka merasa heran mendengar bahwa perkumpulan yang sudah mati itu kini bangkit kembali. Kalau golongan para pendekar ini datang untuk mencari tahu, sebaliknya mereka yang datang dari golongan sesat tentu saja datang untuk melihat apakah di situ terdapat harapan bagi mereka untuk mendapatkan keuntungan besar. Tanpa keuntungan bagi mereka, golongan sesat ini tentu saja tidak sudi melelahkan diri.

Karena undangan itu tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu, melainkan undangan untuk umum, yaitu para tokoh dunia persilatan, maka bermacam orang yang datang berkunjung. Asalkan dia merasa bahwa dirinya termasuk golongan dunia persilatan, ikut pula datang, walaupun tingkat ilmu silat mereka itu masih jauh daripada pantas untuk menghadiri pertemuan seperti itu.

Siangkoan Kok memang pandai mengambil hati orang. Sebelum pertemuan dimulai, sebelum dia keluar menemui para tamu, mereka itu telah disuguhi arak dan anggur yang baik, makanan yang lezat. Setelah menjelang tengah hari, dihidangkanlah makan siang yang amat royal. Berpestalah para tamu itu, melebihi pesta pernikahan atau pesta lain.

Daging segala macam binatang berlimpah ruah, guci arak tak pernah kosong, dan masakan-masakan termahal dihidangkan. Banyak di antara para tamu yang tercengang dan terheran melihat masakan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

Setelah selesai makan siang, barulah Siangkoan Kok bersama isteri dan puterinya muncul! Memang aneh, akan tetapi cara seperti ini amat menyenangkan para tamu. Tadi mereka dijamu hidangan yang royal tanpa merasa sungkan karena pihak tuan rumah hanya mewakilkan kepada para gadis cantik yang menjadi anggauta Pao-beng-pai.

Para gadis cantik itu melayani para tamu sambil tersenyum manis dan bersikap ramah, bahkan mereka tidak menjadi marah kalau di antara para tamu ada yang mencoba menggoda mereka dengan ucapan yang kadang membikin merah wajah para pendekar yang juga hadir di situ. Hal ini saja menunjukkan betapa taatnya para anggauta Pao-beng-pai.

Biasanya, para anggauta wanita itu merupakan orang-orang yang galak. Bukan mustahil mereka ini membunuh seorang pria yang berani menggoda mereka, kalau mereka tidak menyukai pria itu. Akan tetapi, dalam melayani para tamu itu, mereka tidak pernah marah, bahkan tidak berani marah karena mereka sudah dipesan oleh ketua mereka agar melayani para tamu baik-baik dan manis, dan dilarang untuk bersikap keras terhadap mereka.

Dalam suasana gembira dan puas makan minum sampai kenyang, para tamu menyambut munculnya Siangkoan Kok dengan tepuk tangan. Ketua Pao-bengpai itu muncul sambil tersenyum, namun sikapnya yang gagah berwibawa membuat semua orang memandang kagum dan segan.

Orang tinggi besar dan gagah ini memang tidak terkenal di dunia persilatan, namun namanya secara tiba-tiba menjulang tinggi ketika dia membangun kembali Pao-beng-pai dan kabar angin menyiarkan betapa ketua ini dan anak isterinya memiliki ilmu kepandaian yang hebat!

Siangkoan Kok memang gagah. Tubuhnya yang tinggi besar itu kokoh kuat seperti batu karang, wajahnya yang tampan gagah itu berwibawa dan keningratan, langkahnya mantap dan gagah seperti seekor singa, sebatang pedang tergantung di pinggang dan pakaiannya rapi terbuat dari sutera mahal walaupun tidak berkesan mentereng. Rambutnya tidak dikuncir, melainkan digelung dan diikat ke atas. Ini saja merupakan tanda bahwa dia tidak mentaati peraturan pemerintah Mancu bahwa semua pria diharuskan menguncir rambutnya! Usianya sekitar lima puluh lima tahun.

Di samping kirinya melangkah seorang wanita yang usianya empat puluh lima tahun, namun masih nampak cantik dan tubuhnya masih padat dengan pinggang ramping. Sepasang mata wanita ini jeli dan bersinar tajam, mulutnya selalu dihias senyum yang membayangkan kebanggaan, seperti senyum seorang puteri kerajaan yang menyadari akan kekuasaannya, kemuliaannya dan kecantikannya. Ia adalah Lauw Cu Si, isteri ketua Paobeng-pai yang oleh para anggautanya selalu disebut Toanio. Semua mata memandang kagum karena wanita ini memang pantas untuk menjadi seorang wanita bangsawan tinggi.

Akan tetapi yang paling menarik perhatian semua tamu adalah gadis yang melangkah perlahan di belakang suami isteri itu. Gadis ini memang merupakan tontonan yang amat menarik hati. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun, pakaiannya lebih mewah daripada pakaian ibunya. Rambutnya yang hitam lebat dan panjang itu digelung ke atas dan dihias sebuah mutiara kecil penuh permata berkilauan.

Wajah itu cantik jelita, anggun, akan tetapi amat dingin. Pandang matanya lebih banyak menunduk, akan tetapi kalau ia mengangkat muka dan sinar matanya menyambar, banyak orang merasa ngeri karena sinar mata itu mencorong seperti mata seekor naga.

Di punggung gadis ini napak sebatang pedang beronce merah, dan tangan kirinya memegang sebuah hud-tim berbulu merah. Kebutan pendeta ini sungguh membuat orang merasa heran. Bagaimana seorang gadis cantik membawa sebuah kebutan yang biasanya diawa oleh seorang pendeta? Gadis ini adalah Siangkoan Eng, gadis yang pernah menggemparkan pesta pertemuan tiga keluarga besar di rumah pendekar Suma Ceng Liong.

Di belakang ayah ibu dan anak ini berjalan dengan sikap hormat empat orang gadis yang berpakaian serba putih, yaitu empat orang gadis yang merupakan pimpinan dari semua anggauta wanita dari Pao-beng-pai. Mereka ini dapat juga dianggap sebagai murid-murid yang paling pandai dari Siangkoan Kok dan isterinya, dan tingkat kepandaian mereka hanya di bawah tingkat kepandaian Siangkoan Eng yang oleh para anggautanya disebut Siocia atau Nona.

Setelah para tamu bertepuk tangan menyambut munculnya keluarga tuan rumah, Siangkoan Kok, isterinya dan puterinya mengambil tempat duduk yang sudah disediakan, yaitu di sudut yang agak lebih tinggi dari lantai ruangan luas itu sehingga semua tamu dapat melihat mereka.

Dengan isyarat tangannya, Siangkoan Kok mempersilakan para tamu untuk duduk, dan seorang di antara empat wanita berpakaian putih yang berdiri di belakang keluarga itu, kini berseru dengan suaranya yang merdu dan lantang sekali karena diteriakkan dengan pengerahan khi-kang.

“Cu-wi (Anda Sekalian) yang terhormat. Pangcu kami mempersilakan Cuwi untuk duduk dan diharap agar masing-masing memperkenalkan diri, sebutkan nama, dari perkumpulan atau aliran mana, dan bertempat tinggal di mana.”

Semua tamu saling pandang dan ada di antara mereka yang merasa kurang senang. Betapa angkuhnya sikap tuan rumah ini. Seperti seorang raja saja! Akan tetapi sebagian besar di antara mereka segera memperkenalkan diri. Satu demi satu, kepala rombongan para tamu memperkenalkan nama, nama perkumpulan yang diwakilinya, dan tempat tinggal mereka.

Dengan cara demikian, bukan saja tuan rumah mengenal siapa tamu-tamunya, dan seorang gadis berpakaian putih sibuk menuliskan nama-nama dari para tamu yang memperkenalkan diri. Lebih dari delapan puluh orang sudah memperkenalkan diri, mewakili tiga puluh perkumpulan atau rombongan. Mereka adalah orang-orang dunia kang-ouw yang sebagian besar dari golongan sesat.

Tinggal dua puluh orang lebih yang masih belum memperkenalkan diri karena mereka ini termasuk mereka yang menganggap sikap tuan rumah itu sombong dan angkuh. Melihat kenyataan ini, gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya, kembali bangkit berdiri dan berteriak dengan suaranya yang lantang.

“Harap para tamu lain yang belum memperkenalkan diri, suka memperkenalkan diri secepatnya agar perkenalan ini dapat segera selesai!”

Di antara tiga puluh orang lebih itu, terdapat wakil-wakil dari partai persilatan yang besar. Dua orang murid Siauw-lim-pai, dua orang murid Go-bi-pai, dua orang murid Bu-tong-pai dan dua orang murid Kun-lun-pai.

Empat perkumpulan besar ini telah memiliki nama besar di dunia persilatan dan mereka memiliki murid-murid yang pandai dan yang terkenal sebagai golongan pendekar. Untuk menjaga kebesaran nama partai masing-masing, delapan orang yang sudah saling pandang dan dari pandang mata mereka saja mereka maklum bahwa mereka berpendapat sama, maka mereka pun diam saja di tempat duduk mereka, tidak memperkenalkan diri dan akan melihat perkembangan selanjutnya.

Sisa dari mereka yang belum memperkenalkan diri nampaknya ragu-ragu karena mereka pun bersandar kepada sikap para wakil empat partai besar itu. Untuk berdiam diri seperti mereka delapan orang itu, mereka merasa tidak enak juga. Mereka adalah tamu-tamu yang diundang dan pihak tuan rumah telah menjamu mereka secara royal sekali. Kalau sekarang tuan rumah bersikap angkuh dan minta mereka memperkenalkan diri, tentu saja mereka merasa sungkan untuk tidak melakukan itu.

Akan tetapi kalau melakukannya juga, berarti mereka telah merendahkan diri kepada pimpinan Pao-beng-pai yang belum mereka kenal orang-orang macam apa adanya mereka itu.

Tiba-tiba seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka bulat, usianya sekitar tiga puluh tahun, bangkit berdiri, diikuti dua orang kawannya. Mereka agaknya mewakili pula satu rombongan, dan si muka bulat itu lalu berkata, suaranya tidak kalah lantang dibandingkan suara gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya.

“Kami bertiga mewakili sebuah perguruan silat, dan sebelum memperkenalkan diri, kami ingin memprotes cara perkenalan diri ini! Kami adalah tamu-tamu yang diundang, bukan orang-orang yang diperintah untuk datang menghadap. Karena itu, kami menolak cara perkenalan seperti ini, dan menuntut agar pihak tuan rumah lebih dahulu memperkenalkan diri, baru kami akan memperkenalkan diri!”

Agaknya ucapan yang gagah ini disetujui oleh mereka semua yang belum memperkenalkan diri, bahkan para wakil empat partai besar mengangguk-angguk dan tersenyum. Hati mereka tertarik sekali dan ingin melihat bagaimana sikap tuan rumah. Semua orang memandang ke arah tempat duduk tuan rumah. Akan tetapi ketua Pao-beng-pai itu, isterinya, dan puterinya bersikap tenang dan acuh, seolah-olah tidak terjadi sesuatu dan mereka menyerahkan saja kepada gadis berpakaian putih yang mewakili Siangkoan Kok bicara.

Gadis berpakaian putih itu dengan sinar matanya yang tajam memandang kepada si muka bulat, juga ia melihat sikap mereka yang belum memperkenalkan diri.

“Kami melihat betapa para tamu yang belum memperkenalkan diri agaknya setuju dengan usul saudara yang baru berbicara. Baiklah kalau begitu, kami akan memberi penjelasan. Ketua kami telah menyambut Cu-wi (Anda Sekalian) dengan penuh kehormatan dan keramahan. Cu-wi dijemput, diantar ke sini, lalu disuguhi hidangan makanan yang sebaik mungkin….”

“Kami tidak pernah minta makanan, kalian sendiri yang menghidangkan!” bantah si muka bulat dan banyak di antara para tamu tersenyum lebar mendengar ucapan itu.

“Begitukah?” Gadis berpakaian putih itu memandang dan sinar matanya mulai marah.
“Kalau begitu dengarlah baik-baik. Pangcu (Ketua) kami menganggap sudah sepatutnya kalau beliau yang lebih tinggi tingkatnya menerima perkenalan diri kalian. Beliau hanya mau berkenalan secara langsung dengan mereka yang sederajat!”

“Wahhh!” Si muka bulat kini terbelalak dan mukanya yang putih itu berubah merah karena darah sudah naik ke kepalanya. “Sombong amat! Kalau begitu, begini saja. Biar kami semua yang belum memperkenalkan diri, menguji kepandaian para pimpinan Pao-beng-pai yang tinggi hati itu, untuk melihat apakah benar derajat dan tingkat mereka lebih tinggi daripada kami!” Kembali banyak orang mengangguk menyetujui usul ini.

Melihat betapa banyak di antara para tamu menyetujuinya, si muka bulat memberi isyarat kepada dua orang adik seperguruannya, dan mereka bertiga tiba-tiba meloncat dengan gerakan ringan ke sudut ruangan yang kosong dan tempat itu merupakan tempat yang cukup luas untuk dipakai bertanding silat.

Suasana menjadi tegang akan tetapi karena mereka semua adalah orang-orang kang-ouw yang tentu saja suka melihat pi-bu (adu silat), maka pada wajah mereka terbayang kegembiraan karena mereka mengharapkan akan dapat melihat pertandingan silat yang menarik antara orang-orang pandai. Juga para tamu ingin sekali melihat bagaimana sikap dan jawaban para pimpinan Pao-beng-pai terhadap tantangan si muka bulat dan dua orang kawannya itu.

Gadis berpakaian putih yang mewakili para pimpinan Pao-beng-pai, yang juga merupakan murid ketua dan pelayan terdekat dan terpercaya, menoleh ke arah sang ketua. Akan tetapi ketua itu hanya tersenyum dan mengangguk, tanda bahwa dia merestui sikap muridnya itu. Melihat ini, gadis berpakaian putih itu lalu berkata,

“Kami menerima usul itu, dan menyambut tantangan siapa saja yang hendak menguji kepandaian!”

Si muka bulat yang kini menjadi perhatian semua tamu, merasa bangga dan dengan membusungkan dadanya dia berkata,

“Kami bertiga pengurus Pek-eng-bukoan (Perguruan Silat Garuda Putih) mohon petunjuk dari ketua Pao-beng-pai!”

Akan tetapi, tantangan terhadap ketua itu disambut oleh gadis pakaian putih tadi. Ia memberi isyarat kepada tiga orang temannya dan sekali melompat, tiga orang berpakaian putih itu telah berhadapan dengan tiga orang penantang yang tadi bicara tidak ikut maju, dan ia yang bicara menjawab.

“Untuk mengadu ilmu dengan ketua kami tidaklah mudah, harus dapat mengalahkan wakilnya, yaitu Toanio, dan untuk menandingi Toanio harus lebih dahulu mengalahkan Siocia. Akan tetapi sebelum dapat pi-bu dengan Sio-cia harus lebih dahulu dapat mengalahkan kami dan beberapa orang murid lain!” Gadis itu tersenyum mengejek.

“Sam-wi sudah maju, dan tiga orang rekan kami sudah maju menyambut tantangan, nah persilakan kalau Sam-wi hendak bertanding”.

Tentu saja tiga orang tokoh Perguruan Silat Garuda Putih itu marah sekali. Mereka merasa diremehkan. Padahal, gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak membual atau meremehkan karena dari gerakan tiga orang pria ketika meloncat tadi, ia sudah tahu bahwa tiga orang rekannya akan mampu menandingi mereka.

“Bagus, kalian orang-orang Pao-beng-pai sungguh memandang rendah orang lain. Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian!” bentak si muka bulat.

Seorang di antara tiga wanita berpakaian putih yang berdiri di depan mereka itu berkata tenang,

“Kami bertiga sudah siap.”

“Sambut serangan kami!” bentak si muka bulat dan bersama dua orang rekannya dia sudah menyerang gadis yang bicara itu.

Dua orang rekannya juga menyerang dengan pukulan yang mendatangkan angin kuat. Namun, tiga orang gadis pakaian putih itu dengan mudah sekali mengelak dan gerakan mereka ringan sekali, juga amat cepat ketika mereka membalas. Terjadilah pertandingan tiga lawan tiga. Agaknya tiga orang gadis berpakaian putih itu maklum bahwa kalau mengadu tenaga kasar, mereka kalah kuat.

Maka, mereka mempergunakan kecepatan dan keringanan gerakan mereka dan dalam hal ini mereka memang lebih unggul. Tubuh mereka berkelebatan menjadi bayangan putih yang sukar sekali diserang oleh tiga orang pria itu, bagaikan tiga orang anak-anak yang mencoba untuk menangkap tiga ekor dara putih yang gesit sekali.