Ads

Selasa, 01 Maret 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 066

“Kau melihat orang yang lari tadi?” tanya gurunya.

“Phoa Hok Ci?”

“Benar! Kau melihat dia?”

“Dia lari ke sana, Suhu!” Yo Han menunjuk ke arah selatan.

“Kau di sini, aku akan mengejarnya! Dialah orang ke tiga itu!”

Berkata demikian, Sin Hong berkelebat dan lenyap ditelan kegelapan malam. Yo Han berdiri termangu-mangu. Ternyata dugaannya benar. Dua pihak itu diadu domba oleh murid Ngo-heng Bu-koan sendiri. Dia tidak tahu apa sebabnya dan dia merasa menyesal mengapa dia tidak memiliki kepandaian sehingga tidak mampu ikut pula mengejar.

Akan tetapi, menanti di situ seorang diri saja juga amat tidak enak, maka dia pun lalu melangkah meninggalkan tempat persembunyiannya, menuju ke selatan, ke arah larinya Phoa Hok Ci yang dikejar suhunya. Karena malam itu gelap, langit hanya dipenuhi bintang-bintang yang mengeluarkan cahaya remang-remang, dan dia sama sekali tidak mengenal jalan. Yo Han harus berjalan dengan hati-hati agar jangan sampai terjeblos ke dalam jurang. Dia meraba-raba, akan tetapi terus menuju ke selatan.

Sementara itu, Sin Hong juga menghadapi kesukaran untuk dapat menangkap orang yang dikejarnya. Kegelapan malam dan asingnya tempat itu baginya membuat dia jauh kalah cepat bergerak dibandingkan Phoa Hok Ci walaupun kalau mereka berdua berlomba lari cepat, tentu Sin Hong akan menang. Bahkan setelah memasuki sebuah hutan yang keadaannya lebih gelap lagi, dia kehilangan jejak murid Ngo-heng Bu-koan itu.

Akan tetapi tiba-tiba dia melihat dinding putih agak jauh di depan. Agaknya ada bangunan di depan dan kebetulan bangunan itu berada di tempat terbuka sehingga dindingnya dapat nampak keputihan di bawah sinar ribuan bintang di langit. Sin Hong cepat menuju ke dinding putih itu dan tak lama kemudian tibalah dia di depan sebuah kuil!

Sebuah kuil tua di tengah hutan. Siapa tahu orang yang dikejarnya bersembunyi di kuil itu, pikirnya dan dengan tenang namun hati-hati sekali Sin Hong menghampiri kuil dan masuk ke pekarangan kuil itu. Sebelum dia masuk ke ruangan depan, dia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sunyi saja di tempat itu, akan tetapi tiba-tiba dia berhenti dan pendengarannya yang amat tajam itu dapat menangkap gerakan lirih di sebelah dalam kuil tua.

Kemudian, ketika dia menunduk sambil mendengarkan, matanya dapat melihat pula beberapa batang kayu kering berserakan. Ini hanya dapat terjadi, kalau ada orang di dalam kuil itu yang mengumpulkan kayu kering membawanya ke dalam kuil karena di tempat dia berdiri, yaitu di pekarangan depan kuil itu, tidak ada pohon sehingga ranting kayu itu tentu dibawa orang kesitu.

Dia semakin waspada. Ada orang di dalam kuil, pikirnya, atau kalau suara tadi bukan gerakan orang melainkan tikus atau binatang setidaknya kuil itu pernah didatangi orang dan orang itu mengumpulkan kayu kering untuk membuat api unggun!

Sin Hong melangkah masuk ruangan depan dan hidungnya berkembang kempis. Penciumannya juga amat tajam dan dia mencium bau hangus, bau api unggun yang baru saja dipadamkan. Mungkin kalau cuaca tidak begitu gelap, akan dapat nampak asapnya.

Dia semakin waspada dan tiba-tiba saja dia melempar tubuh ke samping. Untung dia bergerak cepat karena dari depan dan belakangnya ada pedang dan tombak, yang menyambar amat ganas dan cepatnya. Kalau dia tidak melempar tubuh ke samping, satu di antara dua buah senjata itu pasti akan mengenai tubuhnya. Dia menjatuhkan diri dan bergulingan, lalu melompat bangun.

Ketika dia bergulingan tadi, dia sengaja berguling ke luar sehingga kini dia berdiri di pekarangan kembali. Dan dari ruangan depan yang gelap itu berloncatan dua orang. Yang seorang memegang sebatang pedang dan dia itu bukan lain adalah Phoa Hok Ci! Adapun orang yang memegang tombak adalah seorang kakek yang berusia enam puluh tahun, berambut riap-riapan panjang, mukanya seperti seekor singa, pakaiannya seperti jubah pertapa yang tebal dan matanya mencorong.

“Heh-heh-heh, inikah pendekar muda sombong yang mengancammu itu, Hok Ci?”

“Benar, Suhu, dia berbahaya sekali, dan dia bukan hanya mengancam aku, akan tetapi juga Suhu dan rencana kita akan gagal sama sekali kalau dia dibiarkan hidup lebih lama lagi.”

“Ha-ha-ha, jangan khawatir. Serahkan saja dia kepadaku, akan kuhabiskan dia sekarang juga!” Kakek bermuka singa itu tertawa sambil menancapkan tombaknya di dinding.

“Kau pasang saja lampu penerangan agar lebih mudah aku membunuh dia!”

Agaknya kakek itu tinggi hati sekali dan dia sudah dapat memastikan bahwa dia akan mampu membunuh pemuda yang mengejar muridnya itu. Bahkan dia demikian sombongnya untuk menyimpan tombaknya dan menghadapi Sin Hong dengan tangan kosong!

Akan tetapi begitu dia menyerang dengan kedua lengan dipentang dan tangan yang berbentuk cakar itu menerkam dari kanan kiri, maklumlah Sin Hong bahwa orang ini sombong bukan hanya lagak belaka, melainkan karena memang dia amat lihai!

Kakek bermuka singa ini memang bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang pertapa yang memiliki kesaktian dan berjuluk Hoan Sai-kong, dan baru beberapa tahun dia meninggalkan tempat pertapaannya di Pegunungan Thai-san dimana selama puluhan tahun dia bertapa dan mematangkan ilmu-ilmunya. Dia turun gunung dan hidup sebagai seorang pertapa yang mengharapkan makanan dari sedekah para dermawan.

Akan tetapi, agaknya puluhan tahun bertapa itu sama sekali tidak mengubah dasar wataknya, dan ternyata setelah berada di dunia ramai, sebentar saja dia kembali telah menjadi hamba nafsu-nafsunya seperti sebelum dia bertapa. Di waktu muda dahulu Hoan Sai-kong terkenal sebagai seorang perampok tunggal yang amat kejam.

Phoa Hok Ci secara kebetulan saja bertemu dengan Hoan Sai-kong tiga tahun yang lalu. Dia melihat betapa saktinya kakek ini, maka segera didekatinya dan dengan royal dia memberi pakaian dan makan minum kepada kakek itu, bahkan melihat betapa kakek itu tidak pantang bermain dengan wanita, Phoa Hok Ci mencarikan gadis panggilan untuk menyenangkan hatinya.






Hoan Saikong merasa senang dan dia mau menerima Phoa Hok Ci sebagai muridnya, asal Phoa Hok Ci mencukupi semua kebutuhannya. Kemudian, setelah pergaulan mereka sebagai guru dan murid semakin akrab, mereka merencanakan sesuatu yang akan mendatangkan keuntungan bagi keduanya.

Phoa Hok Ci tergila-gila kepada Siang Cun, puteri gurunya sendiri, akan tetapi gurunya tidak suka menerimanya sebagai calon mantu, bahkan menerima pinangan pihak Kim-liong-pang. Hal ini membuat Phoa Hok Ci penasaran dan dia lalu berunding dengan gurunya yang baru, gurunya yang dia rahasiakan dari siapa pun juga.

Dalam perundingan inilah keduanya merencanakan siasat mereka mengadu domba antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan. Kalau mereka berhasil, maka pertalian jodoh antara Siang Cun dan Ciok Lim akan putus, dan ada harapan Siang Cun akan menjadi isteri Phoa Hok Ci.

Dan harapan lain bagi Hoan Sai-kong adalah untuk merebut dan menguasai Kim-liong-pang di mana dia akan menjadi ketua yang baru sehingga namanya akan terangkat tinggi dan dia akan menjadi seorang pangcu yang terhormat. Hal ini tidak akan sukar dilakukan kalau Kim-liong-pang sudah menjadi lemah akibat permusuhannya dengan Ngo-heng Bu-koan.

Tentu saja dengan bantuan Hoan Sai-kong yang lihai, mudah bagi Phoa Hok Ci untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan ke dua pihak dan mengadu domba mereka. Dan sebagai awal siasat keji itu, dengan kejam sekali dia memperkosa dan membunuh sumoinya sendiri, Bong Siok Cin, setelah berhasil mencuri topi dari Ciok Lim yang baru saja dijamu oleh calon mertuanya sampai setengah mabuk. Dalam keadaan setengah mabuk itu, mudah bagi Phoa Hok Ci dan Hoan Sai-kong untuk mencuri topinya tanpa dia ketahui. Demikianlah sedikit tentang Hoan Sai-kong yang kini berhadapan dengan Sin Hong.

Ketika Phoa Hok Ci melihat bahwa Sin Hong mendengarkan percakapannya dengan sutenya sebelum sute itu dibunuhnya dia menjadi kaget dan juga khawatir sekali. Maka dia pun teringat kepada gurunya itu dan dia sengaja memancing Sin Hong ke kuil tua itu di mana terdapat Hoan Sai-kong yang segera siap untuk membantu muridnya.

Kini dia berhadapan dengan Sin Hong, dan karena kesombongannya, dia menghadapi Sin Hong dengan tangan kosong, mengira bahwa dengan mudah saja dia akan dapat membunuh lawan yang agaknya ditakuti muridnya itu.

Namun dia kecelik! Tubrukan dengan kedua lengan mencengkeram dari kanan kiri itu hanya mengenai angin saja dan tiba-tiba kaki Sin Hong menggeser ke samping dan tangan kirinya menotok ke arah lambung lawan. Gerakan pemuda itu demikian cepatnya, merupakan serangan balasan yang serentak sehingga Hoan Sai-kong juga harus cepat-cepat menarik tangannya dan menangkis sambil mencoba untuk mencengkeram lengan Sin Hong.

“Dukkk!”

Tangkisan itu membuat tubuh Hoan Sai-kong tergetar dan tentu saja dia tidak jadi mencengkeram karena lengannya sendiri sudah ditarik saking kagetnya melihat betapa lawan yang amat muda itu memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya.

Dari pertemuan lengan itu Hoan Sai-kong dapat menduga bahwa lawannya itu biarpun masih amat muda, akan tetapi tidak seperti yang diduganya, bukan seorang lawan yang boleh dipandang ringan. Hoan Sai-kong lalu mengeluarkan suara menggereng seperti harimau dan kini dia menyerang lagi dengan dahsyat, sambil mengerahkan semua tenaganya.

Dan tahulah Sin Hong ketika melihat gerakan kaki tangan lawan bahwa kakek itu adalah seorang ahli silat dengan gaya harimau. Akan tetapi bukan sembarang Hauw-kun (Silat Harimau). Memang banyak macamnya silat harimau diciptakan oleh perguruan silat yang berbeda aliran, walaupun pada dasarnya ada persamaan yaitu dengan meniru ketangkasan dan kegesitan harimau.

Akan tetapi gaya silat harimau yang dimainkan oleh kakek bermuka singa ini sungguh dahsyat sekali, bahkan jauh lebih berbahaya daripada melawan seekor harimau tulen! Kedua tangan kakek itu membentuk cakar harimau yang amat kuat, dan walaupun kuku-kuku jari tangannya tidak panjang melengkung dan kokoh seperti kuku harimau, namun jari-jari tangannya itu mengandung sin-kang kuat sekali dan cengkeraman kedua tangannya dapat menembus batang pohon bahkan batu karang. Dapat dibayangkan betapa kulit daging akan koyak-koyak, tulang akan remuk kalau terkena cengkeraman kedua tangan yang membentuk cakar itu!

Namun sekali lagi kakek itu kecelik. Yang dilawannya sekarang bukanlah seorang pendekar biasa, melainkan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi yang telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari para penghuni Istana Gurun Pasir!

Ketika Sin Hong melihat betapa lawannya mempergunakan ilmu silat harimau yang amat dahsyat, yang sambaran anginnya dari kedua tangan itu saja sudah mendatangkan hawa panas dan amat berbahaya, dia pun maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti. Maka, dia pun cepat mengerahkan tenaga dan memainkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun, yaitu ilmu gabungan dari ketiga orang gurunya.

Ilmu silat ini memang hebat bukan main, bukan seperti ilmu-ilmu silat Ho-kun (Silat Bangau) biasa saja. Biarpun gaya dasarnya meniru gerakan burung bangau putih yang indah dan lemas di samping kekuatan dan kecepatan burung itu, namun intinya mengandung perasan dari ilmu-ilmu yang dikuasai tiga orang tua sakti itu!

Bahkan untuk mempelajari ilmu silat sakti ini, Sin Hong lebih dahulu menerima pengoperan sin-kang gabungan dari ketiga orang gurunya, dan untuk dapat menguasai ilmu itu dengan sempurna, dia bahkan harus bertapa selama setahun, tidak boleh mengerahkan tenaga sedikit pun karena hal ini akan dapat menewaskannya.

Begitu Sin Hong menghadapi Houw-kun yang hebat dari kakek itu dengan Pek-ho Sin-kun, kakek itu kembali terkejut. Gerakan kedua lengan pemuda itu yang mirip dengan gerakan leher dan kepala burung bangau, mengandung hawa pukulan yang kuat sekali dan setiap kali mereka beradu lengan, Hoan Sai-kong terdorong ke belakang seperti diserang angin taufan!

“Haaauuuwww....!”

Tiba-tiba Hoan Sai-kong mengeluarkan suara gerengan dahsyat. Gerengan ini mengandung khi-kang yang kuat dan kalau lawannya bukan Sin Hong, sedikit banyak tentu akan terpengaruh oleh getaran suara menggereng ini. Dan sambil menggereng, kakek itu menubruk ke depan, cakar kanannya mencakar ke arah ubun-ubun kepala Sin Hong cakar kiri dari samping mencakar perut. Gerakannya cepat dan amat kuat, kedua cakar itu ketika menyambar mendatangkan angin keras.

Sin Hong maklum akan bahayanya serangan ini, maka dia pun melangkah ke belakang, tubuhnya ditarik ke belakang dan kedua tangannya menyambut serangan itu dengan tangkisan kedua lengan yang dikembangkan dari tengah, yang kiri mendorong ke atas dan yang kanan mendorong ke bawah.

“Dukkk! Dukkk!”

Dua pasang lengan bertemu dan kembali tubuh kakek itu terdorong ke belakang. Namun dengan cepatnya Hoan Sai-kong kini menubruk ke depan, bukan hanya kedua tangan yang bergerak seperti sepasang kaki depan harimau untuk mencakar, juga mulutnya dibuka lebar seperti harimau yang hendak menggigit.

Namun kakek ini tidak menggigit karena giginya pun sudah banyak yang ompong, melainkan menggunakan kepalanya untuk menyeruduk ke arah dada lawan! Serangan kedua tangan dan kepala ini memang lebih dahsyat daripada tadi, dan tubuhnya meluncur seperti harimau meloncat.

Dengan ringan sekali, tiba-tiba tubuh Sin Hong meloncat ke atas seperti seekor burung terbang. Tubrukan Hoan Sai-kong lewat di bawahnya dan kini tubuh Sin Hong berjungkir balik membuat salto dan dengan kepala di bawah, tubuhnya meluncur ke bawah, tangannya membentuk paruh burung menotok ke arah tengkuk dan pundak Hoan Sai-kong!

Hoan Sai-kong mengeluarkan seruan kaget. Tak disangkanya bahwa serangannya yang dilakukan dengan seluruh tenaganya itu selain gagal sama sekali, juga berbalik kini lawan yang menyerangnya dari atas. Dan serangan totokan dari atas itu hebat bukan main. Hoan Sai-kong melempar tubuhnya ke atas lantai dan bergulingan menjauh sehingga serangan Sin Hong itu pun luput.

Ketika melihat lawannya menyambar tombak dan kini menyerangnya dengan tombak, Sin Hong cepat mengatur langkah dan mengelak ke sana-sini dengan ringannya. Kedua kakinya seperti kaki burung bangau, melangkah ringan tanpa mengeluarkan suara namun selalu dapat menghindarkan sambaran ujung mata tombak yang berkelebatan.

Akan tetapi kini Phoa Hok Ci sudah maju mengeroyok dengan mempergunakan pedangnya. Sebagai murid pertama Ngo-heng Bu-koan, apalagi telah menerima gemblengan selama tiga tahun dari Hoan Sai-kong, tingkat kepandaian Phoa Hok Ci ini tidak boleh dipandang ringan dan begitu dia maju mengeroyok, Sin Hong dihujani serangan tombak dan pedang.

Kalau saja Si Bangau Putih, demikian julukan Sin Hong, menghendaki, agaknya dia akan mampu merobohkan kedua orang pengeroyoknya itu dengan ilmunya yang tinggi.

Namun, dia tidak bermaksud membunuh mereka, bahkan dia harus dapat menangkap Phoa Hok Ci hidup-hidup karena orang inilah yang dapat di jadikan kunci perdamaian antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan, melenyapkan kesalah-pahaman yang timbul karena fitnah yang disebarkan oleh Phoa Hok Ci. Karena hendak menangkap Phoa Hok Ci, maka Sin Hong tidak mau melakukan serangan mautnya dan dia menunggu kesempatan untuk dapat menangkap pengkhianat itu.

Setelah menghadapi serangan dua orang bersenjata itu dengan mengandalkan kelincahan gerakannya, sambil menanti kesempatan baik, akhirnya Sin Hong melihat terbukanya kesempatan. Dia berhasil menangkap tombak di tangan Hoan Sai-kong, lalu mengerahkan tenaga menarik sehingga lawan itu ikut tertarik dan dengan gagang tombak yang masih dipegangnya itu, Sin Hong menangkis pedang Phoa Hok Ci yang menyambar, berbareng dia mengirim tendangan kilat ke arah lutut kaki kiri Phoa Hok Ci.

Orang ini terkejut dan masih sempat meloncat ke samping sehingga yang terkena tendangan hanya betisnya. Namun cukup membuat dia terpelanting dan Sin Hong yang menarik tombak, membalikkan tubuhnya, tangan kirinya menampar ke arah kepala sai-kong itu.

Hoan Sai-kong cepat memutar tombaknya terlepas dari pegangan Sin Hong, dan sambil mengelak dengan merendahkan tubuhnya dan menggeser kaki ke kiri, Hoan Sai-kong menggerakkan tombaknya untuk menusuk perut lawan! Tusukan yang amat cepat datangnya itu dielakkan oleh Sin Hong yang memiringkan tubuh dan ketika tombak meluncur lewat dekat pinggang, dia mengerahkan tenaga dan memukul dengan tangan miring ke arah gagang tombak.

“Krekkk!”

Tombak itu pun patah menjadi dua potong! Hoan Sai-kong terkejut dan melompat ke dalam kuil, menyusul muridnya yang sudah lebih dulu melarikan diri setelah tadi betisnya kena ditendang oleh Sin Hong.

“Phoa Hok Ci, hendak lari ke mana kau?”

Sin Hong membentak dan cepat melompat ke dalam kuil melakukan pengejaran. Setelah mencari-cari, dia melihat Hoan Sai-kong berdiri menantinya di ruangan belakang, sebuah ruangan kecil dan keadaan di situ cukup terang karena di sudut dinding tergantung sebuah lampu dinding yang cukup terang.

Melihat ini, Sin Hong merasa curiga. Dia bukan orang bodoh. Kalau musuh yang sudah melarikan diri dan dikejarnya kini menantinya di sebuah ruangan yang diterangi lampu, maka hal ini patut dicurigakan. Mungkin sebuah perangkap, pikirnya, maka dia pun melangkah masuk dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan. Mungkin Phoa Hok Ci yang tidak nampak akan menyerangnya dengan senjata rahasia.

Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu ketika dia melangkah masuk dan dia pun berkata kepada kakek itu,

“Locianpwe, di antara kita tidak ada permusuhan. Aku tidak mengenal Locianpwe dan sebaliknya Locianpwe tidak mengenalku. Aku hanya ingin mengajak Phoa Hok Ci untuk pulang ke Ngo-heng Bu-koan untuk membuat pengakuan tentang semua perbuatannya mengadu domba antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan. Serahkan Phoa Hok Ci dan aku akan pergi dari sini, tidak akan mengganggu Locianpwe lebih lama lagi.”

Akan tetapi, sebagai jawaban, Hoan Sai-kong mengelebatkan pedangnya dan langsung menyerang Sin Hong dengan permainan pedang yang dahsyat dan cepat. Kiranya kakek ini tadi melarikan diri karena tombaknya patah dan kini sudah berganti senjata pedang yang juga dapat dimainkannya dengan cepat sekali.

Sin Hong menjadi penasaran dan marah. Orang ini agaknya hendak mati-matian membela muridnya yang jelas telah melakukan perbuatan yang amat keji! Kalau dia tidak lebih dulu merobohkan orang ini dengan cepat, tentu akan sukar untuk menangkap Phoa Hok Ci. Karena itu, begitu lawan menyerangnya, Sin Hong menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya, mengelak sambil membalas dengan cepat dan dahsyat.

Totokan demi totokan yang amat cepat dia lancarkan ke arah lengan yang memegang pedang dan bagian anggauta lain sehingga Hoan Sai-kong yang mempergunakan pedang itu sebaliknya malah terdesak hebat oleh Sin Hong. Dan karena selama perkelahian itu tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan, tidak ada senjata rahasia dilepaskan dari tempat gelap, maka Sin Hong menjadi agak lengah dan kecurigaannya tadi menipis.

Ketika dia mendesak terus dan perkelahian itu terjadi dengan sengitnya di tengah ruangan yang tidak luas itu, tiba-tiba Hoan Sai-kong mengeluarkan teriakan nyaring sekali, akan tetapi teriakan ini bukan untuk melakukan serangan, melainkan untuk melompat pergi dari ruangan itu!

Dan teriakan itu juga merupakan isyarat kepada Phoa Hok Ci untuk bertindak karena tiba-tiba saja lantai ruangan yang diinjak oleh kaki Sin Hong terbuka ke bawah! Sin Hong terkejut sekali. Cepat tangannya meraih dan dia masih dapat menangkap kaki Hoan sai-kong yang hendak meloncat pergi dari ruangan itu.

Kalau saja Hoan Sai-kong melanjutkan loncatannya, tentu dia dan juga Sin Hong akan dapat keluar dari ruangan itu. Akan tetapi, Hoan Sai-kong agaknya terkejut dan tidak menyangka bahwa pemuda yang menjadi lawannya itu masih sempat menangkap kakinya. Dengan marah dia lalu menusukkan pedangnya ke arah leher Sin Hong. Melihat ini, Sin Hong mengerahkan sin-kang pada tangan kirinya dan dengan tangan miring dia menyampok dan memukul ke arah pedang yang melakukan serangan maut itu.

“Plakkk!”

Pedang itu terlepas dari pegangan Hoan Sai-kong, akan tetapi karena gerakan-gerakan itu, loncatannya kehilangan tenaga dan tubuh mereka berdua tanpa dapat dicegah lagi meluncur jatuh ke dalam lubang di ruangan itu!

Melihat betapa dia bersama lawannya terjeblos ke bawah, Sin Hong cepat melepaskan pegangannya pada kaki lawan dan dia pun mengerahkan seluruh tenaganya untuk meringankan tubuhnya. Biarpun Hoan Sai-kong juga melakukan ini, namun karena dia nampak ketakutan sekali, gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dikerahkannya menjadi berantakan dan tubuhnya meluncur lebih cepat daripada Sin Hong ke dalam lubang yang dalam dan gelap itu.

Diam-diam Sin Hong merasa kaget juga melihat betapa lamanya dia tiba di dasar lubang jebakan itu, tanda bahwa lubang itu cukup dalam! Terdengar jerit mengerikan dari Hoan Sai-kong di sebelah bawah ketika tubuh kakek itu lebih dulu tiba di dasar lubang, teriakan kematian!

Sin Hong mengerahkan gin-kangnya dan dia memandang ke bawah, melihat garis bentuk tubuh Hoan Sai-kong rebah meringkuk ke bawah. Dengan hati-hati Sin Hong mengarahkan kedua kakinya menginjak tubuh itu dan untung dia melakukan hal ini karena ternyata bahwa dasar lubang yang sempit itu penuh dengan tombak-tombak runcing yang siap menerima tubuhnya!

Tubuh mayat Hoan Sai-kong telah menyelamatkannya! Dia dapat hinggap di atas tubuh itu dan terbebas dari tusukan tombak-tombak itu. Pantas saja Hoan Sai-kong tadi mengeluarkan teriakan ketakutan ketika terjatuh. Agaknya dia sudah tahu akan keadaan sumur maut ini, dan begitu terjatuh, tubuhnya diterima tombak-tombak itu dan tewas seketika.

Sin Hong meraba ke kanan kiri. Kedua tangannya menyentuh dinding sumur yang licin sekali, penuh lumut. Tidak mungkin merangkak ke atas mempergunakan sin-kang karena dinding itu licin bukan main. Meloncat ke atas? Sama sekali tidak mungkin.

Ketika dia melihat ke atas, nampak lubang itu, lubang di tengah ruangan, nampak samar-samar diterangi lampu di dinding ruangan itu. Lalu nampak kepala orang di tepi sumur. Dari bawah pun dia dapat melihat bahwa itu adalah kepala Phoa Hok Ci! Dia menahan napas dan tidak bergerak. Biarlah dia disangka mati seperti kakek itu, karena kalau Phoa Hok Ci mengetahui bahwa dia masih hidup, mungkin akan menyerangnya dengan melemparkan sesuatu dan hal ini berbahaya sekali.

Kemudian, dia mendengar suara Phoa Hok Ci tertawa. Agaknya orang itu girang dan mengira dia telah mati. Murid itu agaknya sama sekali tidak merasa berduka biarpun gurunya juga mati di dalam lubang jebakan ini. Hal ini saja menunjukkan betapa buruknya watak laki-laki itu. Kepala Phoa Hok Ci itu lenyap dan penerangan di atas padam. Suasana menjadi gelap gulita.

Sin Hong masih berdiri di atas mayat Hoan Sai-kong yang tertusuk tombak-tombak itu. Meloncat ke atas tidak mungkin. Merayap melalui dinding lubang itu pun tidak mungkin. Tanpa bantuan orang dari atas, tidak mungkin dia naik ke atas!

Dalam keadaan gelap gulita itu, menyelidiki keadaan di dasar lubang itu pun tidak mungkin. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menanti sampai malam itu lewat dan ada sinar matahari menerangi dasar lubang itu agar dia dapat menyelidiki dan mencari jalan keluar. Terpaksa dia harus menanti.

“Locianpwe, maafkan aku.” bisiknya kepada mayat di bawahnya dan dia pun dengan hati-hati duduk bersila di atas tubuh mayat yang masih hangat itu.

Sementara itu, Yo Han mencari-cari gurunya. Setelah keluar masuk hutan kecil, dia menjadi bingung. Dia tidak tahu ke mana harus mencari gurunya, dan untuk kembali ke tempat tadi dia pun tidak mampu lagi. Malam terlalu gelap dan dia tidak mengenal daerah itu. Biarpun hatinya bingung sekali namun Yo Han tidak berani memanggil nama gurunya.

Dia tahu bahwa gurunya sedang mengejar orang, dan mungkin orang itu bersembunyi dan gurunya sedang mencari-cari. Kalau dia membuat gaduh, mungkin akan dapat menggagalkan usaha gurunya itu. Dia mencari terus, keluar masuk hutan dan semalam suntuk dia tidak pernah berhenti.

Sampai keesokan harinya, setelah sinar matahari mengusir kegelapan malam, Yo Han memasuki sebuah hutan dan dia melihat sebuah kuil tua. Dimasukinya pekarangan kuil itu dan anak yang cerdik ini melihat adanya jejak-jejak kaki di tanah pekarangan. Hatinya menjadi tegang, apalagi ketika dia tiba di ruangan depan kuil tua itu dan melihat lantainya. Jelas di tempat itu ada tanda-tanda bahwa baru saja terjadi perkelahian disitu.

Dengan hati-hati dia masuk ke dalam. Kuil itu sunyi dan tidak nampak seorang pun, juga tidak terdengar ada suara orang. Hatinya terasa kecut dan mulailah dia khawatir. Gurunya sudah semalam suntuk mengejar orang, kenapa belum juga kembali? Ataukah mungkin sudah kembali dan tidak bertemu dengan dia? Ah, bagaimana kalau sampai dia tersesat dan tidak akan berjumpa kembali dengan gurunya? Mungkin sekarang gurunya, seperti dia, juga sedang mencari-cari, mencari dia.

“Suhuuuuu....“

Akhirnya dia tidak dapat menahan kegelisahan hatinya dan berteriak memanggil gurunya sambil menjenguk ke dalam kuil. Suaranya nyaring dan karena kuil itu merupakan bangunan yang cukup besar dan kosong, suaranya bergema.

“Suhuuuuu....!”

Sekali lagi dia memanggil, lebih kuat karena dia seperti mendapat firasat bahwa gurunya berada di sekitar tempat itu.

Tiba-tiba terdengar jawaban yang membuat Yo Han hampir meloncat saking kaget dan girangnya.
“Yo Han....! Engkaukah itu.?”

Suara ini jelas sekali, akan tetapi terdengar dengan bunyi gaung aneh, sehingga dia tidak mengenal apakah itu suara gurunya atau bukan dan datangnya dari arah dalam kuil!

“Suhuuuuu....! Suhu di mana engkau?” Yo Han masuk ke dalam kuil itu sampai ke ruangan dalam.

“Di ruangan belakang, Yo Han. Masuklah terus ke belakang, ada ruangan yang lantainya terbuka. Hati-hati, jangan sampai terjatuh ke bawah. Aku terjebak di bawah sini!”

Yo Han merasa girang bukan main menemukan gurunya. Cepat dia maju dan ketika tiba di ruangan yang dimaksudkan, dia melihat betapa lantai ruangan ini memang terbuka ke bawah. Dia mendekat sampai di tepi lubang dan melongok ke dalam. Akan tetapi, karena ruangan itu terang dengan cahaya matahari sedangkan lubang itu sempit dan dalam, yang nampak hanyalah kegelapan menghitam saja.

Akan tetapi Sin Hong dapat melihat kepala muridnya dan hatinya girang bukan main. Girang dan juga kagum. Bagaimana anak itu bisa menemukannya? Dia sejak tadi sudah mencari-cari jalan keluar, akan tetapi agaknya tidak ada jalan keluar dari tempat itu kecuali kalau ada yang datang menolongnya! Dan kuil tua itu tentu jarang didatangi orang, dalam sebuah hutan sunyi lagi. Diam-diam dia bergidik. Haruskah dia mati di tempat itu? Dan, sebelum mati, dia akan tersiksa oleh bau mayat membusuk!

“Suhu, apakah Suhu berada di bawah sana?” Yo Han berteriak, berusaha menggunakan penglihatannya menembus kegelapan di bawah.

“Yo Han, dengar baik-baik. Aku terjeblos di sini dan tidak akan dapat naik tanpa bantuanmu. Kau pergilah cari tali yang panjangnya paling sedikit lima belas tombak. Kumpulkan akar-akar gantung dan sambung-sambung sampai panjang, lalu turunkan ke sini. Cepat?”

“Baik, Suhu. Teecu pergi mencari!”

Kata Yo Han dan anak yang cerdik ini tidak mau banyak cakap lagi, lalu keluar dari ruangan itu dan sebelum mencari keluar kuil untuk mengumpulkan akar gantung, dia lebih dulu mencari-cari di dalam kuil dan di belakang.

Usahanya berhasil. Dia menemukan tali yang panjangnya ada lima tombak. Karena permintaan suhunya harus yang panjangnya paling sedikit lima belas tombak, Yo Han lalu keluar dan mulai mengumpulkan akar gantung dari pohon-pohon besar. Untunglah bahwa selama menjadi murid Sin Hong, biarpun dia belum dilatih ilmu silat, namun jasmaninya telah digembleng sehingga dia memiliki tubuh yang kuat, tenaga besar dan juga tahan uji sehingga biarpun pekerjaan ini amat berat bagi seorang anak kecil seperti dia, namun akhirnya setelah matahari naik tinggi, berhasillah Yo Han menyambung-nyambung akar gantung yang kuat sampai sepanjang lima belas tombak lebih.