Ads

Rabu, 30 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 049

"Cukup, berhenti!"

Sian Li merenggutkan tangannya dan sekali ini ia berhasil. Mereka berada di kaki bukit yang sunyi, dikelilingi hutan-hutan kecil dan rawa-rawa. Orang yang bercaping lebar itu sekali ini tidak mempertahankan pegangannya dan melepaskan lengan kiri Sian Li. Sian Li menghentikan langkahnya. Matahari sudah condong ke barat, senja menjelang tiba. Ia menghadapi laki-laki itu dengan alis berkerut.

"Kenapa engkau memaksaku berlari-lari, melarikan diri seperti pengecut-pengecut yang ketakutan?" dua kali Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan muka merah. "Kenapa?"

Orang itu menghela napas panjang beberapa kali, kemudian terdengar suaranya yang lembut,

"Karena aku tidak ingin melihat engkau tewas di sana."

"Akan tetapi, aku tidak takut mati!"

Sian Li berkata dan membanting kakinya dengan marah. Pendekar itu tidak menjawab, lalu melangkah pergi meninggalkan Sian Li. Gadis itu hendak marah-marah, akan tetapi ia melihat betapa pendekar itu langkahnya gontai dan agak terhuyung. Tentu saja ia menjadi heran dan mengikuti dari belakang. Orang bercaping lebar itu menuju ke sebuah guha besar yang tertutup rumpum semak-semak berduri, dan agaknya sudah biasa dia berada di situ.

Ketika dia memasuki guha, Sian Li mengikuti dan ternyata guha itu terpelihara dan bersih, merupakan ruangan yang terlindung. Begitu memasuki guha, pendekar aneh itu lalu duduk bersila, seolah tidak mempedulikan lagi kepada Sian Li.

Gadis ini tentu saja menjadi semakin marah. Orang ini biarpun pernah beberapa kali menolongnya, akan tetapi sekali ini telah bertindak keterlaluan. Sudah memaksa ia melarikan diri, sekarang malah mengacuhkannya sama sekali.

"Heiiii! Engkau ini ternyata hanyalah seorang pendekar yang mempunyai pikiran tidak senonoh!" bentaknya semakin marah.

Pendekar itu menggerakkan kepalanya yang tadi tertunduk, akan tetapi tidak langsung menghadapkan mukanya yang tertutup rambut dan tirai.

"Kenapa engkau menuduh demikian?" tanyanya, masih lembut dan penuh kesabaran.

"Buktinya, engkau hanya melarikan aku. Kalau memang hendak menolong, kenapa hanya aku yang kau tolong, dan meninggalkan Suheng di sana?"

"Dia sudah tertawan, kalau kubiarkan engkau akan tertawan pula.”

“Aku tidak takut! Suheng telah ditawan, aku pun harus menolongnya, tidak peduli aku akan tertawan pula atau mati sekalipun!"

Sejenak orang itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar suaranya lirih,
"Engkau tentu....amat sayang kepada suhengmu itu."

"Tentu saja! Dia Suhengku, kalau bukan aku yang menolongnya, lalu siapa lagi?"

"Kalau engkau tadi tewas atau tertawan, lalu bagaimana engkau akan dapat menolong suhengmu?"

Ucapan itu menyadarkan Sian Li dan ia pun termangu. Sin-ciang Tai-hiap berkata lagi,
"Mereka terlalu banyak dan juga banyak orang lihai. Karenanya terpaksa aku mengajakmu melarikan diri dari sana agar kita dapat mengatur siasat untuk dapat menolong suhengmu."

Ucapan itu tidak dilanjutkan, berhenti tiba-tiba dan pendekar itu menundukkan mukanya.

Sian Li masih curiga, apalagi melihat orang itu menghentikan ucapannya dengan tiba-tiba dan sikapnya seperti orang yang menyembunyikan sesuatu. Ia tidak mengenal siapa orang ini, tidak tahu pula bagaimana wataknya. Siapa tahu semua itu hanya siasat saja dan orang yang selalu menyembunyikan mukanya itu memang mempunyai niat yang tidak baik.

"Sudahlah, aku harus kembali ke sana sekarang juga untuk membebaskan Suheng!" katanya dan ia pun hendak meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi, pendekar bercaping itu sudah mendahuluinya bergerak dan menghadang di depannya.

"Jangan! Sekarang belum boleh."

Benar saja dugaannya. Orang ini mempunyai niat yang tidak baik, pikir Sian Li kecewa.
Sebelum ini, ia selalu mengenang Sin-ciang Tai-hiap yang pernah menolong ia dan suhengnya, membuat ia kagum dan ingin sekali bertemu. Setelah jumpa, kekagumannya menghilang karena ulah pendekar itu yang amat mencurigakan, dan kini ia malah menjadi marah sekali.

“Siapa pun tidak boleh melarang aku menolong Suhengku!" bentaknya dan ia pun maju terus dan mendorong pendekar yang menghadang itu dengan tangan kirinya.

Tangan kirinya mengenai dada orang itu dan.... pendekar itu terdorong ke belakang, terhuyung lalu roboh!

Tentu saja Sian Li merasa heran dan terkejut bukan main. Mengapa orang itu menjadi demikian lemah? Ia cepat menghampiri dan keheranannya bertambah ketika melihat bahwa orang itu telah pingsan! Wajahnya masih tertutup rambut dan tirai, akan tetapi napasnya terengah ketika ia menyentuh lengannya, terasa amat panas!






Sian Li menjadi khawatir sekali. Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang sudah mempelajari ilmu pengobatan dari Dewa Obat itu, sekali pegang nadi orang itu tahulah ia bahwa tubuh orang itu telah keracunan secara hebat! Racun yang berhawa panas, pikirnya dengan lega.

Kalau racun yang mengandung hawa panas, masih lebih mudah untuk diobati, dibandingkan racun berhawa dingin. Jelas bahwa pendekar ini keracunan dan teringatlah ia ketika Sin-ciang Tai-hiap tadi membantunya. Ia diserang jarum-jarum oleh Pek-lian Sam-li dan pendekar ini yang melompat dan meruntuhkan jarum-jarum itu dengan lengan bajunya, gerakan yang membuat ia kagum bukan main. Jangan-jangan ada jarum yang mengenai tubuh pendekar ini.

Tangannya meraba-raba dan akhirnya ia tahu bahwa memang benar racun itu berpusat di pundak kirinya. Tanpa ragu lagi Sian Li merobek baju di pundak kiri dan benar saja. Ada bintik kehijauan di situ, kecil sekali dan ia pun tahu bahwa tentu jarum itu memasuki bagian tubuh itu dan meracuni darah.

Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang pandai, Sian Li tahu apa yang harus dilakukannya.
Lebih dahulu ia menotok jalan darah di sekitar pundak untuk mencegah menjalarnya racun, kemudian dengan ujung pedangnya yang tajam ia menoreh bintik hijau itu sehingga kulit dan dagingnya terbuka dan ia mencokel keluar sebatang jarum hitam kehijauan.

Kemudian, ia menyedot luka itu dengan mulutnya, menghisap keluar darah yang keracunan, lalu menaruh obat bubuk pada luka di pundak. Setelah itu, ia mengeluarkan jarum emas dan perak yang ia dapatkan dari Yok-sian Lo-kai dan melakukan pengobatan dengan tusuk jarum di beberapa bagian tubuh untuk memunahkan sisa hawa beracun yang mengeram di tubuh Sin-ciang Tai-hiap.

Kurang lebih setengah jam ia memberi pengobatan sampai ia merasa yakin benar bahwa pendekar itu telah terbebas dari racun. Ia memulihkan jalan darah pendekar itu.
Pernapasannya mulai normal kembali dan tubuhnya tidak panas seperti tadi.

Melihat pendekar itu masih rebah telentang dalam keadaan tak sadar timbul keinginan hati Sian Li untuk melihat wajahnya. Dia masih pingsan, apa salahnya kalau ia melihat wajahnya sebentar saja? Orang ini selalu menyembunyikan muka. Kenapa? Cacadkah dia? Atau ada rahasia lain? Sekarang ia tahu bahwa tadi kecurigaannya tidak beralasan sama sekali.

Pendekar ini jauh daripada apa yang ia curigakan. Sama sekali tidak mempunyai niat buruk, apalagi tak senonoh. Pendekar tadi menderita luka beracun yang parah ketika tadi menolongnya.

Karena itulah maka pendekar itu memaksanya melarikan diri, karena kalau tidak, tentu mereka berdua sudah tertawan pula, atau terbunuh. Dan memang benar. Kalau pendekar itu tidak memaksanya melarikan diri, tentu mereka bertiga sudah tertawan dan tidak ada kesempatan sama sekali untuk menolong suhengnya. Pendekar ini benar. Ia yang terburu nafsu dan mencurigainya. Apa salahnya memandang sebentar saja wajahnya yang penuh rahasia, mengambil kesempatan selagi dia belum siuman?

Dengan jari-jari tangan gemetar karena tegang dan juga diam-diam merasa malu kepada diri sendiri bahwa ia telah mencuri dan membuka rahasia orang Sian Li menyingkap tirai di depan muka itu, lalu menyingkap rambut yang terurai awut-awutan menutupi muka.

Ia melihat sebuah wajah yang tampan. Muka itu berbentuk lonjong dengan dagu runcing dan ujung dagu berlekuk, alis yang tebal hitam dengan mata terpejam, dahinya lebar, hidung mancung dan bentuk muka yang amat dikenalnya. Ia terbelalak, tak bergerak seperti patung, lalu bibirnya berbisik berulang-ulang, seolah tidak percaya kepada pandang matanya sendiri.

"Yo Han....? Suheng.... Kakak Yo Han.?"

Akan tetapi, ia membantah sendiri. Tidak mungkin ini suhengnya yang selama bertahun-tahun dirindukannya itu. Suhengnya itu selamanya tidak pernah suka berlatih silat. Suhengnya itu amat baik kepadanya, seperti kakak kandungnya sendiri, akan tetapi sama sekali tidak pandai silat walaupun ayah ibunya berusaha untuk menggemblengnya. Dan pendekar ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi.

Akan tetapi wajah ini....! Bagaimana mungkin ia bisa salah? Wajah ini hampir tidak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Biarpun kini telah menjadi seorang laki-laki dewasa, namun bentuk muka itu tidak berubah. Dahi itu, hidung, mulut dan dagu itu! Ah, ia teringat akan sesuatu.

Pernah ketika suhengnya ini mandi di sungai kecil dan bertelanjang tubuh bagian atas, ia melihat sebuah tahi lalat sebesar kedele di dada suhengnya itu, tepat di tengah ulu hatinya. Semenjak itu, sering kali ia menggoda dan memperolok suhengnya dengan tahi lalat itu. Dengan jari tangan menggigil Sian Li membuka kancing baju pendekar itu untuk melihat dadanya. Ia membuka baju itu dan.... di sanalah, tepat di tengah ulu hati, bertengger tahi lalat itu.

"Kakak Yo Han....!" Kini ia tidak ragu lagi dan ia merangkul, menangis!

Pendekar itu membuka mata dan melihat Sian Li menangis di atas dadanya, ia mendorongnya dengan halus dan bangkit duduk.

"Nona.... kau...."

Akan tetapi dia tidak melanjutkan ucapannya karena Sian Li sudah memandangnya dengan mata yang berlinangan air mata, akan tetapi mulut gadis itu tersenyum, sinar matanya penuh kebahagiaan.

"Han-suheng (Kakak Seperguruan Han), Han-koko (Kakanda Han), kenapa engkau bersikap begini terhadap aku? Benarkah engkau tidak mengenal aku lagi? Aku Sian Li, Tan Sian Li.!"

Akan tetapi Yo Han, yang selama beberapa tahun ini berkeliaran di perbatasan Tibet dan dijuluki Sin-ciang Tai-hiap oleh mereka yang pernah ditolongnya, tidak merasa heran. Tentu saja dia sudah tahu atau dapat menduga siapa adanya gadis remaja berpakaian serba merah itu.

"Sian Li.... Sumoi...."

Katanya dan sinar matanya mengandung kasih sayang sedemikian mendalam sehingga Sian Li teringat akan masa lalu, ketika ia merasakan benar kasih sayang suhengnya ini kepadanya.

"Suheng....!"

Dan lupa akan segala, lupa bahwa ia bukan lagi kanak-kanak, ia menubruk dan merangkul Yo Han, menangis di dalam rangkulan pendekar itu! Yo Han membiarkan saja dan mengelus rambut yang halus itu, maklum bahwa di saat seperti itu, semua peraturan telah terlupakan, yang ada hanya peluapan perasaan. Pada saat itu, dia tahu bahwa perasaan gembira, terharu dan bahagia meluap di hati Sian Li. Dia sendiri pun merasa terharu dan tak terasa kedua matanya menjadi basah. Betapa sering dia membayangkan dan mengenang Sian Li, dengan hati penuh kerinduan. Hampir dia tidak dapat percaya akan tiba saat seperti sekarang ini, di mana dia merangkul Sian Li yang menangis di dadanya.

Setelah gejolak perasaan itu mereda, Yo Han mendorong kedua pundak gadis itu dengan lembut, bahkan memegang kedua pundak itu dan mengamati wajahnya sambil tersenyum.

Sepasang matanya mencorong sehingga diam-diam Sian Li terkejut dan kagum. Kalau ada perubahan pada diri suhengnya ini, barangkali hanya pada sinar matanya itulah. Ia pun membalas, mengamati wajah Yo Han.

"Aihh, adikku yang dulu begitu Bengal, tabah, keras hati dan pemberani, kenapa sekarang telah berubah menjadi seorang gadis yang cantik dan cengeng?"

Seketika sinar mata itu bernyala.
"Aku tidak cengeng! Aku menangis karena haru dan bahagia! Aih, Han-ko, selama ini engkau ke mana sajakah? Dan kenapa pula engkau tega meninggalkan aku sampai bertahun-tahun? Bagaimana pula engkau tahu-tahu telah menjadi seorang pendekar sakti dan berjuluk Sin-ciang Tai-hiap? Kenapa pula engkau selalu menyembunyikan muka dan tidak ingin dikenal orang? Apa pula yang menyebabkan engkau menjadi seorang petualang di daerah ini dan kenapa tidak kembali kepada kami?"

Diberondong pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Yo Han tersenyum dan memandang wajah Sian Li penuh kasih sayang. Sian Li masih cerewet, masih lucu seperti dulu!

"Panjang ceritanya, Li-moi. Akan tetapi.... apakah engkau sudah melupakan suhengmu yang ditawan oleh gerombolan Lama Jubah Hitam?"

Sian Li seperti baru teringat kepada Sian Lun.
"Ah, engkau benar juga, Hanko. Kita harus cepat menolong dan membebaskannya, sekarang juga!"

Yo Han mengangguk dan diam-diam hatinya merasa girang. Adik seperguruan yang sejak kecil sudah dianggap seperti adiknya sendiri dan yang amat disayangnya ini ternyata merupakan seorang gadis gagah perkasa yang bertanggung jawab dan juga setia.

"Tidak akan ada gunanya kalau kita menyerbu ke sana sekarang. Malam hampir tiba dan selain di sana banyak terdapat orang lihai, juga penjagaan amat kuat dan dipasangi banyak jebakan berbahaya. Kita memang harus membebaskannya, akan tetapi tidak sekarang. Besok pagi aku akan berkunjung ke sana dan minta kepada Dobhin Lama, Ketua Lama Jubah Hitam, agar suhengmu dibebaskan.”

"Tapi.... kenapa harus menanti sampai besok? Bagaimana kalau kita telambat dan terjadi apa-apa dengan Suheng? Mungkin saja dia dibunuh!"

"Jangan khawatir, Li-moi. Aku sudah tahu akan sepak terjang gerombolan Lama Jubah Hitam. Mereka tidak memusuhi para pendekar, bahkan ingin merangkul dan mengajak para pendekar bersekutu. Mereka membutuhkan kerja sama dan bantuan orang-orang pandai dalam usaha mereka merebut tahta kekuasaan di Tibet. Perjuangan melawan pemerintah Mancu hanya sebagai sarana untuk memperoleh dukungan para pendekar saja. Pada hakekatnya, yang terpenting bagi mereka adalah menguasai Tibet seperti juga orang-orang Nepal itu bercita-cita untuk merampas kekuasaan di Nepal dan mereka mencari sekutu agar kelak dapat membantu mereka. Jangan khawatir, suhengmu tidak akan dibunuh, mungkin bahkan dibujuk untuk bakerja sama dengan mereka."

Legalah rasa hati Sian Li. Ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han, bukan hanya percaya karena Yo Han adalah suhengnya yang sejak dahulu paling disayangnya dan dipercayainya, akan tetapi juga karena ia ingat bahwa sudah lama Yo Han bertualang di daerah ini dan tentu mengenal benar keadaannya sehingga keterangannya tadi pasti benar.

"Baiklah kalau begitu, aku menyerahkan kepadamu agar Suheng dapat bebas dari tangan mereka. Sekarang, harap kau ceritakan semua pengalamanmu sejak kita saling berpisah, Han-ko."

Yo Han merasa girang bahwa Sian Li menyebut dia koko (kakak), bukan suheng (kakak seperguruan) karena bagaimanapun juga dia tidak pernah dengan sungguh-sunggguh belajar silat dari ayah ibu Sian Li.

"Memang sebaiknya malam ini kita lewatkan dengan saling menceritakan pengalaman, Li-moi. Akan tetapi aku ingin tahu lebih dulu, bagaimana engkau dapat mengobati luka beracun di pundakku. Kurasakan racun itu cukup berbahaya dan kalau harus menggunakan kekuatan sendiri untuk mengusirnya dan menyembuhkan luka beracun itu, tentu akan menggunakan waktu sedikitnya sepuluh hari. Akan tetapi sekarang aku telah sembuh sama sekali! Bagaimana engkau dapat memiliki kepandaian pengobatan yang begini hebat?"

Biasanya, Sian Li tidak haus pujian, bahkan ia akan menganggap seorang pria merayu kalau memujinya. Akan tetapi entah bagaimana sekali ini menerima pujian dari Yo Han, ia merasa amat girang dan bangga.

"Aku mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai," katanya sederhana untuk menyembunyikan rasa bangga dan senangnya.

"Ah, begitukah? Pantas saja kalau begitu. Aku sudah mendengar nama besar Dewa Obat itu. Dan kulihat ilmu silatmu juga hebat, agaknya engkau telah menguasai benar Pek-ho Sin-kun dari Suhu, akan tetapi aku melihat gerakan lain yang bukan dari ayah ibumu."

Sian Li mengangkat telunjuk kanan dan mengamangkannya kepada Yo Han.
"Nah, nah kau mau mengakali aku, ya? Engkau belum menceritakan sedikit juga tentang pengalamanmu dan engkau sudah memancing-mancing agar aku menceritakan segala tentang diriku."

Yo Han tertawa. Sudah lama dia tidak pernah merasakan kegembiraan hati seperti saat itu. Dan dia bersyukur kepada Tuhan bahwa dia dipertemukan dengan Sian Li di tempat yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini dan melihat Sian Li telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, manis budi dan gagah perkasa. Yo Han menceritakan pengalamannya dengan singkat saja.

"Setelah aku meninggalkan tempat tinggal orang tuamu di Ta-tung...."

"Nanti dulu, ceritakan dulu kenapa engkau meninggalkan aku, meninggalkan kami dan sampai selama ini tidak pernah kembali, Han-ko!"

Yo Han menatap wajah gadis itu dan menarik napas panjang. Sekali lagi dia harus menghadapi suatu kenyataan dalam hidup ini, bahwa biarpun membohong adalah perbuatan tidak baik, namun ada waktunya perlu sekali orang membohong! Membohong bukan dalam arti menipu demi keuntungan pribadi, melainkan membohong agar jangan sampai menyinggung atau menyakiti perasaan orang yang dibohonginya!

Kalau sekarang dia berterus terang bahwa dia meninggalkan keluarga gadis itu karena mendengar ayah ibu gadis itu menyatakan keinginan hati agar Sian Li jauh darinya, tentu cerita ini akan mengguncang perasaan Sian Li dan bukan hanya menyinggung, namun menyakitkan dan membingungkan. Maka, dia harus berbohong!

"Lupakah engkau, Li-moi? Aku menggantikanmu menjadi tawanan Ang I Moli. Aku sudah berjanji kepadanya bahwa kalau ia mengembalikan engkau kepada orang tuamu, aku akan menggantikanmu menjadi muridnya."

Lega rasa hati Yo Han setelah dia mulai memberi keterangan. Bagaimanapun juga, dia tidaklah berbohong, hanya tidak berterus terang menceritakan keadaan selengkapnya.
Tentu saja Sian Li masih ingat akan semua itu. Bahkan dahulu ketika Yo Han pergi, hampir setiap hari ia menangis dan menanyakannya, dan ia pun teringat akan pembelaan Yo Han kepadanya terhadap Ang I Moli.

"Han-ko, jadi engkau telah menjadi murid iblis betina itu?"

"Tidak, Li-moi. Ia jahat bukan main, jahat dan kejam. Aku tidak suka menjadi muridnya. Aku berhasil lolos darinya dan aku mendapatkan seorang guru di tempat rahasia. Guruku itu kini telah tiada, dan aku merantau ke sini adalah untuk memenuhi pesan terakhir guruku."

"Mencari mutiara hitam itu?"

"Benar, Li-moi. Benda mustika itu dahulu milik guruku yang hilang dicuri orang. Aku hanya ingin merampasnya kembali untuk memenuhi pesan mendiang Suhu."

"Dan engkau malang melintang di daerah barat ini sebagai Sin-ciang Taihiap?”

Yo-Han menarik napas panjang. Selama bertahun-tahun dia berhasil menyimpan rahasia dirinya, akan tetapi, sekali ini rahasianya terbuka, bukan oleh orang lain, bahkan oleh Sian Li!

"Ternyata tidak mudah mencari mutiara hitam seperti yang menjadi pesan terakhir Suhu," dia bercerita. "Suhu hanya mengatakan bahwa benda pusaka itu berada di daerah barat ini. Sampai hampir lima tahun aku berkeliaran di sini, bahkan sudah menjelajah sampai ke daerah Tibet, namun belum berhasil. Dalam penjelajahan itulah aku bertemu dengan hal-hal yang menggerakkan hatiku untuk turun tangan menentang kejahatan. Aku tidak ingin dikenal orang, maka aku selalu menyembunyikan mukaku dan tidak memperkenalkan diri. Orang-orang memberi julukan Sin-ciang Tai-hiap. Aku membiarkan saja dan tidak ada seorang pun tahu bahwa akulah Sin-ciang Tai-hiap. Baru hari ini ada yang tahu, yaitu engkau Li-moi."

Sian Li tertawa dan suasana menjadl akrab sekali ketika dara itu tertawa. Yo Han teringat akan masa lalu. Suara tawa Sian Li seperti bunyi musik merdu yang mendatangkan perasaan bahagia dalam hatinya. Seperti tetesan air hujan pada hatinya yang selama ini seperti tanah kering. Terasa demikian sejuk dan segar dan dia pun tak dapat menahan timbulnya senyum lebar penuh kebahagiaan yang membuat wajahnya berseri.

"Hi-hi-hik, heh-heh, engkau ini sungguh aneh dan lucu, Han-ko. Engkau ingin menyembunyikan diri, tidak ingin dikenal orang, ataukah engkau bahkan ingin mempopulerkan julukanmu atau penyamaranmu itu? Dengan penyamaranmu itu, maka semakin terkenallah Sin-ciang Tai-hiap sebagai seorang pendekar yang rambutnya riap-riapan, bercaping yang ditutupi tirai! Sebaliknya, kalau engkau tidak menyamar lagi, tidak menyembunyikan diri, siapa yang akan tahu bahwa engkau adalah Sin-ciang Tai-hiap? Kenapa mesti menyamar lagi, Han-ko?"

Yo Han mengangguk-angguk.
"Engkau benar, Li-moi. Aku sudah begitu khawatir untuk dikenal orang maka aku bahkan membuat Sin-ciang Tai-hiap semakin terkenal karena dipenuhi rahasia. Mulai sekarang aku akan menanggalkan penyamaran sebagai Sin-ciang Tai-hiap, dan aku akan menjadi Yo Han biasa saja.”

Setelah berkata demikian, Yo Han yang sudah menanggalkan capingnya itu lalu menggelung rambutnya, tidak lagi dibiarkan riap-riapan. Dia menggelung rambut, tidak dikuncirnya karena dia tidak senang harus mentaati peraturan pemerintah Mancu agar semua orang Han menguncir rambutnya. Peraturan itu dianggapnya menghina.

"Tapi jangan dibuang caping itu, Han-ko. Pertama, benda itu memang berguna untuk melindungi kepalamu dari panas dan hujan, dan ke dua, siapa tahu kadang-kadang kau perlukan juga tokoh Sin-ciang Tai-hiap itu."

"Li-moi, sudah cukup aku menceritakan pengalamanku, sekarang kaulah yang harus menceritakan padaku keadaanmu. Semenjak kita saling berpisah. Engkau kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita, lincah dan juga lihai ilmu silatnya. Tentu sekarang usiamu sudah dewasa, Li-moi."

"Ketika engkau pergi, usiaku empat tahun, Han-ko. Kita saling berpisah selama tiga belas tahun lebih, Jadi usiaku sekarang hampir delapan belas tahun. Aku belajar ilmu silat dari Ayah dan Ibu, kemudian aku menerima gemblengan dari Paman Kakek Suma Ceng Liong dan isterinya di dusun Hong-cun dekat kota Cin-an. Di sana aku bertemu dengan Suheng Liem Sian Lun, murid mereka. Selain itu, juga aku belajar ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai."

"Wah, engkau beruntung sekali, Limoi, mendapat ilmu-ilmu dari banyak orang sakti. Akan tetapi bagaimana engkau dan suhengmu itu dapat berada di sini, amat jauh dari tempat tinggal orang tuamu?"

"Aku dan Suheng Sian Lun sedang dalam perjalanan pulang. Kami baru saja berkunjung ke Bhutan, Han-ko."

"Bhutan? Kenapa pergi ke tempat yang demikian jauh?"

Sian Li lalu bercerita tentang Gangga Dewi dan paman kakeknya Suma Ciang Bun, tentang perjalanan mereka yang jauh, juga tentang pengalamannya ketika bertemu dan bertentangan dengan Lulung Lama dan sekutunya.

Dua orang muda yang merasa amat berbahagia dalam pertemuan yang sama sekali tak pernah mereka sangka-sangka itu, bercakap-cakap sampai larut tengah malam. Mereka makan malam secara amat sederhana sekali, dari persediaan makanan yang disimpan Yo Han di dalam guha. Mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing, menjawab semua pertanyaan.

Setelah lewat tengah malam, barulah mereka istirahat dan tidur saling mengetahui hampir semua keadaan diri masing-masing. Hanya ada sebuah hal yang masih membuat Yo Han sangsi dan ragu, yaitu tentang hubungan batin antara Sian Li dan suhengnya.

Mereka adalah kakak beradik seperguruan, akan tetapi apakah tidak lebih daripada itu? Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis tidak ada hubungan darah, dan keduanya tampan dan cantik, melakukan perjalanan berdua saja. Tidak aneh kalau mereka itu saling mencinta, bahkan agaknya tidak wajar kalau tidak ada perasaan cinta di antara mereka.

Yo Han tidak berani bertanya akan hal itu, akan tetapi dia menduga bahwa Sian Li agaknya amat mencinta suhengnya itu. Dan dia pun tidak akan merasa heran, suheng Sian Li itu memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, sudah sepatutnya kalau menjadi jodoh Sian Li. Hanya, dia merasa heran dan tidak enak mengapa hatinya menjadi pedih membayangkan kakak beradik seperguruan itu saling mencinta dan menjadi jodoh.

Bahkan bayangan ini menghantuinya, membuat dia gelisah dan tidak dapat pulas. Baru setelah jauh lewat tengah malam, dia dapat mengusir gangguan itu dan tidur pulas.

Pada keesokan harinya, Yo Han menunjukkan kepada Sian Li anak sungai berair jernih yang mengalir tak jauh dari guha itu, dimana dara itu dapat membersihkan diri. Mereka mandi bergantian dan dengan badan segar mereka sarapan pagi seadanya, hanya roti kering dan daging kering yang dihangatkan di atas api ungun, kemudian mereka meninggalkan guha.