Ads

Rabu, 30 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 044

Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Sian Lun dan Sian Li telah meninggalkan rumah penginapan dan menuntun kuda mereka ke pasar kuda yang selalu ramai di tempat itu.

Tentu saja dua ekor kuda tunggangan mereka menarik perhatian pembeli karena dua ekor binatang itu adalah kuda-kuda pilihan dari kandang kuda istana Bhutan! Dengan mudah saja mereka mendapatkan pembeli yang berani membayar cukup mahal untuk dua ekor kuda itu.

Sian Li dan Sian Lun lalu menuju ke bandar sungai untuk menyewa sebuah perahu yang akan mereka tumpangi sampai ke belokan air Sungai Yalu-cangpo atau Sungai Brahmaputra yang membelok ke selatan. Dari belokan itu, mereka akan mendarat dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki atau berkuda lagi menuju ke timur.

Seorang peranakan Han-Tibet yang mempunyai sebuah perahu yang sedang besarnya, menyanggupi perjalanan itu dengan upah yang cukup memadai. Orang itu berusia kurang lebih lima puluh tahun kulitnya hangus kecoklatan karena setiap hari pekerjaannya sebagai nelayan membuat kulitnya setiap hari terbakar sinar matahari.

Kalau tidak karena logat bicaranya, tentu sukar dikenal bahwa dia peranakan Han. Baik wajah dan pakaiannya sudah sepenuhnya orang Tibet. Orangnya pendiam dan juga sopan, maka Sian Li memilih orang ini daripada pemilik perahu lain walau harus membayar lebih mahal.

Perjalanan dengan perahu itu cukup menyenangkan. Perahunya kokoh dan baik imbangannya, tukang perahunya pendiam dan ahli mengemudikan perahu. Air sungai pun tenang dan dalam karena waktu itu musim semi, tidak banyak hujan.

Pemandangan di tepi sungai juga amat indah, penuh pohon-pohonan menghijau, diseling bunga beraneka warna dan bentuk. Kadang-kadang sungai itu melewati daerah yang diapit tebing bukit yang menjulang tinggi, kadang melalui ladang yang tanahnya landai dan datar.

Kalau malam tiba, Sian Li menyuruh tukang perahu menghentikan perahunya. Mereka dapat mencoba untuk memancing ikan, menggunakan alat pancing milik tukang perahu dan betapa senangnya hati Sian Li kalau ia berhasil mendapatkan seekor ikan. Mereka membakar ikan hasil pancingan mereka, makan ikan dengan arak ringan yang membuat dua orang muda itu merasa gembira sekali,

Apalagi kalau bulan sudah muncul. Duduk di kepala perahu sambil makan ikan bakar, bercakap-cakap di bawah sinar bulan purnama, dihembus angin malam yang lembut, bau daun ilalang di sekitar pantai, dan perahu bergoyang lembut seolah-olah membuat mereka seperti diayun-ayun, sungguh amat menyenangkan. Dan romantis sekali. Keadaan dan suasana itulah yang membuat sinar mata Sian Lun ketika dia memandang wajah sumoinya yang tertimpa sinar bulan, lain daripada biasanya.

Ketika mendadak suhengnya yang tadi bercakap-cakap dengan gembira itu kini diam saja, Sian Li merasakan suatu perubahan pada suhengnya yang membuatnya menatap wajah suhengnya. Dan diam-diam ia terkejut. Suhengnya memandang kepadanya dengan aneh! Sinar mata suhengnya itu! Seolah-olah mata itu dengan lembutnya membelainya, kemudian berusaha untuk menjenguk isi hatinya. Dan pandang mata itu mengandung sesuatu yang membuat jantungnya berdebar aneh, sepasang mata itu tak pernah berkedip.

“Heii, Suheng! Apa-apaan sih engkau ini?” teriaknya untuk menekan guncangan hatinya sendiri, memecahkan suasana yang membuatnya canggung itu.

“Kenapa, Sumoi?” kata Sian Lun dan suaranya pun berubah bagi Sian Li. Suara itu demikian lembut, seperti mengelusnya dan keluar dari dalam dada.

“Suheng, kenapa engkau memandangku seperti itu?” tegurnya.

Mereka dapat bicara dengan bebas karena tukang perahu telah tidur di tepi sungai, menggulung dirinya dalam selimutnya yang tebal.

Dalam keadaan masih terpesona, seperti tersihir oleh wajah yang nampak cantik jelita luar biasa ketika bermandikan sinar bulan itu. Sian Lun masih belum sadar dan dia menjawab dengan suara penuh kagum dan penuh kasih sayang.

“Engkau.... engkau begitu cantik jelita“

Dalam keadaan biasa, pujian dari suhengnya itu tentu akan membuat Sian Li tertawa geli, akan tetapi sekarang, sinar mata suhengnya membuat wajahnya menjadi merah sekali ketika mendengar pujian itu. Akan tetapi ia memaksa diri menekan perasaan aneh, rasa senang gembira dan bangga, dan ia pun memaksa diri untuk tertawa.

Ia membayangkan dirinya dan suhengnya yang telah berlatih bersama, bermain bersama sejak ia berusia dua belas tahun, ketika ia masih kanak-kanak, dan tiba-tiba suhengnya yang biasanya selalu bersikap sopan dan serius kepadanya, kini memuji kecantikannya. Lucu!

“Hi-hi-hik, heh-heh.... kau lucu, suheng! Kenapa mendadak saja engkau seperti ini? Jangan-jangan engkau kemasukan setan sungai ini yang kabarnya keramat? Kalau mau mengagumi kecantikan, tengoklah ke atas. Lihat, bulan itulah yang cantik jelita penuh senyum.”

Akan tetapi ucapan yang penuh kelakar itu tidak cukup kuat untuk menyeret Sian Lun turun kembali ke dalam keadaan seperti biasa yang wajar. Dia masih terpesona!

“Tidak, Sumoi. Kecantikan Sang Bulan tidak dapat disamakan dengan kecantikanmu! Kecantikan bulan itu mati, akan tetapi engkau.... aih, Sumoi, tidak ada wanita di seluruh dunia ini yang dapat menyamai kecantikanmu!”

Kalau tadi Sian Li masih tersenyum-senyum manis, kini senyumnya menghilang dan alisnya berkerut khawatir. Namun bagi Sian Lun, seperti juga semua laki-laki yang sudah jatuh cinta, perubahan wajah gadis itu sama sekali tidak mengubah hasil pandangannya. Tersenyum, tertawa, merengut atau menangis atau marah-marah, tetap saja cantik jelita!






Bagi hati yang sedang tergila-gila oleh cinta, wajah yang cemberut bahkan bertambah manis! Sebaliknya, bagi hati yang diracuni benci, wajah yang tersenyum dianggap mengejek dan menyebalkan!

“Suheng, sadarlah! Kita sudah bergaul sejak aku kecil, kita biasa berlatih bersama, bermain bersama. Kenapa sekarang engkau bersikap begini? Mengerikan! Hentikan kelakarmu ini, atau aku akan benar-benar marah, Suheng!” katanya dan untuk menyadarkan suhengnya. Sian Li memegang lengan pemuda itu dan mengguncangnya agak keras.

Sian Lun baru menyadari ketidak wajaran sikapnya. Dia menarik napas panjang seperti orang mengeluh,

“Maaf, Sumoi, maafkan sikapku tadi.... akan tetapi.... aku seperti mabok, Sumoi. Mabok oleh apa yang kulihat malam ini. Wajahmu disinari bulan purnama, rambutmu, matamu, hidung dan bibirmu.... ah, engkau memang cantik jelita, sumoi dan aku.... aku tak dapat menahan lagi rahasia hatiku, aku cinta padamu, Sumoi, aku cinta padamu.”

Sepasang mata yang indah itu terbelalak, pipi yang tadi kemerahan itu mendadak menjadi pucat, lalu merah lagi dan tiba-tiba saja Sian Li menggerakkan ke dua tangannya mendorong kedua pundak Sian Lun. Pemuda itu terkejut, tidak mampu mengelak atau menangkis, dan tubuhnya terjengkang keluar dari perahu.

“Byuurrr....!”

Air muncrat tinggi dan tubuh Sian Lun tenggelam! Tak lama kemudian, pemuda itu muncul kembali dan gelagapan. Sian Lun bukan tak pandai renang, akan tetapi dia tadi terlampau kaget ketika tubuhnya didorong sumoinya keluar dari perahu, dan kini dia pun harus melawan arus air, kembali ke perahu.

“Peganglah ini!” kata Sian Li yang sudah menjulurkan dayung ke arah pemuda itu.

Setelah tadi mendorong tubuh suhengya sehingga terjatuh ke dalam air di luar perahu, Sian Li baru menyesali perbuatannya, dan melihat pemuda itu gelagapan, ia lalu menyambar dayung dan menolongnya naik.

Sian Lun naik ke perahu dengan pakaian basah kuyup, juga rambutnya basah kuyup.
Mereka berdiri berhadapan di kepala perahu, saling pandang. Sian Li merasa kasihan juga melihat suhengnya yang basah kuyup dan nampak bersedih.

“Maafkan aku, Sumoi,” kata Sian Lun lirih.

Hemmm, sudah didorong ke dalam air, malah minta maaf. Sian Li merasa semakin menyesal.

“Habis, engkau sih, Suheng, yang aneh-aneh. Aku tidak suka melihat dan mendengar engkau seperti tadi! Engkau Suhengku, kuanggap seperti kakak sendiri, dan aku.... aku masih terlalu muda untuk memikirkan soal cinta. Jangan sebut-sebut lagi soal itu. Dan kau juga maafkan aku yang tadi mendorongmu karena marah.”

Sian Lun menundukkan mukanya. Didorong ke air oleh Sian Li bukan apa-apa, biar didorong seratus kali dia mau asal gadis yang membuatnya tergila-gila itu suka menerima cintanya. Yang membuat hatinya terasa sedih sekali adalah ucapan sumoinya tadi.

Sumoinya tidak mau bicara tentang cinta dan menganggap dia seperti kakak sendiri! Dia menundukkan mukanya dan memasuki bilik perahu untuk bertukar pakaian kering. Sian Li memandang ke arah kain tirai yang menutup pintu bilik dengan hati iba. Akan tetapi ia tidak berbohong dengan ucapannya tadi. Selama ini ia menyayang Sian Lun sebagai suheng, atau sebagai kakak sendiri, sama sekali tak pernah terbayangkan memandang suhengnya itu sebagai seorang kekasih, sebagai seorang calon suami! Lucu dan aneh rasanya kalau ia harus menjadi isteri suhengnya!

Ketika Sian Li sedang melamun, tiba-tiba perahu itu terguncang. Ia terkejut dan menengok.

“Heiiii....!” teriaknya ketika melihat ada dua orang berpakaian hitam tiba-tiba saja meloncat dari air ke atas perahunya, dan sebuah perahu meluncur cepat menuju ke situ.

Tahulah ia bahwa ada orang jahat yang hendak mengganggunya, maka cepat ia menyambut kedua orang itu dengan serangan kakinya yang melakukan tendangan beruntun.

Tendangan-tendangan kaki Si Bangau Merah Tan Sian Li tidak boleh disamakan dengan tendangan kaki seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang biasa saja. Tendangan itu selain amat cepat datangnya, juga mengandung tenaga sin-kang, karena gerakan itu adalah menurut ilmu tendang sakti Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) yang dipelajarinya dari Suma Ceng Liong!

Dua orang berpakaian hitam yang basah kuyup itu tidak sempat mengelak, hanya mampu menggerakkan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga mereka.

“Dukk! Plakk!”

Tangkisan mereka yang disertai tenaga itu bahkan membuat tendangan itu semakin ampuh. Tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter dan mereka pun terjatuh ke air kembali. Air muncrat lebih tinggi daripada ketika Sian Lun tercebur tadi!

Akan tetapi, dari tepi perahu yang lain telah berloncatan empat orang berpakaian hitam yang lain lagi. Mereka membawa golok dan mereka sudah menerjang Sian Li dari belakang. Gadis itu mendengar sambaran golok dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik tiga kali dan ketika tubuhnya turun, ia telah meluncur dengan kepala di bawah, didahului sebatang pedang yang tadi sudah dibawanya loncat dan dicabut ketika tubuhnya berjungkir balik.

Sinar pedangnya meluncur dan menyambar ke arah tiga orang penyerangnya tadi. Gerakannya bagaikan seekor burung bangau merah melayang turun dan paruh yang runcing di bawah, siap untuk mematuk!

Akan tetapi tiga orang itu ternyata lihai juga. Mereka memutar golok untuk melindungi diri dari sinar pedang yang menyambar bagaikan kilat itu.

“Trang-trang-trang....!”

Karena tiga kali beradu senjata selagi tubuhnya masih di udara, terpaksa Sian Li berjungkir balik lagi agar jangan sampai terbanting jatuh. Ia dapat turun ke atas perahu, akan tetapi terhuyung karena perahu itu terguncang oleh tenaga tiga orang itu. Dan tiga orang itu yang agaknya lebih biasa di atas perahu yang bergoyang-goyang, sudah menerjang maju!

Tiba-tiba, Sian Lun yang sudah berganti pakaian dan mendengar suara gaduh di luar bilik perahu, sudah meloncat dan dengan pedang diputar dia menghadang terjangan tiga orang itu. Terdengar bunyi berdentangan dan bunga api barpijar ketika pedang di tangan Sian Lun bertemu dengan tiga batang golok para pengeroyok yang ternyata cukup lihai itu.

Dan Sian Li tidak dapat membantu Sian Lun karena pada saat itu, dua orang lagi sudah meloncat naik dan mengeroyok Sian Li dengan golok mereka.

“Pendeta-pendeta busuk, munafik, jahat.!”

Sian Li marah sekali dan sambil memaki-maki, pedangnya digerakkan dengan dahsyat, membuat kedua orang pengeroyoknya itu terdesak. Akan tetapi, pada saat itu, perahu berguncang keras dan miring! Sian Lun masih sempat meloncat ke tepi sungai, akan tetapi Sian Li tidak sempat lagi kerena selain kedua orang lawannya sudah menyergapnya lagi selagi perahu miring dan hampir terbalik, juga dara ini berada di sisi perahu yang tiba-tiba miring ke bawah. Ia mencoba untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya, akan tetapi dua batang golok menyambar kakinya. Terpaksa Sian Li meloncat dan tak dapat dihindarkan lagi, ia tercebur ke dalam air!

Kepandaian Sian Li di air hanya biasa-biasa saja, hanya sekedar dapat berenang dan tidak sampai tenggelam, maka ketika dua orang penjahat yang sudah biasa bermain di air menyelam dan memegangi kedua kakinya, gadis ini tidak berdaya, meronta dan gelagapan sehingga akhirnya ia tertawan, kedua tangannya dibelenggu ke belakang dan ia diseret ke tepi sungai oleh empat orang!

Sementara itu, Sian Lun yang berhasil melompat ke daratan dan tidak sempat tercebur, masih dikepung oleh tiga orang lawan yang cukup tangguh. Pemuda ini mengamuk dan sukarlah bagi tiga orang itu untuk mampu mendesaknya. Akan tetapi ketika Sian Lun melihat betapa sumoinya tertawan, dia menjadi khawatir sekali dan juga marah.

“Lepaskan ia!” bentaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah mencelat ke atas dan dia sudah meninggalkan tiga orang pengepungnya, langsung saja dia menyambar ke arah empat orang yang menawan Sian Li!

Pedangnya diputar dan empat orang itu terkejut, cepat mereka menggerakkan golok untuk menangkis, lalu mengepung Sian Lun, Pemuda ini nekat. Dia harus dapat menyelamatkan sumoinya. Gerakan pedangnya amat hebat karena pemuda yang sudah marah dan nekat ini sudah memainkan Ilmu Pedang Koai-liong-kiam (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang dipelajarinya dari subonya (ibu gurunya).

Pedangnya seperti berubah menjadi seekor naga mengamuk dan desing pedang seperti auman naga. Empat orang lawannya terkejut dan terpaksa mundur berpencar. Kesempatan itu dipergunakan oleh Sian Lun untuk mendekati sumoinya dan sekali menggerakkan pedang, tali pengikat pergelangan kedua tangan Sian Li terbabat putus.

“Awas, Suheng....!” teriak Sian Li ketika melihat betapa empat orang itu, ditambah tiga orang lagi, serentak menyerang Sian Lun dari belakang dari kanan kiri!

Sian Lun membalik sambil memutar pedangnya, dan Sian Li menerjang orang yang merampas pedangnya dengan sebuah tendangan ke arah tangan yang memegang golok, dilanjutkan tubrukan ke depan untuk merampas kembali pedangnya yang dipegang tangan kiri orang itu. Tubrukannya berhasil ketika orang itu mengelak ke samping, dan di lain saat pedang itu telah dirampasnya kembali.

Akan tetapi, ketika Sian Lun menangkis, terlampau banyak golok menyerangnya sehingga sebuah di antara golok yang menyerangnya, ketika ditangkis putaran pedangnya, masih sempat melukai pundak kirinya sehingga baju di bagian pundak itu terobek berikut kulit pundak yang terluka dan berdarah.

“Suheng, kau terluka?” teriak Sian Li sambil memutar pedang membantu suhengnya.

“Tidak mengapa. Kita basmi manusia-manusia busuk ini!” bentak Sian Lun yang sudah marah sekali dan dengan penuh semangat dia juga memutar pedangnya, menyerang dengan dahsyat.

Kedua orang kakak beradik seperguruan itu mempergunakan ilmu-ilmu pedang yang amat hebat. Sian Lun tetap memainkan Ilmu pedang Naga Siluman, sedangkan Sian Li kini memainkan Ilmu Pedang Suling Emas seperti yang ia pelajari dari neneknya, Kam Bi Eng!

Dua macam ilmu pedang ini memang merupakan ilmu-ilmu pedang yang dahsyat, dan Nenek Kam Bi Eng telah mewarisi ilmu-ilmu itu dari ayahnya, Kam Hong yang telah menggabungkan kedua ilmu itu menjadi satu. Maka, ketika kedua orang muda ini memainkan dua macam ilmu itu, mereka merupakan pasangan yang amat kuat sehingga tujuh orang pengeroyok mereka kewalahan dan mereka pun berloncatan ke belakang dan melarikan diri ke dalam hutan gelap di tepi sungai.

“Jahanam, kalian hendak lari ke mana?” Sian Lun melompat dan melakukan pengejaran.

“Suheng, jangan kejar!” Sian Li berseru, akan tetapi suhengnya sudah berlari cepat dan tidak mau berhenti.

“Suheng, berbahaya kalau mengejar mereka!” kembali Sian Li berteriak.

Karena Sian Lun tidak menanggapi dan terus berlari, terpaksa ia pun berlari mengejar dengan hati khawatir sekali. Hutan itu gelap dan cahaya bulan hanya menjadi sinar suram muram yang memasuki celah-celah daun dan ranting.

Makin gelap saja dan akhirnya Sian Li menjadi bingung karena ia kehilangan jejak tujuh orang itu, juga kehilangan jejak suhengnya. Tadi ia masih dapat mendengar suara kaki mereka menginjak daun kering. Akan tetapi kini, di sekelilingnya sunyi dan ia tidak tahu harus mengejar ke mana.

Dengan hati-hati ia berjalan ke sana sini, berkeliaran tanpa arah di dalam hutan yang lebat itu, mengerahkan kekuatan mata dan telinga untuk mencari kembali jejak mereka.
Namun, usahanya sia-sia, bahkan untuk kembali ke tepi sungai tempat perahu tadi pun ia sudah tidak mengenal jalan lagi! Terpaksa Sian Li menunggu sampai pagi. Tidak lama ia menanti karena tak lama kemudian, sinar bulan semakin muram, sinar matahari mulai membakar langit di timur.

Setelah cuaca tidak gelap lagi, sudah remang-remang, Sian Li bangkit dari bawah pohon dan melanjutkan pencariannya. Ia merasa khawatir sekali. Tiba-tiba ia mendengar teriakan suhengnya.

“Sumoi, pergilah jauh-jauh jangan ke sini!”

Mendengar suara ini, tentu saja Sian Li terkejut bukan main. Ia seorang gadis yang cerdik, maka seruan suhengnya itu membuat ia sejenak termangu. Ia tahu bahwa suhengnya tentu berada dalam bahaya, dan suhengnya tidak menghendaki ia mendekat karena tentu ada bahaya mengancamnya pula kalau ia mendekat!

Akan tetapi, bagaimana mungkin ia membiarkan saja suhengnya terancam bahaya? Bagaimana mungkin ia pergi menjauh hanya karena ada bahaya mengancamnya setelah ia tahu bahwa suhengnya dalam bahaya? Tidak, ia harus menolong suhengnya.

Terbayang ketika tadi dengan nekat dan mati-matian suhengnya menolongnya ketika ia tertawan, bahkan suhengnya sampai mengorbankan dirinya dan terluka pundak kirinya untuk menyelamatkan dirinya. Ia harus menolong suhengnya, biarlah ia akan menghadapi bahaya apa pun!

Setelah mengambil keputusan tetap, dengan hati-hati namun cepat sekali Sian Li mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari seperti terbang menuju ke arah suara tadi. Suhengnya hanya mengeluarkan kalimat itu saja lalu keadaan kembali sunyi sehingga tentu saja hatinya menjadi semakin gelisah, mengkhawatirkan suhengnya.

Ia tidak berani memanggil, karena kalau ada musuh di sana, tentu akan dapat mendengar suaranya. Kalau ia ingin menolong suhengnya, ia harus dapat mendekati tempat suhengnya itu dengan diam-diam dan tersembunyi. Ia harus melihat keadaan dulu sebelum turun tangan.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika ia melihat dari balik batang pohon yang besar, suhengnya telah terbelenggu di bawah sebatang pohon besar, diikat pada pohon itu dan agaknya suhengnya pingsan atau tertotok karena lehernya terkulai dan kepalanya menunduk dalam. Tali yang amat kuat membelit tubuhnya dari kaki ke dada, kedua lengan ke belakang, dan diikat kepada batang pohon itu!

Tidak nampak orang lain di sana! Menurutkan dorongan hatinya, tentu saja ia ingin sekali melompat mendekati suhengnya dan membebaskannya dari ikatan itu, akan tetapi kecerdikannya membuat ia berpikir sebelum bergerak. Mustahil kalau suhengnya ditangkap, dibelenggu lalu ditinggalkan saja di situ tanpa penjagaan, Tempat itu begitu sunyi, seolah tidak ada orang lain kecuali suhengnya.

Mustahil! Ini tentu sebuah perangkap, sebuah jebakan, ia membayangkan jebakan apa yang mungkin dipasang oleh pihak musuh. Mereka dapat bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak, siap dengan anak panah atau senjata rahasia di tangan. Kalau ia menghampiri suhengnya, tentu mereka akan menghujani anak panah atau senjata rahasia.

Akan tetapi tidak mungkin, pikirnya. Kalau mereka ingin membunuhnya, kenapa suhengnya yang sudah tertawan itu dibiarkan hidup? Mereka tentu memasang jebakan untuk menangkapnya hidup-hidup atau jebakan atau perangkap apa yang mungkin mereka pasang? Sebuah lubang di dekat tempat suhengnya diikat? Lubang yang dtutupi rumput agar ia terjeblos ke dalam lubang kalau menghampiri suhengnya? Atau mereka akan keluar dan mengepung tempat itu? Sian Li mendapatkan perasaan yang aneh sekali.

Ia merasa seperti menjadi harimau yang dipancing dengan umpan! Suhengnya menjadi kambingnya yang diikat di sana, untuk memancing munculnya Sang Harimau.

Apa pun yang akan terjadi, bagaimana nanti sajalah! Yang paling penting ia harus menolong suhengnya! Ia akan berhati-hati, menjaga segala kemungkinan. Ia akan memperhatikan sekelilingnya, juga memperhatikan tanah yang diinjaknya!

Dengan pedang terhunus di tangan kanan, dan sebatang tongkat dari cabang pohon yang dipatahkannya, ia melangkah keluar dari balik pohon, dengan hati-hati ia melangkah maju, mempergunakan tongkat yang dua meter panjangnya itu untuk meraba-raba dan menusuk-nusuk tanah di depannya sebelum ia melangkah. Ia maju selangkah demi selangkah, tongkatnya meneliti tanah yang akan diinjak, matanya waspada meneliti keadaan sekeliling sehingga kalau ada ancaman datang dari sekelilingnya, ia tidak akan mudah dibokong.

Tinggal kurang lebih sepuluh meter lagi dari tempat Sian Lun diikat pada batang pohon.
Tiba-tiba ia berhenti melangkah. Ujung tongkatnya menembus lapisan rumput! Di bawah rumput itu ada lubang! Ia menyelidiki dengan ujung tongkatnya. Ada lubang bundar yang garis tengahnya tidak kurang dari satu setengah meter! Lubang yang ditutup lapisan rumput. Kalau ia melangkah atau berlari di atas lapisan rumput, tentu ia akan terjeblos ke bawah.

Tepat seperti yang diduganya! Dengan pengerahan tenaga pada tongkatnya, ia mencokel lapisan rumput itu sampai lapisan penutup lubang itu terbuka semua! Kini nampaklah lubang itu, yang dalamnya tidak kurang dari tiga meter! Sekali terjeblos ke dalamnya, tentu ia akan sukar meloloskan diri, karena tentu mereka akan mengepung lubang dan mencegah ia melompat keluar lagi.

Sian Li tersenyum. Untung ia bersikap hati-hati. Dengan ujung tongkat terus meraba, ia melangkah lagi mengitari lubang dan tiba di depan suhengnya tanpa ada rintangan lain.
Agaknya hanya lubang itulah perangkap yang dipasang musuh. Sekarang ia harus cepat membebaskan suhengnya.

“Suheng....!”

Ia mengguncang pundak suhengnya. Akan tetapi suhengnya tetap lemas seperti tidur, atau pingsan, atau tertotok. Ia harus lebih dulu melepaskan ikatan itu kalau ingin membebaskan suhengnya dari totokan. Totokan yang melenyapkan semua tenaga itu harus dibebaskan dengan totokan dan urutan pada punggung, di pusat tenaga tengah pinggang.

Dengan pedangnya, Sian Li lalu membikin putus semua tali pengikat tubuh suhengnya. Ia harus merangkul suhengnya agar tidak sampai tubuh itu terkulai jatuh. Dan pada saat ia merangkul suhengnya itulah jala itu jatuh dari atas pohon! Jala yang lebar, yang siap di atas pohon dan tali-talinya dipegangi beberapa orang yang tersembunyi. Tali-tali dilepas dan jala itu pun jatuh menyelimuti Sian Li dan Sian Lun!

Sian Li terkejut bukan main. Ia tidak menyangka akan datang serangan dari atas. Ada beberapa hal yang membuat dara perkasa ini tidak dapat menghindarkan diri dari serangan jala. Pertama, perhatiannya hanya ditujukan kepada suhengnya dan sekelilingnya. Ke dua, baru saja ia menemukan perangkap lubang tertutup lapisan rumput itu sehingga ia menganggap telah terbebas dari ancaman bahaya jebakan dan membuatnya menjadi lengah, dan ke tiga terutama sekali karena ia sedang merangkul suhengnya yang lemas untuk mencegah tubuh yang lemas itu terkulai jatuh.

Sian Li mencoba untuk melepaskan diri, meronta-ronta, akan tetapi segera muncul tujuh orang berpakaian hitam-hitam itu dan tali-tali jala ditarik semakin kuat sehingga ia dan suhengnya terbelit dan terbungkus jala menjadi satu sampai ia tidak mampu bergerak lagi.

Dengan mudah saja orang-orang berpakaian hitam itu meringkusnya dan mengikat tangan dan kakinya sebelum ia dikeluarkan dari dalam selimutan jala, demikian pula kaki dan tangan Sian Lun diikat pula. Kemudian, sambil tertawa-tawa tujuh orang itu menaikkan tubuh kedua orang muda itu ke atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, dan dipegangi orang yang menunggang kuda, dan mereka lalu pergi dari situ menunggang kuda, menuju ke timur.

**** 044 ****