Ads

Rabu, 30 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 050

"Kita harus menolong suheng, Hanko," kata Sian Li ketika mereka keluar dari hutan.

"Tentu saja, Li-moi." Dia menepuk buntalan pakaiannya. "Aku sudah mempersiapkan capingku. Kalau aku menghadapi para Lama, aku harus berperan sebagai Sin-ciang Tai-hiap. Aku akan minta dengan hormat kepada mereka untuk membebaskan suhengmu."

"Akan tetapi bagaimana mungkin, Han-ko? Bagaimana kalau mereka tidak menuruti permintaanmu?"

"Aku tidak pernah bermusuhan dengan para Lama itu, dan mereka adalah orang-orang yang menghargai kegagahan. Kalau perlu, aku akan menantang mereka dengan taruhan bahwa kalau aku menang, mereka harus memenuhi permintaanku."

"Kalau kau kalah?"

"Hemm, kita harus bertanggung jawab dan tidak lari dari kenyataan, Li-moi. Kalau aku kalah, mereka boleh melakukan apa saja terhadap diriku."

"Tapi.... itu berbahaya sekali, Han-ko"

Yo Han tersenyum.
"Aku tahu, Limoi, sejak aku mempelajari ilmu silat, tahulah aku bahwa aku telah terjun ke dalam dunia kekerasan di mana terdapat penuh bahaya. Akan tetapi, hidup seperti apakah yang tidak berbahaya? Hidup itu sendiri Sudah merupakan suatu bahaya, Li-moi. Hidup adalah perjuangan, suatu perjuangan orang tiada hentinya melawan bahaya yang datang dari segala jurusan. Hidup merupakan suatu tantangan yang harus kita perjuangkan, kita hadapi, dan perjuangan itu adalah untuk mengatasi semua tantangan itu, semua bahaya itu!"

Sian Li mengerutkan alisnya dan saking tertarik, ia menghentikan langkahnya, memandang kepada pemuda itu.

"Eh? Apa maksudmu, Han-ko? Kehidupan seorang dari dunia persilatan seperti kita memang menghadapi banyak tantangan, banyak bahaya, akan tetapi kehidupan seorang biasa, apakah bahaya dan tantangannya?"

Yo Han tersenyum,
"Tiada bedanya, Li-moi. Apakah kehidupan seorang petani miskin itu tidak penuh tantangan yang harus mereka hadapi dan atasi tantangan itu dapat datang dari kemiskinannya, dari kesehatan yang terganggu, dari kesejahteraan keluarganya, dari kerukunan keluarganya. Orang dapat ditentang oleh kekurangan makan pakaian dan tempat tinggal, oleh gangguan kesehatan oleh percekcokan rumah tangga, dan seribu satu tantangan lagi. Semua itu mau tidak mau, harus dihadapi dan diatasi, kita tidak mungkin dapat lari darinya, karena itulah isi kehidupan ini, urusan jasmani, urusan duniawi."

"Hemm, kalau orang kaya dan orang berpangkat tentu tidak menghadapi semua tantangan dan kesulitan."

"Siapa bilang? Mereka pun dapat sakit, dapat cekcok dengan keluarga. Bahkan ditambah lagi. Orang kaya harus mempertahankan kekayaannya, menjaganya agar tidak berkurang atau lenyap, selalu khawatir akan kehilangan. Demikian pula orang berkedudukan selalu ingin mempertahankan kedudukannya, takut kehilangan. Pendeknya, selagi hidup sebagai manusia, kita tidak akan dapat bebas dari tantangan dan bahaya. Justeru itulah isi kehidupan, itulah romantikanya kehidupan.

Dan menghadapi semua itu, berusaha mengatasinya. Perjuangannya melawan semua tantangan, itulah seninya, seni kehidupan! Betapa akan membosankan kalau hidup ini tidak ada tantangan yang harus ditanggulangi, dihadapi dan diatasi. Senang baru akan terasa senang kalau kita pernah merasakan susah. Kepuasan yang sebenarnya hanyalah terasa kalau kita pernah merasa kecewa. Bukankah begitu, Li-moi?"

Sian Li terbelalak, kemudian tertawa.
"Wah-wah-wah, bicaramu seperti seorang guru besar kebatinan saja, Han-ko. Menurut Ayah dan Ibuku, dahulu engkau tidak suka akan kekerasan, tidak suka belajar silat, akan tetapi sekarang malah menjadi seorang pendekar sakti dan bicaramu seperti seorang pendeta!"

"Li-moi, mengenai kehidupan, apakah hanya para pendeta saja yang harus mengetahuinya? Kehidupan adalah kita sendiri, Li-moi. Sudah sewajarnya, bahkan sepatutnya kalau setiap orang tahu dan mengerti akan kenyataan dalam hidup ini. Sampai sekarang pun aku tidak suka akan kekerasan, Li-moi, karena aku tahu dan yakin benar bahwa kekerasan bukanlah cara terbaik untuk hidup.

Namun, menghadapi tantangan dalam kehidupan, sekali waktu kita membutuhkan juga kekuatan untuk menanggulanginya, dan seperti juga semua ilmu, ilmu silat pun amat berguna kalau saja dipergunakan melalui garis yang benar, bukan sebagai alat mengumbar nafsu. Nah, kurasa engkau pun tentu sudah mengerti akan semua itu, karena aku tahu bahwa orang tuamu adalah sepasang suami isteri yang bijaksana. Apalagi engkau telah digembleng oleh paman kakekmu dan isterinya, juga oleh seorang tokoh besar seperti Yok-sian Lo-kai."

Sian Li mengangguk-angguk kagum.
"Cara mereka bicara tidak jauh bedanya dengan apa yang kau katakan semua tadi, Han-ko."

"Hemmm, ada orang-orang datang ke sini, Li-moi. Jangan katakan bahwa aku adalah Sin-ciang Tai-hiap."

Sian Li mengangkat muka memandang ke depan dan benar saja. Ada enam orang datang dengan langkah lebar. Dari jauh saja, sudah nampak bahwa lima orang di antara mereka adalah para pendeta Lama Jubah Hitam, dapat dilihat dari kepala mereka yang gundul dan jubah hitam mereka yang lebar.

Yang seorang lagi adalah seorang pemuda. Setelah mereka datang lebih dekat dan Sian Li mengenal siapa pemuda itu, wajahnya berubah merah dan ia menjadi marah. Pemuda itu bukan lain adalah Cu Ki Bok murid Lulung Lama yang kurang ajar itu. Dan lima orang gundul itu adalah lima orang anggauta Hek I Lama.

"Jahanam busuk! Akan kubunuh kalian!" Sian Li sudah meraba gagang pedangnya, akan tetapi Yo Han menyentuh lengannya,






"Sabarlah, Li-moi, biarkan mereka mengatakan dulu apa maksud mereka mencari kita."

Kini Cu Ki Bok sudah tiba di depan mereka. Pemuda yang tinggi tegap dan tampan gagah itu tersenyum, dan lima orang pendeta Lama yang berdiri di belakangnya, diam tak bergerak seperti patung.

“Selamat pagi, Nona Tan Sian Li. Senang sekali bertemu denganmu, karena Nona tentu akan dapat memberi tahu kepada kami di mana kami dapat bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap."

Sian Li tersenyum mengejek.
"Hemm, keparat busuk, andaikata aku tahu sekalipun tak akan sudi aku memberitahukan kepadamu!"

"Hemm, Nona jangan berlagak. Kalau tidak ada Sin-ciang Tai-hiap, apa kau kira akan mampu lepas dari tangan kami? Sekarang kami menginginkan Sin-ciang Tai-hiap, untuk menyampaikan pesan dari ketua kami. Katakan di mana aku dapat bertemu dengan dia, dan aku tidak akan mengganggumu lagi, melihat muka pendekar itu."

"Sobat, katakan saja kepada kami apa yang akan kau sampaikan kepada Sin-ciang Tai-hiap, dan kamilah yang akan menyampaikan kepadanya," kata Yo Han dengan suara tenang dan lembut.

Cu Ki Bok memandang kepada Yo Han dengan alis berkerut, jelas bahwa dia memandang rendah kepada pemuda itu, tidak mengenalnya, akan tetapi merasa tidak senang karena pemuda ini berdua dengan gadis yang dirindukannya.

"Siapa kamu? Dan mengapa aku harus menyampaikan pesanku untuk Sin-ciang Tai-hiap kepada kamu?"

Sian Li marah sekali melihat sikap dan mendengar ucapan yang nadanya menghina dan memandang rendah itu. Akan tetapi Yo Han tersenyum girang bahwa kini dia dapat menghadapi orang tanpa menyembunyikan wajah aslinya dan orang itu tidak mengenalnya. Benar juga pendapat Sian Li semalam. Sin-ciang Tai-hiap yang harus dirahasiakan, bukan Yo Han!

"Namaku Yo Han, dan aku orang biasa saja, akan tetapi aku telah dipesan oleh Taihiap bahwa jika ada orang yang mencarinya, boleh menyampaikan kepada kami berdua. Kalau engkau percaya kepada kami, nah, katakan apa yang kau ingin sampaikan kepadanya. Kalau tidak percaya, sudahlah, kau cari saja sendiri."

Sian Li mengeluarkan suara tawa mengejek.
"Huh, mana pengecut ini berani mencari Sin-ciang Tai-hiap? Baru melihatnya saja, dia akan lari terbirit-birit!" Lalu dilanjutkannya dengan nada suara marah, "Kawanan srigala ini licik dan pengecut, beraninya hanya main keroyokan. Buktinya, Suheng ditawan karena keroyokan. Jahanam Cu Ki Bok, kalau kalian mengganggu Suhengku, aku akan membasmi kalian semua, tak seorang pun kubiarkan hidup!"

Mendengar ucapan yang keras itu, Cu Ki Bok tidak menjadi marah, bahkan dia tertawa geli.

"Ha-ha-ha, kau kira suhengmu itu kami ganggu, Nona? Nona masih saja salah sangka. Kami bukanlah penjahat. Kami adalah pejuang-pejuang yang bercita-cita mengusir penjajah Mancu. Kami membutuhkan kerja sama dengan para pendekar. Bukankah ketua kami tadinya juga menawarkan kerja sama dengan Nona dan suheng Nona itu? Dan sekarang suhengmu dengan suka rela membantu kami, dan dia hidup bersenang-senang. Hemm, suhengmu memang pandai mempergunakan kesempatan, aku sendiri sampai iri melihat dia bersenang-senang seperti itu."

"Kau bohong!"

Sian Li membentak, akan tetapi diam-diam ia ingin sekali tahu kesenangan apa yang dimaksudkan oleh orang itu.

"Sudahlah, aku pun datang bukan untuk membicarakan urusan Liem Sian Lun. Aku diutus oleh ketua kami untuk bicara dengan Sin-ciang Tai-hiap. Kuharap saja dia akan muncul menemui kami."

"Orang macam engkau tidak berharga untuk bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap," kata Sian Li. "Sampaikan saja kepadaku atau kau boleh minggat dari sini."

Wajah Cu Ki Bok berubah merah. Dia merasa direndahkan dan dihina oleh gadis itu, akan tetapi harus diakuinya bahwa dia memang merasa jerih untuk berhadapan dengan pendekar sakti itu.

"Baiklah, akan kusampaikan kepadamu, Nona Tan Sian Li, akan tetapi tidak kepada cacing tanah itu."

Cu Ki Bok menggerakkan kepala ke arah Yo Han dengan sikap amat merendahkan sehingga wajah Sian Li berubah merah karena marahnya.

"Cu Ki Bok, kalau engkau menghina kami berdua, berarti engkau menghina Sin-ciang Tai-hiap karena Taihiap telah memberi kuasa kepada kami berdua untuk mewakilinya bicara dengan siapa saja! Nah, katakan kepada kami berdua apa keperluanmu tanpa menghina orang, atau aku akan mewakilinya membunuhmu di sini juga!"

Cu Ki Bok tidak gentar terhadap Sian Li, akan tetapi dia takut kalau Sin-ciang Tai-hiap muncul membantu nona itu.

"Baik, dengarlah pesan kami. Ketua kami, Dobhin Lama mengundang Sin-ciang Tai-hiap untuk mengadakan pertandingan adu ilmu."

"Huh, dan kalian tentu akan menjebaknya dan mengeroyoknya dengan mengandalkan banyak orang, bukan?" Sian Li mengejek. Ia sengaja memanaskan hati pihak lawan.

"Sama sekali tidak!" bantah Cu Ki Bok penasaran. "Nona, engkau belum mengenal siapa adanya Supek (Uwa Guru) Dobhin Lama! Beliau adalah seorang tokoh besar di Tibet yang memiliki kedudukan tinggi. Tidak mungkin Supek menggunakan siasat. Supek telah lama mendengar akan nama besar Sin-ciang Tai-hiap dan kini ingin mengadu ilmu dengan Sin-ciang Tai-hiap. Kalau Sin-ciang Taihiap mampu menandingi Supek Dobhin Lama, maka mutiara hitam akan dikembalikan kepadanya."

"Hemm, tidak cukup dengan itu! Kalau dia dapat mengalahkan Dobhin Lama, selain mutiara hitam diserahkan kepadanya, juga Suheng Liem Sian Lun harus dibebaskan!" kata Sian Li. "Kalau syarat ini tidak dijanjikan, aku tidak sudi menyampaikan kepadanya."

"Ha-ha-ha, sekarang juga dia sudah bebas, akan tetapi mana mungkin dia mau meninggalkan segala kesenangan itu? Akan tetapi baiklah, aku yang tanggung bahwa syarat ke dua itu dapat diterima dan disetujui oleh Supek. Kalau Supek kalah, Liem Sian Lun akan dibebaskan dan mutiara hitam akan diserahkan kepada Sin-ciang Tai-hiap. Akan tetapi sebaliknya, kalau Supek yang menang, Sin-ciang Tai-hiap harus membantu perjuangan untuk menentang penjajah Mancu."

Tentu saja Sian Li tidak berani lancang menerima syarat itu, maka ia menoleh kepada Yo Han dan berkata,

"Han-ko, bagaimana pendapatmu? Biarpun Taihiap sudah menyerahkan keputusannya kepadaku, akan tetapi aku ingin tanya pendapatmu sebelum menerima syarat itu."

Yo Han mengangguk-angguk.
"Sin-ciang Tai-hiap adalah seorang pendekar yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Bangsa Mancu menjajah, hal itu jelas tidak adil dan tidak benar, maka tentu saja dia tidak akan berkeberatan untuk menentang penjajah Mancu."

Sian Li mengangguk-angguk.
"Tepat sekali, aku pun berpikir demikian, Hanko. Nah, Cu Ki Bok, akan kusampaikan pesan itu kepada Sin-ciang Tai-hiap. Kuulangi taruhannya. Kalau dia menang, mutiara hitam harus diserahkan kepadanya dan Suhengku harus dibebaskan. Kalau Dobhin Lama yang menang, Sin-ciang Tai-hiap harus membantu perjuangan menentang penjajah Mancu. Kalau dia menerima tantangan itu, lalu kapan pertandingan itu diadakan dan di mana?"

Cu Ki Bok tersenyum.
"Dalam hal ini, Supek ingin memperlihatkan iktikad baiknya dan kejujurannya ketika mengajak Sin-ciang Tai-hiap untuk mengadu ilmu. Supek menyerahkan kepada Sin-ciang Tai-hiap untuk menentukan waktu dan tempat."

"Kalau begitu sekarang juga!" Sian Li berkata dengan cepat. Dara yang cerdik ini segera mengambil keputusan yang dianggapnya menguntungkan pihaknya. "Dan tempatnya, di puncak bukit sebelah sana itu!"

Ia menunjuk ke arah bukit di sebelah kiri. Ia tahu bahwa tempat yang menjadi sarang Hek I Lama berada di sebelah kanan, maka bukit itu tentu merupakan tempat bebas dari pengaruh kekuasaan Hek I Lama sehingga kalau diadakan pertandingan di sana, maka pihak musuh tidak akan sempat mengatur siasat untuk menjebak atau mengeroyok.

Cu Ki Bok memandang ke arah bukit itu dan mengangguk-angguk.
"Baiklah. Kami akan melapor kepada ketua kami. Sebentar lagi, menjelang tengah hari, tentu Supek telah berada di puncak bukit itu. Harap saja janji kalian bukan merupakan bual kosong belaka. Selamat tinggal!" Cu Ki Bok lalu pergi dari situ diikuti lima orang pendeta Lama.

"Kenapa engkau memilih tempat pertandingan di puncak bukit itu, Li-moi?"

"Aku sengaja memilih tempat yang jauh dari mereka agar kita dapat mendahului mereka ke tempat itu sehingga mereka tidak sempat membuat jebakan. Sebaiknya kalau kita sekarang juga pergi ke sana, Han-ko, untuk mengenal medan dan mempersiapkan diri."

Yo Han kagum. Kiranya Sian Li, Si Bangau Merah yang dahulu sering digendongnya dan diajak bermain-main itu, kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, lihai, pemberani dan juga cerdik sekali. Cara gadis itu tadi menghadapi Cu Ki Bok saja sudah menunjukkan kecerdikannya. Diam-diam dia merasa bangga.

Mereka lalu berangkat mendaki bukit yang tadi ditunjuk oleh Sian Li. Bukit itu ternyata merupakan sebuah bukit yang sunyi, penuh dengan hutan belukar dan tidak nampak ada dusun di atas bukit. Dusun-dusun hanya terdapat di kaki bukit, begitu mereka mendaki ke atas, ternyata tidak terdapat dusun di lereng-lereng bukit itu yang penuh hutan liar belukar dan rawa-rawa.

Bahkan mendaki ke puncak pun tidak mudah walaupun bukit itu tidak terlalu besar. Karena kini dia sudah berada di tempat di mana ditentukan adu kepandaian itu, untuk menjaga kalau-kalau ada pihak musuh yang melihatnya. Yo Han sudah mengenakan caping berikut tirai sutera hitamnya, dan membiarkan rambutnya juga terlepas riap-riapan.

Akan tetapi, betapa heran mereka ketika tiba di puncak, mereka melihat sebuah pondok berdiri di situ! Sebuah pondok kayu yang nampaknya masih baru, mungkin hanya beberapa bulan saja umurnya. Kecil namun kokoh kuat. Dan di belakang dan kanan kiri pondok itu nampak ditanami sayur-sayuran, di depan pondok, sebuah taman yang penuh bunga indah amat menyedapkan pandang mata.

Tentu saja Sian Li dan Yo Han tertegun sejenak dan saling pandang. Sungguh di luar dugaan mereka bahwa di tempat sunyi itu terdapat pondok tempat tinggal orang! Siapa orangnya yang tinggal di di tempat sunyi seperti ini? Tentu hanya pertapa atau pendeta yang sengaja mengasingkan diri dari dunia ramai.

Ketika dengan ragu-ragu mereka memasuki pelataran rumah itu yang merupakan sebuah taman dikelilingi pagar bambu, tiba-tiba terdengar bentakan halus suara wanita,

"Berhenti! Siapa kalian berani lancang memasuki pekarangan rumah orang tanpa diundang!"

Yo Han dan Sian Li berhenti, lalu memandang ke arah suara yang keluar dari pinggir pondok. Ketika pemilik suara muncul, mereka memandang heran. Wanita itu berusia lima puluh tahun lebih, namun masih nampak cantik manis. Pakaiannya sederhana namun bersih dan ringkas, tubuhnya masih padat dan tegak, sikapnya gagah dan sebatang pedang yang tergantung di pinggang menunjukkan bahwa wanita ini seorang ahli silat yang tidak lemah. Rambut panjang yang sudah dihias uban itu digelung ke atas, dengan hiasan tusuk sanggul dari perak berbentuk bunga seruni.

Wanita itu dengan alis berkerut dan sinar mata tajam menyelidik, mengamati Yo Han dan Sian Li. Juga ia merasa heran melihat bahwa tamu-tamu yang tidak diundangnya itu seorang pemuda tampan bermata tajam mencorong, dan seorang gadis yang jelita.

Sian Li yang lincah jenaka itu sudah dapat menguasai keheranannya dan ia pun tersenyum manis.

"Aih, Bibi ini manusia ataukah peri? Bibi kelihatan seperti seorang wanita setengah tua yang cantik dan gagah, agaknya memang seorang manusia dari darah daging. Akan tetapi kalau manusia, kenapa hidup di puncak bukit yang amat sepi ini seorang diri?"

Wanita itu terbelalak dan matanya bersinar marah.
"Kau bocah lancang mulut!"

Wanita itu menggerakkan lengan bajunya dan tiba-tiba tubuhnya sudah meloncat dan melayang ke depan Sian Li. Gerakannya demikian ringannya seperti terbang saja. Begitu tiba di depan Sian Li, ia menggerakkan tangan menampar ke arah pundak gadis itu.

Tamparannya nampak lembut dan tidak mengandung tenaga, akan tetapi ada angin yang dingin menyambar ke arah pundak Sian Li. Gadis ini terkejut, mengenal pukulan yang mengandung sin-kang (tenaga sakti) dingin. Cepat ia pun mengelak dan sambaran tangan wanita itu luput. Kini tangan kanan wanita itu menyambar dan kembali tangan itu menampar ke arah pundak kiri Sian Li. Kalau tadi tangan kiri wanita itu mendatangkan angin yang dingin sekali, sekarang tangan kanannya yang menyambar itu membawa angin pukulan yang amat panas sehingga telapak tangan itu beruap! Kembali Sian Li terkejut dan cepat ia menggeser kaki, menarik diri ke belakang sehingga pukulan ke dua itu pun luput.

"Ehh....?"

Wanita itu nampak terkejut dan heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis remaja yang lancang mulut itu mampu menghindarkan diri dari dua tamparannya yang hebat! Ia merasa penasaran dan siap untuk menyerang sungguh-sungguh akan tetapi pada saat itu terdengar suara mencegahnya.

"Ibu, harap jangan pukul orang.!"

Wanita setengah tua itu terkejut dan membalikkan tubuh, dan ketika ia melihat seorang pemuda keluar dari pintu pondok, ia mengangkat kedua tangannya ke atas dan memandang penuh kekhawatiran.

"Ciang Hun, kenapa engkau bangun. Seharusnya engkau melanjutkan pengobatan dengan menghimpun hawa murni agar engkau sembuh benar!"

Pemuda itu tersenyum,
"Ibu, aku sudah sembuh."

Mendengar ini, wanita itu berlari menghampiri dan merangkul pundak pemuda itu dengan pandang mata yang membuat Sian Li terharu. Pandang mata wanita itu terhadap puteranya sungguh penuh kasih sayang mendalam! Wanita itu seorang ibu yang teramat besar kasih sayangnya kepada puteranya. Ia pun seperti Yo Han, kini memperhatikan pemuda yang baru muncul dari dalam pondok itu.

Pemuda itu bertubuh tinggi besar dan tegap sehingga nampak gagah perkasa, namun wajahnya membayangkan kelembutan dan ketenangan. Usianya sekitar dua puluh delapan tahun. Pada saat itu, wajahnya agak pucat, wajah yang tampan dengan alis tebal dan hidung mancung besar. Matanya seperti mata ibunya, jeli dan bersinar tajam.

Pemuda itu kini menghampiri Sian Li dan Yo Han. Pandang matanya menyelidik, akan tetapi mulutnya tersenyum ramah dan dengan rendah hati dia mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan. Tentu saja Yo Han segera membalasnya, dan Sian Li yang masih mendongkol karena tadi diserang secara membabi-buta, mengikuti Yo Han dengan setengah hati.

"Harap Jiwi (Anda Berdua) memaafkan ibuku yang menyambut Jiwi dengan sikap kasar. Hendaknya Jiwi ketahui bahwa di sini banyak berkeliaran orang jahat, maka ibuku menjadi pemarah dan mencurigai semua orang. Kalau boleh kami mengetahui, siapakah Jiwi dan apa pula maksud kunjungan Jiwi ke sini?"

Selain suaranya lembut, wajahnya cerah dan dihias senyum, juga kata-katanya teratur, tanda bahwa pemuda tinggi besar itu seorang yang terpelajar. Yo Han segera merasa tertarik dan dia pun merasa sungkan sekali, ingat betapa dia dan Sian Li telah lancang memasuki pekarangan orang tanpa ijin. Wanita, setengah tua itu tidak bersalah, apalagi agaknya ucapan jenaka dari Sian Li tadi agaknya membuat wanita yang sedang risau dan pemarah itu salah sangka atau salah tampa.

"Kamilah yang seharusnya minta maaf sobat," kata Yo Han dengan sikap sopan. "Kami telah lancang memasuki pekarangan ini, bukan dengan niat buruk di hati, melainkan karena keinginan tahu siapa penghuni rumah di tempat yang sunyi ini. Saya bernama Yo Han dan adik ini bernama Tan Sian Li."

Pemuda tinggi besar itu menerima perkenalan dengan ramah.
"Namaku Gak Ciang Hun, dan ini adalah ibuku. Baru beberapa bulan kami memilih tempat ini sebagai tempat tinggal yang baru. Kami kira tempat ini tenteram dan penuh kedamaian, siapa kira, baru sebulan yang lalu di kaki bukit kami bertemu dengan orang-orang jahat yang mengeroyok sehingga biarpun kami berhasil mengusir mereka, aku menderita luka dan ibu menjadi pemarah, selalu mencurigai setiap orang asing."

"Apakah orang-orang jahat itu para Lama berjubah hitam, ataukah orang Nepal, atau pengemis-pengemis bertongkat hitam?" tanya Sian Li.

Gak Ciang Hun memandang kepada Sian Li dengan mata terbelalak lebar. Baru sekarang dia memandang gadis itu sepenuhnya dan diam-diam dia merasa kagum dan terpesona. Gadis ini bukan saja lincah jenaka, akan tetapi mampu menyambut dua kali pukulan ibunya, dan ternyata amat cantik jelita dan juga nampaknya cerdik bukan main.

"Nona, bagaimana Nona bisa mengetahuinya dengan tepat? Memang di antara para pengeroyok, terdapat tiga macam orang itu!"

"Tentu saja aku tahu!" kata Sian Li sambil tersenyum dan membusungkan dada yang sudah menonjol itu. "Bahkan aku tahu lebih banyak lagi! Setidaknya, aku tahu bahwa Bibi Gak ini tentu pernah mempelajari ilmu Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari keluarga pendekar Pulau Es."

Wanita itu mengeluarkan seruan kaget dan dengan gerakan cepat sekali ia telah meloncat mendekati Sian Li, sepasang matanya seperti berapi ketika ia memandang kepada gadis itu.

"Hemm, bagaimana kau tahu tentang ilmu-ilmu dari Pulau Es? Hayo cepat katakan!"

Sian Li sendiri adalah seorang gadis yang galak dan pemberani. Ia tersenyum mengejek.

"Bibi, engkau terlalu galak! Aku bukan apa-apamu, kenapa main bentak saja? Kalau seperti ini sikapmu dalam bertanya, aku pun tidak jadi menjawab. Nah, kau mau apa?"

Sebelum ibunya marah-marah, pemuda tinggi besar itu cepat menengahi dan berkata,
"Harap Nona suka memaafkan Ibuku. Seperti kukatakan tadi, Ibu menjadi pemarah karena gangguan orang-orang jahat itu. Akan tetapi, sungguh kami berdua merasa terkejut dan heran sekali mendengar Nona mengenal ilmu-ilmu dari Pulau Es. Bagaimanakah Nona dapat mengetahui bahwa Ibuku mempelajari ilmu-ilmu Pulau Es?"

Sian Li tersenyum.
"Apa sukarnya? Ibumu tadi menamparku dengan Swat-im Sin-kang, kemudian tamparan ke dua menggunakan tenaga Hui-yang Sin-kang. Setahuku, para murid pendekar Pulau Es tidaklah jahat dan galak, main bentak dan main pukul saja."

Mendengar ini, Gak Ciang Hun cepat memberi hormat.
"Kalau begitu, Nona adalah murid keluarga pendekar Pulau Es?"

"Katakan dulu, dari siapakah ibumu mempelajari ilmu Pulau Es? Baru aku akan menerangkan tentang diriku," kata Sian Li dengan sikap "jual mahal" untuk melepaskan kedongkolan hatinya karena tadi diserang dan dibentak-bentak oleh ibu pemuda itu.

"Nona Tan Sian Li, ketahuilah bahwa kami mempelajari ilmu keluarga Pulau Es dari mendiang kakek kami," jawab Ciang Hun.

"Siapa nama mendiang kakekmu itu?"

"Mendiang kakek adalah Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama)."

Kini Sian Li terbelalak.
"Aihh....? Bukankah Locianpwe itu yang bernama Gak Bun Beng?"

Ia teringat akan cerita paman kakeknya, yaitu Suma Ceng Liong yang memperkenalkan nama para pendekar yang mempunyai hubungan dengan keluarga Pulau Es dan yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.