Ads

Minggu, 27 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 033

"Suhu, bagaimana keadaan Suhu?" pemuda itu bersila di dekat tubuh yang tergolek di atas lantai tanah keras dan dia meletakkan telapak tangan kirinya di atas dada itu.

Kakek itu menghela napas panjang.
"Saat terbebas dari segala penderitaan hidup bagiku telah tiba. Tidak ada obat di seluruh dunia ini yang akan dapat memperpanjang usia manusia yang sudah tiba di garis akhirnya."

"Tapi, Suhu....!"

"Hushhh! Tidak senangkah hatimu melihat gurumu, satu-satunya orang di dunia ini yang mencintamu, terbebas dari hukuman yang membuat hidupnya amat sengsara ini? Inginkah engkau melihat hukuman dan siksaan terhadap gurumu diperpanjang lebih lama lagi?"

Pemuda itu menunduk. Dia seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bertubuh sedang dan tegap. Wajahnya lonjong dengan dagu meruncing dan berlekuk, alisnya tebal berbentuk golok, dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan keramahan dan kelembutan walaupun dagu yang berlekuk itu membayangkan ketabahan tanpa batas, Pakaiannya sederhana seperti pakaian petani namun bersih, dan ikat pinggang yang diikatkan kuat-kuat itu memperlihatkan bentuk pinggang yang ramping.

Tubuhnya padat walau tidak memperlihatkan kekuatan otot. Rambutnya hitam dan panjang, diikat secara sederhana saja dan dibiarkan tergantung di belakang punggung. Dilihat sepintas lalu, dia seorang pemuda biasa saja, seperti seorang di antara ribuan pemuda seperti dia di perkampungan, pemuda petani atau pemuda yang bekerja kasar.

Bukan seorang pemuda hartawan atau pemuda bangsawan, apalagi terpelajar. Akan tetapi kalau orang melihat dengan perhatian, akan nampak bahwa sinar matanya mencorong namun lembut, dan dalam setiap gerak-geriknya terdapat ketenangan dan kemantapan yang mengagumkan.

Kalau pemuda itu nampak seperti pemuda dusun biasa, kakek yang rebah telentang itu sama sekali tidak dapat dibilang seperti kakek biasa, bahkan juga tidak seperti manusia biasa pada umumnya. Kakek itu hanya terdiri dari kepala, leher dan badan saja. Tanpa kaki tanpa tangan! Rambut putih panjang itu lebih panjang dari badannya dan kini menyelimutinya seperti sehelai selimut kapas.

Mereka berdua pun bukan berada di sebuah pondok atau rumah, melainkan berada di dasar sumur! Pemuda itu bukan lain adalah Yo Han, sedangkan kakek buntung kaki dan lengannya itu adalah kakek Ciu Lam Hok, kakek sakti dalam sumur yang menjadi guru terakhir Yo Han.

Ketika pertama kali memasuki sumur di dalam guha sebelah belakang sarang Thian-li-pang di mana Thian-te Tok-ong, tokoh besar Thian-li-pang bertapa, Yo Han berusia lima belas tahun. Kini dia telah berusia dua puluh tahun. Ini berarti bahwa dia telah tinggal di dalam sumur itu selama lima tahun.

Setiap hari dia digembleng ilmu yang aneh-aneh oleh kakek yang buntung kaki dan lengannya itu sehingga tanpa disadarinya sendiri, Yo Han telah menguasai ilmu yang amat hebat. Dia kini sudah menyadari behwa dia dilatih ilmu silat yang amat hebat. Karena dia mulai dapat melihat bahwa baik buruknya ilmu tergantung dari manusia yang menggunakannya, maka dia tidak lagi menolak dan bahkan mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya dengan tekun dan penuh semangat. Dia hanya akan mempergunakan ilmu-ilmu itu demi kebaikan, bukan untuk mencelakai orang.

Dalam waktu empat tahun, Yo Han telah menguasai ilmu-ilmu yang menjadi dasar, bahkan kini dia dapat melihat betapa apa yang tadinya dianggap ilmu "tari" dan "senam" yang dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong, sesungguhnya merupakan ilmu silat yang hebat. Dan di bawah bimbingan kakek buntung, semua ilmu itu telah dapat dilatihnya dan diperdalam sehingga matang.

Kemudian, setahun yang lalu, selama setahun penuh kakek aneh itu menurunkan ilmunya yang dikatakan sebagai ilmu segala ilmu silat tinggi, diberi nama Bu-kek-hoat-keng yang pernah diperebutkan oleh seluruh tokoh dunia persilatan.

"Bahkan karena ilmu inilah aku disiksa oleh dua orang Suhengku. Mereka begitu menginginkan ilmu Bu-kek-hoat-keng ini sehingga mereka tega untuk membuntungi kaki tanganku, dan menyiksaku di dalam sumur. Kini, ilmu itu telah kuwariskan kepadamu Yo Han. Hatiku lega sudah dan kuharap, dengan ilmu ini engkau akan memulihkan nama baik Thian-li-pang, dapat mencuci bersih Thian-li-pang dari unsur-unsur jahat, menjadikan perkumpulan itu sebagai perkumpulan para pahlawan yang berjuang demi tanah air dan bangsa."

Demikianlah katanya setelah dia mengajarkan seluruh ilmu itu kepada Yo Han. Selama setahun barulah Yo Han dapat menguasai ilmu itu dengan baik, hanya tinggal mematangkannya melalui latihan saja. Dan semenjak menurunkan ilmu itu kesehatan kakek Ciu Lam Hok mundur sekali. Dia jatuh sakit dan biarpun Yo Han sudah membantunya dengan penggunaan ilmu Bu-kek-hoat-keng yang dapat pula dipergunakan untuk melancarkan jalan darah dengan menyalurkan tenaga sakti dari ilmu itu yang amat dahsyat, namun karena usia tua ditambah penderitaan dari siksaan yang luar biasa, kakek itu tetap saja menjadi lemah dan sakit-sakitan.

Penderitaan yang ditanggung kakek Ciu Lam Hok memang luar biasa. Kalau bukan dia yang telah menguasai ilmu Bu-kek-hoat-keng, kiranya tidak mungkin dapat bertahan sampai sepuluh tahun lebih di dalam sumur itu!

Demikianlah, pada hari itu, Yo Han merasa bersedih melihat keadaan gurunya semakin payah. Ketika dia menempelkan telapak tangannya pada dada gurunya, tahulah dia bahwa jantung gurunya bekerja lemah sekali. Sungguh amat mengherankan. Ketika gurunya melatih Bukek-hoet-keng, gurunya demiklan penuh semangat dan tidak mengenal lelah.

Kini, seolah-olah tenaganya habis setelah setahun penuh melatih ilmu itu. Ketika dia mendengar ucapan gurunya yang terakhir dia pun menunduk.

"Suhu memang berkata benar. Akan tetapi Suhu, hidup kita sudah dicengkeram dan dipengaruhi oleh peradaban dan tata susila yang sudah diterima oleh semua orang. Bagaimana mungkin teecu mengemukakan kata hati melalui mulut, mengatakan bahwa teecu akan lebih senang melihat Suhu terbebas dari siksaan melalui kematian? Seluruh dunia akan mengutuk teecu kalau teecu berani mengatakan hal seperti itu."






Mendengar ini, kakek itu masih dapat tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, aku sejak dulu tahu bahwa engkau hebat, muridku. Matamu yang ke tiga selalu terbuka sehingga engkau lebih awas, lebih waspada daripada orang biasa. Engkau melihat segalanya seolah menembus dan engkau dapat melihat intinya. Engkau melihat segala kepalsuan yang dilakukan manusia! Ha-ha-ha, dibandingkan engkau, aku ini bukan apa-apa. Kalau engkau sudah tahu, aku akan mati dengan mata terpejam dan tidak ada rasa penasaran apa pun. Ya, Tuhan, hamba telah siap!" kata kakek itu dan kembali dia tertawa bergelak.

Akan tetapi, suara ketawanya itu makin lama semakin surut dan akhirnya berhenti sama sekali. Kedua matanya terpejam.

Yo Han cepat meraba dada gurunya kembali dan tahulah dia bahwa tubuh itu telah menjadi mayat. Dia menunduk dengan sikap hormat untuk menghormati jenazah suhunya. Dia tidak menangis, tidak perlu berpura-pura karena di situ tidak ada orang lain, juga karena suhunya ini, biarpun kaki tangannya buntung, namun kewaspadaannya tidak buntung dan suhunya tahu bahwa andaikata dia menangisi kematian suhunya, maka tangisnya itu palsu. Tangisnya itu bukan bersedih untuk suhunya, melainkan bersedih karena dirinya sendiri, karena ditinggal, karena kehilangan. Bahkan mungkin tangisnya terdorong perasaan agar tidak menganggap diri sendiri keterlaluan, tidak mengenal budi!

Dia tidak menangis, karena memang tidak ada hal yang perlu ditangisi, tidak ada hal yang perlu disedihkan. Bahkan kalau dia mau jujur, ada perasaan lega dalam hatinya bahwa gurunya, yang diam-diam amat dikasihinya itu, kini bebas dari penderitaan. Selain itu, dengan meninggalnya kakek itu, berarti dia bebas pula untuk meninggalkan sumur itu!

Gurunya pernah berpesan agar kalau dia mati, jenazahnya diletakkan di lantai kamar yang kecil dan yang terlindung atasnya, merupakan guha batu dalam sumur itu.

"Engkau tahu, tempat itu amat kusukai. Setiap kali melakukan siu-lian (samadhi) aku selalu menggunakan kamar itu. Biarlah aku beristirahat di kamar itu selamanya, maksudku badanku," demikian pesannya.

Dengan hati dipenuhi rasa iba terhadap kakek yang meninggal di tempat terasing itu, tanpa ada yang berkabung, tanpa disembahyangi, tanpa dijenguk keluarga maupun kawan, Yo Han memondong tubuh tanpa kaki tanpa lengan itu dan membawanya ke dalam guha, merebahkannya di dalam guha itu.

Kemudian dia mengumpulkan semua bahan yang masih ada, roti dan daging kering, beberapa potong pakaian, dan dia tidak lupa mengambil beberapa potong batu emas dari dinding sumur dan memasukkan semua itu dalam buntalan. Kemudian, dia pun mengikatkan buntalan di punggungnya, dan memasuki guha, berlutut di depan jenazah gurunya.

"Suhu, sesuai dengan pesan terakhir Suhu, teecu membaringkan jenazah Suhu di sini, dan sesuai pula dengan perintah Suhu, teecu segera meninggalkan tempat ini untuk melaksanakan pesan Suhu. Suhu untuk terakhir kalinya, teecu menghaturkan terima kasih melalui ucapan yang keluar dari sanubari teecu."

Dia memberi hormat delapan kali di dekat jenazah gurunya, kemudian dia keluar dari dalam guha kecil. Sekali lagi dia meneliti di sepanjang dinding sumur dan terowongan. Setelah yakin bahwa tidak ada sisa coretan dan lukisan yang dibuat suhunya dengan sepotong besi yang digigitnya, untuk menggambarkan pelajaran Bu-kek-hoat-keng yang amat sulit, baru Yo Han menuju ke dasar sumur dan merayap naik.

Dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, mudah saja dia merayap naik, seperti orang mendaki tangga saja. Dengan cepat tibalah dia di dalam guha di atas tanah, guha yang menjadi jalan masuk ke sumur itu. Dia mendengar suara orang lapat-lapat dari dalam guha yang tertutup semak-semak yang rimbun dan penuh duri. Maka, dia pun menanti di guha itu, duduk dengan santai sambil melamun. Dia mengingat kembali pesan terakhir dari gurunya.

Pertama-tama, dia dipesan untuk pergi mencari keluarga gurunya. Menurut kakek Ciu Lam Hok, dia berasal dari keluarga kerajaan! Ayahnya seorang panglima yang membantu perkembangan kerajaan baru Mancu. Karena dia gagah perkasa dan berjasa besar, maka dia menerima hadiah yang besar, diangkat menjadi panglima, bahkan dinikahkan dengan seorang puteri adik Kaisar Kang Hsi.

Akan tetapi karena melihat bangsa Mancu yang tadinya berjanji akan memperbaiki nasib rakyat melanggar janji, banyak di antara pejabatnya yang bahkan menindas rakyat dan menghina rakyat Han, maka Ciu Wangwe, Jenderal Ciu Kwan menjadi marah dan memberanikan diri untuk mengajukan protes keras. Melihat ini, Kaisar marah dan dia pun ditangkap, dituduh memberontak dan dihukum mati.

Ciu Kwan yang beristeri seorang puteri Mancu itu mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Ciu Lam Hok, sedangkan yang ke dua seorang wanita bersama Ciu Ceng.

Sejak muda, Ciu Lam Hok mewarisi watak ayahnya, yaitu berdarah pendekar dan pembela rakyat. Biarpun ibunya dan dia bersama adik perempuannya diampuni Kaisar dan tidak ikut dihukum, namun diam-diam Ciu Lam Hok mendendam kepada Kerajaan Mancu. Dia pun meninggalkan ibunya yang masih tinggal di istana, karena puteri adik Kaisar itu diampuni dan masih dianggap keluarga istana.

Ciu Lam Hok amat mencinta adiknya, akan tetapi terpaksa dia meninggalkan ibu dan adiknya karena dia tidak sudi tinggal di dalam istana, bahkan dia menaruh dendam atas kematian ayahnya yang dianggapnya sebagai seorang pahlawan besar.

Demikianlah, setelah puluhan tahun lamanya mempelajari ilmu silat dengan amat tekun, bersama dua orang suhengnya Ciu Lam Hok mendirikan Thian-li-pang yang maksudnya untuk menentang kekuasaan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, seperti pernah diceritakan kakek sakti itu kepada muridnya, dua orang suhengnya setelah bergaul dengan orang-orang Pek-lian-kauw yang menamakan diri mereka pejuang pula, mulai menyeleweng kejalan sesat. Dia menentang mereka dan akhirnya dia disiksa dan menderita selama bertahun-tahun di dalam sumur.

Seringkali kakek buntung itu mengenang keluarganya dan dia merasa rindu sekali kepada ibunya, terutama sekali adik perempuannya karena dia dapat menduga bahwa ibunya tentu telah amat tua dan telah meninggal dunia. Karena rindunya maka dia membebankan tugas di pundak muridnya agar setelah muridnya keluar dari dalam sumur, pertama-tama Yo Han harus mencari adiknya yang bernama Ciu Ceng, seorang puteri di istana dan mengenal keluarga adiknya itu. Bahkan dia meninggalkan pesan bahwa Yo Han harus melakukan sesuatu yang baik bagi keluarga Ciu Ceng sebagai tanda kasih sayang kakek Ciu kepada adiknya. Kalau perlu, Yo Han harus melindungi keluarga Ciu Ceng dengan taruhan nyawa!

"Pesanku ini merupakan tanda kasih sayangku yang terakhir untuk adikku, saudara kandungku yang tunggal itu, maka aku sungguh mengharapkan engkau akan melaksanakannya dengan baik, Yo Han," demikian kakek itu menutup pesannya yang pertama.

Pesan ke dua gurunya adalah bahwa setelah dia menyelesaikan tugas pertama, dia harus pergi mencari Mutiara Hitam, yaitu sebuah pusaka berupa mutiara yang berwarna hitam dan yang mempunyai khasiat yang amat hebat. Mutiara itu pernah dimiliki kakek Ciu, akan tetapi dalam perebutan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan, benda mustika itu lenyap dan kabarnya dikuasai oleh seorang kepala suku Miao di selatan.

Yo Han mendapat tugas untuk mencari dan merampas kembali benda itu yang bukan saja amat penting karena khasiatnya, juga hal ini untuk mengangkat kembali nama besar Ciu Lam Hok sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan.

Adapun pesan ke tiga dari gurunya adalah agar dia membersihkan Thian-li-pang dari tangan-tangan kotor dan mengembalikan kedudukan Thian-li-pang sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang hendak membebaskan rakyat dari tangan penjajah Mancu berdasarkan kebenaran dan keadilan, tidak dibawa menyeleweng seperti sekarang ini.

"Aku tahu, kedua suhengku itu menyeleweng setelah mereka bergaul dengan orang-orang Pek-lian-kauw. Karena itu, Thian-li-pang harus dibersihkan dari pengaruh Pek-lian-kauw dan menjadi perkumpulan para pahlawan, para patriot kembali. Di antara para murid Thian-lipang masih banyak yang bersih, hanya mereka takut kepada pimpinan mereka yang sudah dicengkeram pengaruh Peklian-kauw. Bersihkan Thian-li-pang, muridku. Sesungguhnya untuk Thian-li-pang maka aku menderita seperti ini. Kalau engkau berhasil membersihkan Thian-li-pang, berarti bahwa semua penderitaanku ini tidak sia-sia."

Yo Han mengepal tinjunya. Dia harus melaksanakan pesan ini lebih dahulu. Apa pun resikonya, dia harus dapat dan mampu membersihkan Thian-li-pang. Apalagi, dia memang berada di daerah Thian-li-pang, maka untuk sementara dia harus melupakan dua tugas yang lain, dan berusaha untuk melaksanakan tugas membersihkan Thian-li-pang dari pengaruh jahat.

Setelah orang-orang Thian-li-pang yang lewat di depan guha itu menjauh, dia pun menyelinap keluar dari guha dan dari balik semak-semak dia melihat betapa Thian-li-pang agaknya sedang melakukan suatu kegiatan karena berbondong-bondong para anggautanya menuju ke pekarangan rumah induk.

Dia sudah mengenal baik tempat itu dan tahu bahwa tentu ada pertemuan besar di pekarangan. Hanya kalau ada rapat besar yang melibatkan seluruh anggauta, maka pertemuan itu diadakan di pekarangan yang luas di depan rumah induk. Dia pun menyusup mendekat dan mengintai.

Memang benar dugaan Yo Han. Pada hari itu diadakan pertemuan penting di Thian-li-pang. Semua anggauta yang berada di pusat, yang jumlahnya tidak kurang dari dua ratus orang, berkumpul di pekarangan yang luas itu. Anggauta Thian-li-pang tersebar di banyak tempat, puluhan ribu orang jumlahnya, terbagi dalam cabang-cabang dan ranting-ranting. Kini yang hadir dalam rapat adalah ketua-ketua cabang, kepala-kepala ranting, dan para anggauta di pusat.

Pertemuan itu amat penting karena selain dihadiri ketuanya, yaitu Ouw Ban dan wakilnya, yaitu Lauw Kang Hui, juga dihadiri pula oleh dua orang kakek yang selama ini jarang muncul dan mereka menjadi penasehat dan pujaan para pimpinan Thian-li-pang, yaitu Ban-tok Mo-ko guru ketua dan wakil ketua, dan suhengnya, yaitu Thian-te Tok-ong yang selama bertahun-tahun bersembunyi dan bertapa di dalam guha.

Kalau dua orang ini sampai muncul di dalam rapat itu, tentu rapat itu istimewa sekali. Dan hadir pula di situ dua orang tokoh Pek-lian-kauw sebagai tamu undangan, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua orang yang sudah lama bekerja sama dengan Thian-li-pang bersama Ang I Moli.

Setelah semua orang hadir lengkap, Ouw Ban sebagai Ketua Thian-li-pang menceritakan dengan singkat akan kegagalan usaha mereka untuk membunuh para pengeran di Istana.

Bahkan dalam usaha itu, puteranya, Ouw Cun Ki, dan juga Ang I Moli tokoh Pek-lian-kauw, ditangkap dan dihukum mati, bersama banyak anggauta Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang menyusup sebagai anak buah Ouw Cun Ki.

"Kita tidak boleh membiarkan saja kejadian itu!" Ouw Ban berseru dengan suara keras karena hatinya diliputi kemarahan dan kedukaan atas kematian puteranya. "Kita akan mengumpulkan kekuatan dan kita serbu istana, kita bunuh Kaisar dan seluruh keluarganya!"
Ucapan penuh semangat itu disambut sorakan gegap gempita oleh para anggauta Thian-li-pang. Juga dua orang tosu Pek-lian-kauw bertepuk jangan gembira dan setelah sorakan itu mereda, Kwan Thian-cu yang bertubuh gendut itu tertawa,

"Ha-ha-ha, sungguh gagah sekali Pangcu dari Thian-li-pang! Memang pendapatnya itu tepat sekali. Perjuangan kita takkan berhasil sebelum kita membunuh Kaisar Kian Liong dan para pangeran. Kalau mereka terbunuh, tentu pemerintahan mereka akan kacau dan kita pergunakan kesempatan itu untuk mengerahkan pasukan menghancurkan mereka!"

Kembali ucapan ini disambut sorakan.
"Hancurkan penjajah Mancu!"

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Diam.!"

Semua orang terdiam memandang orang yang mengeluarkan bentakan nyaring itu. Yang membentak adalah Bantok Mo-ko. Biarpun kakek yang usianya sudah delapan puluh tiga tahun ini biasanya halus dan ramah, namun bentakannya mengandung getaran kuat sehingga semua orang terdiam dan suasana menjadi hening sehingga suaranya terdengar cukup jelas walaupun suara itu lembut.

"Ouw Ban," kata Ban-tok Mo-ko dengan suara yang berpengaruh. "Sebelum engkau mengemukakan usul baru, sebaiknya kalau kita membicarakan tentang kedudukanmu sebagai ketua. Tahukah engkau mengapa sekali ini aku sampai ikut menghadiri pertemuan ini, bahkan Suheng Thian-te Tok-ong juga keluar dari guhanya?"

Ouw Ban memandang wajah gurunya dengan alis berkerut dan sinar mata penuh pertanyaan.

"Teecu tidak mengerti apa yang Suhu maksudkan."

"Ouw Ban, apakah engkau masih belum menyadari kesalahanmu? Sebagai ketua engkau tidak becus! Semua langkah yang kau ambil telah gagal, bahkan merugikan Thian-li-pang yang kehilangan banyak murid. Dan sekarang engkau malah hendak membunuh lebih banyak murid Thian-li-pang lagi dengan menyuruh mereka menyerbu istana?"

Ouw Ban nampak penasaran sekali.
"Akan tetapi, Suhu. Semua ini teecu lakukan demi perjuangan!"

"Hemm, perjuangan bukan sekedar menuruti dendam dan kemarahan. Harus dengan perhitungan. Akan tetapi sepak terjangmu ngawur. Sejak engkau menyelundupkan Ciang Sun ke istana, menghubungi Siang Hong-houw, engkau banyak melakukan kesalahan yang merugikan perjuangan kita. Dan sekarang engkau akan menyuruh banyak murid bunuh diri dengan menyerbu istana yang terjaga kuat sekali? Ouw Ban, karena engkau muridku, aku menjadi malu. Engkau tidak patut menjadi Ketua Thian-li-pang!"

Wajah Ouw Ban menjadi merah. Dia sedang berduka karena kematian putera tunggalnya, karena kegagalan usahanya membunuh para pangeran, dan kini gurunya bahkan mamarahinya di depan semua ketua cabang dan kepala ranting, bahkan di depan dua orang tokoh Pek-lian-kauw!

Dia teringat bahwa dialah Ketua Thian-li-pang sehingga di dalam perkumpulan itu, dia orang pertama yang paling tinggi kedudukannya, bahkan lebih tinggi dari kedudukan gurunya dan supeknya yang hanya merupakan penasihat!

"Suhu lupa bahwa akulah Ketua Thian-li-pang!" katanya. Suaranya kini kasar dan penuh kemarahan. "Aku berhak memutuskan apa yang harus dilakukan oleh Thian-li-pang, dan aku sudah mengambil keputusan untuk menyerbu istana, membunuh Kaisar Kian Liong! Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi rencanaku ini!"

Semua orang terkejut dan memandang dengan hati tegang melihat timbulnya pertentangan antara guru dan murid ini. Ouw Ban memandang kepada gurunya dengan mata bersinar-sinar.

“Ouw Ban, engkau hanya menuruti perasaan hatimu yang penuh dendam sakit hati karena kematian anakmu! Engkau sudah bertindak demi kepentingan diri pribadi, bukan lagi untuk kepentingan Thian-li-pang!"

"Ha-ha-ha-ha, Sute Ban-tok Mo-ko, muridmu ini memang sudah tidak patut lagi menjadi Ketua Thian-li-pang. Singkirkan saja dia dan ganti dengan murid lain!" kata Thian-te Tok-ong.

Mendengar ini, Ouw Ban menjadi semakin marah. Biarpun dia menghormati suhu dan supeknya, akan tetapi sekarang dia adalah seorang ayah yang mendendam karena kematian puteranya. Dia memang maklum akan kelihaian suhu dan supeknya, dan takut kepada mereka.

Akan tetapi sekarang, melihat keinginannya membalas dendam kematian puteranya dihalangi, bahkan kedudukannya sebagai Ketua Thian-li-pang akan digeser, dia tidak mengenal takut lagi. Apa pula suhu dan supeknya adalah dua orang kakek yang sudah tua renta, betapa pun lihainya, tentu sekarang sudah lemah, pikirnya. Bangkitlah dia dari tempat duduknya dan dia menghadapi suhu dan supeknya.

"Aku diangkat menjadi Ketua Thian-li-pang oleh semua ketua cabang dan kepala ranting, juga oleh semua anggauta setelah aku menunjukkan bahwa akulah yang paling kuat dan paling tepat menjadi ketua. Kalau sekarang ada yang ingin mencopot aku dari kedudukan ketua siapapun juga dia, harus dapat mengalahkan dan merobohkan aku!"

"Heh-heh-heh-heh, muridmu ini memang bejat, Sute! Biar aku yang menghajarnya!"

Wajah Ban-tok Mo-ko menjadi pucat, lalu merah sekali. Dia adalah seorang datuk yang biasanya bersikap halus dan ramah, akan tetapi saat ini dia benar amat marah. Dia melangkah maju menghadapi muridnya dan berkata kepada suhengnya,

"Suheng, dia muridku, maka akulah yang bertanggung jawab atas penyelewengannya. Aku yang harus menghajarnya. Ouw Ban, engkau murid murtad, cepat berlutut dan menerima hukuman!"

Akan tetapi Ouw Ban yang sudah marah sekali tidak mau berlutut, bahkan menatap wajah suhunya dengan berani. Suhunya sudah berusia delapan puluh tiga tubuhnya sudah nampak kurus dan lemah sehingga dia sama sekali tidak merasa gentar. Apalagi dia tahu bahwa hampir seluruh ilmu yang dikuasai suhunya sudah dipelajarinya.

"Memang, aku adalah murid Suhu, akan tetapi di Thian-li-pang, bahkan Suhu harus tunduk terhadap perintah Ketua Thian-li-pang!"

"Ouw Ban, berani engkau menentang dan melawan gurumu?" sekali lagi Ban-tok Mo-ko membentak.

"Kalau terpaksa, siapa pun akan kulawan. Aku harus mempertahankan kedudukanku sebagai ketua dengan taruhan nyawa!"

"Kalau begitu, engkau akan mati di tanganku sendiri, Ouw Ban!" kata kakek itu dan tiba-tiba dia menyerang dengan tamparan tangan kirinya.

Ouw Ban memang sudah siap siaga, maka dia pun menangkis dan balas menyerang! Semua orang memandang dengan hati tegang. Tak ada seorang pun berani mencampuri atau melerai karena kedua orang itu adalah guru dan murid, bahkan Ketua Thian-li-pang dan seorang tokoh tua perkumpulan itu.

Namun, jelas nampak bahwa usia tua membuat Ban-tok Mo-ko kewalahan menghadapi muridnya. Muridnya itu pun sudah tua, usia Ouw Ban sudah tujuh puluh tiga, akan tetapi gurunya sepuluh tahun lebih tua dan kalau Ouw Ban masih giat bergerak dan berlatih silat, Ban-tok Mo-ko, lebih banyak bersamadhi dan tidak pernah berlatih. Oleh karena itu, walaupun dalam hal tenaga sin-kang Ban-tok Mo-ko masih kuat, namun dia kehilangan kegesitannya dan kalah cepat oleh muridnya sehingga tak lama kemudian dia terdesak oleh muridnya itu!

Ketika untuk kesekian kalinya Ban-tok Mo-ko meloncat ke belakang menghindar dari desakan muridnya, Ouw Ban mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya berubah merah dan dia pun memukul ke depan dengan dorongan kedua tangan terbuka. Itulah ilmu pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang amat dahsyat! Melihat ini, Ban-tok Mo-ko juga mengerahkan sin-kangnya dan menggunakan ilmu pukulan yang sama, menyambut dorongan kedua tangan itu.

"Plakkk!"

Dua pasang tangan itu saling bertemu dan telapak tangan mereka saling melekat. Keduanya mengerahkan tenaga sin-kang, saling dorong dan sebentar saja nampak uap mengepul dari kepala mereka, tanda bahwa mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sinkang mereka.

Suasana menjadi semakin tegang karena semua orang tahu bahwa guru dan murid ini sedang mati-matian mengadu sin-kang yang berarti mereka mengadu nyawa. Yang kalah kuat akan roboh dan tewas!

Akan tetapi tiba-tiba Thian-te Tok-ong bergerak ke depan dan tangan kirinya menepuk punggung sutenya.

"Murid macam itu tidak perlu diampuni lagi!"

Begitu punggung Ban-tok Mo-ko kena ditepuk tangan kiri Thian-te Tok-ong, serangkum tenaga dahsyat membantu kedua telapak tangan Ban-tok Mo-ko dan tiba-tiba saja tubuh Ouw Ban terlempar ke belakang dibarengi gerengannya dan dia pun roboh terbanting dan muntah darah, matanya mendelik dan nyawanya putus seketika!

Ban-tok Mo-ko memejamkan kedua matanya, lalu duduk bersila dan menarik napas panjang beberapa kali untuk memulihkan tenaganya. Sementara itu, Thian-te Tok-ong tertawa dan berkata kepada para murid Thian-li-pang,

"Singkirkan mayat murid murtad itu agar kita dapat bicara dengan tenang."

Beberapa orang murid maju dan mengangkat mayat Ouw Ban dibawa ke belakang. Jenazahnya akan dikubur tanpa banyak upacara lagi karena dia dianggap sebagai seorang murid murtad.

Ban-tok Moko lalu berkata kepada semua orang dengan suaranya yang lembut.
“Para anggauta Thian-li-pang, murid-murid yang setia. Karena Ouw Ban telah murtad dan disingkirkan, maka sekarang yang memimpin pertemuan ini adalah wakil ketua, yaitu Lauw Kang Hui. Kang Hui, kau pimpin pertemuan ini dan sebaiknya kalau diadakan pemilihan ketua baru lebih dulu, baru kita akan mengambil langkah-langkah selanjutnya.”