Ads

Rabu, 30 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 046

Dengan emas yang ada pada Sian Li, mudah saja mereka membeli dua ekor kuda yang baik dengan harga mahal, kemudian mereka pun sudah meninggalkan dusun itu, menunggang kuda menuju ke tepi Sungai Yalu-cangpo. Peta perjalanan itu pun berada di dalam buntalan Sian Li sehingga kini mereka mendapatkan petunjuk lagi.

Perjalanan mereka ke tepi sungai itu tidak mendapat gangguan dan dari seorang nelayan mereka bahkan mendapat petunjuk baru bahwa daripada naik perahu, lebih cepat kalau mereka menunggang kuda saja, melalui jalan setapak menyusuri tepi sungai.

Mereka menurut petunjuk ini memang benar, jalan setapak itu cukup baik untuk dilalui kuda mereka dan perjalanan dapat di lakukan lebih cepat. Ketika mereka melewati dusun yang cukup ramai, Sian Li membelikan pakaian pengganti untuk suhengnya. Kini mereka melakukan perjalanan berkuda dengan perbekalan yang lengkap pula.

Untuk memberi kesempatan kepada kuda mereka beristirahat. Sian Li dan Sian Lun berhenti mengaso di tepi sungai yang ditumbuhi banyak rumput gemuk. Mereka membiarkan kuda mereka makan rumput dan beristirahat, dan mereka pun membuka buntalan perbekalan makanan dan air bersih. Sambil makan, mereka bercakap-cakap, membicarakan pengalaman mereka.

"Suheng, ingatkah Sugeng ketika Badhu dan Sagha bersama tiga orang Lama Jubah Hitam itu menyerang kita di rumah penginapan itu?"

"Ya, kenapa?"

"Ketika mereka mengeroyok kita, tiba-tiba mereka melepaskan senjata dan mereka melarikan diri secara aneh karena kita tidak melukai mereka."

"Hemm, dan engkau mengatakan bahwa mungkin ada dewa yang menolong kita?"

"Sekarang aku tahu siapa dewa yang menolong kita itu!"

"Eh, benarkah? Siapa dia?"

"Tentu orang bercaping itu juga!"

Sian Lun menatap wajah sumoinya, lulu mengangguk-angguk.
"Mungkin sekali dugaanmu itu benar, Sumoi, akan tetapi tidak ada artinya karena kita pun belum tahu siapa orang bercaping itu."

Sian Li menghela napas panjang.
"Suheng, kalau sampai aku tidak dapat mengetahui siapa adanya orang itu, tentu akan selalu ada penyesalan dan ganjalan dalam hatiku."

Setelah kuda mereka makan kenyang dan nampak segar kembali, mereka melanjutkan perjalanan karena menurut petunjuk dalam peta yang dibuat oleh ahli di Bhutan, tidak jauh di sebelah depan terdapat sebuah dusun besar, tepat di belokan Sungai Yalu-cangpo yang menikung ke selatan. Dari situ, mereka akan menyeberang dan meninggalkan lembah sungai itu, melanjutkan perjalanan ke timur.

Dua orang kakak beradik seperguruan itu memasuki dusun Cam-kong di tepi Sungai Yalu-cangpo yang berbelok ke selatan. Sebuah dusun yang ramai karena dari sinilah para pedagang yang hendak membawa barang dagangan ke selatan berkumpul dan mengirim barang mereka dengan perahu. Sedangkan para pedagang yang membawa dagangan ke timur, dan datang dari barat, membongkar barang yang mereka bawa dengan perahu di dusun ini untuk kemudian melanjutkan perjalanan rombongan mereka ke timur melalui daratan.

Karena menjadi pusat persaingan para pedagang, maka dusun itu menjadi makmur dan ramai. Dengan mudah Sian Li dan Sian Lun mendapatkan dua buah kamar di rumah penginapan yang juga membuka rumah makan di samping rumah penginapan. Hiruk pikuk suara orang yang tiada hentinya memuat dan membongkar barang di dusun pelabuhan itu.

Ketika mereka memasuki rumah penginapan, mengikuti seorang pelayan yang menunjukkan dua buah kamar untuk mereka, kakak beradik itu melewati sebuah ruangan duduk di mana berkumpul tujuh orang yang melihat pakaiannya tentulah pedagang-pedagang berbangsa Han. Mereka bercakap-cakap dengan santai dan mendengar logat bicara mereka, Sian Lun dan Sian Li segera tertarik sekali karena logat Shantung, seperti logat orang-orang di tempat tinggal Kakek Suma Ceng Liong yang sudah biasa mereka dengar.

Kiranya mereka adalah pedagang-pedagang dari bagian timur sekali, dan mereka merasa seperti bertemu dengan saudara-saudara dari kampung halaman sendiri! Memang demikianlah perasaan hati hampir setiap orang yang berada di rantau. Kalau kita berada di rantau orang, jauh dari kampung halaman, apalagi kalau sedang merindukan kampung halaman, mendengar logat bicara orang sekampung rasanya seperti bertemu dengan saudara sendiri dan segera timbul keakraban dalam hati. Dahulu kalau berada di kampung halaman sendiri, logat itu sama sekali tidak mendatangkan kesan apapun.

Kebetulan mereka mendapatkan dua buah kamar yang tidak berjauhan dari ruangan duduk itu, maka setelah memasuki kamar masing-masing, dengan pendengaran mereka yang tajam terlatih, masih dapat menangkap percakapan tujuh orang Shantung itu. Mereka segera menaruh perhatian karena mereka membicarakan soal keamanan daerah itu dan perjalanan dari tempat itu ke timur, perjalanan yang akan mereka tempuh.

Mereka menceritakan pengalaman masing-masing dan menyebut-nyebut tentang adanya seorang pendekar yang mereka namakan Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Besar Tangan Sakti).

"Kalau tidak ada pendekar itu, mungkin hari ini aku tidak dapat bertemu dengan kalian di sini," terdengar seorang di antara mereka bercerita. “Terjadinya kurang lebih sebulan yang lalu. Perampok-perampok itu sungguh tidak mengenal peraturan umum. Rombongan kami sudah bersedia untuk memberi sumbangan yang cukup memadai. Akan tetapi mereka menginginkan yang bukan-bukan, bahkan hendak menculik puteri pedagang dari selatan itu. Tentu saja kami keberatan, apalagi ketika mereka hendak mengambil semua gulungan sutera paling halus dan paling mahal. Bisa bangkrut kami kalau menuruti kehendak mereka. Dan mereka menjadi marah, lalu mengatakan mereka akan merampas semua barang, menculik gadis itu, dan membunuh kami semua!"






"Hemm, memang sekarang mulai tidak aman. Banyak gerombolan pengacau dari berbagai aliran, ada perampok, ada bajak sungai, bahkan ada pula gerombolan pemberontak dan ada katanya pasukan keamanan sendiri malah merampok dan mengganggu kami," kata orang ke dua.

"Acun, lanjutkan ceritamu tadi. Setelah rombongan diancam, lalu bagaimana?" kata yang lain.

Orang pertama yang bernama Acun melanjutkan.
"Tentu saja kami tidak menyerah begitu saja. Tidak percuma aku pernah belajar ilmu silat di kampung, dan di antara para anggauta rombongan kami terdapat beberapa orang yang cukup jagoan. Akan tetapi, ternyata kepala perampok itu lihai sekali. Aku sendiri belum terluka, akan tetapi kawan-kawanku sudah roboh. Pada saat kepala perampok merobohkan aku dengan tendangan dan goloknya menyambar ke arah leherku muncullah Pendekar Besar Tangan Sakti itu! Hem, dia bagaikan seorang malaikat yang turun dari langit!"

"Acun, ceritakan, bagaimana sepak terjangnya?"

Yang lain-lain juga mendesak Acun untuk melanjutkan ceritanya. Bahkan Sian Li dan Sian Lun di kamar masing-masing ikut mendengarkan penuh perhatian.

"Kemunculannya mentakjubkan. Sudah lama aku mendengar tentang sepak terjangnya, akan tetapi baru sekali itu aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bagaikan halilintar menyambar, dia nampak sebagai bayangan yang menyambar turun dan golok di tangan kepala perampok yang lihai itu terlempar dan tubuh kepala perampok itu terlempar sampai terguling-guling. Kemudian, bagaikan kilat, bayangan itu meluncur ke sana-sini dan semua senjata para perampok yang jumlahnya belasan orang itu terlempar dan mereka pun satu demi satu terjengkang dan terbanting roboh."

"Mampus perampok-perampok itu!" seru seorang pendengar.

"Mampus apa? Tidaklah engkau pernah mendengar bahwa Sin-ciang Tai-hiap itu tidak pernah melukai orang, apalagi membunuh? Perampok itu tidak ada yang terluka, hanya terkejut dan ketakutan saja. Memang sayang, kalau aku yang menjadi pendekar memiliki kesaktian seperti itu, sudah kusikat habis para penjahat itu, kubasmi dan kutumpas mereka!" kata Acun.

"Kenapa sih memotong-motong cerita itu, Acun, lanjutkan. Apa yang dilakukan pendekar sakti yang aneh itu?" tanya seorang.

"Dan bagaimana macamnya? Sudah tua ataukah masih muda?" tanya orang ke dua.

"Seperti biasa yang kita pernah dengar, dia menghilang begitu saja dan hanya suaranya terdengar dari dalam pohon yang lebat. Dia memberi peringatan dan nasehat kepada para perampok, menyadarkan mereka dengan kata-kata lembut. Dan tidak seorang pun di antara kami dapat melihat wajahnya. Gerakannya demikian cepat dan wajahnya terlindung caping lebar itu."

Mendengar ini, Sian Li dan Sian Lun tidak dapat menahan diri lagi. Mereka tertarik karena maklum bahwa yang dimaksudkan Acun itu tentulah pendekar yang menjadi penolong mereka. Keduanya keluar dari dalam kamar, saling pandang lalu menghampiri tujuh orang pedagang itu.

Para pedagang itu tentu saja memandang mereka dengan heran, juga kagum melihat pemuda tampan dan gadis cantik yang menghampiri mereka itu. Sian Li cepat mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata,

"Harap Cuwi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami. Kami mendengar cerita Cuwi dan kami tertarik sekali karena kami pun mendapat pertolongan dari seorang pendekar bercaping yang tidak memperkenalkan dirinya kepada kami."

Mendengar logat bicara Sian Li, tujuh orang itu cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan Sian Li dan Sian Lun.

"Aih, agaknya Kongcu dan Siocia datang dari daerah Shantung seperti kami?"

Karena datang dari satu propinsi, walaupun tempat tinggal mereka terpisah jauh, mereka segera menjadi akrab.

"Paman tadi bercerita bahwa pendekar itu bercaping?" tanya Sian Li.

Acun yang merasa girang mendapat pendengar seorang dara demikian cantiknya, dengan bersemangat menjawab.

"Ketika menolong kami, kami hanya melihat bayangannya berkelebatan dan dia mengenakan sebuah caping lebar yang menyembunyikan mukanya."

"Bagaimana bentuk badannya, Paman Acun?" tanya pula Sian Li dan orang itu semakin gembira disebut paman Acun secara demikian akrabnya.

"Tubuhnya sedang dan tegap, gerakannya halus namun cepat bukan main, dan dia tidak bersenjata, akan tetapi belasan batang golok itu runtuh dengan sendirinya. Dia seperti bukan manusia!" kata Acun.

"Pengalamanku dengan pendekar itu pun tidak kalah hebatnya!" terdengar seorang yang gendut berkata.

"Aku pun mempunyai pengalaman dengan pendekar Sin-ciang Tai-hiap itu!" kata pula orang ke tiga.

Wanita memang sejak jaman dahulu sampai sekarang, mempunyai wibawa yang luar biasa terhadap para pria. Sekumpulan pria, baik mereka itu sudah tua maupun masih remaja, selalu akan berubah sikap mereka apabila kedatangan seorang wanita, apalagi yang muda dan cantik jelita seperti Sian Li. Amat menarik kalau memperhatikan sekelompok pria yang tadinya bercakap-cakap, lalu muncul wanita di antara mereka.

Mereka itu berubah sama sekali. Gerak geriknya, wajahnya, lirikan matanya, senyumnya, bahkan suaranya! Mungkin yang bersangkutan sendiri tidak merasakan hal ini, akan tetapi kalau kita memperhatikan, kita akan dapat melihat perubahan itu dengan jelas sekali. Mengingatkan kita kepada ayam-ayam jantan kalau bertemu ayam betina. Ada saja ulahnya untuk menarik perhatian dan berlagak!

Lucu, menarik dan mengharukan mengenal diri kita sebagai pria ini, betapa pria menjadi lemah kalau sudah berhadapan dengan wanita. Perbedaan dalam tingkah laku mungkin hanya tergantung dari watak masing-masing saja, ada yang nampak sekali, ada yang muncul lagak yang kurang ajar, ada yang pendiam. Namun perubahan itu pasti ada, bahkan yang nampak acuh pun dibuat-buat dan tidak wajar.

Bermacam-macam pengalaman mereka akan tetapi pada dasarnya, mengenai Sin-ciang Tai-hiap, mereka mempunyai pengalaman yang sama. Pendekar itu sama sekali tidak pernah dapat dikenal wajahnya, kalau turun tangan menolong orang dan menghadapi penjahat, dia bertindak cepat sekali tanpa memperlihatkan wajah, apalagi memperkenalkan nama. Wajahnya kadang ditutup caping lebar, kadang juga tidak. Dan yang aneh sekali, tidak pernah dia membunuh penjahat, bahkan melukai parahpun tidak pernah. Semua penjahat diampuninya, diberi nasihat.

"Bagaimana mungkin dia akan berhasil," kata Sian Lun. "Penjahat harus dihadapi dengan kekerasan! Kalau hanya diampuni dan diberi nasihat, bagaimana mereka akan dapat sadar dan menjadi baik?"

"Belum tentu, Kongcu!" kata seorang di antara mereka, seorang pria tinggi kurus yang berusia enam puluh tahun. "Biar dihadapi dengan kekerasan sekalipun, dihukum berat, belum tentu juga penjahat akan menjadi baik! Dan buktinya, menurut kabar dan ada pula kusaksikan sendiri, banyak penjahat menjadi baik dan sembuh dari penyakitnya yang membuat dia jahat setelah dia bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap dan mendapat nasihat dari pendekar aneh itu."

"Paman Liok, ceritakan pengalamanmu itu!" seorang di antara mereka berseru.

"Benar, Paman. Ceritakanlah, aku ingin sekali mendengarnya," kata pula Sian Li.

Tanpa diminta oleh gadis itu pun, dengan penuh gairah Kakek Liok memang ingin sekali bercerita agar dia menjadi pusat perhatian.

"Di perbatasan Secuan ada seorang penjahat besar yang biasa melakukan kejahatan apapun tanpa mengenal takut. Dia mempunyai belasan orang anak buah. Aku sudah mendengar tentang kejahatan penjahat berjuluk Pek-mau-kwi (Iblis Rambut Putih) itu, yang usianya baru empat puluh tahun akan tetapi rambutnya sudah putih semua, maka ketika aku melakukan perjalanan lewat daerah itu, aku memperkuat rombonganku dengan sepasukan piauw-su (pengawal) bangsa Miao yang terkenal gagah, berjumlah dua puluh orang. Akan tetapi, tetap saja di tengah jalan kami dihadang oleh gerombolan perampok yang dipimpin Pek-mau-kwi itu! Seperti biasa kalau bertemu dengan gerombolan perampok, kami juga sudah menawarkan sumbangan atau yang biasa disebut pajak jalan.

Akan tetapi, berapa pun yang kami tawarkan, Pek-mau-kwi tidak mau menerimanya dan menghendaki kami menyerahkan setengah dari semua barang bawaan kami. Terjadilah pertempuran dan biarpun jumlah kami lebih banyak, tetap saja kami kewalahan. Agaknya kami tentu akan menjadi korban dan terbunuh semua kalau tidak muncul Sin-ciang Tai-hiap!"

"Dia juga bercaping, Paman?" tanya Sian Li, membayangkan orang bercaping yang pernah menolong ia dan suhengnya.

"Pendekar itu tidak bercaping, akan tetapi karena gerakannya cepat sekali dan rambutnya panjang riap-riapan menutupi mukanya, kami pun tidak mungkin dapat mengenali mukanya. Dia berkelebatan merobohkan semua perampok, bahkan ketika dia meloncat pergi, dia mengempit tubuh Pek-mau-kwi dan membawanya lenyap! Semua anak buah perampok lari ketakutan dan kami pun selamat."

"Lalu bagaimana dengan Pek-mau-kwi itu dan bagaimana Paman tahu bahwa nasihat dari pendekar itu berhasil?" tanya Sian Lun, tertarik sekali.

"Tidak ada yang tahu bagaimana nasib Pek-mau-kwi. Akan tetapi ketika beberapa bulan kemudian aku lewat di daerah itu, aku mendengar bahwa Pek-mau-kwi sudah cuci tangan, tidak lagi menjadi perampok, melainkan sekarang membuka perguruan silat dan hidup dari hasil pembayaran para muridnya. Aku mendengar bahwa dia menjadi orang baik dan tidak pernah lagi melakukan kejahatan. Bukankah itu hasil nasihat dari pendekar sakti itu?"

"Dan bagaimana pengalamannya dengan pendekar itu?" tanya Sian Li.

"Kabarnya, dia tidak pernah mau menceritakan kepada siapapun juga. Entah apa yang terjadi ketika dia ditangkap dan dilarikan Sin-ciang Tai-hiap."

Sian Li dan Sian Lun merasa semakin tertarik, apalagi karena mereka sendiri berhutang budi, bahkan nyawa kepada pendekar itu.

"Apakah di antara Cuwi (Anda Sekalian) ada yang mengetahui siapakah nama Sin-ciang Tai-hiap itu?"

Semua orang yang berada di situ menggeleng kepala. Tidak pernah ada yang mendengar siapa nama pendekar aneh itu. Jangankan namanya, wajahnya pun belum pernah dikenal orang karena sepak terjangnya cepat dan penuh rahasia. Menurut cerita para pedagang yang sudah bertahun-tahun menjelajahi daerah itu untuk berdagang, nama Sin-ciang Tai-hiap baru muncul sekitar tiga empat tahun yang lalu. Sebelum itu, tidak pernah ada orang mengenal nama julukan ini yang timbulnya juga di daerah itu, nama julukan yang diberikan oleh para pedagang yang pernah mendapatkan pertolongannya. Sebelum empat tahun yang lalu, baik di daerah barat ini maupun di timur, orang tidak pernah mendengar namanya.

Setelah mendengarkan semua cerita yang kadang seperti dongeng saja dari para pedagang itu tentang Sin-ciang Tai-hiap, yang ia tahu tentu dibumbui dan dilebih-lebihkan. Sian Li ingin mendengar dari mereka tentang orang-orang yang selama ini pernah ditentangnya.

"Apakah Cuwi (Anda Sekalian) dapat menceritakan tentang perkumpulan Hek I Lama?"

Tujuh orang pedagang itu serentak berdiam diri seperti jangkerik terpijak. Mereka bukan hanya berdiam diri tak mengeluarkan suara, akan tetapi juga wajah mereka berubah dan mereka menengok ke kanan kiri, seolah ketakutan.

"Kenapa, Paman?"

Terbawa oleh sikap mereka, Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan berbisik pula. Yang ditanya menggeleng kepala, lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis, dan menulis dengan cepat di atas kertas itu, kemudian menyodorkannya kepada Sian Li. Gadis itu dan suhengnya segera membaca tulisan itu.

"Jangan bicara tentang itu, mata-matanya tersebar di mana-mana. Berbahaya sekali," demikian bunyi tulisan dan Sian Li saling pandang dengan suhengnya.

Sian Li mendekati laki-laki yang menulis itu sambil menyerahkan kembali kertas tadi yang segera dirobek-robek oleh penulisnya. Gadis itu berbisik,

"Kenapa, Paman? Apakah mereka jahat dan suka mengganggu?"

Orang itu menggeleng kepala, lalu menjawab dengan suara bisik-bisik pula.
"Mereka tidak pernah mengganggu kita, sebaliknya kita pun tidak boleh mencampuri urusan mereka. Penjahat Yang paling besar pun di daerah ini tidak ada yang berani mencampuri urusan mereka, berbahaya sekali. Di mana-mana mereka mempunyai kaki tangan. Sebaiknya kita bicara tentang hal lain saja."

Agaknya tujuh orang pedagang itu sudah merasa ketakutan, maka mereka pun bubaran memasuki kamar masing-masing. Sian Li dan Sian Lun terpaksa juga kembali ke kamar masing-masing dan tidur.

Malam itu Sian Li bermimpi bertemu dengan pendekar bercaping karena sebelum pulas tiada hentinya ia mengenang pendekar yang amat mengagumkan hatinya itu. Kini ia membenarkan akan cerita orang tuanya, juga Kakek Suma Ceng Liong bahwa di empat penjuru dunia penuh dengan orang-orang pandai, oleh karena itu, mereka berpesan agar ia tidak mengagungkan dan menyombongkan diri dan kepandaian sendiri.

Kini ternyatalah bahwa di daerah barat yang dianggapnya masih liar bahkan belum beradab itu terdapat pula orang sakti yang aneh, yang membuatnya kagum bukan main.

Pada keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, ketika Sian Li dan Sian Lun sudah bersiap-siap meninggalkan rumah penginapan dan melanjutkan perjalanan, seorang laki-laki menghampiri mereka dan dengan sikap hormat dia menyerahkan sesampul surat kepada mereka. Setelah sampul surat itu diterima Sian Li, pembawa surat itu memberi hormat dan pergi.

Sian Li cepat membuka sampul dan bersama Sian Lun mereka membaca surat yang ditulis dengan huruf-huruf yang gagah dan indah itu.

"Harap Liem Tahiap dan Tan Lihiap suka memaafkan sikap anak buah kami. Karena belum saling mengenal dengan baik maka terjadi kesalah-pahaman. Kalau Jiwi ingin mengetahui lebih baik siapa kami, kami mengundang Jiwi untuk menghadiri pesta pertemuan antara pejuang yang kami adakan sore nanti. Kami akan menjemput Jiwi dengan kereta. Kami bukan golongan jahat, melainkan pejuang-pejuang. Keselamatan Jiwi kami jamin."

Pimpinan Hek I Lama

"Hemm, jangan pedulikan surat dari mereka, Sumoi. Jelas bahwa mereka itu orang-orang jahat dan berbahaya. Kita pun baru saja kemarin lolos dari tawanan mereka dan hari ini mereka mengundang kita sebagai tamu? Hemm, ini pasti jebakan belaka. Lebih baik kita berangkat pergi saja meninggalkan tempat ini, Sumoi."

"Suheng, lupakah Suheng akan nasihat dan pesan guru-guru kita? Kita memang harus berhati-hati dan waspada, akan tetapi yang terlebih penting adalah bahwa kita tidak boleh bersikap penakut! Kita harus berani menghadapi kenyataan, betapa besar pun bahayanya, bukan saja menghadapi, akan tetapi juga menanggulangi dan mengatasi. Mereka mengirim surat undangan resmi, tidak mungkin merupakan jebakan. Mereka adalah perkumpulan yang besar, kiranya tidak akan menggunakan cara serendah itu. Kita memang tidak perlu bersekutu dengan mereka, akan tetapi juga tidak perlu mencampuri urusan mereka dan memusuhi, kecuali kalau mereka mengganggu kita."

"Jadi bagaimana sikapmu menghadapi undangan ini?"

"Aku akan menerimanya dan menghadiri undangan itu."

"Sumoi! Ingat, hal itu berbahaya sekali. Engkau seperti mengundang datangnya bahaya!"

"Aku tidak takut, Suheng. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sebagai datuk ilmu silat yang lihai, sudah pasti para pimpinan Hek I Lama tidak akan begitu merendahkan diri dan mencemarkan nama besar sendiri dengan perbuatan yang hina seperti menjebak orang-orang muda seperti kita. Pula, bukankah kita ini pergi meninggalkan rumah untuk meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan? Juga, kini kita mendapat kesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentang Hek I Lama, kesempatan yang baik sekali karena kita diundang sebagai tamu! Kalau engkau merasa jerih, biarlah aku sendiri saja yang datang ke sana, Suheng."

Sian Li tidak mau mengeluarkan isi hati yang paling dalam, yaitu bahwa kalau terjadi apa-apa dengan dirinya di tempat Hek I Lama, ia mengharapkan munculnya lagi Sin-ciang Tai-hiap untuk menolongnya. Ia harus bertemu lagi dengan pendekar itu, harus membuka rahasianya yang aneh, harus mengenal wajahnya dan namanya. Kalau tidak, selama hidupnya ia akan tenggelam dalam penasaran.

Wajah Sian Lun menjadi merah ketika sumoinya mengatakan dia jerih.
"Sumoi, aku tidak mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan keselamatanmu sendiri. Kalau engkau berkeras hendak pergi, tentu saja aku akan menemanimu."

Sian Li tersenyum menatap wajah suhengnya.
"Terima kasih, Suheng. Dan maafkanlah, bukan maksudku mengatakan engkau takut. Akan tetapi aku ingin sekali menghadiri undangan itu dan melihat siapa saja sebetulnya orang-orang itu dan apa maksud undangan mereka kepada kita."

Demikianlah, akhirnya Sian Lun terpaksa harus memenuhi kehendak Sian Li dan mereka menanti datangnya kereta yang akan menjemput mereka dengan hati berdebar penuh ketegangan.

Sian Li memang berjiwa petualang dan suasana yang mendebarkan hatinya itu merupakan suatu kenikmatan tertentu bagi seorang petualang. Apalagi kalau ia membayangkan kemunginan munculnya Sin-ciang Tai-hiap! Bahkan diam-diam ia mengharapkan terjadi sesuatu dengan dirinya agar pendekar aneh itu akan muncul kembali!

Di luar dugaan mereka, kereta itu muncul setelah lewat tengah hari, belum sore. Sebagai seorang wanita, tentu saja Sian Li tidak mau pergi dalam keadaan belum mandi dan pakaian belum diganti, maka ia minta kepada kusir kereta yang datang menjemput agar menanti sebentar karena ia ingin mandi dan berganti pakaian lebih dahulu.

Sebaliknya, Sian Lun yang merasa tegang dan selalu diliputi kegelisahan, tidak sempat bertukar pakaian dan mandi. Orang pergi menentang bahaya, untuk apa harus mandi dan berganti pakaian segala, pikirnya. Dia malah menanti sumoinya di dekat kereta dan mencoba untuk memancing keterangan kepada kusir kereta.

Akan tetapi, kusir itu hanya menjawab "tidak tahu" atas segala pertanyaannya, dan hanya mengatakan bahwa dia bertugas menjemput mereka. Akan tetapi, dari gerak gerik dan sinar matanya yang tajam membayangkan kecerdikan. Sian Lun dapat menduga bahwa kusir ini hanya berpura-pura tolol dan lemah saja. Tentu dia seorang anggauta yang sudah dipercaya, dan yang memiliki ilmu kepandaian tangguh.

Akhirnya muncullah Sian Li dengan wajah dan tubuh segar, dengan pakaian bersih dan rambutnya tersanggul rapi. Ia nampak segar dan cantik sekali, membuat hati Sian Lun menjadi semakin gelisah. Kenapa sumoinya demikian mempercantik diri? Mereka akan menjadi tamu orang-orang jahat!

Baru Cu Ki Bok, murid Lulung Ma itu saja jelas amat lihai dan pemuda itu mempunyai niat tidak senonoh terhadap diri Sian Li. Juga dari percakapan yang didengarnya ketika mereka ditawan, dia mendengar betapa Sian Li akan dihadiahkan kepada orang yang disebut sebagai Pangeran Gulam Sing!

Dengan kecantikan seperti itu, sumoinya akan membuat orang-orang jahat itu menjadi semakin hijau! Akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berkata apa-apa dan mereka pun naik ke dalam kereta yang segera dijalankan oleh kusirnya dengan cepat meninggalkan kota itu.

Kereta itu meluncur keluar kota melalui pintu gerbang sebelah timur, kemudian mendaki sebuah bukit. Berkali-kali Sian Lun bertanya kepada kusirnya, kemana mereka akan dibawa pergi. Akan tetapi kusir itu tidak pernah mau menjawab! Ketika kereta memasuki sebuah hutan di lereng bukit itu, Sian Lun kehabisan sabarnya.

"Kusir keparat! Kalau tidak kau jawab, aku akan menghajarmu! Hayo katakan kemana engkau akan membawa kami!" bentaknya dan dia sudah bergerak untuk menyerang kusir yang duduk di depan.

Akan tetapi lengannya ditangkap Sian Li.
"Suheng, kenapa tidak sabar?" katanya sambil mengerutkan alisnya. "Dia hanya petugas yang melaksanakan perintah. Tentu saja dia membawa kita kepada yang mengutusnya, yaitu Hek I Lama yang mengundang kita."