Ads

Kamis, 03 Maret 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 072

Bersama dengan sinar matahari pagi yang keemasan, keindahan menerangi seluruh permukaan bumi. Keindahan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, karena ada keindahan yang tidak dapat diraba dengan pandang mata atau dengan alat panca indera lainnya, melainkan hanya dapat dirasakan saja.

Keindahan yang terkandung dalam sinar matahari yang menerobos diantara daun-daun pohon, membuat garis-garis lurus menyusup ke dalam kabut pagi, terkandung dalam kicau burung yang saling bersahutan dalam kesibukan binatang-binatang kecil itu mempersiapkan diri untuk mulai mencari makan, dalam gemercik air Sungai Yang-ce-kiang ketika air bermain-main dengan batu-batu di tepinya, dalam keharuman bau tanah yang sedap, tanah yang segar dibasahi embun pagi, keindahan yang terkandung di dalam keheningan, bahkan keheningan itu sendiri yang menciptakan keindahan.

Bukan hening karena sunyi, melainkan hening tidak ada penyelewengan dalam pikiran. Kicau burung, teriakan kanak-kanak, kesibukan para ibu di dapur dan bapak-bapak tani yang mulai meninggalkan rumah menuju ke sawah ladang, semua itu tidak mengganggu keheningan itu, bahkan mereka semua itu terserap ke dalam keheningan.

Pagi hari yang indah! Hanya dirasakan oleh mereka yang memandang semua itu, mendengar semua itu, mencium semua itu, tanpa menilai. Tidak teringat sedikit pun bahwa semua itu indah, yang terasa hanyalah kebahagian, karena seperti keheningan adalah keindahan, maka keindahan adalah juga kebahagiaan. Yang tiga itu tak terpisahkan. Eloknya, ketiganya tidak ada selama si aku atau pikiran ingin merasakan dan menikmatinya!

Wanita muda yang berjalan seorang diri di atas bukit di tepi sungai itu nampak bersunyi diri. Berjalan melangkah perlahan-lahan di atas bukit. Ia menjadi bagian dari keindahan maha besar itu. Dari tempat ia berdiri, nampak Sungai Yang-ce terbentang luas dan panjang, dan sebelum pandang mata tiba di sungai, melewati pula sawah ladang dan dusun-dusun dan di kanan kiri sepanjang sungai itu nampak bukit-bukit kecil yang subur.

Warna hijau dan kuning dan perpaduan antara hijau dan kuning nampak seperti permadani, menyelimuti tanah, bermandikan cahaya matahari keemasan. Air sungai nampak berkilau tertimpa sinar matahari, memantulkan cahaya itu sehingga menyilaukan mata.

Dua orang bapak tani memanggul pacul jalan beriringan di galengan sawah sambil bercakap-cakap, berangkat menuju ke sawah mereka. Seorang di antara mereka, yang di depan, merokok dan asap rokoknya mengepul ke atas kepala mereka. Seorang anak laki-laki dengan pakaian setengah telanjang, hanya bercelana, memegang cambuk panjang menggembala lima ekor kerbau yang gemuk-gemuk, tiga ekor besar dan dua ekor masih muda dan beberapa kali dua ekor yang muda ini bergurau dengan tanduk mereka. Jauh di seberang sana, nampak samar-samar beberapa buah gunung, bagian atasnya tertutup awan.

Cuaca pagi itu cerah bukan main, menjanjikan siang hari yang panas tanpa mendung. Namun, wajah wanita itu sama sekali tidak cerah, bahkan terbayang mendung kedukaan dalam pandang matanya, ketika mata itu melihat jauh ke depan tanpa mengenal apa yang dilihatnya. Pandang mata seperti melayang-layang saja di permukaan bumi di bawah itu, dan ia sama sekali tidak merasakan kebesaran alam, melainkan kerisauan perasaan hatinya sendiri. Batinnya sedang gundah dan kadang-kadang pandang matanya seperti orang yang bingung atau putus asa, tiada gairah hidup!

Padahal ia seorang wanita yang masih muda, kurang lebih dua puluh tiga tahun usianya, cantik jelita dan bentuk tubuhnya ramping dan padat, penuh keindahan dan kesehatan. Wajahnya berbentuk bulat telur, sepasang matanya lebar dan lincah, sayang saat itu tertutup mendung duka. Pakaiannya yang biarpun bersih namun kusut itu menunjukkan pula, bahwa ia memang sedang berada dalam keadaan gundah sehingga tidak mempedulikan keadaan pakaian dan rambutnya yang kusut.

Ia menuruni bukit itu dan ketika ia melihat anak laki-laki setengah telanjang yang menggiring lima ekor kerbaunya, hatinya tertarik dan ia pun berhenti, melihat bagaimana anak laki-laki itu menggiring lima ekor kerbaunya masuk ke dalam kubangan air.

Lima ekor binatang itu nampak gembira ketika memasuki kubangan air yang segera menjadi keruh berlumpur. Mereka mendekam sehingga hanya nampak kepala mereka saja, dan mereka diam tak bergerak, mata mereka merem-melek nampak nikmat sekali.

Wanita itu berdiri, bersandar pada sebatang pohon, melihat betapa anak laki-laki yang bertelanjang dada dan bertelanjang kaki, tubuhnya hanya mengenakan celana sebatas lutut, celana hitam dari kain kasar, kini mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dan dibukanya.

Kiranya sepotong roti gandum kering sebesar kepalan tangan. Roti itu digigitnya, akan tetapi roti itu terlalu keras, dan anak itu lalu pergi ke sebuah pancuran air, membasahi roti itu beberapa lamanya, kemudian dia duduk di dekat kubangan air, di atas batu dan mulai makan roti kering yang kini sudah menjadi basah dan tidak sekeras tadi. Dia tidak melihat wanita cantik yang sejak tadi memandanginya dan makan dengan enaknya, menggigiti roti yang keras itu sedikit-sedikit.

Wanita itu seperti terpesona, jarang berkedip sejak tadi. Penglihatan itu sungguh menarik hatinya. Nampak olehnya betapa lima ekor kerbau itu demikian tenteram, damai dan agaknya berbahagia, nampak dari mata mereka yang merem-melek. Dan bocah itu! Usianya paling banyak sepuluh tahun, melihat pakaiannya tentu seorang anak yang miskin, dan kini anak itu makan roti kering yang keras, dibasahi air sawah!

Dan nampaknya dia makan demikian enaknya, seolah-olah bukan sepotong roti kering dibasahi air sawah: yang dimakannya, melainkan makanan yang lezat dan mahal, dan mata anak itu pun merem-melek nampaknya dia menikmati makan roti duduk di atas batu itu! Padahal, ia tahu bahwa makanan itu adalah makanan paling sederhana, makanan roti gandum yang dikeringkan agar tahan lama dan kalau akan dimakan harus ditim dulu agar menjadi empuk.

Akan tetapi roti kering itu digerogoti oleh anak itu begitu saja, hanya dibasahi air sawah! Dapat dibayangkan betapa miskin keadaan anak itu. Akan tetapi kenapa begitu kelihatan berbahagia? Anak dan kerbau-kerbau itu demikian berbahagia, betapa menjadi kebalikan dari keadaan batinnya. Ia sendiri begini sengsara dan menderita! Ia merasa penasaran. Ia bangkit dan perlahan-lahan menghampiri anak laki-laki yang baru saja menghabiskan rotinya itu.

Anak laki-laki itu memandang dengan heran, akan tetapi tetap duduk dan matanya yang lebar memandang dengan penuh perhatian. Wanita itu duduk di atas batu di depan anak itu. Mereka saling pandang dan anak itu mulai merasa khawatir, menoleh ke arah kerbau-kerbaunya, lalu memandang lagi kepada wanita di depannya, wanita yang asing baginya itu.

“Anak yang baik, jangan takut, aku hanya ingin duduk bersamamu dan mengajak bicara. Engkau tadi makan roti kering kelihatan enak sekali.”






“Memang enak,” jawab anak itu, kini berani tersenyum karena sikap wanita itu yang ramah dan halus. “Perutku tadi lapar dan sekarang sudah kenyang.” Dia mengelus perutnya yang tak tertutup baju.

“Apakah ini kerbau peliharaan orang tuamu?” tanya wanita itu sambil menunjuk ke arah lima ekor kerbau yang masih mendekam dalam kubangan air lumpur.

Anak itu menggeleng kepala.
“Orang tuaku sudah tidak ada. Aku tidak punya ayah atau ibu. Ini kerbau Paman Ciok, aku bekerja padanya.”

Wanita itu memandang heran.
“Engkau yatim piatu?” Anak itu mengangguk.

“Dan kau bekerja menggembala kerbau-kerbau ini?”

Kembali anak itu mengangguk dan melanjutkan dengan jawaban mulutnya.
“Menggembala kerbau, menyabit rumput dan segala macam pekerjaan lain.”

Bukan main, pikir wanita itu. Anak ini yatim piatu dan sekecil ini sudah bekerja.!
“Kau tidak mempunyai sanak keluarga lagi? Hidup sebatang kara di dunia ini?”

Kembali anak itu mengangguk. Wanita itu menjadi semakin tertarik. Anak sekecil ini, tidak ada orang tua, tiada sanak keluarga, hidup sebatang kara, bekerja ikut orang dalam keadaan miskin, namun kelihatan begitu berbahagia!

“Berbahagiakah hidupmu, anak baik?”

Anak itu memandang tidak mengerti.
“Berbahagia? Apa maksudmu?”

Kini wanita itu yang memandang bingung. Apa sih bahagia itu? Ia sendiri pun tidak tahu!
“Eh, begini, anak baik. Apakah kau.... tidak pernah merasa berduka?”

“Berduka? Kenapa harus berduka?”

“Tidak harus.... akan tetapi, engkau hidup sebatang kara, engkau hidup miskin sekali, pakaianmu setengah telanjang, makanmu roti kering yang keras seperti tadi, apakah engkau tidak merasa sedih?”

“Sedih? Tidak aku tidak pernah sedih, mengapa harus sedih? Setiap pagi aku menggiring kerbau-kerbau ini ke sini, sarapan apa saja yang ada, kalau Bibi Ciok belum masak apa-apa sepagi ini, aku membawa roti kering. Kemudian aku menggiring kerbau-kerbau ini ke sawah, kepada Paman Ciok yang akan meluku sawah dengan para pembantunya, dan aku pergi menyabit rumput, sesudah itu membantu pekerjaan paman Ciok atau isterinya di rumah, menyapu lantai, membersihkan apa saja di rumah, atau menimba air. Tidak, aku tidak sedih Bibi, aku mempunyai banyak pekerjaan, tidak sempat bersedih-sedih. Pula, mengapa aku harus sedih?”

Anak itu lalu bangkit dan menggiring kerbaunya keluar dari dalam kubangan air, tanpa bicara lagi meninggalkan wanita itu yang duduk termenung seperti patung! Karena banyak pekerjaan, maka anak itu tidak sempat bersedih-sedih, dan pula, mengapa dia harus sedih? Dan ia sendiri? Mengapa ia bersedih? Karena memikirkan keadaan dirinya!

Karena pikirannya melayang-layang memikirkan nasibnya yang dianggap buruk sehingga ia merasa iba diri, kasihan kepada diri sendiri, lalu menjadi nelangsa, dan timbullah duka. Ah, ia telah tersesat, membiarkan pikirannya menguasai diri. Dan pikiran celaka ini selalu membayangkan hal-hal yang dianggapnya buruk! Tidak, ia harus mengisi hidupnya dengan pekerjaan yang berguna, seperti anak itu! Dan ia seorang pendekar, mengapa harus menganggur?

“Hong Li, engkau memang wanita tolol!”

Demikian wanita itu memaki diri sendiri. Ia adalah Kao Hong Li, puteri tunggal dari pendekar Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui. Kao Hong Li adalah cucu tunggal dari mendiang Naga Sakti Gurun Pasir, bukan seorang wanita biasa. Wanita berusia dua puluh empat tahun ini adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, mewarisi kepandaian ayah dan ibunya. Ayahnya adalah keturunan Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan ibunya adalah keturunan Para Pendekar Pulau Es!

Seperti telah kita ketahui, Hong Li telah di jodohkan dengan Thio Hui Kong putera Jaksa Thio yang jujur dan adil di kota Pao-teng. Hong Li yang menerima berita bahwa Sin Hong telah menikah dengan puteri guru silat Bhe di kota Lujiang, tidak dapat membantah lagi kehendak orang tuanya.

Usianya sudah dua puluh tiga tahun, dan harapannya untuk dapat berjodoh dengan pria yang diam-diam dicintanya, yaitu Sin Hong yang masih terhitung susioknya telah sirna, maka untuk berbakti kepada orang tuanya, ia menurut saja ketika ayah ibunya memilih Thio Hui Kong menjadi suaminya. Semua orang pun akan menganggap bahwa pilihan itu sudah tepat sekali,

Thio Hui Kong seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang tampan dan gagah, pandai silat dan sastra, putera Jaksa Thio yang terkenal sebagai seorang pembesar yang adil dan bijaksana, kedudukannya tinggi dan dihormati semua orang, juga serba kecukupan walaupun tidak kaya raya. Kurang apa lagi?

Ternyata memang kurang satu, dan yang satu inilah yang menjadi syarat mutlak bagi kebahagiaan rumah tangga. Yang kurang itu adalah cinta kasih antara dua orang muda yang di jodohkan. Hui Kong tadinya girang sekali bahwa dia berhasil mendapatkan gadis yang dijadikan rebutan, gadis gagah perkasa dan cantik jelita itu. Biarpun ada ganjalan dalam hatinya melihat betapa calon isterinya roboh pingsan ketika bertemu dengan susioknya yang bernama Tan Sin Hong itu, namun dia ingin melupakan semua itu dan dia bersikap mesra dan mencinta.

Dia menikmati haknya sebagai seorang suami dan menganggap bahwa Hong Li seorang isteri yang cukup menyenangkan hatinya. Akan tetapi hanya sampai di situ saja! Hubungan antara sepasang suami isteri barulah akan membahagiakan kalau didasari cinta kasih kedua pihak.

Karena Hong Li tidak dapat memusatkan perhatiannya dalam bermesraan dengan suaminya karena memang tidak ada dasar cinta, maka hal ini terasa oleh Hui Kong. Diam-diam dia merasa penasaran dan kecewa, akan tetapi dia lalu menghibur diri dengan pergaulan di luar dan pergaulan inilah yang menyeret Hui Kong ke dalam pengejaran kesenangan yang tidak sehat! Dia mulai berfoya-foya, bermabuk-mabukan, bahkan mulai suka berjudi dan bermain dengan wanita pelacur!

Hong Li mendengar akan hal ini, bahkan ia melakukan penyelidikan sendiri dan melihat suaminya mabuk-mabukan di rumah pelesir. Tentu saja Hong Li menjadi marah dan menegur suaminya. Kekerasan hati Hong Li inilah yang justeru membuat Hui Kong memberontak dan melawan! Dia adalah seorang putera pembesar, dan melihat betapa isterinya marah-marah dan hendak menekannya tentu saja dia menjadi penasaran.

Seorang Isteri harus taat, patuh dan hormat kepada suaminya, demikian dia memarahi Hong Li. Mulailah terjadi bentrokan dan percekcokan antara mereka. Baru beberapa bulan menikah sudah mulai cekcok.

Melihat hal ini, orang tua kedua pihak berusaha keras untuk mendamaikan mereka dengan sikap bijaksana, yaitu memarahi anak masing-masing. Namun, kedua orang suami isteri muda itu sama-sama keras hatinya dan karena memang pada dasarnya tidak ada rasa cinta di antara mereka, maka semua usaha orang tua kedua pihak gagal.

Percekcokan makin meningkat. Melihat bahwa kalau sampai terjadi perkelahian akan membahayakan, akhirnya kedua orang tua masing-masing bersepakat untuk mengambil jalan keluar yang paling akhir, yaitu perceraian! Hong Li bercerai dari suaminya setelah menjadi suami isteri selama kurang dari setahun saja.

Setelah bercerai secara resmi, Hong Li lalu pergi merantau dan kedua orang tuanya mengijinkannya karena melihat bahwa hal itu perlu untuk memberi kesempatan anak mereka melupakan peristiwa duka yang menimpa dirinya.

Demikianlah, Hong Li mulai merantau. Namun, ia tidak pernah dapat membebaskan diri dari duka dan kecewa. Apalagi kalau ia membayangkan betapa susiok yang dicintanya, Sin Hong, kini hidup berbahagia dengan isterinya, ia merasa semakin terpukul dan berduka.

Sampai pada pagi hari itu, ia bertemu dengan seorang anak penggembala kerbau dan keadaan anak itu menggugah kesadarannya bahwa selama ini ia membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka yang diadakan oleh pikirannya sendiri. Ia terlalu memikirkan diri sendiri, terlalu besar rasa iba dirinya sehingga ia lupa bahwa hidup bukanlah sekedar merenungkan segala hal yang buruk dalam hidup yang telah dialaminya.

Justeru hidup adalah medan di mana pengalaman baik buruk terjadi, dan segala peristiwa yang sudah berlaku itu tidak ada gunanya untuk dikenang dan disedihkan lagi! Yang sudah biarlah sudah. Yang lewat biarlah lewat! Masih banyak hal-hal lain yang lebih penting daripada sekedar termenung menyedihi dan menangisi hal-hal yang telah terjadi, yang telah lewat. Biarpun ia akan menangis dengan air mata darah, tetap saja hal yang telah berlalu itu tidak akan dapat kembali.

“Kau sungguh cengeng, Hong Li. Lihat anak itu! Dia jauh lebih bijaksana daripada engkau! Dia dapat menikmati hidupnya, dapat hidup berbahagia karena mampu menerima apa adanya dengan penuh gairah. Hayo, waktunya untuk bangkit, untuk bangun!”

Demikian Hong Li mencela diri sendiri sambil bangkit berdiri. Wajahnya kini berubah. Tidak lagi murung seperti tadi, melainkan berseri. Sepasang matanya yang lebar itu mulai bersinar-sinar dan mulutnya yang manis itu mulai dihias senyum.

Tiba-tiba terdengar jerit tangis di depan. Ia cepat melihat dan alisnya berkerut, matanya mengeluarkan sinar mencorong marah ketika ia melihat apa yang terjadi tak jauh di depan sana. Anak penggembala kerbau tadi sedang menangis, menjerit-jerit dan berusaha untuk menghalangi lima orang laki-laki yang hendak menuntun pergi lima ekor kerbaunya!

“Jangan....! Jangan ambil kerbau-kerbauku.!”

Anak itu menjerit-jerit, akan tetapi seorang di antara mereka mendorong dada anak itu sehingga dia terlempar dan terjengkang dengan keras. Hong Li melihat bahwa lima orang itu adalah laki-laki yang usianya antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, berpakaian ringkas bukan pakaian orang dusun, wajah mereka itu memperlihatkan kebengisan dan kekejian, dan melihat betapa ada senjata golok di punggung mereka, mudah diduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang biasa memaksakan kehendak dengan kekerasan dan kini agaknya hendak merampas lima ekor kerbau gemuk dari bocah itu.

“Perampok-perampok jahat!” teriak Hong Li dan dengan beberapa kali lompatan saja ia sudah berada di dekat anak itu. “Jangan takut, adik yang baik, aku akan menghajar mereka dan mengembalikan kerbau-kerbaumu!”

Melihat munculnya seorang wanita muda yang cantik jelita, tentu saja lima orang itu tidak menjadi takut, bahkan mereka tertawa-tawa secara kurang ajar dan seorang di antara mereka berkata,

“Aduh, nona manis. Marilah engkau ikut dengan kami. Ketahuilah bahwa ketua kami sedang mengadakan pesta, maka engkau dapat menyenangkan hati kami! Jangan khawatir, ketua kami orangnya royal dan engkau akan menerima hadiah yang banyak, ha-ha-ha!”

Wajah Hong Li berubah merah sekali.
“Jahanam bermulut busuk!” bentaknya.

Akan tetapi, dua orang diantara mereka menerjang ke depan, seperti berlumba hendak menangkap gadis yang cantik itu, tidak seperti gadis dusun yang sederhana. Diam-diam Hong Li terkejut juga melihat gerakan mereka. Kiranya mereka ini bukan orang-orang kasar biasa, perampok-perampok yang lebih mengandalkan kekejaman dan kekerasan dari tenaga besar saja.

Melihat gerakan kedua orang itu, tahulah ia bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi! Namun tentu saja Hong Li tidak menjadi gentar menghadapi cengkeraman kedua orang yang dilakukan dari kanan kiri itu. Ia malah menyelinap maju dengan cepat di antara kedua orang itu, dan membalik secara tidak terduga, kaki dan tangannya bergerak ke kanan kiri.

“Desss! Plakkk!”

lima orang di kanan kirinya terkejut bukan main karena yang seorang sudah tertendang perutnya dan seorang lagi tertampar pipinya! Itulah satu di antara jurus-jurus Sin-liong Ciang-hoat yang amat hebat dari Istana Gurun Pasir!

Dua orang itu mengaduh dan mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Hong Li, yang seorang mengelus perutnya yang mendadak menjadi mulas, dan yang ke dua mengusap darah yang mengalir di sudut bibir yang pecah. Mereka kini menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis kang-ouw yang lihai, maka lenyaplah sikap main-main mereka.

Mereka berdua merasa malu sekali dan penasaran bahwa dalam segebrakan saja mereka telah terpukul dan tertendang gadis itu. Ini merupakan penghinaan besar! Mereka adalah tokoh-tokoh besar, bukan sembarangan maling atau perampok kecil, dan kini mereka dihajar seorang gadis!

“Srat! Srattt!”

Dua sinar berkilauan ketika mereka mencabut golok dari punggung masing-masing. Tiga orang teman mereka yang lain hanya menonton karena biarpun tadi dua orang teman mereka telah terkena tamparan dan tendangan gadis itu, namun mereka masih tidak meragukan bahwa dengan golok di tangan, kedua orang teman mereka tentu akan mampu mengalahkan gadis itu. Terlalu memalukan kalau mereka berlima harus mengeroyok seorang wanita muda seperti itu!

Kini sepasang mata Hong Li mencorong dan kegembiraannya semakin bernyala bersama semangatnya. Inilah hidup! Inilah sesuatu yang selama ini ia rindukan! Ia kehilangan kegairahan ini, kegairahan seorang pendekar yang menentang kejahatan. Ingin rasanya ia tertawa sepuasnya. Inilah hidupnya. Inilah dunianya! Inilah kewajibannya, seperti kewajiban yang dikerjakan sehari-hari oleh anak penggembala itu dengan penuh gairah dan kegembiraan.

Ia sengaja tidak mau mencabut pedangnya karena tadi ia sudah mengukur sampai di mana tingkat kepandaian dua orang itu. Biarpun mereka bergolok, ia tidak gentar menghadapi mereka dengan tangan kosong saja!

Golok pertama menyambar, mengarah lehernya dari samping kanan. Sambaran itu cukup cepat dan kuat, mendatangkan sinar panjang dan suara mendesing! Dengan gerakan lincah, hanya menggeser kaki dan memutar tubuh, golok itu mengenai tempat kosong dan pada saat itu, golok ke dua menyambar dari kiri, membacok ke arah pinggangnya dari samping. Serangan ini berbahaya sekali, datang dengan cepatnya dan kalau sampai mengenai sasaran, tubuh wanita cantik itu tentu akan terbabat bagian tengahnya dan akan putus menjadi dua potong!

Akan tetapi tiba-tiba si penyerang mengeluarkan seruan kaget karena melihat wanita itu lenyap atau lebih tepat terbang ke atas sehingga goloknya menyambar tempat kosong! Kiranya Hong Li sudah mempergunakan gin-kangnya yang istimewa untuk melompat ke atas dan dari atas, kakinya menendang ke aran pundak si penyerang, kembali ia membalik dan begitu tendangannya mengenai pundak, tubuhnya menyambar ke belakang dan sebelum orang pertama menyerangkan goloknya, tangan Hong Li sudah mengetuk lengan orang itu sehingga goloknya terlepas dan orang itu berteriak kesakitan, bersamaan dengan teriakan orang yang tertendang pundaknya tadi.

“Bibi, tolong....!”

Hong Li terkejut dan ketika ia melihat betapa bocah penggembala kerbau tadi dikempit di bawah lengan seorang di antara lima penjahat dan dibawa lari, ia pun mengejar.

“Jahanam busuk, lepaskan anak itu!” teriaknya sambil mengejar.

Akan tetapi, penculik anak itu telah lari agak jauh dan menghilang ke dalam hutan. Karena khawatir akan keselamatan bocah itu, Hong Li mempercepat larinya dan mengejar terus. Ternyata orang yang menculik bocah itu dapat berlari cepat sekali dan agaknya mengenal baik hutan di sepanjang lembah Sungai Yang-ce itu.

Bocah itu menjerit-jerit terus sehingga mudah bagi Hong Li untuk terus mengejar dan karena memang ia memiliki gin-kang (ilmu meringan tubuh) yang lebih tinggi dan dapat berlari lebih cepat, maka akhirnya ia dapat menyusul orang itu yang terpaksa berhenti di tepi sungai. Ketika Hong Li muncul di dekat tempat itu, dia melemparkan tubuh bocah itu ke dalam sungai! Dan tanpa menoleh lagi dia pun melarikan diri.

Tentu saja Hong Li lebih dahulu memperhatikan keadaan bocah penggembala yang dilempar ke sungai. Bocah ini ternyata pandai berenang dan dapat berenang ke tepi, akan tetapi karena tepinya curam dan anak itu tidak dapat naik, Hong Li lalu menelungkup dan menjulurkan tangannya untuk menarik anak itu ke atas. Terpaksa ia melepaskan penculik anak itu yang sudah melarikan diri entah ke mana.

“Anak baik, engkau tidak apa-apa, bukan? Apakah orang jahat itu melukaimu?”

Anak itu tidak menangis lagi dan dia memandang kepada Hong Li sambil menggeleng kepalanya.
“Tidak, Bibi dan terima kasih atas bantuan Bibi. Akan tetapi kerbauku....”

Hong Li teringat.
“Mari kita mencari kerbaumu di sana!” katanya dan ia memondong tubuh anak itu lalu berlari secepatnya.

Anak itu menggigil ketakutan, akan tetapi diam saja, hanya memejamkan mata ketika merasa betapa dia dilarikan seperti terbang cepatnya.

Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat kubangan kerbau, seperti yang telah diam-diam dikhawatirkannya, lima ekor kerbau itu sudah lenyap dan lima orang penjahat itu pun tidak nampak bayangannya lagi. Tentu saja anak itu lalu menangis.

Hong Li mengepal tinjunya. Celaka, pikirnya. Ia telah tertipu oleh para penjahat itu. Agaknya tadi para penjahat itu maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, maka seorang diantara mereka sengaja melarikan anak itu untuk memancingnya pergi dari situ dan mengejarnya. Kemudian, ketika hampir tersusul, orang yang licik itu melempar tubuh si anak dalam sungai sehingga kembali Hong Li tidak dapat melanjutkan pengejaran karena harus menolong bocah penggembala, sementara itu, dengan enak saja empat orang kawan penjahat itu telah melarikan lima ekor kerbau yang tidak dijaga!

“Sudahlah, jangan menangis,” Hong Li membujuk. “Aku akan mencari mereka.”

“Tapi.... tapi, Bibi. Tentu Paman Ciok dan Bibi Ciok akan marah sekali kepadaku karena kerbau mereka hilang. Lima ekor kerbau itulah milik mereka satu-satunya yang menghidupkan kami semua.”

Hong Li menarik napas panjang. Benar juga, dan mungkin karena duka dan marah, keluarga itu akan memukul anak ini atau mengusirnya.

“Mari kuantar kau ke dusun dan aku yang akan memberi penjelasan kepada Paman Ciok itu, dan aku yang akan mengganti kerugian mereka. Hayolah!” Ia menggandeng tangan anak itu yang masih nampak ragu-ragu dan ketakutan.

Dusun itu kecil saja, hanya ditempati oleh puluhan keluarga yang hidupnya miskin, petani-petani sederhana. Seperti yang dikhawatirkan anak itu, kedua orang suami isteri itu terkejut bukan main melinat anak itu pulang tanpa membawa lima ekor kerbau mereka, bersama seorang gadis cantik, dan mereka menjadi marah dan berduka mendengar bahwa lima ekor kerbau mereka dirampas orang.

“Anak celaka! Anak tidak mengenal budi, tidak tahu diri.!”

Laki-laki she Ciok itu dengan muka merah dan mata melotot sudah menyambar sebuah gagang cangkul dan menghantamkan kayu yang sebesar lengan itu ke arah kepala anak penggembala yang ketakutan.