Ads

Minggu, 27 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 031

Anak perempuan berusia dua belas tahun itu mungil dan cantik manis sekali. Ia bersilat dengan gaya yang indah namun gagah. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir menjadi dua dan bergantungan di kanan kiri, diikat dengan pita kuning. Ketika ia bersilat, sepasang kuncir itu bergerak-gerak seperti dua ekor ular hitam, kadang di depan dada, kadang di belakang punggung. Kalau kepala itu digerakkan dengan cepat, dua helai kuncir itu pun ikut bergerak meluncur seperti sepasang senjata. Kalau tubuh itu tiba-tiba merendah, sepasang kuncir itu seperti terbang ke atas kepala. Gerakan kaki tangannya mantap dan indah, seperti gerakan seekor burung bangau merah.

Ia adalah Tan Sian Li yang sedang berlatih di kebun belakang rumah, diamati ayahnya, Tan Sin Hong yang berdiri menonton sambil bertolak pinggang. Sian Li kini telah menjadi seorang anak berusia dua belas tahun yang cantik jelita, manis, dan lincah sekali.
Wajahnya yang berkulit putih itu berbentuk bulat telur dengan sepasang mata yang lebar dan jeli, hidung mancung dan mulutnya yang manis itu selalu mengandung senyum mengejek sehingga sepasang lesung di pipinya selalu nampak. Ia sedang memainkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Burung Bangau Putih), ilmu silat ayahnya yang amat lihai.

Akan tetapi, karena usianya baru dua belas tahun, maka Tan Sin Hong hanya mengajarkan gerakannya saja, belum "mengisi" tubuh anaknya dengan tenaga sakti ilmu itu. Anaknya masih terlalu muda sehingga akan membahayakan kalau tubuhnya menerima kekuatan yang dahsyat itu. Kini, anaknya hanya mempelajari dan menguasai gerakannya saja, kelak kalau sudah dewasa, baru akan diisi dengan tenaga sakti sehingga ilmunya itu akan menjadi lengkap.

Selain ilmu silat yang merupakan ilmu simpanan itu, juga Sin Hong mengajarkan semua gerakan dasar ilmu tinggi yang menjadi dasar ilmu silat Sin-liong-ciang-hoat, ilmu dari Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi seorang di antara guru-gurunya. Juga dia mengajarkan dasar-dasar dari ilmu yang pernah dipelajarinya dari dua orang gurunya yang lain, yaitu mendiang nenek Wan Ceng dan kakek Tiong Khi Hwesio atau Wan Tek Hoat, Si Jari Maut.

Biarpun usianya baru dua belas tahun, namun Sian Li telah menjadi seorang anak yang luar biasa. Ilmu silatnya sudah hebat. Jarang ada orang dewasa yang akan mampu menandinginya. Ketika ia menyelesaikan gerakan terakhir dari Pek-ho Sin-kun, tiba-tiba muncul ibunya, Kao Hong Li.

"Ada tamu datang, kalian hentikan dulu latihan itu, dan mari keluar menyambut tamu!"

Sian Li menghentikan latihannya dan Sin Hong menghampiri isterinya.
"Siapakah yang datang berkunjung?"

"Seorang utusan dari Paman Suma Ceng Liong."

Mereka segera memasuki rumah dan menuju ke ruangan depan di mana tamu itu dipersilakan duduk. Ketika mereka tiba di ruangan depan, Tan Sin Hong melihat seorang laki-laki yang usianya empat puluh tahun dan berjenggot panjang bangkit berdiri dari kursinya. Dia tidak mengenal orang itu, akan tetapi melihat sikapnya dapat diketahui bahwa orang itu memiliki kegagahan. Orang itu sudah mengangkat kedua tangan depan dada untuk menghormati tuan dan nyonya rumah. Sin Hong dan Kao Hong Li cepat membalas penghormatan itu dan mempersilakan tamunya duduk.

"Sian Li, engkau masuklah dulu, mandi dan tukar pakaian. Jangan lupa, suruh pelayan mengeluarkan minuman untuk tamu kita."

Tamu itu cepat menggerakkan tangannya.
"Saya kira Siocia tidak perlu masuk, karena urusan ini justeru menyangkut diri Siocia (Nona)."

Sin Hong memandang tamu itu dan dia pun mengerti. Kalau tamu ini utusan pamannya, Suma Ceng Liong, dan mengatakan urusan itu menyangkut diri Sian Li, maka tidak salah lagi. Tentu pamannya itu menyuruh utusan ini untuk menjemput puterinya karena dulu mereka pernah berjanji bahwa kalau sudah tiba waktunya, Sian Li akan digembleng ilmu oleh paman dan bibinya itu. Walaupun dia sendiri dan isterinya sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun tentu saja paman dan bibinya itu mempunyai ilmu-ilmu yang khas dan amat menguntungkan kalau Sian Li mendapat bimbingan mereka.

Melihat tuan rumah memandang kepadanya, tamu itu lalu mengeluarkan sesampul surat dan menyerahkan surat itu kepada Sin Hong yang segera menerima dan mengambil suratnya lalu dibaca bersama isterinya yang berdiri di belakangnya. Mereka membaca surat dari Suma Ceng Liong dan tepat seperti yang diduga oleh Sin Hong, di dalam surat itu pamannya minta agar Sian Li diperkenankan ikut utusan itu ke Hong-cun. Dia dan isterinya ingin memenuhi janji mereka dan mulai mengajarkan ilmu mereka kepada Sian Li.

Membaca surat itu, Hong Li mengerutkan alisnya dan menyentuh pundak suaminya.
"Ah, bagaimana kita dapat melepaskan anak kita begini tiba-tiba?"

Sin Hong lalu memandang kepada tamu itu dan berkata,
"Terima kasih atas jerih payah Toa-ko yang sudah mengantarkan surat Paman Suma Ceng Liong kepada kami," katanya dengan ramah. "Harap sampaikan saja kepada Paman Suma Ceng Liong dan Bibi, bahwa anak kami Tan Sian Li akan kami antarkan sendiri ke Hong-cun. Akan tetapi sebelum ke sana, kami akan mengunjungi dulu kota raja."

Tamu itu dijamu oleh Sin Hong sekeluarga, kemudian tamu itu meninggalkan mereka untuk kembali ke Hong-cun dan menyampaikan pesan mereka. Hong Li merasa puas, karena kalau Sian Li dibawa begitu saja oleh utusan yang tidak mereka kenal, tentu saja ia tidak akan merasa tenteram hatinya.

Sian Li sendiri tadinya hampir menolak ketika diberitahu bahwa ia akan diberi pelajaran silat oleh paman dan bibi orang tuanya. Akan tetapi setelah diberi penjelasan oleh ayah ibunya, apalagi ketika mendengar bahwa ia akan diantar sendiri oleh mereka dan sebelum ke Hong-cun akan diajak pesiar ke kota raja ia pun merasa terhibur dan tidak membantah lagi.

Tiga hari kemudian, ayah ibu dan anak ini berangkat meninggalkan rumah mereka di kota Ta-tung menuju ke kota raja Peking yang berada di sebelah timur. Untuk pergi ke dusun Hong-cun akan makan waktu yang lama sekali karena dusun itu terletak di dekat kota Cin-an di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Peking merupakan kota yang memang akan mereka lewati kalau mereka pergi ke Shantung, jadi perjalanan itu tidak memutar.

Pada suatu senja, tibalah mereka di sebuah kota yang letaknya dekat dengan Peking, di sebelah barat selatan kota raja itu. Kota ini disebut kota Heng-tai dan merupakan kota yang cukup ramai karena banyak pengunjung kota raja yang kemalaman tentu bermalam di kota ini.






Karena banyaknya tamu dari luar daerah yang hendak berkunjung ke kota raja berhenti dan bermalam di kota Heng-tai, maka kota ini tentu saja berkembang menjadi ramai dan di situ banyak orang mendirikan rumah penginapan, rumah makan dan toko-toko. Tanpa adanya tiga perusahaan ini, sebuah kota tidak akan menjadi ramai karena ketiganya memenuhi kebutuhan pokok manusia, yaitu tempat tinggal, makan, dan pakaian berikut segala keperluan hidup sehari-hari.

Ketika pada senja hari itu Tan Sin Hong, Kao Hong Li dan Tan Sian Li memasuki Heng-tai, kota itu sedang ramai-ramainya dan semua rumah penginapan telah penuh tamu! Sin Hong dan anak isterinya mencari kamar dari satu ke lain penginapan tanpa hasil.

"Ah, kita sudah penat sekali. Apa kita harus bermalam di kuil kosong?"

Sian Li mengomel setelah belasan kali keluar masuk rumah penginapan tanpa hasil. Semua pengurus rumah penginapan terpaksa menolak mereka karena semua kamar telah penuh.

"Tidak perlu kita harus bermalam di kuil kosong kalau semua rumah penginapan telah penuh," kata Kao Hong Li. "Kalau perlu kita dapat menumpang di rumah seorang penduduk dengan membayar sewa kamar."

"Mari kita coba hotel yang di sana itu. Nampaknya besar dan paling mewah, mungkin masih ada kamar di sana," kata Sin Hong.

Mereka lalu menuju ke hotel yang nampak besar dan mewah itu dan membaca papan nama hotel yang tergantung di depan. Nama hotel itu Thai Li-koan (Hotel Besar). Nampak kesibukan di hotel itu, seolah ada suatu peristiwa penting terjadi di sana.

Ketika mereka hendak menaiki anak tangga di depan hotel, seorang pelayan menghampiri mereka dan sebelum mereka bicara, pelayan itu sudah mendahului mereka.

"Maaf, semua kamar sudah penuh. Malam ini, semua kamar diborong oleh Ouw-ciangkun dari kota raja."

"Bukankah hotel ini besar sekali dan kamarnya tentu amat banyak? Untuk apa panglima Ouw itu memborong semua kamar? Begitu banyakkah rombongannya?" tanya Hong Li, penasaran.

Pelayan itu mengangguk.
"Rombongannya tidak banyak sekali, akan tetapi dia hendak menerima tamu, dan dia tidak mau diganggu, maka semua kamar di bagian dalam, kamar-kamar besar telah diborongnya bahkan tidak ada orang diperbolehkan masuk ruangan dalam kalau tidak diberi ijin. Semua pintu depan dan belakang dijaga perajurit pengawal."

"Tapi, yang disewakan hanya kamar besar dan kamar-kamar bagian dalam?" Tiba-tiba Sian Li berkata. "Kan masih banyak kamar-kamar yang lebih kecil di kanan kiri dan belakang?"

Pelayan itu memandang kepada Sian Li dan wajahnya tersenyum. Anak perempuan yang berpakaian serba merah ini memang manis sekali.

"Memang ada, Nona, tapi.... ah, banyak yang sudah pesan lebih dulu."

Hong Li yang cerdik dapat melihat sikap pelayan itu, maka ia pun segera berkata,
"Berilah kami sebuah kamar samping atau belakang, dan kami akan memberi imbalan secukupnya!"

Ia mengeluarkan sepotong perak yang cukup besar. Melihat mengkilapnya perak itu sikap Si Pelayan berubah amat ramah. Dia melirik ke kanan kiri, kemudian menyambar perak itu dari tangan Hong Li dan membungkuk-bungkuk, menyembunyikan perak itu ke dalam saku bajunya.

"Marilah, Sam-wi masih beruntung tidak terlambat. Biarpun sudah banyak pemesan, akan tetapi melihat Nona kecil ini, aku merasa kasihan dan biarlah kuberikan kepada kalian."

Mereka memasuki rumah penginapan besar itu melalui pintu samping, dan Si Pelayan mengantar mereka ke sebuah kamar di belakang yang cukup besar untuk mereka bertiga.

Dia menerima uang sewanya untuk semalam dan memesan agar mereka itu jangan sekali-kali keluar masuk melalui pintu depan, jangan memasuki ruangan dalam dan selalu menggunakan pintu samping saja untuk keluar masuk.

Ketika mereka masuk, mereka melihat banyaknya perajurit pengawal yang berjaga-jaga di sekitar hotel itu, dan bahkan ada perajurit yang menahan Si Pelayan dan baru membolehkan mereka lewat setelah pelayan mengatakan bahwa tiga orang itu adalah tamu-tamu yang sudah mendapatkan kamar di belakang.

"Ingat, selama di sini malam ini, kalian tidak boleh menerima tamu, tidak boleh memasukkan orang asing ke sini," kata Si Perajurit pengawal kepada mereka.

Setelah memperoleh kamar, Sin Hong, Hong Li dan Sian Li lalu membersihkan diri dengan air hangat yang disediakan pelayan untuk mereka. Hotel itu memang hotel besar, sewa kamarnya mahal, akan tetapi pelayannya juga baik, tidak seperti di rumah-rumah penginapan biasa. Setelah berganti pakaian, Hong Li yang sudah selesai lebih dahulu, keluar dari kamar bersama Sian Li. Mereka hendak berjalan-jalan di taman sebelah belakang hotel itu sambil menanti selesainya Sin Hong yang mandi paling akhir.

Biarpun malam telah tiba, namun taman bunga itu masih tetap indah dan dapat dinikmati karena di sana-sini dipasangi lampu beraneka warna dan saat itu, kembang-kembang di taman sedang mekar semerbak. Sian Li gembira sekali melihat keindahan taman bunga itu, dan ia pun berlari-lari di dalam taman.

"Sian Li, jangan berlari-lari.!" kata ibunya sambil mengejar.

Tiba-tiba Hong Li mendengar teriakan puterinya.
"Ibu, tolong....!"

Hong Li terkejut sekali, dan dengan beberapa lompatan ia sudah tiba di balik pohon itu.
Ia melihat puterinya didekap seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam.

Puterinya meronta-ronta, akan tetapi agaknya laki-laki itu amat kuat sehingga Sian Li tidak mampu melepaskan diri. Hong Li maklum bahwa laki-laki itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, kalau tidak, bagaimana puterinya yang sudah memiliki kelihcahan dan ilmu yang lumayan itu demikian mudah ditangkap?

"Lepaskan anakku!" bentak Hong Li dan tubuhnya melayang ke depan laki-laki tinggi besar muka hitam.

Laki-laki itu memandang wajah Hong Li dan kalau tadi dia menyeringai, kini dia tertawa.
"Ha-ha-ha, kiranya ibunya malah lebih cantik lagi! Aku baru menyayangkan bahwa gadis ini masih terlalu kecil, dan sekarang muncul yang sudah dewasa dan matang. Marilah manis, kulepaskan anakmu, akan tetapi engkau harus menjadi penggantinya."

"Jahanam busuk.!"

Hong Li membentak marah. Begitu orang itu melepaskan Sian Li dan mendorong gadis remaja itu ke samping, Hong Li sudah menerjang ke depan dan ia pun menyerang dengan pukulan kedua tangan secara bertubi. Karena ia tidak ingin mencari keributan, dan tidak ingin membunuh orang, hanya untuk menghajarnya saja, maka nyonya muda ini tidak menggunakan pukulan maut seperti Ban-tok-ciang, melainkan menggunakan jurus dari Sin-liong-ciang-hoat. Bahkan ia tidak mengerahkan seluruh tenaga saktinya.

Melihat nyonya muda yang cantik itu menyerangnya, Si Tinggi Besar bermuka hitam menyambut dengan tangkisan sambil menyeringai, bahkan mencoba untuk menangkap lengan Hong Li.

"Plak-plak-dukk....!"

Tangkisan terakhir membuat keduanya mengadu tenaga melalui telapak tangan yang didorongkan dan akibatnya, tubuh tinggi besar itu terhuyung ke belakang. Si Muka Hitam itu terkejut karena dia merasa betapa telapak tangannya nyeri dan tadi ketika telapak tangannya bertemu dengan lengan lawan, seluruh tubuhnya tergetar dan dia sampai terdorong ke belakang. Marahlah dia. Dicabutnya golok dari pinggangnya.

"Berani engkau menyerangku?" bentaknya dan dia sudah memutar golok di atas kepalanya. Kao Hong Li sudah siap siaga menghadapinya.

Pada saat itu, nampak seorang wanita muncul di pintu belakang.
"Hek-bin (Muka Hitam), jangan bikin ribut di situ. Masuklah!" teriak wanita itu, suaranya lembut namun penuh wibawa.

Aneh sekali. Mendengar teriakan lembut ini, Si Muka Hitam yang tinggi besar segera menyimpan kembali goloknya, lalu memutar tubuh dan menjawab, suaranya penuh kepatuhan.

"Baik...., baik.... maafkan saya."

Dan dia pun melangkah lebar menuju ke pintu belakang itu dan menghilang ke dalam bersama wanita yang tadi memanggilnya.

Kao Hong Li terbelalak. Wanita tadi kebetulan sekali berdiri di bawah lampu gantung di atas pintu dan wajahnya nampak jelas olehnya. Ang I Moli! Ia masih mengenal wanita yang pakaiannya serba merah itu! Ang I Moli di situ. Mau apa iblis betina itu? Dan dimana Yo Han? Apakah masih bersama iblis betina itu? Hong Li merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Ia sudah melupakan laki-laki kurang ajar bermuka hitam tadi dan yang memenuhi pikirannya hanyalah Ang I Moli.

"Ibu, perempuan itu adalah Ang I Moli!" Tiba-tiba suara puterinya menyadarkannya dari lamunan. "Mari kita kejar Ibu!" Anak itu sudah berlari menuju ke pintu, akan tetapi ibunya menyambar pundaknya.

"Sstt, jangan, Sian Li."

"Ehh? Kenapa Ibu? Pertama, laki-laki tadi harus Ibu beri hajaran, agar dia bertaubat. Dan Ang I Moli juga tidak boleh dilepaskan. Bukankah ia yang membawa pergi Suheng Yo Han? Ibu harus merebut Yo Suheng kembali dari tangan iblis betina itu!"

"Ssttt, ini urusan gawat, Sian Li. Mari kita beritahu ayah, engkau jangan membuat ribut. Ingat, mereka itu mempunyai banyak kawan bahkan ada seorang panglima yang mempunyai banyak perajurit." Hong Li lalu menggandeng tangan anaknya dan mereka pun kembali ke kamar mereka.

Sin Hong memandang heran ketika melihat wajah dan sikap isteri dan puterinya demikian tegang.

"Ada terjadi apakah?" tanyanya.

"Ayah, Ang I Moli berada di hotel ini!" kata Sian Li dan tentu saja ayahnya terkejut mendengar pemberitahuan ini.

Akan tetapi Hong Li memberi isarat agar puterinya menutup mulut, kemudian dengan suara lirih ia pun menceritakan apa yang baru saja ia alami di dalam taman. Betapa di taman muncul seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang bersikap kurang ajar dan ketika ia hendak menghajarnya, muncul Ang I Moli yang memanggil Si Muka Hitam itu.

Tan Sin Hong meraba-raba dagunya yang tak berjenggot, alisnya berkerut.
"Hemmm, kalau iblis betina itu muncul di sini, tentu ada sesuatu yang amat penting di sini. Dan aku heran apakah Yo Han juga berada di sini?"

"Kita harus menyelidikinya," kata Hong Li. "Bukankah malam ini menurut pelayan tadi, pembesar yang disebut Ouw-ciangkun (Komandan Ouw) hendak menjamu tamu-tamunya? Dan Ang I Moli berada di dalam hotel, berarti ia menjadi tamu pula."

"Atau mungkin juga ia anak buah panglima she Ouw itu," kata Sin Hong, "Yang penting apakah Yo Han ikut dengannya di sini? Kita harus menyelidikinya. Aku selama ini merasa berdosa kepada mendiang ayah ibunya."

"Malam ini kita menyelidiki mereka," kata Hong Li dan suaminya mengangguk.

"Aku ikut!" kata Sian Li penuh semangat.

"Tidak boleh, Sian Li," kata ibunya. "Pekerjaan kami berbahaya sekali. Engkau lihat, baru Si Muka Hitam tadi saja sudah lihai, apalagi Ang I Moli dan kita belum tahu siapa lagi yang berada di sana. Kami hanya akan menyelidiki apa yang mereka lakukan."

"Dan menyelidiki apakah Yo Han berada pula di hotel ini," sambung ayahnya.

Biarpun hatinya merasa kecewa, namun Sian Li adalah seorang gadis remaja yang cukup cerdik. Ia maklum bahwa bahayanya memang besar sekali. Laki-laki muka hitam yang ditemuinya di taman tadi saja sudah amat lihai sehingga dalam waktu singkat ia telah dapat ditangkap dan dibuat tidak berdaya. Kalau ia nekat ikut dan ia membuat ayah dan ibunya gagal dalam penyelidikan mereka, ia sendiri akan merasa menyesal sekali.

Apalagi kalau suhengnya, Yo Han, berada di hotel itu. Orang tuanya harus mampu membebaskan suhengnya! Ia tidak boleh mengganggu pekerjaan mereka dan ia akan menungggu di kamar.

Dari depan kamar mereka yang berada di bagian belakang, Sin Hong dan anak isterinya dapat melihat kesibukan di ruangan dalam hotel itu. Agaknya orang-orang itu mengadakan pesta.

"Sian Li, engkau tinggal saja di dalam kamar, ya? Jangan keluar, apalagi jangan meninggalkan bagian belakang ini. Kami hendak mulai melakukan penyelidikan."

"Baik, Ayah," kata Sian Li.

"Hati-hati, Sian Li. Di sini engkau tidak boleh bertindak sembarangan. Bisa berbahaya sekali. Jangan sekali-kali engkau mendekati ruangan dalam hotel di mana terdapat penjagaan para perajurit pengawal," pesan ibunya.

Sian. Li mengangguk, dan di dalam dada anak ini terjadi ketegangan yang hebat. Munculnya Ang I Moli mengingatkan ia akan semua peristiwa yang dialaminya ketika ia masih kecil, delapan tahun yang lalu. Dan sekaligus mengingatkan ia kepada suhengnya, Yo Han yang pernah membuat ia menangis dan rewel ketika suhengnya itu pergi meninggalkan keluarga ayahnya, karena dibawa oleh wanita iblis itu. Tentu saja kini ia hampir melupakan wajah suhengnya itu. Sang waktu telah menelan segalanya, juga kedukaannya karena ditinggalkan suhengnya. Akan tetapi, yang jelas masih teringat olehnya adalah bahwa suhengnya itu amat baik kepadanya, bagaikan seorang kakak kandungnya sendiri.

Sementara itu, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li sudah menyelinap keluar. Dengan perlindungan kegelapan malam, mereka berhasil menyusup ke bagian yang gelap dari kebun samping rumah, kemudian dengan gerakan yang ringan bagaikan dua ekor burung walet, mereka melompat ke atas pohon dan setelah mengintai dari pohon dan tidak melihat adanya penjaga di bawahnya, mereka lalu melompat ke atas genteng.

Gerakan mereka begitu ringan sehingga tidak menimbulkan suara dan begitu tiba di atas wuwungan rumah penginapan itu, keduanya mendekam dan dengan hati-hati mereka memandang ke sekeliling. Hati mereka lega melihat bahwa para perajurit pengawal hanya menjaga di sekitar rumah itu, di bawah. Tentu saja tidak ada yang mengira bahwa akan ada orang berani mengganggu kehadiran seorang panglima kerajaan di hotel itu!

Ruangan tengah hotel itu dikepung perajurit pengawal dan keadaan di sana terang sekali. Hal ini menarik perhatian suami isteri pendekar itu. Berdebar rasa jantung mereka dan terdapat suatu kegembiraan yang sudah lama tidak mereka rasakan. Jiwa petualang mereka bangkit. Sudah terlalu lama mereka tidak mengalami hal-hal yang menegangkan seperti ini, dan pengalaman ini mengingatkan mereka akan masa lalu mereka, ketika mereka masih bertualang sebagai pendekar dan seringkali menghadapi lawan-lawan tangguh dan keadaan yang menegangkan seperti sekarang.

Dengan hati-hati mereka bergerak di atas genteng sampai mereka tiba di atas ruangan tengah itu. Kemudian mereka menuruni wuwungan, merayap di atas genteng atas ruangan itu dan mengintai ke bawah. Mereka terlindung oleh wuwungan di kanan kiri yang lebih tinggi sehingga dengan rebah menelungkup, mereka dapat mengintai ke dalam ruangan itu dengan leluasa. Bukan saja mereka dapat melihat semua dengan jelas, juga mereka dapat mendengarkan percakapan mereka yang berada di bawah.

Ruangan itu cukup luas dan terang sekali karena diberi tambahan penerangan. Terdapat beberapa buah meja yang diatur di tengah ruangan, berderet panjang. Di kepala meja duduklah seorang berpakaian panglima. Dia masih muda, tidak lebih dari dua puluh tiga tahun usianya, berwajah tampan dan gagah, pakaian panglimanya mentereng dan mewah.

Di kanan kiri meja duduk berderet banyak orang, akan tetapi sebagian besar di antara mereka berpakaian seperti tosu. Tentu saja hal ini amat mengherankan hati Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, apalagi ketika mereka mengenal adanya Ang I Moli di antara mereka, dan mengenal pula bahwa para pendeta itu sebagian besar adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan orang-orang Thian-li-pang.

Suami isteri ini menduga bahwa tentu panglima muda itu yang bernama Ouw Ciangkun. Mereka merasa heran bukan main. Sepanjang pengetahuan mereka, Pek-lian-kauw adalah perkumpulan orang sesat yang selalu menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Juga Thian-li-pang, walaupun terkenal sebagai perkumpulan orang-orang gagah, namanya tidaklah terlalu bersih. Akan tetapi Thian-li-pang juga terkenal sebagai kaum pemberontak terhadap Kerajaan Mancu. Bagaimana mungkin sekarang para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang berkumpul di situ dan agaknya menjadi tamu dari seorang panglima kerajaan?

"Aku tidak melihat adanya Yo Han di sana...." bisik Hong Li dan suaminya memberi isyarat agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Hong Li mengerti dan mengangguk.

Mereka tahu bahwa di bawah berkumpul orang-orang lihai. Menghadapi belasan orang tokoh Peklian-kauw dan Thian-li-pang bukan hal yang dapat dipandang rendah. Baru Ang I Moli seorang saja sudah merupakan lawan yang bukan ringan, apalagi para pendeta Pek-lian-kauw itu, dan orang-orang Thian-li-pang juga terkenal tangguh. Sin Hong mengenal Lauw Kang Hui di situ.

Tokoh yang tinggi besar bermuka merah ini adalah wakil ketua Thian-li-pang. Kalau wakil ketuanya sampai ikut hadir, berarti pertemuan itu tentu penting sekali, pikir Sin Hong. Keingin tahunya untuk mencari Yo Han pun menipis, tertutup oleh perhatiannya untuk mengetahui apa maksudnya para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang kini dijamu oleh seorang panglima muda Kerajaan Mancu!

Dia dan isterinya harus berhati-hati. Kalau sampai terjadi bentrokan dengan mereka, sungguh berbahaya. Apalagi di situ masih terdapat pasukan anak buah panglima itu. Dan mereka berdua pun melakukan perjalanan bersama puteri mereka yang membutuhkan perlindungan.

"Ciangkun, sebelum kita mulai dengan percakapan kita, apakah engkau sudah yakin benar bahwa tempat ini terjaga dengan baik dan tidak ada orang luar yang dapat ikut mendengarkan?" kata Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang kepada panglima itu.

Panglima itu tertawa.
"Aih, Su-siok (Paman Guru), kenapa masih meragukan ketatnya penjagaan kami? Harap Lauw-susiok jangan khawatir. Hotel ini sudah kami borong dan para tamu yang berada di pinggir dan belakang sudah didaftar semua dan diawasi, juga sekeliling ruangan ini, bahkan sekitar rumah penginapan sudah diblok dan dijaga oleh pasukanku. Tidak ada yang begitu gila untuk berani mendekati tempat ini!"

Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang. Kiranya panglima muda itu adalah murid keponakan dari adik ketua Thian-li-pang! Suami isteri yang berpengalaman ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Kiranya Thian-li-pang telah berhasil menyelundupkan seorang anggautanya ke dalam kerajaan, bahkan ke dalam istana karena melihat pakaiannya, panglima dan pasukannya itu termasuk pasukan pengawal istana Kaisar! Sungguh berbahaya sekali bagi keselamatan istana kalau begitu!

Memang dugaan mereka benar. Yang menjadi panglima itu bukan lain adalah Ouw Cun Ki, putera Ketua Thian-li-pang, Ouw Ban. Ouw Cun Ki yang berusia dua puluh tiga tahun itu adalah seorang pemuda yang telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya, seorang yang gagah dan berani, juga cerdik.