Ads

Minggu, 24 April 2016

Si Tangan Sakti Jilid 002

Kemudian lewat tiga belas tahun, setelah ia menjadi seorang gadis remaja dan Yo Han menjadi pemuda dewasa, mereka saling berjumpa. Dan telah terjadi perubahan besar dalam diri Yo Han. Kalau dahulu, di waktu kecil dia tidak suka berlatih silat karena katanya ilmu silat hanya mendatangkan kekerasan dan permusuhan, kini dia telah menjadi seorang pendekar sakti yang amat lihai, bahkan yang dikenal orang-orang di wilayah barat sebagai Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti)!

Dan mereka saling mengenal dalam pertemuan yang mengharukan dan juga amat menggembirakan hati Sian Li. Sejak kecil ia menyayang Yo Han, dan kini setelah menjelang dewasa dan melihat bahwa Yo Han telah menjadi seorang pendekar budiman yang amat mengagumkan, tidaklah mengherankan kalau ia jatuh cinta. Walaupun ia dan Yo Han tidak pernah saling menyatakan isi hati yang mencinta, namun keduanya dapat merasakan dalam hati masing-masing bahwa mereka saling mencinta.

Setelah bertemu dengan Yo Han, Sian Li pulang diantar oleh Yo Han dan kedua orang tua Sian Li juga menyambut Yo Han dengan gembira dan kagum melihat pemuda yang di waktu kecilnya tidak suka berlatih silat itu kini telah menjadi seorang pendekar lihai.

Namun, melihat keakraban hubungan antara puteri mereka dan Yo Han, suami isteri pendekar itu merasa khawatir. Mereka berdua tidak setuju kalau sampai puteri mereka saling jatuh cinta dengan Yo Han, tidak setuju kalau puteri mereka menjadi jodoh pemuda itu. Mereka tidak dapat melupakan bahwa biarpun ayah kandung Yo Han seorang pemuda petani yang jujur dan baik namun mendiang ibu kandungnya adalah sorang wanita tokoh sesat yang dahulu terkenal sebagai iblis betina dengan julukan Bi Kwi (Setan Cantik).

Mereka merasa khawatir kalau-kalau Yo Han mewarisi watak ibunya yang tersesat. Itulah sebabnya maka suami isteri ini terang-terangan menyatakan kepada Yo Han bahwa Sian Li akan dijodohkan dengan Pangeran Cia Sun dari kota raja! Keterangan itu memukul hati Yo Han dan pemuda itu pun, untuk ke dua kalinya, meninggalkan keluarga Tan demi menjauhkan diri dan tidak mengganggu Sian Li!

Demikianlah, kadang-kadang, kalau teringat kepada Yo Han, Sian Li merasa rindu dan bersedih. Akan tetapi ayah ibunya menghiburnya dan mengatakan bahwa ayah ibunya akan mengajak ia pergi ke kota raja, untuk membantu Yo Han yang bertugas mencari adik misannya yang hilang diculik orang sejak berusia tiga tahun! Adik misan Yo Han itu bernama Sim Hui Eng, puteri dari suami isteri pendekar Sim Houw dan Can Bi Lan.

Suami isteri pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu pun tidak berhasil menemukan kembali puteri mereka yang telah hilang selama dua puluh tahun! Dan sekarang pergi untuk mencoba membantu bibinya menemukan kembali puterinya yang hilang itu. Tentu saja Sian Li terhibur karena hendak diajak mencari Sim Hui Eng, bukan untuk menemukan gadis yang sama sekali belum pernah dikenalnya itu, melainkan karena ada harapan untuk berjumpa kembali dengan Yo Han!

Sebelum itu, Sian Li diharuskan memperdalam ilmu silatnya dan selama setahun, ia melatih diri dengan amat tekun, menguasai ilmu silat Ang-ho-sinkun yang sengaja dirangkai ayahnya untuk dirinya. Tidak begitu sukar bagi Sian Li untuk menguasai ilmu ini, karena sebelumnya ia telah menguasai ilmu silat Pek-ho-sin-kun yang merupakan dasar dari Ang-ho-sin-kun.

Pada pagi hari itu, untuk yang terakhir kalinya Sian Li berlatih, ditunggui ayah dan ibunya sendiri. Ia bersilat memainkan Ang-ho-sin-kun. Demikian lincah gerakannya sehingga kadang-kadang tubuhnya tidak nampak dan yang kelihatan hanya bayangan merah yang berkelebatan cepat. Kadang-kadang kalau ia melakukan gerakan yang lambat, maka ia kelihatan seperti seorang penari yang pandai menarikan tari bangau yang indah.

Ada gerakan burung bangau menyisir bulu, burung bangau berjemur dan burung bangau mengembangkan kedua sayap. Indah sekali gerakannya itu, akan tetapi di balik keindahan dan kelembutan ini tersimpan kekuatan dahsyat yang mengejutkan lawan yang kuat sekalipun.

Setelah selesai bersilat, Sian Li menghentikan gerakannya dan napasnya tidak memburu, hanya di leher dan dahinya saja agak basah oleh keringat. Ibunya segera menghampiri puterinya, mempergunakan sebuah handuk untuk mengusap keringat dari leher dan dahi puterinya tercinta.

“Bagus, gerakanmu sudah bagus, tidak ada lagi kulihat lowongan yang lemah!” Ayahnya memuji.

“Kepandaianmu kini lengkap dan lumayan, aku sendiri tidak akan mampu menandingimu,” kata ibunya dengan bangga dan ibu ini mencium kedua pipi puterinya.

“Kalau begitu kapan kita berangkat, Ayah?”

Sian Li bertanya, wajahnya berseri gembira, matanya bersinar-sinar. Sin Hong sendiri kagum melihat puterinya. Isterinya adalah seorang wanita cantik, akan tetapi puteri mereka ini lebih cantik lagi. Apalagi dalam pakaian serba merah begitu. Hati pemuda mana yang takkan terpikat? Pangeran Cia Sun pasti akan jatuh cinta kalau bertemu dengan Sian Li.

Tan Sin Hong tertawa.
“Ha-ha-ha, berangkat ke mana?” Dia menggoda, tentu saja tahu bahwa puterinya menagih janji.

“Aih, apakah Ayah sudah melupakan janjinya sendiri? Bukankah setahun yang lalu Ayah menjanjikan kepadaku untuk pergi mencari puteri paman Sim Houw, dimulai dari kota raja?”

“Ayahmu hanya menggodamu, Sian Li. Kita berangkat besok pagi-pagi, kami sudah bersiap dan berkemas,” kata Kao Hong Li.

Mendengar ucapan ibunya ini, Sian Li bersorak gembira.
“Kalau begitu, aku pun akan berkemas, ibu!” dan gadis itu berlari ke kamarnya dengan sikap gembira bukan main.

Ayah dan ibu itu memandang ke arah puteri mereka dan tersenyum bahagia.
“Dia sudah dewasa akan tetapi kadang-kadang masih kekanakan.” kata Tan Sin Hong.

“Usianya sudah delapan belas tahun, tentu saja sudah dewasa,” kata Kao Hong Li.

“Sekali ini kita akan mempertemukan ia dengan Pangeran Cia Sun. Kita matangkan urusan ini dengan keluarga Pangeran Cia Yan.”






“Mudah-mudahan mereka berjodoh.” kata isterinya, akan tetapi di dalam hatinya Kao Hong Li tidak yakin benar.

Ia mengenal benar watak puterinya, Sian Li yang lincah gembira itu memiliki pendirian yang sekeras baja. Kalau puterinya itu tidak setuju untuk dijodohkan dengan seseorang, biar dengan pangeran sekalipun, tidak akan ada kekuatan di dunia ini yang akan mampu memaksanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau merisaukan hati suaminya dengan pendapat hatinya ini dan hanya disimpannya saja.

Keluarga ini membuat persiapan, dan pada keesokan harinya pagi-pagi berangkatlah mereka bertiga menuju ke kota raja, menggunakan sebuah kareta yang ditarik dua ekor kuda.

Akan tetapi Sian Li melihat bahwa setelah tiba di perempatan, kereta yang mestinya berbelok ke utara menuju ke kota raja tidak dibelokkan ayahnya dan terus menuju ke timur.

“He, apakah Ayah tidak salah jalan? Kota raja berada di sana!” katanya menuding ke kiri.

“Kita pergi ke dusun Hong-cun lebih dulu. Lupakah engkau akan perayaan ulang tahun paman Suma Ceng Liong?” kata ibunya.

Sian Li terbelalak, lalu berseru gembira.
“Aih, kenapa Ayah dan Ibu tidak memberitahukan lebih dahulu? Aku sampai lupa! Tentu saja Kakek Suma Ceng Liong akan merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, dan perayaan itu dipergunakan pula untuk mengumpulkan semua anggauta keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Gunung Naga!”

Teringat akan itu, Sian Li gembira bukan main. Tidak saja ia akan dapat bertemu dengan kakek Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, dua orang tua yang pernah menggemblengnya selama lima tahun, dan bertemu pula dengan para anggauta tiga keluarga besar, akan tetapi terutama sekali karena adanya kemungkinan ia berjumpa dengan Yo Han di sana!

Tan Sin Hong dan isterinya tertawa. Mereka memang ingin mengadakan kejutan maka tidak mengingatkan puteri mereka tentang itu dan benar saja, kini gadis itu gembira bukan main.

Perjalanan yang cukup jauh itu mereka lakukan dengan santai, seperti orang sedang pesiar sehingga tidak terasa lelah dan di sepanjang perjalanan mereka menikmati alam, berhenti di kota-kota yang ramai. Waktunya masih banyak dan biarpun dengan santai, mereka tidak akan terlambat.

“Berhenti....!”

Teriakan itu lantang sekali dan tiga belas orang yang menghadang dan menghentikan kereta itu nampak bengis dan dari sikap, pakaian dan wajah mereka dapat diduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang sudah biasa memaksakan kehendak mereka dengan kekerasan.

Melihat ada belasan orang menghadang di jalan pegunungan yang sunyi itu, Tan Sin Hong yang memegang kendali kuda, menghentikan dua ekor kuda itu dan kereta pun berhenti.

Kao Hong Li dan Tan Sian Li menjenguk dari jendela kereta dan dua orang wanita ini saling pandang. Mereka bahkan merasa heran melihat keberanian gerombolan itu yang berani menghadang mereka!

“Biarkan aku menghadapi mereka, Ibu. Ayah, jangan turun tangan, biar aku menghajar orang-orang jahat itu!”

Ayahnya tersenyum dan mengangguk.
“Ingat, jangan sembarangan membunuh orang, Sian Li.”

“Jangan khawatir, Ayah. Aku tidak pernah melupakan semua nasihatmu, aku tidak akan membunuh mereka, hanya menghajar biar mereka jera!”

Sian Li turun dari atas kereta, sengaja tidak memperlihatkan kepandaiannya, turun dengan biasa saja seperti seorang gadis yang lemah. Ketika ada seorang gadis berpakaian serba merah turun dari kereta yang mereka hadang, dan gadis itu cantik jelita, tidak memegang senjata dan nampak lemah dengan langkahnya yang lembut menghampiri mereka, para perampok itu terheran-heran.

Pemimpin mereka, seorang yang mukanya hitam dan tubuhnya seperti raksasa, segera melangkah maju menghadapi Sian Li, matanya memandang dengan melotot, seperti harimau kelaparan melihat datangnya seekor kelinci yang berdaging gemuk dan lunak.

“Aduh-aduh.... kiranya penumpang kereta adalah seorang bidadari merah yang cantik rupawan....” kata raksasa muka hitam itu. “Hari ini aku Hek-bin-gu (Kerbau Muka Hitam) bertemu bidadari, sungguh beruntung!”

Mendengar ucapan si raksasa muka hitam itu, dua belas orang anak buahnya yang rata-rata juga kasar dan bengis, tertawa-tawa dan semua mata memandang kepada Sian Li seolah-olah hendak melahapnya.

Sian Li sengaja tersenyum semanisnya sehingga lesung pipi bermunculan di kanan kiri mulutnya. Wajahnya menjadi demikian manis sehingga tiga belas orang kasar itu tak dapat menahan air liur dan mereka menelan ludah, membuat kalamenjing di kerongkongan mereka bergerak naik turun.

“Kalian ini belasan orang menghadang perjalananku, ada urusan apakah?” tanyanya, bersikap polos dan tidak mengerti.

Si muka hitam menoleh kepada kawan-kawannya.
“Haiii, dengar, kawan-kawan. Kita ini menghadang kereta bidadari ini mau apa? Hayo jawab, mau apa, ya? Ha-ha-ha-ha-ha!”

Kembali mereka semua tertawa bergelak. Sian Li mengernyitkan hidungnya karena dari mulut tiga belas orang yang terbuka lebar itu keluar bau yang tidak sedap. Agaknya sebagian dari mereka telah minum banyak arak keras sepagi itu.

“Kalau kalian tidak mempunyai urusan denganku, mundurlah dan jangan menghalang jalan, keretaku akan lewat.” kata pula Sian Li.

Hek-bin-gu melangkah makin dekat.
“Nona manis, tadinya kukira kereta ini ditumpangi pembesar Mancu dan kalau demikian halnya, tentu keretanya kami rampas, orang-orangnya kami bunuh. Akan tetapi, karena engkau yang menjadi penumpang, biarlah kami sambut sebagai tamu agung dan mari engkau bersamaku bersenang-senang di puncak bukit.”

Sian Li mengerutkan alisnya, akan tetapi kemarahan hatinya ia tutupi dengan wataknya yang jenaka.

“Hei, bukankah engkau ini kerbau, kerbau yang hitam pula mukanya? Bagaimana aku dapat bergaul dengan kerbau, apalagi yang hitam mukanya? Baru berdekatan saja, baunya sudah membuat aku hampir muntah. Menggelindinglah kalian pergi. Kalian ini perampok-perampok busuk, jangan mencoba untuk menakut-nakuti aku.”

Tentu saja sikap ini mengejutkan dan mengherankan tiga belas orang perampok itu. Nona ini kelihatan lembut dan lemah, akan tetapi kenapa begini tenang dan jelas sedikit pun tidak merasa takut menghadapi mereka? Hek-bin-gu bukan orang bodoh. Maka dia pun sudah dapat menduga bahwa agaknya nona cantik ini mempunyai andalan maka sikapnya demikian tabah. Biarpun demikian dia geli melihat sikap itu.

“Aih, Nona. Engkau tidak takut, berarti engkau berani melawanku?”

“Kenapa tidak berani? Orang macam engkau ini hanya bisa menakuti-nakuti anak kecil saja!”

Hek-bin-gu masih memandang rendah. Dia menanggalkan kancing bajunya, memperlihatkan dada dan lengan yang berotot.

“Lihat, tubuhku empat kali lebih besar dan kuat daripadamu, bagaimana engkau akan mampu melawan aku?”

“Hemmm, betapapun besarnya sebuah gentong, kalau kosong bunyinya saja nyaring akan tetapi tidak ada gunanya.”

Kini Hek-bin-gu mulai marah.
“Mari kita bertaruh! Kalau engkau dapat bertahan melawanku selama sepuluh jurus biarlah kubiarkan keretamu lewat. Kalau sebelum itu engkau dapat kuringkus, engkau harus mau menjadi isteriku!”

Sian Li tersenyum.
“Begitukah? Bagaimana kalau sebelum sepuluh jurus engkau yang roboh?”

Si muka hitam tidak menjawab melainkan tertawa, diikuti dua belas orang kawannya. Mereka agaknya merasa geli membayangkan hal yang mereka anggap tidak mungkin terjadi itu.

“Ha-ha-ha-ha-ha, Toako kami ini kalah olehmu, nona manis? Mungkin dalam pertandingan bentuk lain, ha-ha-ha!” terdengar suara mereka dalam kelakar yang bermaksud mesum.

“Nona, kalau sampai aku Hek-bingu kalah sebelum sepuluh jurus olehmu, aku akan berlutut di depan kakimu!” kata si muka hitam.

“Bagus! Mulailah dan bersiaplah untuk berlutut menciumi tanah yang terkena tahi kudaku!” kata Sian Li, sama sekali tidak marah mendengar kelakar tadi karena memang ia tidak menangkap artinya.

Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, tentu saja mengerti akan makna kelakar mesum itu, akan tetapi mereka pun ingin melihat sepak terjang puteri tersayang mereka.

Hek-bin-gu melangkah maju semakin dekat dan bertambah muaklah rasa hati Sian Li karena bau yang penguk dan masam segera menerpa hidungnya. Ia menahan napas dan si kerbau muka hitam itu mengeluarkan bentakan nyaring, kedua lengannya yang besar panjang itu dikembangkan, jari-jari kedua tangan terbuka dan dia menerkam bagaikan seekor beruang menerkam mangsanya. Tentu saja dia mengira bahwa sekali terkam dia akan mampu menangkap dan mendekap gadis yang menggemaskan hatinya itu.

“Wuuuuuttttt....”

Terkamannya mengenai tempat kosong dan hanya nampak bayangan merah berkelebat, tahu-tahu gadis itu telah lenyap dari depannya.

“Hahhh....?” Dia memutar tubuh dengan cepat, akan tetap mukanya disambut sepatu.

“Plakkk!”

“Auhhhppp....!”

Tubuhnya yang gempal itu terjengkang dan terbanting keras! Dua belas orang kawannya ternganga. Mereka tadi hanya melihat betapa gadis itu meloncat dengan kecepatan luar biasa ke atas, bagaikan seekor burung saja melayang di atas kepala Hek-bin-gu dan tiba di belakang raksasa muka hitam itu, pada saat Hek-bin-gu memutar tubuh, gadis itu telah meloncat ke atas lagi dan kakinya menyambut muka lawan dengan gerakan seekor burung bangau kalau akan hinggap di cabang pohon, dengan sebelah kaki lebih dahulu. Sebelah kaki itulah yang menyambut muka Hek-bin-gu, seolah muka itu hendak dijadikan landasan mendarat!

Hek-bin-gu mempunyai tubuh yang kuat dan kulitnya keras seperti kulit buaya, maka karena Sian Li hanya menendang biasa tanpa mengerahkan sin-kang, dia pun begitu terbanting sudah cepat meloncat bangkit lagi. Sejenak dia terbelalak, akan tetapi mukanya menjadi semakin hitam. Baru satu gebrakan saja, belum sejurus penuh, dia sudah terjengkang!

Dia bukan manusia yang berani mengakui kelemahannya, maka dengan lebih ganas dia sudah menerjang lagi, kini menggunakan kedua tangan untuk mencengkeram. Entah apa jadinya kulit dan daging lunak seorang gadis kalau terkena cengkeraman sepuluh jari tangan yang membentuk cakar itu. Sebelah mata kiri Hek-bin-gu lebih hitam daripada kulit mukanya dan agak membengkak karena mata itu tadi kebagian sisi sepatu yang menonjol.

“Haiiittttt....!” Dia membentak dengan gaya seorang ahli silat atau jagoan yang pilih tanding.

“Wuuusssss....!” kembali dia kehilangan lawan dan hanya melihat bayangan merah berkelebat.

Cengkeramannya luput dan dia melihat bayangan itu berada di sebelah kanannya. Cepat kakinya yang kiri melayang sambil memutar tubuhnya sehingga dia sudah mengirim tendangan ke arah tubuh Sian Li. Kakinya panjang dan besar, dan tendangan itu mengandung kekuatan otot yang besar.

Kembali tendangan itu luput dan sebelum kaki itu turun, Sian Li sudah meloncat ke depan, kakinya yang kanan bergerak menendang dan dari bawah kaki itu mendorong pinggul lawan. Karena pada saat itu kaki kiri Hek-bin-gu sedang melayang ke atas, maka ketika tubuhnya didorong kaki dari belakang, tanpa dapat dicegahnya lagi kaki kanannya ikut pula terangkat ke atas.

“Bluggggg....!”

Seperti kerbau jatuh dari atas, tubuhnya menghantam tanah dengan pinggul terlebih dahulu dan debu pun beterbangan. Biarpun tubuhnya kebal, namun sekali ini Hek-bin-gu meringis kesakitan. Seperti patah-patah tulang punggungnya terbawah ketika berat badannya membuat tubuh itu menghantam tanah dengan kerasnya.

Dan sekali lagi teman-temannya terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin gadis itu dalam dua gebrakan telah membuat orang terkuat diantara mereka dua kali terbanting jatuh?

Hek-bin-gu bukan sekadar heran saja, akan tetapi dia lebih merasa penasaran dan marah, tetap tidak mau mengakui bahwa dia kalah jauh dibandingkan lawannya. Sambil menggereng dia melupakan rasa nyeri di pinggulnya dia sudah bangkit kembali, menghampiri Sian Li. Tanpa disadarinya, jalannya agak terseok seperti kerbau pincang kaki belakangnya.

“Bocah setan, aku akan memukul pecah kepalamu!”

Setelah berkata demikian, Hek-bin-gu menerjang dan menyerang. Sekali ini, dia bukan sekedar menubruk dan mencengkeram seperti dua kali serangan pertama, melainkan menyerang dengan jurus-jurus ilmu silat, memukul dan menendang.

Akan tetapi, begitu kepalan tangan kanannya yang besarnya tidak kalah oleh besarnya kepala Sian Li itu menyambar ke arah kepala Sian Li, gadis itu mengelak ke samping.

Hek-bin-gu menyusulkan hantaman yang diseling tendangan, akan tetapi sekali lagi tubuh itu lenyap menjadi bayangan merah yang meluncur ke atas. Dia cepat mengangkat muka ke atas, siap menyambut tubuh yang meloncat ke atasnya itu, akan tetapi kembali dia kalah cepat. Kedua kaki Sian Li bergerak.

“Plak! Desss....!”

Tubuh Hek-bin-gu terpelanting keras dan sekali ini hidungnya bercucuran darah karena bukit hidungnya patah oleh tendangan kaki kiri Sian Li, sedangkan tendangan kaki kanan yang mengenai bawah telinga membuat dia tadi terpelanting dan terjungkal, dan membuat kepalanya nanar dan ketika dia merangkak bangun, dia melihat bumi di sekelilingnya berputar! Sekarang tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, dia akan semakin celaka, maka dalam keadaan masih pening dia berteriak kepada kawan-kawannya untuk mengeroyok!

Gerombolan itu kini menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang amat lihai walaupun kelihatan lemah lembut, maka mereka pun tidak malu-malu untuk mencabut senjata mereka dan mengepung gadis itu dengan bersenjata golok, ruyung atau pedang!
Sinar senjata mereka berkilauan ketika tertimpa sinar matahari pagi. Melihat ini, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li tetap tenang-tenang saja, menonton akan tetapi turun dari kereta. Mereka berdua tahu bahwa puteri mereka hanya berhadapan dengan orang-orang kasar yang nampaknya saja bengis dan ganas, akan tetapi hanya gentong-gentong kosong yang tidak berisi apa-apa kecuali nafsu angkara murka. Mereka yakin bahwa puteri mereka akan mampu menghadapi pengeroyokan mereka.

Sian Li tersenyum mengejek dan memandang kepada Hek-bin-gu yang masih mencoba untuk bangun sambil merangkak. Karena dia belum dapat bangkit berdiri, hanya bisa merangkak, maka kini julukannya itu tepat sekali. Dia memang seperti seekor kerbau yang berjalan dengan empat buah kakinya.

“Hemmm, sudah kuduga bahwa engkau memang hanya seekor kerbau. Tentu saja engkau tidak akan memegang janji. Tapi aku akan memaksamu memenuhi janjimu berlutut dan mencium tahi kuda!” Tiba-tiba tubuhnya meloncat dan melewati kepala orang-orang yang mengepungnya.

Dua belas orang itu terkejut dan cepat mengejar, akan tetapi Sian Li telah tiba di belakang Hek-bin-gu. Kakinya menendang dan tubuh itu pun terdorong dan terbanting jatuh tepat di atas seonggok tahi kuda penarik kereta. Karena jatuhnya telungkup dan tahi kuda itu masih baru dan masih hangat, maka mukanya tepat menimpa tahi kuda itu. Tentu saja, biarpun dia masih nanar dan pening, Hek-bin-gu muntah-muntah dan menyumpah-nyumpah, menggunakan kedua tangan untuk membersihkan mukanya dari kotoran itu.

Akan tetapi dia mengeluh kesakitan ketika tangannya menggaruk batang hidungnya yang patah. Bau kotoran itu yang memasuki mulut dan hidungnya tidak hanya membuat dia muntah-muntah, akan tetapi juga megap-megap karena sulit bernapas.

Dua belas orang anak buahnya menjadi marah sekali dan sambil berteriak-teriak mereka menyerbu, mengeroyok Sian Li seperti segerombolan anjing srigala mengepung seekor singa betina.

Sian Li sudah mengeluarkan sebatang suling yang disepuh emas dari ikat pinggangnya.
Suling itu kecil saja, hanya sebesar ibu jari kaki, dan panjangnya tidak melebihi panjang lengan Sian Li dari siku ke ujung jari tangan. Suling itu pemberian Kam Bi Eng isteri kakek Suma Ceng Liong.

Kemudian, begitu sulingnya digerakkan menghadapi pengeroyokan dua belas orang itu, nampak gulungan sinar emas yang mengeluarkan suara aneh, seperti orang bermain musik dengan suling, akan tetapi gulungan sinar emas itu menyambar-nyambar seperti seekor naga. Itulah ilmu pedang Liongsiauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) yang merupakan gabungan dari ilmu Kimsiauw-kiam (Ilmu Pedang Naga Siluman)!

Bukan main hebatnya ilmu ini. Ketika dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyambar-nyambar ke arah para pengeroyoknya, terdengar teriakan-teriakan berturut-turut dan dua belas orang itu pun roboh satu demi satu. Ada yang tertotok lumpuh, ada yang terkena tendangan, ada yang patah tulang, ada yang babak belur karena terbanting. Tidak sampai dua menit, dua belas orang itu sudah roboh semua!

Melihat ini, Hek-bin-gu yang sudah dapat bangkit berdiri, tanpa mengenal malu lagi lalu menyeret tubuhnya melarikan diri, diikuti oleh dua belas orang temannya yang saling bantu, lari terbirit-birit dan terpincang-pincang, dengan muka ketakutan seperti dikejar setan.

Sian Li tertawa geli lalu menghampiri ayah ibunya. Kao Hong Li tersenyum, teringat akan kesukaannya mempermainkan orang-orang jahat di waktu mudanya. Akan tetapi puterinya ini lebih bengal dan ugal-ugalan lagi. Sedangkan Sin Hong mengerutkan alisnya memandang kepada puterinya.

“Kenapa, Ayah?” tanya Sian Li. “Kenapa Ayah tidak gembira melihat aku menghajar gerombolan jahat itu?”

“Hemmm, memang baik sekali engkau menghajar mereka tanpa membunuh mereka atau melukai berat. Akan tetapi engkau terlalu mempermainkan dan menghina orang. Yang kau lakukan terhadap Hek-bin-gu tadi agak keterlaluan. Kenapa tidak kau robohkan saja dia dalam satu dua jurus agar dia tidak dapat melawan lagi?”

“Ayah, dia dan kawan-kawannya yang menghinaku, bukan aku. Memang baru puas hatiku kalau sudah mempermainkan mereka yang jahat itu agar mereka jera untuk menghina orang lagi.”

“Sudahlah,” kata Kao Hong Li karena tidak ingin melihat suaminya memarahi puteri mereka. “Sian Li kadang masih kekanak-kanakan. Eh, Sian Li, kenapa engkau tadi mempergunakan dan memaikan Liong-siauw Kiam-sut, bukankah hendak menguji ilmu silat Ang-ho Sin-kun? Dan kulihat engkau tidak pernah menggunakan tangan untuk menangkis atau merobohkan lawan.”