Ads

Selasa, 01 Maret 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 064

“Begini, Ayah. Mula-mula, aku melihat Ceng Ki dan dua orang sutenya pulang dalam keadaan luka-luka. Ada yang kepalanya benjol-benjol karena dibentur-benturkan tanah, dan Ceng Ki sendiri pergelangan tangannya luka karena digigit sehingga harus diobati dan dibalut untuk menghentikan darah yang keluar banyak. Menurut cerita mereka, mereka berkelahi dengan seorang anak jahat yang menjambak dan menggigit. Aku segera bersama Ceng Ki mencari anak itu dan ternyata dia berada di sini dan anak itu adalah murid orang ini. Kami berdebat, berselisih dan berkelahi.”

Bhe Gun Ek mengerutkan alisnya.
“Hemmm, hanya karena perkelahian anak-anak engkau lalu membela sampai berkelahi dengan orang? Siang Cun, bukankah itu keterlaluan namanya?”

“Aku menjadi marah melihat para sute itu, apalagi Ceng Ki yang luka tergigit. Kalau mereka berkelahi biasa saja dan kalah pandai, aku pun tidak ambil peduli. Akan tetapi digigit!”

Sin Hong melangkah maju dan memberi hormat.
“Maaf, Paman, sesungguhnya urusan ini kecil saja dan harap dihabiskan saja. Murid saya ini sudah minta maaf dan menyadari kesalahannya, juga saya minta maaf untuk dia. Kami hanya dua orang perantau yang tidak ingin bermusuhan dengan siapapun, karena itu, sekali lagi, harap urusan kecil ini dihabiskan sampai di sini.”

Bhe Gun Ek tadi sudah melihat betapa pemuda berpakaian putih ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Dengan tangan kosong mampu menghadapi sepasang pedang puterinya, bahkan dia melihat betapa kedua pedang itu tidak berdaya sama sekali, yang sebatang dijepit dua buah jari dan dipakai menangkisi pedang yang lain! Bukan itu saja, dia sendiri tadi menyerang dengan pukulan tenaga sakti, akan tetapi dapat disambut oleh pemuda itu secara aneh dan mengejutkan karena tenaga pukulannya seperti mengenai benda lunak yang membuat pukulan itu kehilangan kekuatannya. Mendengar semua keterangan itu, dia pun cepat membalas penghormatan Sin Hong.

“Orang muda yang gagah, harap jangan terlalu merendahkan diri. Sepatutnya, kami dari Ngo-heng Bu-koan yang harus meminta maaf. Sikap murid-murid kecil kami, juga puteri kami tadi terhadap engkau dan muridmu sungguh tidak patut. Maafkanlah, orang muda dan tentu saja dengan senang hati kami menghabiskan urusan kecil itu sampai di sini saja. Bahkan, perkenankan kami mengundang Ji-wi untuk berkunjung ke rumah kami agar perkenalan ini dapat dipererat. Saya Bhe Gun Ek, juga puteri kami ini, Bhe Siang Cun, dan semua murid Ngo-heng Bu-koan mengundang Ji-wi untuk makan bersama di tempat kami.”

Sin Hong merasa rikuh sekali. Dia memang menghargai sikap guru silat itu, akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk hadir sebagai tamu, untuk dijamu makan, mengingat bahwa dia dan muridnya tidak mempunyai pakaian yang pantas untuk bertamu. Akan tetapi sebelum dia menolak dengan halus, tiba-tiba Yo Han berkata,

“Wah, Suhu. Bhe-kauwsu yang terhormat ini sungguh gagah perkasa dan baik hati sekali, cocok seperti yang Suhu nasihatkan kepada teecu bahwa seorang gagah lebih dulu akan mencari kesalahan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain! Dan bersikap ramah terhadap siapapun juga tanpa memandang kedudukan atau harta benda. Suhu, teecu senang sekali berkenalan dengan orang-orang gagah dari Ngo-heng Bu-koan!”

Mendengar ucapan yang lantang dan keluar dari mulut seorang bocah berusia sembilan tahun, Bhe Gun Ek memandang kagum dan tahulah dia mengapa bocah yang kabarnya tadi hanya mampu menampar dan menggigit menjadi murid seorang pemuda yang berilmu setinggi ini. Kiranya bocah ini baru menerima gemblengan batin lebih dulu sehingga sekecil itu telah memiliki jiwa yang amat gagah perkasa!

Sedangkan Sin Hong diam-diam mendongkol akan tetapi juga geli hatinya terhadap muridnya. Dia tahu bahwa Yo Han kegirangan diundang makan, karena dia masih menyesal menghilangkan uang dari gurunya tadi dan kini gurunya diundang makan, maka dia pun girang sekali. Gurunya sejak kemarin belum makan dan dia pun demikian pula, dan perutnya sudah lapar sekali!

Bhe Gun Ek tersenyum girang.
“Wah, sungguh kami merasa berbahagia sekali, ternyata Ji-wi guru dan murid merupakan orang-orang gagah yang mengagumkan.” Lalu kepada puterinya dan Ceng Ki dia berkata, “Hayo Siang Cun, engkau minta maaf kepada Tai-hiap (Pendekar Besar) ini, dan kau Ceng Ki, minta maaf kepada saudara kecil yang gagah ini!”

Siang Cun memang sudah tidak marah lagi setelah mendengar bahwa lawannya itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Kim-liong-pang, bahkan ia merasa kagum bukan main. Selama hidupnya, baru sekali ini ia bertemu tanding seorang pemuda yang selihai ini. Maka, mendengar ucapan ayahnya, ia pun cepat memberi hormat kepada Sin Hong.

“Saudara yang gagah, harap maafkan kesalahanku tadi karena kurang pengertian.”

Sin Hong cepat membalas penghormatan itu.

“Akan tetapi, engkau sudah mengenal nama kami semua sedangkan kami belum mengenal namamu dan muridmu.” kata Siang Cun.

Sin Hong tersenyum.
“Nona, aku dan muridku hanya orang-orang pengembara yang tidak tentu tempat tinggalnya, nama kami pun sama sekali tidak terkenal.”

“Enci yang gagah, jangan percaya kata-kata Suhu. Dia dijuluki orang Pek-ho Eng-hiong (Pendekar Bangau Putih).“

“Yo Han! Berapa kali kularang engkau menyombongkan diri?”

Sin Hong membentak dengan muka merah. Muridnya itu memang kadang-kadang nakal sekali, dan dia cepat menjura kepada Bhe Gun Ek dan Bhe Siang Cun, berkata dengan sikap merendah.

“Namaku Tan Sin Hong, dan muridku yang bodoh dan bandel ini bernama Yo Han.”

Sementara itu, ketika Ceng Ki memberi hormat dan minta maaf kepadanya, Yo Han cepat berkata,
“Sudahlah, jangan minta maaf kepadaku, akan tetapi mintalah maaf kepada suhumu karena engkau telah melanggar ajarannya yang baik.” Kemudian, kontan dia berlutut di depan suhunya sendiri dan berkata, “Harap Suhu sudi memaafkan kenakalan dan kebandelan teecu.”

Yo Han memang cerdik sekali. Dia maklum bahwa dia telah membuat gurunya rikuh, maka kini setelah memberi nasihat kepada Ceng Ki, dia pun cepat mendahului minta maaf kepada gurunya sendiri.

Mendengar ucapan Yo Han tadi, dan melihat anak itu minta maaf kepada gurunya, tentu saja Ceng Ki merasa malu dan cepat dia pun menjatuhkan dirinya di depan kaki gurunya dan mohon maaf atas kesalahannya.

“Harap Suhu sudi memaafkan teecu yang telah membuat keributan.”






Melihat ini, Bhe Gun Ek tertawa bergelak dengan girang sekali.
“Ha-ha-ha! Memang banyak untungnya bergaul dengan orang-orang bijaksana. Tan-taihiap, kami merasa girang dan beruntung sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan engkau dan muridmu. Yo Han, terima kasih atas pelajaran yang kau berikan kepada Ceng Ki! Marilah, Tan-taihiap, mari kita bercakap-cakap di rumah kami agar lebih leluasa!”

Sin Hong tidak dapat menolak lagi dan dia berjalan seiring dengan Bhe Gun Ek dan puterinya. Yo Han mengiringkan di belakangnya, bersama Ceng Ki yang kini bersikap manis kepadanya.

Sin Hong dan muridnya disambut sebagai seorang tamu kehormatan, dan pihak tuan rumah dari Bhe Kauwsu, puterinya sampai para murid utama yang ikut menyambut, bersikap hormat kepada Sin Hong dan muridnya walaupun pakaian guru dan murid ini dihias tambalan.

Hal ini membuat Sin Hong tertarik dan juga kagum. Tahulah dia bahwa dia berada di antara orang gagah dan hatinya merasa senang. Dalam perjamuan yang meriah, ketika mereka makan minum bersama di sebuah meja besar yang terbuat dari meja disambung-sambung yang duduk mengelilingi meja itu ada belasan orang banyaknya termasuk murid-murid kepala, Sin Hong bertanya kepada tuan rumah tentang Kim-liong-pang.

“Bhe Kauwsu, aku masih merasa heran sekali ketika disangka orang dari Kim-liong-pang. Agaknya ada permusuhan antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang itu. Perkumpulan apakah Kim-liong-pang itu dan kalau boleh aku bertanya, mengapa terjadi permusuhan?”

Ditanya demikian, wajah tuan rumah dan para muridnya menjadi muram. Setelah beberapa kali menarik napas panjang, Bhe Gun Ek lalu berkata,

“Kalau dipikir memang membuat orang menjadi penasaran dan sakit hati, Tan-taihiap. Bayangkan saja, Kim-liong-pang yang sarangnya berada di puncak bukit Kim-liong-san di luar kota Lu-jiang ini, dipimpin oleh seorang sahabat baik, bahkan puteranya menjadi tunangan puteriku Siang Cun ini. Akan tetapi kini kami kedua pihak menjadi musuh besar dan terjadi perkelahian yang mengorbankan banyak murid-murid kami dan para anggauta Kim-liong-pang sendiri.”

Tiba-tiba seorang di antara para murid kepala bangkit berdiri dan sambil mengepal tinju dia berkata,

“Suhu, maafkan teecu! Membicarakan Kim-liong-pang membuat teecu kehilangan nafsu makan dan sebaiknya kalau teecu tidak ikut mendengarkan. Perkenankan teecu mengundurkan diri, Suhu!”

Bhe Kauwsu memandang kepada murid itu dan menarik napas panjang.
“Aku dapat mengerti perasaanmu, Hok Ci. Kuperkenankan engkau mundur.”

Murid Ngo-heng Bu-koan itu lalu menjura ke arah Sin Hong.
“Tan-taihiap, harap maafkan saya.”

Dan dia lalu meninggalkan ruangan itu dengan langkah lebar. Sin Hong memperhatikan murid itu. Seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh tahun, tubuhnya sedang saja namun nampak kuat dan gesit, wajahnya tampan namun dia melihat keganasan membayang pada pandang matanya, dan mulutnya selalu tersenyum agak sinis.

“Kasihan dia....!” kata Bhe Kauwsu. “Harap maafkan dia, Tan-taihiap. Diantara kami, mungkin dia yang paling menderita akibat permusuhan dengan Kim-liong-pang, bahkan dialah yang mula-mula kehilangan seorang tunangan yang terbunuh oleh pihak Kim-liong-pang.”

Sin Hong memandang tajam penuh selidik.
“Apakah Kim-liong-pang perkumpulan orang jahat?”\

“Sama sekali tidak. Bahkan ketuanya, Ciok Kam Heng adalah bekas sahabatku, seorang gagah yang selalu menjunjung tinggi kebenaran. Puteranya, Ciok Lim, tadinya bahkan bertunangan dengan puteri kami Siang Cun. Sekarang tentu saja pertunangan itu putus dan mereka menjadi musuh besar kami.”

“Tapi.... mengapa begitu?” Sin Hong penasaran.

“Engkau sudah kami anggap sebagai seorang sahabat baik, Tan-taihiap, maka kami takkan menyimpan rahasia. Baiklah, kami akan bercerita mengenai permusuhan itu.”

Bhe Gun Ek lalu bercerita dengan singkat namun jelas. Dia adalah seorang ahli silat yang banyak mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai, bahkan menggabungkan ilmu kedua partai persilatan itu dan menciptakan beberapa macam ilmu silat sendiri, di antaranya yang paling hebat adalah Ngo-heng-kun. Ketika dia membuka rumah perguruan silat, dia memakai nama Ngo-heng Bukoan karena memang inti pelajaran yang dia berikan adalah Ngo-heng-kun.

Bhe Gun Ek dan isterinya hanya mempunyai seorang anak, yaitu Bhe Siang Cun yang telah mewarisi ilmu-ilmunya bahkan gadis ini membantu para suhengnya, yaitu murid-murid tertua dan utama dari ayahnya, untuk membimbing kepada para murid muda.

Ketika Siang Cun berusia delapan belas tahun, setahun yang lalu, Bhe Gun Ek menerima pinangan seorang sahabatnya, yaitu Ciok Kam Heng, ketua dari Kim-liong-pang di puncak bukit Kim-liong-san yang nampak dari kota Lu-jiang.

Sudah lama dia bersahabat dengan Ciok Kam Heng dan pinangan itu segera diterima dengan senang hati. Juga Siang Cu tidak membantah. Putera tunggal ketua Kim-liong-pang itu bernama Ciok Lim, kini berusia dua puluh lima tahun. Dia seorang pemuda yang cukup ganteng dan memiliki ilmu silat yang tinggi pula, bahkan dalam suatu pesta tahun baru, iseng-iseng kedua orang tua mereka menguji ilmu kepandaian pemuda dan gadis ini.

Mereka yang sudah ditunangkan itu mengadu ilmu dan harus diakui oleh Siang Cun bahwa tingkat kepandaian tunangannya itu sedikit lebih tinggi darinya. Hal ini membuat hatinya senang, apalagi dalam adu ilmu itu, Ciok Lim selalu mengalah sehingga tidak membikin malu padanya.

Akan tetapi pada suatu malam, ketika Ciok Lim yang dijamu oleh Bhe-kauwsu pulang dalam keadaan setengah mabuk, terjadilah hal yang amat mengerikan. Seorang murid perempuan dari Ngo-heng Bu-koan yang bernama Bong Siok Cin, seorang gadis manis berusia tujuh belas tahun, kedapatan tewas dalam keadaan telanjang bulat di dalam hutan kecil di kaki bukit Kim-liong-san! Jelas bahwa gadis itu telah diperkosa orang lalu dibunuh! Dan di antara pakaiannya yang berserakan direnggut dengan paksa dan robek-robek, para murid Ngo-heng Bu-koan menemukan sebuah topi merah. Topi yang biasa dipakai oleh Ciok Lim!

Tentu saja terjadi geger di kalangan murid Ngo-heng Bu-koan! Yang paling berduka dan marah adalah Phoa Hok Ci, karena Bong Siok Cin yang terbunuh dalam keadaan terhina dan menyedihkan itu bukan lain adalah tunangannya!

Biarpun Bhe Kauwsu membujuknya agar bersabar dan kematian murid itu perlu diselidiki dengan seksama, namun Phoa Hok Ci tidak dapat menahan dendam sakit hatinya. Bersama tiga orang sute yang ikut berbela sungkawa dan bersetia kawan dia lalu pergi ke Kim-liong-san, mendatangi perkumpulan Kim-liong-pang dan langsung menantang Ciok Lim yang dituduhnya pemerkosa dan pembunuh!

Ciok Lim yang keluar menemui empat orang murid Ngo-heng Bu-koan itu terkejut bukan main dan tentu saja dia menyangkal keras. Akan tetapi, dengan sikap menantang, dengan senyumnya yang sinis, Phoa Hok Ci yang menaruh dendam hebat atas kematian tunangannya itu, segera bertanya.

“Ciok Lim, kami tidak menuduh membuta-tuli! Coba katakan, ke mana semalam engkau pergi sampai larut malam?”

Ciok Lim mengerutkan alisnya. Dia mengenal Phoa Hok Ci sebagai suheng dari tunangannya, puteri Bhe Kauwsu.

“Kukira semua murid Ngo-heng Bu-koan juga melihatku. Aku mendapat kehormatan dijamu minum arak oleh calon ayah mertuaku, yaitu guru kalian. Menjelang tengah malam, aku pulang.”

“Dalam keadaan mabuk, bukan?” Phoa Hok Ci mendesak.

“Aku tidak pernah mabuk, dalam arti kata sampai tidak sadar. Memang aku telah minum banyak, akan tetapi aku masih sadar dan dapat pulang, setibanya di rumah langsung tidur.”

“Hemmm, bagus sekali karanganmu itu! Engkau dalam keadaan setengah mabuk, bertemu dengan sumoi Bong Siok Cin di jalan. Engkau menggodanya dan tentu saja ia bukan lawanmu. Engkau menangkapnya dan membawanya sampai ke hutan di kaki bukit Kim-liong-san, kemudian engkau memperkosanya! Karena takut gadis itu membuka rahasia kejahatanmu, engkau lalu membunuhnya!”

“Tidak benar! Itu fitnah belaka!” bantah Ciok Lim dan ketika itu sudah banyak anggauta Kim-liong-pang yang keluar menyaksikan percekcokan itu. “Aku tidak bertemu siapapun dan tidak melakukan perbuatan terkutuk seperti yang kau tuduhkan”

“Ciok Lim, tidak perlu engkau menyangkal lagi. Bukti-bukti telah lengkap, maka kunasihatkan engkau untuk menyerah saja agar kami tangkap dan kami bawa menghadap suhu kami!” kata pula Phoa Hok Ci dengan muka merah dan mencorong marah.

“Tidak! Apa buktinya bahwa aku melakukan perbuatan jahat itu?” tantang Ciok Lim.

“Hemmm, masih hendak menyangkal dan mau melihat buktinya?”

Phoa Hok Ci mengeluarkan sebuah topi merah yang sejak tadi disimpannya di dalam saku bajunya. Itulah topi yang ditemukan di antara pakaian Bong Siok Cin yang berserakan.

“Nah, lihat, topi siapakah ini?”

Sepasang mata Ciok Lim terbelalak memandang kepada topi di tangan murid Ngo-heng Bu-koan itu, dan wajahnya berubah.

“Itu.... itu memang topiku.... semalam aku kehilangan topiku itu! Ah, aku berada dalam keadaan setengah mabuk karena terlalu banyak minum sehingga aku lupa lagi di mana kutaruh topiku. Akan tetapi.... bagaimana topiku itu dapat berada di tanganmu?”

Mulut Phoa Hok Ci semakin sinis menyeringai.
“Hemmm, pandai berpura-pura pula! Ciok Lim, tidak perlu engkau menyangkal lagi. Topi ini kami temukan di dekat mayat sumoi Bong Siok Cin!”

“Suheng, tangkap saja dia. Untuk apa banyak cakap lagi terhadap seorang pemerkosa dan pembunuh yang amat keji?” teriak seorang murid Ngo-heng Bu-koan.

Phoa Hok Ci lalu maju menyerang dengan pedangnya. Ciok Lim terpaksa membela diri dan mencabut pedang pula. Ketika tiga orang murid Ngo-heng Bu-koan maju mereka disambut oleh banyak murid atau anggauta Kim-liong-pang. Terjadilah perkelahian dengan kekalahan di pihak empat orang murid Ngo-heng Bu-koan! Mereka terpaksa melarikan diri dalam keadaan luka-luka dan sambil mengeluh mereka mengadu kepada guru mereka.

Bhe Kauwsu menjadi bingung. Memang murid perempuan dari perguruannya diperkosa dan dibunuh orang, akan tetapi dia masih meragukan apakah benar calon mantunya yang melakukan perbuatan keji itu. Bagaimanapun juga, topi merah itu ditemukan di antara pakaian mendiang Siok Cin yang berserakan, dan semalam, ketika dia menjamu minum arak kepada calon mantunya itu, memang Ciok Lim memakai topi merah itu!

Ketika Bhe Gu Ek yang cukup bijaksana mengambil keputusan untuk mengunjungi Kim-liong-pang dan mengadakan perundingan yang penuh persahabatan dengan sahabatnya dan calon besannya, walaupun puterinya sendiri dan para muridnya menyatakan tidak setuju, tiba-tiba muncul belasan orang anggauta Kim-liong-pang yang datang dengan marah-marah dan memaki-maki Ngo-heng Bu-koan yang katanya merupakan pembunuh curang!

Bhe Gun Ek melarang puterinya dan para muridnya yang hendak keluar menghajar orang-orang Kim-liong-pang, dan dia sendiri lalu keluar, diikuti oleh Siang Cun dan banyak murid kepala yang masih merasa penasaran.

Para anggauta Kim-liong-pang itu biasanya bersikap hormat kepada Bhe Kauwsu karena guru silat ini adalah calon besan dari ketua mereka. Akan tetapi sekarang mereka bersikap lain sama sekali. Mereka tetap berdiri tegak dan bertolak pinggang biarpun Bhe Gun Ek sudah muncul dan berdiri di depan mereka! Melihat sikap ini, Bhe Kauwsu mengerutkan alisnya, akan tetapi dia menahan sabar karena maklum bahwa sikap mereka itu pasti ada sebabnya.

“Bukankah Cu-wi para anggauta Kim-liong-pang? Ada keperluan apakah Cu-wi datang berkunjung? Apakah diutus oleh Ciok Pangcu (Ketua Pangcu)?” tanya Bhe Kauwsu dengan suara ramah.

“Bhe Kauwsu, kami datang untuk menuntut balas atas kematian seorang sute kami yang tidak berdosa! Sute kami dibunuh oleh seorang murid dari Kauwsu, maka sebaiknya kalau murid yang jahat itu diserahkan kepada kami!” kata seorang di antara mereka, mewakili teman-temannya, dengan nada suara penuh kemarahan.

Bhe Kauwsu mengerutkan alisnya lebih dalam lagi dan setelah menarik napas panjang dia berkata,
“Aih, apa lagi ini? Terbunuhnya seorang murid perempuan dari perguruan kami belum juga diselesaikan, dan sekarang muncul tuduhan bahwa seorang anggauta Kim-liong-pang terbunuh oleh seorang muridku?”

“Bhe Kauwsu! Kongcu kami sama sekali tidak merasa melakukan pembunuhan terhadap murid perempuan perguruan sini. Kongcu berani bersumpah.“

“Sumpah palsu! Siapapun juga dapat bersumpah palsu!” bentak Siang Cun.

Gadis ini sekarang amat membenci tunangannya dan hal inilah yang membuat para murid Ngo-heng Bu-koan semakin bersemangat memusuhi pihak Kim-liong-pang.

“Sebaiknya kalau Kauwsu menyelidiki yang benar. Bukan kongcu kami yang membunuh. Akan tetapi kini murid-muridmu telah membunuh seorang sute kami dengan amat kejamnya! Mungkin sute dikeroyok, melihat betapa tubuhnya hancur dicacah-cacah oleh bacokan senjata tajam. Sungguh pembunuhan yang kejam dan tidak mengenal peri kemanusiaan!”

“Huh! Apakah pembunuhan terhadap sumoi Bong Siok Cin itu berperi kemanusiaan? Sebelum dibunuh diperkosa dulu! Perbuatan itu biadab dan lebih kejam lagi. Kalau sampai ada seorang saudara seperguruanku membalas dendam dan membunuh seorang anggauta Kim-liong-pang, hal itu sudah sepantasnya!”

“Hok Ci, diam kau! Dan Siang Cun, jangan mencampuri percakapan kami! Kalian dengarkan saja!”

Bhe Kauwsu membentak karena suara para muridnya itu hanya akan memanaskan suasana saja. Lalu dia menghadapi orang-orang Kim-liong-pang itu dan berkata,

“Cuwi menuduh bahwa murid-murid kami melakukan pengeroyokan dan pembunuhan terhadap seorang anggauta Kim-liong-pang. Apa buktinya bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh murid perguruan kami?”

“Jenazah sute ditemukan di luar tembok kota Lu-jiang, tubuhnya hancur dan di dekat jenazahnya kami menemukan ini!” kata anggauta Kim-liong-pang sambil menyerahkan sebuah bungkusan kain kuning panjang.

Bhe Kauwsu menerima bungkusan itu terisi sebuah pedang panjang yang patah menjadi dua. Dan di gagang pedang patah itu, jelas dapat dilihatnya ukiran dua huruf berbunyi Ngo Heng, ukiran yang terdapat pada semua senjata di perguruannya, senjata-senjata yang disediakan di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) untuk latihan! Jelas bahwa pedang itu adalah pedang milik Ngo-heng Bu-koan, dan siapa lagi yang mempergunakannya kalau bukan seorang di antara para muridnya.

Pedang itu agaknya patah ketika dipakai berkelahi, maka dibuang begitu saja dan ditemukan sebagai tanda bukti bahwa pembunuh anggauta Kim-liong-pang adalah orang Ngo-heng Bu-koan!

Bhe Kauwsu menoleh kepada para muridnya. Wajahnya berubah merah dan dia bertanya dengan suara yang mengandung wibawa,

“Siapa di antara kalian yang mempergunakan pedang kita ini? Hayo mengaku sebagai seorang gagah yang selalu siap mempertanggung-jawabkan perbuatannya!”

Akan tetapi tak seorang pun di antara murid-muridnya yang menjawab atau mengaku. Semua berdiam diri, kemudian Siang Cun berkata dengan suara mencela.

“Ayah, apakah Ayah perlu mendengarkan fitnah yang mereka lontarkan kepada kita?”

Pimpinan anggauta Kim-liong-pang berkata, nada suaranya mengejek,
“Hemm, Bhe Kauwsu, tidak ada muridmu yang berani mengaku. Mereka itu pengecut, sudah berani berbuat tidak berani bertanggung jawab.”

“Tutup mulutmu yang busuk!”

Tiba-tiba Siang Cun meloncat ke depan, menghadapi anggauta pimpinan Kim-liong-pang itu dengan marah.

“Tuan mudamu sudah jelas memperkosa dan membunuh saudara kami, dan ada bukti topinya ketinggalan akan tetapi dia menyangkal. Dialah yang pengecut besar! Dan kini kalian membalikkan kenyataan? Andaikata ada di antara kami yang membunuh sutemu, hal itu sudah tepat, karena orang-orang macam kalian ini memang patut dibasmi!”

“Siang Cun.!”

Ayahnya mencegah, akan tetapi percuma karena kedua pihak sudah saling terjang dan saling serang. Terjadilah pertempuran antara belasan orang anggauta Kim-liong-pang melawan para murid Ngo-heng Bu-koan yang jumlahnya jauh lebih banyak!

Bhe Kauwsu tidak dapat mencegah lagi, maklum bahwa orang-orang muda kedua pihak itu sudah dibakar oleh kemarahan dan sakit hati. Dia merasa sedih sekali, akan tetapi mengambil keputusan untuk tidak campur tangan sendiri, maka dia lalu mengundurkan diri dan masuk ke dalam kamarnya.

Perkelahian keroyokan yang berat sebelah itu tentu saja berakhir dengan kekalahan pihak Kim-liong-pang yang jauh lebih sedikit jumlahnya. Apalagi di pihak Ngo-heng Bu-koan terdapat Siang Cun yang amat lihai. Akhirnya, belasan orang anggauta Kim-liong-pang itu terpaksa melarikan diri sambil membawa lari teman-teman yang terluka parah.

Siang Cun melarang teman-temannya yang hendak melakukan pengejaran.
“Biarkan mereka pergi?” teriaknya. “Ketika sebagian dari kalian datang ke sana, kalian dikalahkan akan tetapi tidak ada seorang pun di antara kalian yang terbunuh. Biarlah sekali ini kita membalas kekalahan itu dan biarkan mereka pulang melapor kepada ketua mereka!”

Sin Hong dan Yo Han mendengarkan cerita dari Bhe Gun Ek dengan hati tertarik sekali. Bhe Gun Ek menarik napas panjang berulang kali, wajahnya nampak berduka dan dia pun melanjutkan.

“Demikianlah, Tan-taihiap. Semenjak penyerbuan itu, terjadi permusuhan di antara Bu-koan kami dan Kim-liong-pang. Beberapa kali aku ingin menghubungi Ciok Pangcu, akan tetapi selalu para murid kedua pihak yang mencegah, mereka sudah dibakar emosi, bahkan semenjak itu, sudah berulang kali terjadi perkelahian, bahkan sudah belasan orang dari masing-masing pihak jatuh tewas sebagai korban perkelahian terbuka maupun pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan secara diam-diam karena dendam.”

“Hemmm, jadi itulah kiranya yang menyebabkan kesalah-pahaman antara aku dan nona Bhe Siang Cun? Aku disangka seorang dari Kim-liong-pang dan karenanya harus dibunuh?”

Wajah gadis itu menjadi merah.
“Ada berita bahwa pihak Kim-liong-pang akan mengundang jagoan lihai untuk menghadapi kami, karena itu aku sudah menaruh curiga kepada seorang asing.”

“Akan tetapi, Bhe Kauwsu, apakah semenjak peristiwa pertama, yaitu kematian murid perempuan dari perguruanmu itu, engkau tidak pernah mengadakan hubungan langsung dengan Ciok Pangcu?”

Guru silat itu menarik napas panjang.
“Itulah salahnya. Bagaimanapun harus kuakui bahwa ada rasa sakit di dasar hatiku karena perkosaan dan pembunuhan terhadap seorang muridku, dan karena pelaku kejahatan itu adalah putera Ciok Pangcu, juga sudah menjadi calon mantuku, tentu saja aku merasa amat tidak enak untuk menemuinya dan membicarakannya. Ditambah lagi dengan sikap bermusuhan yang berlarut-larut dari anggauta dan murid kedua pihak, maka kini sudah tidak mungkin lagi bagiku untuk mengadakan pertemuan secara damai dengan Ciok pangcu. Bahkan akhir-akhir ini ada berita bahwa pihak Kim-liong-pang hendak mengundang jagoan yang lihai untuk menantang kami untuk mengadakan pertempuran secara terbuka.” Guru silat itu kelihatan penasaran dan berduka.

Sin Hong menggeleng-geleng kepalanya.
“Ah, kalau keadaan sudah demikian parah, sukar untuk dicari jalan damai.”

Tiba-tiba Yo Han bangkit berdiri.
“Suhu, ada kemungkinan ke tiga dalam urusan ini yang agaknya dilupakan orang.”

“Hushhh! Yo Han engkau anak kecil tahu apa? Jangan ikut campur!” bentak Sin Hong terkejut dan rikuh sekali melihat betapa muridnya demikian lancang untuk mencampuri urusan yang demikian besarnya.

Mendengar bentakan gurunya, Yo Han diam dan duduk kembali. Akan tetapi Bhe Kauwsu merasa tertarik mendengar ucapan Yo Han tadi. Pemuda yang menjadi tamunya itu seorang yang berilmu tinggi, tentu muridnya juga bukan anak sembarangan. Sikap bocah itu saja sudah menunjukkan bahwa dia cerdas sekali.

“Aih, Tan-taihiap, agaknya muridmu mempunyai pandangan yang amat penting sekali. Biarkanlah dia bicara. Anak baik, apakah kemungkinan ke tiga yang agaknya kami lupakan itu? Katakanlah.”

Yo Han melirik ke arah suhunya.
“Suhu, bolehkah teecu bicara?”

Sin Hong menahan senyumnya. Dia tahu bahwa muridnya itu, biarpun usianya baru sembilan tahun, namun memiliki kecerdikan luar biasa, bahkan dapat mengikuti jalan pikiran orang dewasa. Dia tahu bahwa pandangan anak itu kadang-kadang tajam dan tidak ngawur. Kalau tadi dia terkejut dan rikuh adalah karena muridnya itu dianggap lancang mencampuri urusan orang lain, apalagi urusan permusuhan yang demikian pentingnya, yang sudah mengorbankan banyak nyawa dan yang membuat tuan rumah berduka sekali.