Ads

Selasa, 05 April 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 057

Sambil tertawa dan memandang ringan, pangeran Nepal itu menangkis dan hendak menangkap kedua tangan gadis itu. Dia terlalu memandang rendah, tidak tahu bahwa dalam serangan itu, Sian Li mengerahkan seluruh tenaga Swat-im Sin-kang dari Pulau Es.

Maka, begitu dua pasang tangan bertemu, Pangeran Gulam Sing terdorong ke belakang dan dia pun menggigil kedinginan! Dia terkejut setengah mati dan terpaksa dia melempar tubuh ke belakang dan bergulingan agar tidak menerima serangan susulan lawan. Akan tetapi hal itu tidak perlu karena Yo Han sudah berada di dekat Sian Li, menyabarkan gadis itu.

“Hentikan seranganmu, Li-moi. Serahkan saja urusan ini kepada Sin-ciang Tai-hiap.”

Ucapan itu selain dapat menyabarkan Sian Li, juga membuat para pengepung menjadi gentar karena Yo Han menyebut-nyebut nama Sin-ciang Tai-hiap yang tentu akan marah sekali karena Sian Lun telah dibunuh. Sian Li kembali menghampiri mayat suhengnya dan menangis.

Ki Bok cepat mendekatinya.
“Sudahlah Sian Li, tidak ada gunanya lagi ditangisi. Aku akan menyuruh orang-orangku untuk mengurus jenazah suhengmu baik-baik dan memperabukan jenazah itu agar abunya dapat kau bawa kalau kau menghendakinya. Sebaiknya engkau dan Yo-toako berdiam saja di pondokmu malam ini dan jangan keluar.”

Sian Li mengangguk dan merasa berterima kasih sekali. Kalau tidak ada Ki Bok, mungkin ia dan Yo Han juga sudah dikeroyok banyak orang dan entah bagaimana akibatnya. Agaknya, murid Lulung Lama ini memang benar-benar jujur dan hendak menolongnya, tentu saja tidak berani berterang karena kalau hal itu diketahui Lulung Lama, tentu dia sendiri akan celaka dan dianggap sebagai seorang pengkhianat. Yo Han agaknya mengerti akan keadaan Ki Bok, maka dia pun mengajak Sian Li memasuki kembali pondok mereka.

Peristiwa kematian Sian Lun itu tentu saja menimbulkan perubahan pada rencana yang tadi telah diputuskan, yaitu untuk menghadapkan Sian Li dan Yo Han dan minta mereka menentukan sikap. Bagaimanapun juga, Sin-ciang Tai-hiap yang pernah mengadu ilmu melawan Dobhin Lama menuntut dibebaskannya Sian Lun dan kini pemuda itu telah tewas. Tentu akan terjadi hal yang lebih gawat, maka atas permintaan Ki Bok, Lulung Lama menunda keputusan itu. Penjagaan diperkuat karena mereka khawatir kalau Sin-ciang Tai-hiap telah mendengar akan kematian Sian Lun itu dan akan datang menyerbu malam itu.

Sementara itu, di dalam pondok Sian Li masih duduk termenung, wajahnya agak pucat dan kedua matanya berlinang air mata. Biar pun tadinya ia marah dan membenci Sian Lun yang mengkhianatinya dan melihat suhengnya itu bermain gila dengan tiga orang wanita Pek-lian-kauw, namun pada akhir hidupnya suhengnya itu telah bersikap gagah, bahkan telah mengorbankan nyawa sendiri demi membelanya.

Sian Lun telah bertekad untuk membebaskannya dengan pengorbanan nyawanya. Walaupun usaha membebaskannya itu gagal karena keburu ketahuan para tokoh persekutuan itu, namun tidak urung nyawanya menjadi korban. Pada akhir hidupnya, Sian Lun telah menebus kesalahannya dengan perbuatan gagah dan membuktikan cintanya kepadanya.

Terkenanglah ia akan masa lalunya, ketika ia dan Sian Lun masih sama-sama belajar ilmu di bawah pimpinan Kakek Suma Ceng Liong dan isterinya, selama lima tahun lebih. Teringatlah ia betapa Sian Lun selalu bersikap manis dan baik kepadanya, betapa Sian Lun selalu menyayangnya dan teringat akan semua ini, air matanya runtuh kembali.

“Suheng....!” Ia mengeluh.

Yo Han menghampirinya dan duduk di depannya, terhalang meja.
“Li-moi, tidak ada gunanya menangisi kematian Sian Lun. Bagaimanapun juga, dia tewas sebagai seorang pendekar yang gagah dan tidak mengecewakan!”

Sian Li mengusap air matanya dan menghela napas.
“Dia patut dikasihani, Han-ko.”

Yo Han mengangguk.
“Sudah kuduga. Kesesatannya tentu tidak wajar. Dia masih terlalu muda dan kurang pengalaman sehingga mudah saja dikuasai musuh dengan ilmu sihir. Akan tetapi dia telah menebus kesalahannya, telah menghapus dosanya dengan darah dan dia.... dia ternyata amat mencintamu, Li-moi.”

Sian Li mengangguk. Teringat akan pengalamannya di perahu dengan Sian Lun, ketika pemuda itu menyatakan cinta kepadanya dan ia mendorong suhengnya sehingga tercebur di air!

“Memang Suheng pernah menyatakan cinta kepadaku, akan tetapi aku menolaknya karena aku menyayanginya sebagai kakak seperguruan, tidak lebih daripada itu.”

Yo Han menarik napas panjang, melihat kenyataan yang membuat nuraninya mencela diri sendiri. Kenapa hatinya merasa senang mendengar bahwa Sian Li tidak membalas cinta kasih Sian Lun?

“Kita harus waspada malam ini. Kalau tidak meleset perhitunganku, malam inilah penyerbuan itu akan terjadi. Karena Sian Lun sudah tidak ada, kini kita hanya mencari kesempatan untuk melarikan diri saja dari tempat ini. Aku tidak ingin terlibat dalam pertempuran antara persekutuan ini melawan pasukan Tibet. Mengertikah engkau, Li-moi?”

Gadis itu mengerutkan alisnya
“Akan tetapi, aku harus membunuh pangeran Nepal jahanam itu, Han-ko!”

Yo Han menatap tajam wajah Sian Li.
“Kenapa harus, Li-moi?”

“Pertama, dia pernah hampir memperkosaku, dan untung ada Cu Ki Bok yang menolongku. Kedua, dia telah membunuh Suheng. Tidak pantaskah kalau aku membalas dendam dan membunuhnya?”

“Li-moi, siapakah kita ini maka boleh membunuh sesama manusia begitu saja? Li-moi, kita mempelajari ilmu bukan untuk menjadi pembunuh. Kurasa ayah ibumu sendiri, juga guru-gurumu tentu telah memberitahu akan kebenaran itu. Kita sebagai manusia tidak berhak untuk membunuh manusia lain, dengan alasan apapun juga.”






“Tapi, Han-ko. Bukankah dia juga telah membunuh Suheng? Bukankah dia hampir memperkosaku dan hal-hal itu saja membuktikan betapa jahatnya dia? Dia layak dihukum, dibunuh agar jangan menambah kejahatannya lagi dan mengganggu orang lain.”

Yo Han menggeleng kepalanya.
“Katakanlah dia jahat dan dia telah membunuh suhengmu. Kalau kita membalas dan membunuhnya, lalu apa bedanya antara dia dengan kita?”

“Jelas bedanya, Han-ko! Kita membunuhnya untuk memberantas kejahatan sedangkan dia membunuh Suheng untuk melakukan kejahatan.”

“Tidak begitu, Li-moi. Kalau kita tanya kepadanya, tentu dia memiliki alasan yang cukup kuat mengapa dia membunuh suhengmu. Setiap orang yang melakukan sesuatu tentu akan mempunyai alasan untuk membela diri. Padahal yang mendorong pembunuhan adalah sama, yaitu balas dendam, kebencian dan permusuhan. Kalau engkau hendak membunuhnya, maka jelas dasarnya adalah dendam kebencian.”

“Aih, sekarang aku mengerti mengapa Ayah dan Ibu mengatakan engkau seorang yang baik hati akan tetapi aneh, Hanko.”

“Apa yang dikatakan ayah ibumu tentang diriku?” Yo Han ingin sekali mendengarnya.

“Ayah dan Ibu pernah bercerita kepadaku bahwa engkau memiliki bakat ilmu silat yang luar biasa, akan tetapi anehnya, engkau sama sekali tidak mau mempelajari ilmu silat karena engkau selalu berpendapat bahwa ilmu silat adalah ilmu memukul dan membunuh orang. Sekarang, setelah engkau memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, engkau pantang membunuh orang, betapapun jahatnya orang itu. Aku sudah mendengar sepak terjangmu sebagai Sin-ciang Tai-hiap. Han-ko, kalau begitu, untuk apa engkau mempelajari ilmu silat sampai begitu tinggi?”

“Untuk apa? Selain untuk membela diri dari ancaman bahaya, untuk menyehatkan dan menguatkan tubuh, untuk menguasai gerakan yang mengandung seni tari yang indah, juga kepandaian itu dapat kupergunakan untuk menolong orang lain yang terancam bahaya. Bahkan dengan kepandaian ini dapat kita pakai untuk menekan orang tersesat agar mereka kembali ke jalan yang benar. Bagaikan obat bagi orang sakit, obat yang keras namun manjur, ilmu silat dapat kita pergunakan menyembuhkan orang sakit batin sehingga dia jera menjadi penjahat dan kembali ke jalan benar.”

Sampai beberapa lamanya, Sian Li berdiam diri, memikirkan apa yang dikatakan Yo Han, lalu ia menghela napas panjang.

“Kalau begitu, dalam pertemuan nanti, aku tidak boleh mencari Gulam Sing dan tidak boleh menyerangnya?”

“Dia lihai sekali, Li-moi.”

“Aku tidak takut, dan aku tidak gentar biar terancam maut melawannya!” kata gadis itu dengan sikap gagah.

Yo Han tersenyum.
“Aku percaya, Limoi. Dan aku pun tidak akan membiarkan engkau menghadapi dia seorang diri. Akan tetapi, ingatlah bahwa dia akan memimpin orang-orangnya untuk melawan pasukan Tibet. Kalau kita ikut bertempur berarti kita telah terlibat dalam perang antara mereka. Padahal, aku minta bantuan orang-orang kang-ouw hanya agar kita mendapat kesempatan untuk melarikan diri saja, bukan untuk bertempur dan saling bunuh.”

“Jadi berarti.... aku harus membiarkan saja Gulam Sing itu melakukan kejahatan tanpa dihukum?”

“Li-moi, tidak ada perbuatan tanpa akibat yang menimpa Si Pembuat sendiri. Tidak ada orang yang tidak menuai dan memakan hasil tanamannya sendiri. Tuhan Maha Adil, Li-moi. Ingatlah, seorang yang berjiwa pendekar pantang untuk mendendam, karena perbuatan apa pun yang didasari dendam dan kebencian, maka perbuatan itu sudah pasti sesat dan jahat. Kita menentang perbuatan jahat, tanpa dendam kebencian kepada orang yang melakukan kejahatan itu. Sekali engkau menurutkan perasaan hati dalam tindakanmu, maka engkau akan melakukan hal yang bagi orang lain akan dianggap jahat pula. Musuh yang paling berbahaya bukan terdapat di luar diri kita, melainkan di dalam diri sendiri. Musuh itu adalah kalau nafsu sudah merajalela di dalam hati akal pikiran”.

“Aihh, aku menjadi pening, Han-ko. Terserah kepadamu sajalah. Aku ingat bahwa Ayah dan Ibu menganggap engkau seorang yang berbudi mulia, karena itu, apa pun yang kau katakan tentu benar.”

Dua orang ini sama sekali tidak mengira bahwa pada saat itu, para pimpinan gerombolan itu pun sedang bersiap siaga, dan mereka pun mengadakan pertemuan dan membicarakan kematian Sian Lun dan akibatnya.

“Biarlah Sin-ciang Tai-hiap datang kalau dia marah karena aku membunuh pemuda itu,” kata Pangeran Gulam Sing. “Aku tidak takut kepadanya. Dan kita begini banyak. Kalau kita maju bersama menghadapinya, apakah seorang saja dia akan mampu mengalahkan kita?”

“Ada satu hal yang aneh sekali dan membuat kami berpikir-pikir,” kata Ji Kui, orang tertua dari Pek-lian Samli.

“Apakah yang kau maksudkan?”

Lulung Lama bertanya karena suara wanita itu terdengar penuh rahasia dan penuh kesungguhan. Semua orang memandang kepadanya.

“Tentu kalian telah melihat sendiri betapa kami bertiga mempergunakan kekuatan sihir untuk memaksa Sian Li dan Yo Han berlutut kepada kami. Akan tetapi, mereka berdua sama sekali tidak jatuh berlutut, bahkan kami terhuyung oleh pukulan tenaga kami yang membalik Bukanlah ini aneh sekali?”

“Apanya yang aneh?” kata Lulung Lama mendongkol. “Gadis itu adalah keturunan keluarga Pendekar Pulau Es dan Naga Gurun Pasir. Kalau ia dapat menolak kekuatan sihir kalian, tidak dapat dibilang aneh.”

Melihat Ketua Hek I Lama yang baru itu marah-marah. Pek-lian Sam-li berdiam diri. Juga semua orang diam. Suasana menjadi sunyi sampai tiba-tiba Pangeran Gulam Sing menggebrak meja.

“Memang aneh!” katanya melalui penterjemahnya. “Aku mengenal kekuatan sihir Pek-lian Sam-li, cukup kuat bahkan lebih kuat daripada kekuatan sihirku. Tidak mungkin nona itu akan dapat bertahan menghadapi serangan sihir mereka, apalagi menolak dan membuat tenaga mereka membalik. Menghadapi sihirku saja, ia tidak tahan dan tunduk.”

Dia menoleh kepada Cu Ki Bok, teringat betapa dia sudah hampir berhasil menguasai Sian Li akan tetapi muncul pemuda itu yang menggagalkannya.

“Itulah yang membuat kami berpikir-pikir,” kata Ji Kui yang mendapat angin oleh pertanyaan Gulam Sing itu. “Kami pun tahu akan kemampuan gadis itu. Jelas bukan ia yang menolak kekuatan sihir kami, akan tetapi Yo Han, kakak misannya itu.”

“Hemmm, rasanya tidak mungkin,” kata Cu Ki Bok, “Yo Han itu hanya utusan Sin-ciang Tai-hiap, dan sepanjang pengetahuanku, dia seorang pemuda yang lemah dan....”

“Kami sudah mempertimbangkan semua itu dan kami hampir merasa yakin bahwa Yo Han itu adalah Sin-ciang Tai-hiap sendiri!” kata pula Ji Kui dan sekali ini semua orang terlonjak saking kaget hati mereka.

“Omitohud....! Apa maksudmu? Dia.... dia Sin-ciang Tai-hiap?” teriak Lulung Lama.

“Kami hampir yakin akan hal itu,” kata Ji Kui pula sambil menoleh ke arah Pangeran Gulam Sing. “Pangeran, ingatkah engkau betapa mudahnya engkau menundukkan Sian Li dengan sihirmu? Rasanya tidak mungkin kalau sekarang ia bukan saja mampu bertahan terhadap pengaruh sihir kami, bahkan membuat tenaga kami membalik. Jelaslah bahwa yang memiliki kekuatan dahsyat itu tentu pemuda bernama Yo Han itu.

Siapa di antara kita yang sudah membuktikan sendiri bahwa pemuda itu lemah? Dan biarpun selama ini Sin-ciang Tai-hiap menutupi mukanya, dan biarpun mungkin suaranya yang diubah, akan tetapi bentuk tubuhnya serupa benar dengan Yo Han itu. Kalau dia pemuda biasa yang lemah, bagaimana dia dapat bersikap sedemikian beraninya, bukan saja mengunjungi adik misannya di sini, bahkan minta ditahan pula di sini dengan alasan menemani gadis itu! Hemm, siapa lagi dia kalau bukan Sin-ciang Tai-hiap?”

“Omitohud....! Kalau begitu, celaka, kita telah kebobolan! Ki Bok, bagaimana hal ini sampai dapat terjadi?” Lulung Lama menegur muridnya.

Wajah Cu Ki Bok berubah, matanya terbelalak. Pendapat Pek-lian Sam-li itu masuk diakal dan dia sendiri pun baru sekarang menyadari kemungkinan itu. Yo Han adalah Sin-ciang Tai-hiap! Kenapa dia tidak memikirkan kemungkinan itu? Biasanya dia amat cerdik dan tidak mudah ditipu. Inilah akibatnya kalau dia tergila-gila! Karena dia mencinta Sian Li, dia tidak ingat apa-apa lagi kecuali untuk melindungi gadis itu. Dia bangkit berdiri.

“Suhu, kalau benar demikian, teecu yang akan menangkap Yo Han itu!”

Dan dia pun berlari keluar. Akan tetapi di luar dia masih mendengar teriakan-teriakan mereka yang berada di dalam.

“Kalau dia Sin-ciang Tai-hiap, kita harus menyerbu beramai-ramai, sekarang juga!” terdengar teriakan suhunya.

Ki Bok maklum bahwa inilah saatnya dia harus bertindak cepat. Dia harus menyelamatkan Sian Li terlebih dahulu. Mengenai Yo Han, kalau benar dia Sin-ciang Tai-hiap dan tidak mau bekerja sama, dia sendiri akan membantu untuk mengeroyok dan membunuh pendekar yang berbahaya itu.

Akan tetapi, yang terpenting baginya, sekarang juga sebelum terlambat dia harus menyingkirkan Sian Li dari situ, harus dapat membiarkan gadis itu lolos. Dia tidak tahu betapa ketika semua orang menyerbu keluar, Ji Kui, orang pertama dari Pek-lian Sam-li, mendekati Lulung Lama dan membisikkan sesuatu yang membuat Lulung Lama mengerutkan alisnya dan nampak terkejut dan marah.

Ki Bok mengerahkan seluruh kepandaiannya, berloncatan dengan cepat sekali dan dia mengetuk daun pintu pondok di mana Sian Li dan Yo Han tinggal. Enam orang petugas jaga segera menghampirinya dari tempat penjagaan, juga ada belasan orang muncul dari tempat persembunyian. Ternyata pondok itu dijaga ketat sehingga kalau penghuninya hendak melarikan diri, maka tentu usaha itu akan ketahuan. Akan tetapi ketika para petugas itu mengenal Ki Bok, mereka memberi hormat dan segera mundur kembali setelah Ki Bok memberi isarat.

Sian Li dan Yo Han tidak tidur. Mereka di kamar masing-masing duduk bersila dan menghimpun tenaga, menanti datangnya saat penyerbuan seperti yang diharapkan Yo Han. Ketika mereka mendengar ketukan pada daun pintu depan, keduanya yang memang selalu siap siaga, segera keluar dari dalam kamar. Yo Han memberi isarat kepada Sian Li untuk membuka daun pintu sedangkan dia menyelinap kembali ke dalam kamarnya. Sian Li maklum bahwa Yo Han ingin mengintai apa yang akan terjadi.

“Siapa di luar?” Sian Li bertanya dari balik daun pintu.

“Sian Li, ini aku, Ki Bok. Cepat buka ada urusan penting sekali,” terdengar suara Ki Bok berbisik dari luar pintu.

Mendengar ini, Sian Li cepat membuka daun pintu. Ki Bok masuk dan memandang ke sekeliling, wajahnya cemas.

“Ki Bok, ada apakah? Apa yang terjadi?" tanya Sian Li, memandang tajam.

“Di mana Yo-toako?” tanyanya lirih.

Sian Li menoleh ke arah kamar Yo Han.
“Dia masih tidur, ada apakah?”

“Sian Li, keadaan gawat. Mereka hendak datang memaksamu bekerja sama dan kalau engkau menolak, mereka akan membunuhmu. Aku.... aku tidak mungkin dapat menolongmu, tidak mungkin mencegah mereka. Sekarang, kau ambillah keputusan, Sian Li. Maukah engkau membantu kami dan bekerja sama dengan kami?”

Sian Li mengerutkan alisnya.
“Engkau sudah tahu akan watakku, Ki Bok. Aku tidak mau bekerja sama dengan siapapun juga.”

“Kalau begitu, Sian Li, engkau harus cepat lari, sekarang juga. Mari kubantu engkau lolos dari sini. Cepat, mereka akan mengejar kita!” Ki Bok menyambar tangan Sian Li. “Kita melalui jalan belakang!”

Akan tetapi Sian Li merenggutkan tangannya hingga terlepas.
“Aku akan bertanya kepada Han-ko lebih dulu,“ katanya.

Pada saat itu, terdengar suara gaduh di luar pondok, suara banyak orang datang ke tempat itu.

Wajah Ki Bok berubah.
“Celaka, mereka sudah datang. Sian Li mari cepat kita lari!”

Pada saat Sian Li meragu, Yo Han muncul dari dalam kamarnya.
“Pergilah menyelamatkan diri, Li-moi, biar aku yang akan menghadapi mereka dan menghadang mereka yang akan mengejarmu.”

Tadinya Yo Han sudah siap untuk mengajak Sian Li melarikan diri begitu penyerbuan tiba dan mempergunakan kesempatan selagi terjadi pertempuran sehingga mereka dapat meloloskan diri tanpa harus menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai. Akan tetapi agaknya kini keadaan berubah. Sebelum serbuan itu tiba, keselamatan Sian Li terancam.

“Tidak Han-ko. Aku akan tinggal di sini membantumu menghadapi mereka,” kata Sian Li.

“Li-moi, jangan bodoh! Musuh terlampau banyak Larilah dulu, aku akan menghadang mereka dan nanti akan menyusulmu. Saudara Ki Bok, kalau benar engkau mencintainya, cepat selamatkan adikku itu!”

Setelah berkata demikian, Yo Han berlari keluar sambil cepat mengenakan caping lebarnya yang tadi dia lipat dan sembunyikan di balik baju ketika dia memasuki perkampungan itu.

Caping lebar yang bertirai itu menyembunyikan mukanya. Ki Bok mencabut sabuk baja yang kedua ujungnya berpisau, lalu menodongkan sebatang pisaunya ke punggung Sian Li sambil berkata,

“Engkau pura-pura menjadi tawananku agar lebih mudah mengelabuhi mereka!” bisiknya.

Tangan kanan menodongkan pisau, tangan kiri memegang pergelangan tangan Sian Li. Gadis itu maklum. Ia tidak dapat membantah lagi karena Yo Han telah berlari keluar dan ia mengerti akan maksud Ki Bok.

Biarpun hatinya amat mengkhawatirkan keselamatan Yo Han, namun ia harus mentaati keinginan Yo Han. Kalau ia membangkang dan nekat melawan, tentu hal itu bahkan membuat Yo Han harus repot melindunginya. Maka, ia pun menurut saja ketika Ki Bok menariknya melarikan diri keluar dari pondok itu melalui jendela kamar Yo Han yang berada di sudut belakang.

Ketika mereka meloncat keluar dari rumah itu, mereka melihat betapa dibelakang rumah itu pun sudah penuh dengan anak buah Hek I Lama yang memegang senjata. Melihat Cu Ki Bok, mereka tertegun, akan tetapi pemuda itu dengan tenang segera berkata,

“Kalian kepung dan jaga rumah ini, jangan biarkan siapapun keluar. Aku harus cepat mengamankan tawanan ini agar jangan sampai lolos!”

Setelah berkata demikian, dengan sikap kasar dia menarik lengan Sian Li sambil menodongkan pisaunya ke tengkuk gadis itu. Para anak buah perkumpulan pendeta Lama yang memberontak terhadap Tibet itu saling pandang, akan tetapi mereka tidak berani mencegah Cu Ki Bok, apalagi mereka masih belum tahu apa artinya semua keributan itu.

Mereka hanya melihat para pimpinan berlari menyerbu ke rumah pondok itu dari depan dan mereka mendapat perintah untuk mengepung pondok itu. Mereka hanya mendengar bahwa Sin-ciang Tai-hiap sudah menyelundup ke sarang mereka. Hal ini saja sudah cukup membuat mereka tegang. Siapa yang tidak akan merasa gentar mendengar bahwa Sin-ciang Tai-hiap, pendekar yang sudah mengalahkan dan mengakibatkan tewasnya Dobhin Lama itu berada diantara mereka?

Sin-ciang Tai-hiap atau Yo Han telah membuka daun pintu depan pondok itu, tepat pada saat semua orang yang tadi lari dari bangunan induk itu ke situ telah tiba di depan pondok. Banyak anak buah Hek I Lama memegang obor sehingga tempat itu menjadi terang. Suara berisik mereka itu seketika lenyap dan mereka diam, bahkan ada yang menahan napas saking tegang dan juga jerih. Mereka melihat pria bercaping lebar yang mukanya tersembunyi di balik tirai caping itu berdiri tegak di depan pintu, menentang mereka.

Sosok tubuh yang mendatangkan ketegangan dan kegentaran itu sebetulnya biasa saja. Tubuh yang sedang dan tegap, dengan pakaian sederhana pula, tidak memegang senjata apa pun. Rambut hitam panjang terurai lepas. Mukanya sama sekali tidak nampak, akan tetapi sepasang mata di balik tirai tipis itu seperti mencorong menembus tirai tertimpa sinar obor yang bergerak-gerak.

Sosok tubuh yang tidak mengesankan, akan tetapi karena semua orang tahu bahwa pendekar ini baru saja menyebabkan Dobhin Lama tewas, maka mereka menjadi gentar.

Dari balik tirainya, Yo Han melihat bahwa pondok itu telah di datangi sedikitnya tiga puluh orang dan masih ada puluhan orang anak buah Hek I Lama berada di belakang rombongan itu. Dia melihat Pangeran Nepal Gulam Sing bersama Badhu dan Sagha, juga beberapa orang tosu Pek-lian-kauw, Hek-pang Sin-kai dan anak buahnya, beberapa Pendeta Lama yang agaknya menjadi pimpinan.

Akan tetapi dia tidak melihat adanya Lulung Lama, juga tidak melihat Pek-lian Sam-li. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang amat berbahaya karena selain mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, memiliki pula ilmu sihir dan ahli menggunakan racun, juga mereka berjumlah banyak. Kiranya tidak mungkin dia seorang diri saja akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, kalau Sian Li sudah lolos, agaknya bukan tidak mungkin baginya untuk melarikan dan meloloskan diri dari kepungan mereka.

“Omitohud.... kiranya Sin-ciang Tai-hiap yang terkenal itu tidak datang melalui pintu gerbang depan seperti seorang gagah, melainkan secara curang menyelundup masuk seperti maling!”

Kata seorang pendeta Lama, seorang diantara para pembantu Lulung Lama sambil memegang sebatang tongkat pendeta berkepala naga yang lebih panjang dari pada tubuhnya yang tinggi.

“Losuhu, siapa yang curang agaknya perlu diteliti lebih jauh, aku ataukah perkumpulan Hek I Lama yang terdiri dari pendeta-pendeta yang sudah selayaknya bersikap jujur, adil dan mengharamkan perbuaan sesat. Ketua kalian, Dobhin Lama, telah menantangku untuk mengadu ilmu dengan taruhan bahwa kalau dia kalah, dia akan mengembalikan mutiara hitam dan membebaskan Liem Sian Lun. Kami bertanding dan Tuhan membimbingku sehingga ketua kalian kalah. Dobhin Lama telah dengan gagah mengakui kekalahan dan mengembalikan mutiara hitam, akan tetapi kalian tidak membebaskan Liem Sian Lun, bahkan secara curang sekali menawan Tan Sian Li. Nah, siapa yang curang?”

Tiba-tiba Gulam Sing mencabut goloknya yang melengkung, mengangkat goloknya itu tinggi di atas kepalanya dan dia pun setelah mendengar ucapan Yo Han melalui penterjemahnya, berteriak dalam bahasanya sendiri.

“Sin-ciang Ti-hiap, engkau ini manusia sombong! Engkau telah mengalahkan Dobhin Lama, akan tetapi hal itu terjadi karena dia sudah tua dan kehabisan tenaga. Kini engkau berani lancang menyusup ke sini seperti pencuri, jangan harap akan dapat keluar lagi hidup-hidup!”

Ketika ucapan itu hendak diterjemahkan, Yo Han mendahului.
“Aku mengerti apa yang kau katakan, Pangeran Gulam Sing. Dan aku mengerti pula mengapa engkau dan gerombolanmu keluar dari Nepal sebagai orang-orang pemberontak pelarian. Kini engkau bergabung dengan Lama Jubah Hitam yang juga memberontak terhadap pemerintah Tibet, tentu hanya untuk mencari kawan saja agar kelak dapat membalas budi dan membantumu memberontak terhadap pemerintah Nepal!”

“Sin-ciang Tai-hiap, mati hidupmu di tangan kami dan engkau masih membuka mulut besar? Kepung dan keroyok!”

Teriak seorang pemimpin Hek I Lama dan Pangeran Nepal itu sudah mendahului dengan serangan golok melengkung yang amat tajam itu, disusul rekan-rekannya sehingga dalam beberapa detik saja hujan senjata telah menyerang ke arah tubuh Yo Han.