Ads

Rabu, 30 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 042

Semua tamu dan penonton kini memandang kepada Sian Li dan karena mereka tadi sudah kagum kepada gadis jelita itu, kini melihat gadis itu berani manghadapi dan hendak melawan seorang jagoan seperti Sagha, tentu saja mereka semakin kagum, juga perasaan hati mereka tegang.

Bagaimana kalau kulit yang halus mulus itu sampai lecet, tulang yang kecil lembut itu sampai patah-patah. Tentu saja tidak ada yang mengira bahwa tingkat kepandaian dara itu bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian pemuda tampan yang tadi mempermainkan dan mengalahkan Badhu!

Sagha sendiri terkenal jagoan. Karena dia merasa bangga kepada diri sendiri dan jarang menemui tandingan, maka kini dihadapi seorang dara sebagai calon lawan, tentu saja dia merasa sungkan dan tidak enak sekali.

“Nona, aku Sagha adalah seorang laki laki yang gagah perkasa dan tak pernah mundur menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, bagaimana mumgkin aku berani melawan seorang dara yang masih setengah kanak-kanak seperti Nona? Seluruh dunia akan mentertawakan aku, menang atau pun kalah. Lebih baik aku melawan lima orang laki-laki yang mengeroyokku daripada harus bertanding melawan seorang dara remaja!”

Sian Li tersenyum mengejek.
“Sagha, katakan saja engkau takut melawan aku. Kalau engkau takut, berlututlah dan cabut semua omongan kalian yang sombong tadi, yang mengejek dan menghina para pendekar dari dunia persilatan di timur! Engkau harus menarik ucapanmu tadi dan mohon maaf, baru aku dapat mengampunimu!”

Mereka yang memahami bahasa Han, menjadi bengong mendengar ucapan gadis itu. Betapa beraninya! Dan mereka yang tidak paham, cepat bertanya kepada teman mereka yang mengerti dan semua orang kini memandang kepada Sian Li dengan kaget dan heran.

Seorang gadis yang usianya belum dewasa benar berani bersikap demikian meremehkan terhadap seorang jagoan seperti Sagha yang tadi sudah mendemontrasikan kekebalan dan kehebatan tenaganya! Baru kepala dan tubuh yang lain saja demikian kuatnya, kepalanya mampu membikin pecah batu, apalagi tangannya. Sekali sentuh saja, mungkin kepala gadis remaja itu akan remuk!

Mendengar ucapan Sian Li, Sagha mengerutkan alisnya dan mukanya menjadi merah sekali. Kalau bukan seorang gadis yang mengucapkan kata-kata tadi, tentu telah dihantamnya. Akan tetapi dia berhadapan dengan seorang gadis anggauta rombongan Sang Puteri Gangga Dewi pula, tentu saja dia tidak berani sembarangan.

“Nona, mungkin saja Nona pernah mempelajari ilmu silat, akan tetapi engkau bukan lawanku. Aku tidak takut kepadamu, melainkan takut kalau dltertawakan orang gagah sedunia. Pula, bagaimana aku berani bertanding dengan engkau yang datang bersama Yang Mulia Puterl Gangga Dewi? Aku takut mendapat marah dari beliau.”

Gangga Dewi yang mendengar ucapan Sagha itu tersenyum. Ia sudah tahu bahwa Sian Li telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat, bahkan tingkatnya lebih tangguh dibandingkan suhengnya. Oleh karena itu, tentu saja ia merasa yakin bahwa Sian Li akan mampu menandingi dan bahkan mengalahkan Sagha dengan mudah. Juga ia ingin orang yang sombong itu menerima hajaran karena telah berani mengejek dan menghina para pendekar Han.

“Sagha, engkau boleh bertanding melawan Si Bangau Merah. Kalau engkau mampu menang, baru aku mengaku bahwa engkau memang seorang jagoan yang hebat.”

Sagha memberi hormat kepada Gangga Dewi.
“Maafkan saya. Akan tetapi bagaimana kalau hamba kesalahan tangan dan melukai Nona ini? Hamba tidak ingin Paduka nanti marah kepada hamba.”

Gangga Dewi tertawa.
“Aku tidak akan marah dan semua orang yang berada di sini menjadi saksinya.”

“Terima kasih, Yang Mulia,” kata Sagha dan kini dia menghadapi Sian Li. “Baik, Nona. Mari kita main-main sebentar.”

“Tidak usah main-main, keluarkan semua kepandaianmu dan seranglah sungguh-sungguh karena aku akan merobohkanmu!” kata Sian Li.

Hemm, bocah ini terlalu memandang rendah kepadaku, pikir Sagha marah. Dia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan mengambil keputusan untuk membikin malu gadis itu di depan umum, misalnya dengan merobek baju itu!

“Nona, jaga seranganku ini!”

Dan kedua tangannya yang besar dengan lengan yang panjang itu sudah bergerak cepat menyambar ke arah tubuh dara remaja itu tanpa sungkan lagi. Dibandingkan Badhu, Sagha yang tinggi kurus ini memang lebih sigap dan cepat.

“Hyaaaahhhh....!” Dia membentak sambil menyerang.

“Plakkk!”

Kedua telapak tangannya saling bertemu dari kanan kiri dan mengeluarkan bunyi keras ketika terkamannya itu luput, dan gadis yang tadi berada di depannya itu telah lenyap. Cepat dia membalik dan kembali kedua lengan panjang itu bergerak seperti dua ekor ular, akan tetapi kembali terkamannya mengenai tempat kosong.

Makin cepat dia menyerang, semakin cepat pula Sian Li bergerak sehingga semua penonton menjadi bengong saking kagumnya. Tubuh gadis itu lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah berkelebatan dengan amat cepatnya, menyambar-nyambar di antara terkaman dan cengkeraman kedua tangan Sagha.






Tiba-tiba, ketika Sian Li menganggap sudah cukup lama mempermainkan lawan, ia berseru nyaring dan jari telunjuk kirinya meluncur bagaikan patuk burung bangau mematuk dengan cepat seperti kilat menyambar.

“Haiiitttt....! Tukkk!”

Telunjuk kiri itu menotok dua kali ke pundak dan dada dan seketika Sagha tidak mampu bergerak karena dia telah menjadi korban ilmu totok ampuh It-yang Sin-ci yang dipelajari gadis itu dari Yok-sian Lo-kai. Sian Li juga telah menguasai ilmu totok lain seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang hebat dari paman kakeknya, akan tetapi ia menggunakan It-yang Sin-ci untuk mempraktekkan ilmu yang baru saja ia pelajari dari Raja Obat itu.

Dan pada saat lawan tak mampu bergerak, kaki Sian Li menyambar ke arah lutut dan Sagha yang tidak mampu mengerahkan tenaga lagi roboh terpelanting. Pada saat lawan terpelanting itu, Sian Li membebaskan kembali totokannya.

Para penonton kini tidak mampu lagi menahan kekaguman dan kegembiraan mereka melihat betapa Dewi Bangau Merah telah benar-benar mampu merobohkan Sagha! Terdengar tepuk sorak riuh menyambut kejatuhan Sagha.

“Hemmm, mana kepandaianmu yang membuat engkau sombong dan mengejek para pendekar dari timur? Hanya sebegini saja?”

Sian Li mengejek dengan suara lantang, dan kembali terdengar orang menyambut dengan suara riuh. Wajah Sagha sebentar pucat sebentar merah dan dia meloncat berdiri.

“Aku belum kalah!” bentaknya dan dia pun menyerang, kini bukan ingin menangkap dan merobek baju gadis itu, melainkan memukul dan menendang dengan dahsyat!

Sagha sudah marah sekali dan lupa bahwa yang dilawannya hanya seorang dara remaja. Dia menyerang bukan lagi untuk mencari kemenangan, melainkan untuk membunuh!

Namun, dia seperti mengamuk dan menyerang bayangan saja. Semua pukulan cengkeraman dan tendangannya hanya mengenai udara kosong sampai terdengar suara bersiutan.

Tiba-tiba, begitu melihat kesempatan baik, kembali jari telunjuk tangan kiri gadis itu meluncur dan seperti tadi, seketika tubuh Sagha tidak dapat dia gerakkan dan sekali ini, sambil membentak nyaring Sian Li menendang atau mendorong dengan kakinya sambil mengerahkan tenaga dan tubuh tinggi kurus itu terlempar keluar dari panggung dan jatuh menimpa kawan-kawannya, yaitu para penari dan penabuh musik di mana terdapat pula Badhu yang telah dikalahkan Sian Lun!

Tepuk tangan dan sorak yang riuh menyambut kemenangan Sian Li ini. Akan tetapi ketika Sian Li berjalan kembali ke tempat duduknya, suara tambur dan gendang terhenti tiba-tiba dan kini Lulung Ma dan pemuda tampan jangkung telah berdiri berdampingan sambil bertolak pinggang. Lulung Ma mengeluarkan teriakan yang mengatasi keriuhan di situ, suaranya nyaring sekali dan terdengar oleh semua orang.

“Saudara sekalian! Dua orang pembantu kami telah kalah karena mereka memang bodoh. Sekarang, kami berdua menantang siapa saja yang memiliki kepandaian untuk mengadu ilmu di sini. Kami menantang semua dan siapa saja, tidak terkecuali!”

Pandang mata Lulung Ma ditujukan kepada Suma Ciang Bun, sedangkan pandang mata pemuda jangkung itu ditujukan kepada Liem Sian Lun! Biarpun mereka tidak menuding, jelas bahwa dua orang Han itulah yang mereka tantang!

Tiba-tiba Gangga Dewi yang sudah berdiri seperti yang lain, menuding ke arah Lulung Ma dan terdengar suaranya yang lembut namun lantang.

“Lulung Ma, sikapmu menunjukkan bahwa engkau dan orang-orangmu ini agaknya para penyelundup yang hendak mengacau di Bhutan! Menyerahlah untuk kami tawan dan kami periksa!”

Tiba-tiba Lulung Ma mengubah sikapnya yang tadi hormat kepada puteri itu.
“Gangga Dewi, engkau puteri Bhutan yang mengkhianati bangsa sendiri, bersekongkol dengan orang-orang Han dari timur! Engkau yang sepatutnya ditawan!”

Dan tiba-tiba raksasa hitam itu meloncat ke tempat duduk kehormatan, diikuti oleh pemuda jangkung yang juga sekali menggerakkan kaki sudah melayang ke situ. Lulung Ma menerjang ke arah Gangga Dewi sedangkan pemuda jangkung itu menerjang ke arah Liem Sian Lun!

“Jahanam busuk!”

Suma Ciang Bun meloncat dan melindungi isterinya. Melihat betapa Lulung Ma menyerang Gangga Dewi dengan dorongan kedua telapak tangan terbuka, Ciang Bun memapaki dengan kedua telapak tangannya pula.

“Desss....!”

Dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya Ciang Bun terhuyung, akan tetapi Lulung Ma juga mundur dua langkah. Dari pertemuan tenaga ini saja dapat diketahui bahwa Si Raksasa Hitam itu amat kuat dan memiliki sin-kang yang ampuh dan dapat menandingi kekuatan cucu Pendekar Sakti dari Pulau Es itu!

Gangga Dewi melolos sabuk sutera putihnya dan cepat membantu suaminya dan suami isteri itu kini mengeroyok Lulung Ma. Gangga Dewi menggunakan sabuk sutera, Suma Ciang Bun sudah menghunus sepasang pedangnya yang bersinar putih, sedangkan Lulung Ma juga sudah mengeluarkan senjatanya yang aneh dan dahsyat, yaitu sepasang roda atau gelang besar yang dipasangi sirip-sirip tajam dan berwarna kuning keemasan.

Sementara itu, pemuda jangkung tukang tambur tadi sudah menyerang Sian Lun. Tentu saja Sian Lun segera menyambut serangannya dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaganya.

“Dukkk!”

Pertemuan dua lengan membuat Sian Lun hampir terjengkang maka mengertilah Sian Lun bahwa pemuda jangkung itu benar seperti dugaannya tadi, bukan orang sembarangan dan memlliki tenaga sin-kang kuat. Sama sekali tidak bisa disamakan dengan Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan tenaga otot dan tulang, tenaga kasar.

Pemuda jangkung ini memiliki gerakan silat yang lihai, dan dalam pertemuan tenaga pertama kali tadi, Sian Lun jelas kalah kuat. Oleh karena itu, gadis yang lincah dan galak ini meloncat ke depan dan sambil mengeluarkan bentakan, ia sudah menyerang dengan ilmu yang dipelajarinya dari Suma Ceng Liong dan yang paling disukainya, yaitu ilmu totok Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang).

“Keparat, jangan menjual lagak di sini!” bentak Sian Li dan serangannya itu membuat Si Pemuda Jangkung terkejut.

Akan tetapi dia masih dapat menghindarkan diri dengan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik tiga kali.

“Nona Merah cantik sekali. Mundurlah agar kulitmu yang putih mulus tidak sampai lecet,” pemuda itu berkata dan ternyata penabuh musik ini seorang pemuda yang selain lihai ilmu silatnya, juga pandai bicara dan lincah.

Wajah gadis itu menjadi semerah pakaiannya, matanya melotot dan tanpa banyak cakap lagi Sian Li sudah menerjang lagi dengan tusukan-tusukan jari tangannya yang amat berbahaya. Sian Lun juga membantu sumoinya dan pemuda ini bahkan sudah mencabut pedang dan menyerang pemuda jangkung dengan ganasnya.

Si Pemuda Jangkung terkejut. Kiranya dua orang pengeroyoknya itu amat berbahaya, maka setelah berkali-kali dia berloncatan mengelak, dia lalu melolos senjatanya, yaitu sehelai sabuk rantai baja yang kedua ujungnya dipasangi pisau tajam. Dia memutar senjata itu dan dua batang pisau menyambar-nyambar ke arah Sian Li dan Sian Lun bagaikan dua ekor burung walet menyambari belalang.

Sian Li juga sudah mencabut pedangnya dan bersama suhengnya, ia mengeroyok pemuda jangkung. Bagaimanapun lihainya pemuda jangkung itu, kini dia menghadapi pengeroyokan dua orang murid dari Suma Ceng Liong, cucu dari Pendekar Super Sakti Pulau Es yang paling tangguh, maka sebentar saja dia sudah terdesak hebat dan kedua pisau di ujung rantai bajanya hanya mampu melindungi dirinya tanpa mampu membalas serangan lawan.

Lulung Ma ternyata memang lihai bukan main. Sepasang senjatanya yang berbentuk gelang besar bersirip itu selain dapat dipegang kedua tangan untuk menangkis dan menghantam lawan, juga dapat dia lontarkan ke arah lawan. Gelang itu berputar menyambar ke arah lawan, dan kalau lawan mengelak, gelang itu berputar dan membalik kembali ke tangannya.

Beberapa kali Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi nyaris terkena sambaran senjata yang istimewa itu. Namun, kedua suami isteri ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, keturunan orang-orang sakti, maka betapapun dahsyatnya permainan sepasang gelang atau roda di tangan Lulung Ma, tetap saja mereka dapat mempertahankan diri, bahkan serangan balasan mereka pun seringkali membuat Lulung Ma menjadi repot sekali.

“Kepung tempat ini, tangkap mereka semua. Mereka mata-mata musuh!”

Gangga Dewi berteriak lantang. Mendengar aba-aba ini, pasukan keamanan dan para petugas di dusun itu lalu serentak maju mengepung dan mengeroyok. Hanya Lulung Ma, pemuda jangkung dan kedua orang pembantu mereka tadi, yaitu Badhu dan Sagha yang melakukan perlawanan. Para pemusik lain dan juga para penyanyi dan penari berkelompok di sudut dengan ketakutan.

Penonton menjadi panik, apalagi ketika empat orang yang dikeroyok itu berloncatan ke tengah penonton. Beberapa orang penonton roboh dan ketika Suma Ciang Bun, Gangga Dewi, Sian Lun dan Sian Li melakukan pengejaran, empat orang itu telah lenyap di antara penonton.

Para pemusik ketika ditanya, menjawab dengan ketakutan bahwa mereka tidak tahu, bahkan tidak mengenal empat orang itu. Pemimpin rombongan itu, seorang kakek yang lemah, akhirnya mengatakan bahwa dia terpaksa menerima empat orang itu sebagai anggauta rombongan.

”Kenapa engkau menerima mereka?” Gangga Dewi bertanya.

“Hamba takut menolak, mohon Paduka mengampuni hamba.” kata kakek itu ketakutan. ”Hamba sama sekali tidak tahu bahwa mereka adalah pemberontak-pemberontak, tidak tahu bahwa mereka adalah orang-orang Nepal yang hendak mengacau.”

“Katakan, bagaimana engkau bertemu dengan mereka dan siapa pula mereka itu,” kata pula Gangga Dewi.

“Pada malam hari ketika hamba menerima perintah untuk meramaikan penyambutan terhadap Paduka, hamba didatangi kakek yang mengaku bernama Lulung Ma itu. Sebelumnya hamba mengenal dia sebagai seorang pendeta yang bernama Lulung Lama, seorang pemimpin dari para pendeta Lama Jubah Hitam di Tibet. Adapun pemuda jangkung itu adalah muridnya, seorang peranakan Han-Tibet yang bernama Cu Ki Bok. Mereka itu.... aughhh....!”

Sian Li yang bergerak paling cepat, sudah meloncat ke kiri dari mana datangnya pisau yang terbang dan menembus dada kakek pemimpin rombongan pemusik itu. Ia masih sempat melihat berkelebatnya bayangan di antara penonton. Ia mengejar terus, akan tetapi karena banyak penonton yang kembali menjadi panik dan lari ke sana-sini, ia kehilangan jejak bayangan itu.

Akan tetapi melihat bayangan itu bertubuh jangkung, ia dapat menduga bahwa bayangan yang melempar pisau membunuh kakek pemimpin rombongan pemusik yang sedang memberi keterangan itu tentulah pemuda jangkung pemukul tambur yang lihai tadi.

Ketika ia kembali ke tempat tadi, di atas panggung, ternyata kakek itu telah tewas tanpa mampu melanjutkan keterangannya. Gangga Dewi mengepal tinju dan ia mengajak suaminya dan dua orang muda-mudi itu untuk segera melanjutkan perjalanan ke kota raja Thimphu karena ia harus segera melaporkan semua hal yang terjadi itu kepada raja agar dikerahkan pasukan khusus untuk membasmi dan membersihkan jaringan mata-mata orang Nepal dan Tibet yang agaknya bersekongkol itu. Harus mengirim berita pula kepada Kerajaan Nepal dan para pimpinan Lama di Tibet tentang orang-orang Nepal Tibet yang hendak mengacaukan keadaan yang aman tenteram itu.

Tan Sian Li dan suhengnya diterima dengan penuh keramahan dan kegembiraan oleh keluarga raja di Bhutan. Juga semua orang menyambut dengan bahagia bahwa Puteri Gangga Dewi telah bersuamikan seorang pendekar yang gagah perkasa, keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es pula!

Sebentar saja, semua orang mengenal dan mengagumi Si Bangau Merah, julukan Sian Li. Selama seminggu tinggal di istana, kedua orang muda itu setiap hari dijamu dan disambut penuh kehormatan dan keramahan.

Setelah selama seminggu tinggal di istana Kerajaan Bhutan, Sian Li dan Sian Lun berpamit dari keluarga kerajaan itu. Mereka tidak berani tinggal terlalu lama di istana Bhutan, di mana mereka disambut sebagai tamu agung itu karena mereka harus sudah tiba kembali di rumah Suma Ceng Liong sebelum sin-cia (tahun baru). Selain itu, mereka juga ingin meluaskan pengalaman dan akan melakukan perjalanan pulang melalui daerah Tibet.

Dengan hati yang berat Gangga Dewi melepas Sian Li pergi. Ia telah merasa amat sayang kepada dara yang lincah itu dan ia memaksa Sian Li menerima bekal emas permata darinya. Selain itu, juga ia menyediakan dua ekor kuda terbaik untuk mereka. Akan tetapi ketika Gangga Dewi hendak menyiapkan pasukan pengawal, Sian Li menolaknya.

“Kami berdua dapat menjaga diri sendiri, kenapa harus dikawal? Pula, pengawalan membuat perjalanan tidak menarik dan tidak leluasa,” demikian Sian Li menolak dan akhirnya Gangga Dewi, Suma Ciang Bun dan sebagian besar keluarga kerajaan mengantar keberangkatan dua orang muda itu sampai ke pintu gerbang kota raja.

Selain mendapatkan hadiah emas permata yang amat berharga, dan dua ekor kuda terbaik, juga mereka menerima sebuah peta penunjuk jalan. Dalam peta itu, yang dibuat oleh seorang ahli di istana Bhutan, disebutkan tempat-tempat yang akan mereka lalui dalam perjalanan ke timur melalui Tibet itu. Juga diterangkan akan bahaya-bahaya yang mungkin mereka hadapi pada setiap tempat.

Selain itu, Raja Bhutan berkenan memberi sebuah tanda yang terbuat dari sutera yang dicap tanda kebesaran raja dan dengan tanda ini, kedua orang muda itu akan disambut oleh setiap rakyat di daerah Bhutan sebagai keluarga raja yang harus dihormati. Bahkan para pejabat di daerah Tibet pun akan mengenal tanda keluarga Raja Bhutan yang menjadi tetangga mereka dan akan menghormatinya.

Ternyata kemudian bahwa tanda kebesaran ini amat ampuh dan membuat perjalanan Sian Li dan Sian Lun menjadi aman. Orang-orang Bhutan selalu menyambut mereka dengan penuh penghormatan setiap kali Sian Li terpaksa memperlihatkan tanda itu kalau ada orang yang kelihatan curiga kepada mereka. Tanda kebesaran itu membuat mereka selalu disambut dengan hormat oleh para kepala dusun yang mereka lalui.

Setelah melewati daerah perbatasan dan memasuki daerah Tibet, mereka tiba di daerah yang tandus dan gersang. Mereka tahu dari peta bahwa daerah itu cukup jauh dan mereka harus melakukan perjalanan sehari penuh melewati daerah tandus itu sebelum tiba di dusun pertama di daerah yang subur.

Oleh karena itu, sebelum melewati daerah ini, mereka telah membawa perbekalan makanan dan terutama minuman karena menurut keterangan dalam peta, di daerah itu, mereka tidak akan dapat menemukan makanan atau minuman bersih.
Mereka berangkat pagi-pagi memasuki daerah tandus itu dan makin dalam mereka memasuki daerah itu, semakin tandus tanahnya. Tidak ada tumbuh-tumbuhan dapat hidup di tanah berbatu keras itu. Yang ada hanya batu dan pasir dan biarpun daerah itu masih cukup tinggi namun hawanya panas sekali. Mengerikan kalau melihat ke sekeliling sedemikian sunyinya. Apalagi manusia, seekor binatang pun tidak nampak. Bahkan burung-burung pun tahu bahwa daerah itu merupakan daerah maut, maka di angkasa pun tidak nampak adanya burung terbang. Benar-benar merupakan daerah yang mati, sunyi melengang dan mengerikan.

Tepat pada tengah hari, mereka melihat sebuah gubuk dan karena sinar matahari menyengat kulit dengan hebatnya, Sian Li mengajak suhengnya untuk berhenti dan beristirahat sebentar di gubuk itu dan untuk makan roti dan minum air bekal mereka.

Sebuah gubuk yang sudah tua, akan tetapi masih cukup kokoh. Hanya merupakan tempat berteduh, tanpa dinding, hanya atap dan empat buah tihang saja. Akan tetapi di bawah atap itu terdapat batu datar yang dapat mereka jadikan tempat duduk.

“Lihat, ada tulisan di sini,” kata Sian Lun sambil menunjuk ke lantai, dekat batu di mana mereka duduk.

Sian Li memandang. Di lantai gubuk itu, di atas tanah berpadas keras, terdapat ukir-ukiran beberapa buah huruf yang agaknya dibuat dengan menggunakan senjata tajam. Huruf-huruf itu jelas dan juga indah, tentu diukir oleh seorang yang pandai menulis dan mengukir, seorang sasterawan atau seniman. Mereka lalu meneliti tulisan itu dan membacanya.

“Andaikata aku seorang raja,
aku rela menukar kerajaanku
untuk segelas air jernih!”

Hanya sedemikianlah ukiran huruf-huruf itu, akan tetapi itu saja lebih dari pada cukup.
Sian Li dapat membayangkan keadaan Si Penulis itu. Tentu dia seorang yang kehabisan air, sedang kehausan, berada di tengah gurun tandus ini. Sungguh luar biasa sekali.

Betapa berharganya segelas air jernih kalau sedang dibutuhkan oleh orang yang kehausan! Lebih berharga daripada sebuah kerajaan!

Betapa besarnya kasih sayang Tuhan Maha Pengasih kepada kita manusia. Berlimpah-limpah sudah anugerah dan berkah dari Tuhan kepada manusia. Betapa nikmatnya, betapa pentingnya, betapa berharganya segelas air, atau sepotong roti, seteguk hawa udara bagi kehidupan kita. Dan semua sarana untuk mendapatkan itu demikian mudahnya. Sudah tersedia. Ada tanah, ada air, ada hawa udara, ada sinar matahari, ada benih! Puji syukur kepada Tuhan Maha Kasih! Berbahagialah manusia yang dapat menikmati semua anugerah yang berlimpahan di sepanjang hidupnya ini.

Namun sayang, nafsu angkara murka dan ketamakan membuat manusia buta akan semua berkah yang dilimpahkan dan sepatutnya disyukuri dan dinikmati ini. Kalau kita mendapatkan segelas air, nafsu angkara murka membisikkan celaannya mengapa tidak ada anggur, mengapa hanya ada air tawar. Dan lenyaplah sudah segala keindahan dan kenikmatan air itu, bahkan menjadi tidak enak, memuakkan, dan mengecewakan.

Nafsu memang tak mengenal puas, tak mengenal batas. Kalau ada anggur, bisikan beracun itu masih terus berdengung agar kita dapat memperoleh yang lebih hebat lagi, yang lebih enak lagi, yang lebih nikmat lagi. Segala yang tidak ada, yang belum terjangkau tangan, selalu akan nampak lebih indah, lebih nyaman dan lebih menyenangkan daripada apa saja yang sudah kita miliki.

Mensyukuri keadaan yang ada pada kita, mensyukuri segala peristiwa sebagai suatu berkah, sebagai suatu yang sudah dikehendaki Tuhan, merupakan kunci kebahagiaan.
Bukan berarti lalu mandeg dan lunglai, bersandar kepada kekuasaan Tuhan belaka. Sama sekali tidak! Hidup berarti gerak, bekerja, berikhtiar, sekuat tenaga sekuat kemampuan.

Ini berarti menjalankan semua alat yang disertakan oleh kekuasaan Tuhan kepada kita ketika kita diciptakan sebagai manusia. Kita pergunakan semua alat, anggauta tubuh, hati dan alat pikiran, kita gunakan demi kelangsungan hidup, demi mencukupi semua kebutuhan hidup. Bukan demi meuruti bisikan nafsu angkara murka sehingga untuk mencapai tujuan kita menghalalkan semua cara, melainkan kita kerjakan semua alat demi kepentingan hidup di dunia ini. Dan apa pun hasilnya, apa pun jadinya, dan peristiwa apa pun yang menimpa diri kita, kita terima tanpa mengeluh! Semua kehendak Tuhan jadilah!

Kita hanya dapat menyerah, kita hanya dapat menerima, dan kita wajib membantu pekerjaan kekuasaan Tuhan pada alam ini. Kita tidak akan dapat memperoleh padi tanpa berusaha, walaupun Tuhan sudah menyediakan tanahnya, airnya, udaranya, sinar mataharinya, benihnya. Kita harus membantu mengerjakan semua itu, mencangkul tanah, menanam benih, mengairi sawah, menuai, menjemur, menumbuk dan selanjutnya, sebelum hasilnya dapat menyambung kehidupan kita melalui makanan.

Sian Li tertawa dan ia mengeluarkan bungkusan roti, memberi isarat kepada suhengnya untuk makan dan minum air bekal mereka. Melihat sumoinya tertawa lalu tersenyum-senyum sambil makan roti dan minum air, Sian Lun memandang heran.

“Eh, Sumoi, kenapa engkau tertawa dan tersenyum-senyum?”

Dia mengamati wajah yang kemerahan karena sinar matahari itu sehingga kedua pipinya di bawah mata yang agak menjendul itu menjadi merah sekali, mengamati bibir yang bergerak-gerak ketika makan roti. Betapa manisnya wajah sumoinya!

Sian Li tersenyum dan sebelum menjawab, ia minum dulu air dari botol airnya.
“Tulisan ini yang membuat aku tertawa,” katanya sambil menunjuk ke arah lantai yang diukir huruf-huruf itu.

“Apanya yang lucu Sumoi? Huruf-huruf itu indah sekali, dan isinya menurut aku mengharukan dan menyedihkan, kenapa engkau malah tertawa?”